Cheng Ho diyakini seorang muslim yang melakukan Islamisasi. Namun, kaisar memberinya julukan yang merujuk kepada Buddha.
Masyarakat Indonesia begitu menghormati Laksamana Cheng Ho sebagai seorang muslim yang melakukan Islamisasi di Nusantara. Karenanya dia diabadikan sebagai nama masjid di berbagai daerah.
“Itu bagian dari pencarian identitas yang didasarkan atas fakta sejarah. Sejarah digunakan untuk justifikasi dalam rangka formasi identitas Chinese moslem di Indonesia dan kawasan lain,” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan Universitas Diponegoro, kepada Historia.
Cheng Ho yang bernama asli Ma Ho lahir pada 1371 dari orangtua Muslim etnis Hui di Yunan. Hui adalah komunitas Muslim campuran Mongol-Turki. Pada 1381, Jendral Fu Yu-te dan pasukan Dinasti Ming menduduki Yunan dan menangkapi semua anak lelaki dewasa dan dan anak-anak.
“Mereka dipotong alat vitalnya sebagai teror agar tunduk pada negara. Ma Ho adalah salah satu anak yang dikebiri. Dalam perkembangannya, Ma Ho tampil seperti raksasa dengan tinggi lebih dari dua meter yang mungkin disebabkan defisiensi hormon lelaki akibat emaskulasi,” tulis Sumanto Al Qurtuby dalam Arus Cina-Islam-Jawa.
Ma Ho membantu Ceng Chu merebut takhta Dinasti Ming dari keponakannya, Kaisar Kien Wen. Sebagai pelarian politik, Kien Wen konon bersembunyi di Palembang. Ceng Chu atau Kaisar Yun Lo memberi nama Cheng Ho dan menjabat pemegang komando tertinggi atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana.
Menurut Sumanto Kaisar Yung Lo mengganti diplomasi politik dari jalur darat menjadi jalur laut. Dia mengerahkan 62 kapal besar dengan 225 junk (kapal berukuran kecil) dan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk politisi, juru tulis, pembuat peta, tabib, ahli astronomi, ahli bahasa, ahli geografi, dan ahli agama.
“Sebagai commander in chief-nya diserahkan kepada Cheng Ho lewat sebuah Dekrit Kerajaan dengan wakil Laksamana Muda Heo Shien (Husain), sekretaris Haji Ma Huan dan Fei Shin (Faisal), juru bahasa Arab selain Ma Huan adalah Hassan, seorang imam pada bekas ibukota Sin An (Changan),” tulis Sumanto.
Selain mengemban misi menjalin persahabatan dengan negara-negara lain serta menunjukkan supremasi politik dan ekonomi bangsa Tiongkok, ekspedisi Cheng Ho juga membawa agenda tersembunyi (hidden agenda). Penempatan konsul, diplomat, dan duta keliling mesti dibaca dalam penegakan otoritas politik. Demikian pula penempatan konsul dagang mesti dilihat dari aspek ekonomi.
“Juga persebaran para juru dakwah Islam di hampir setiap kota yang disinggahi adalah upaya melakukan misionarisme Islam (Islamisasi). Singkatnya, ekspedisi besar itu menyimpan hidden agenda baik untuk kepentingan pragmatis Kekaisaran Ming maupun kepentingan ‘primordial Islam’ Cheng Ho,” tulis Sumanto.
Sumanto menguraikan di Palembang, Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam yang sudah sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang-orang Tionghoa. Dari situ, Cheng Ho membentuk komunitas Tionghoa Islam di Sambas. “Barangkali di Palembang-lah masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara yang pertama, kemudian diteruskan di Jawa, Semenanjung dan Filipina,” tulis Sumanto.
Kehadiran armada Cheng Ho di pesisir Jawa, terutama pada pelayaran pertama tahun 1405 dan ketiga tahun 1413, disambut cukup antusias oleh masyarakat Islam setempat terlebih para pemuka agamanya. Seperti Maulana Malik Ibrahim, tokoh muslim awal di Gresik, yang menyambut baik rombongan Cheng Ho dan Ma Huan. Cheng Ho kemudian meninggalkan juru dakwah Tionghoa dan pengikutnya yang berhasrat tinggal di Jawa untuk berbaur dengan komunitas Islam guna menyebarkan Islam.
“Hampir di setiap pesisir Jawa sejak Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara sampai Tuban, Gresik dan Surabaya, Cheng Ho selalu menempatkan orang-orang Islam dari Tiongkok,” tulis Sumanto.
Namun, Singgih berpendapat “saya belum pernah melihat bukti bahwa Cheng Ho memiliki misi Islamisasi meski dia seorang muslim. Misi pelayarannya untuk meneguhkan kekuasaan kekaisaran Tiongkok di kawasan laut selatan.”
Meskipun demikian, Singgih tak menolak jika ada pengikut Cheng Ho yang turut melakukan pengislaman di pesisir Jawa. “Kalau itu (Islamisasi) bisa terjadi. Sebagian dari anak buah Cheng Ho tetap tinggal di pantai utara Jawa. Bagaimanapun juga ada diaspora Muslim Tionghoa pada periode itu untuk berdagang. Para pedagang ini yang mungkin menyebarkan Islam, karena tiap muslim punya kewajiban dakwah meski hanya satu ayat. Mereka berasal dari Mazhab Hanafi. Dengan demikian mereka berkontestasi dengan Mazhab Syafi’i yang dibawa dari India dan Timur Tengah. Lalu kalah,” ujar Singgih.
Dari tahun 1405 hingga meninggalnya tahun 1433, Cheng Ho telah melakukan pelayaran tujuh kali dan mengunjungi 37 negara: dari Champa sampai India, sepanjang Teluk Persia serta Laut Merah hingga pesisir Kenya, termasuk Nusantara.
“Prestasi besar ini menjadikan Cheng Ho diberi julukan oleh Kaisar Yung Lo sebagai Ma San Bao (Ma Si Tiga Permata). Pada masyarakat santun, julukan itu menunjuk pada Tri Ratna dalam Buddhisme. Sementara pada lingkungan yang bejat, julukan itu berarti bahwa Ma seorang prajurit jempolan meski tak punya zakar dan penis,” tulis Sumanto.
Julukan Ma San Bao yang merujuk pada Tri Ratna (Buddha, Dharma, dan Sangha) seakan menyiratkan agama yang dianut Cheng Ho. Buddha adalah guru, Dharma adalah ajaran dan Sangha adalah para pendeta dan vihara .
Kendati dijuluki Ma San Bao, Sumanto tetap yakin Cheng Ho adalah seorang muslim yang melakukan Islamisasi. Meyebut Cheng Ho bukan muslim bahkan dijadikan dewa yang disembah di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Po Kong oleh penganut Konfusianis di Tiongkok “adalah sebuah anakronisme (hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu, red.).”
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Patung Cheng Ho di Simongan, Semarang, Jawa Tengah.
Masyarakat Indonesia begitu menghormati Laksamana Cheng Ho sebagai seorang muslim yang melakukan Islamisasi di Nusantara. Karenanya dia diabadikan sebagai nama masjid di berbagai daerah.
“Itu bagian dari pencarian identitas yang didasarkan atas fakta sejarah. Sejarah digunakan untuk justifikasi dalam rangka formasi identitas Chinese moslem di Indonesia dan kawasan lain,” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan Universitas Diponegoro, kepada Historia.
Cheng Ho yang bernama asli Ma Ho lahir pada 1371 dari orangtua Muslim etnis Hui di Yunan. Hui adalah komunitas Muslim campuran Mongol-Turki. Pada 1381, Jendral Fu Yu-te dan pasukan Dinasti Ming menduduki Yunan dan menangkapi semua anak lelaki dewasa dan dan anak-anak.
“Mereka dipotong alat vitalnya sebagai teror agar tunduk pada negara. Ma Ho adalah salah satu anak yang dikebiri. Dalam perkembangannya, Ma Ho tampil seperti raksasa dengan tinggi lebih dari dua meter yang mungkin disebabkan defisiensi hormon lelaki akibat emaskulasi,” tulis Sumanto Al Qurtuby dalam Arus Cina-Islam-Jawa.
Ma Ho membantu Ceng Chu merebut takhta Dinasti Ming dari keponakannya, Kaisar Kien Wen. Sebagai pelarian politik, Kien Wen konon bersembunyi di Palembang. Ceng Chu atau Kaisar Yun Lo memberi nama Cheng Ho dan menjabat pemegang komando tertinggi atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana.
Menurut Sumanto Kaisar Yung Lo mengganti diplomasi politik dari jalur darat menjadi jalur laut. Dia mengerahkan 62 kapal besar dengan 225 junk (kapal berukuran kecil) dan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk politisi, juru tulis, pembuat peta, tabib, ahli astronomi, ahli bahasa, ahli geografi, dan ahli agama.
“Sebagai commander in chief-nya diserahkan kepada Cheng Ho lewat sebuah Dekrit Kerajaan dengan wakil Laksamana Muda Heo Shien (Husain), sekretaris Haji Ma Huan dan Fei Shin (Faisal), juru bahasa Arab selain Ma Huan adalah Hassan, seorang imam pada bekas ibukota Sin An (Changan),” tulis Sumanto.
Selain mengemban misi menjalin persahabatan dengan negara-negara lain serta menunjukkan supremasi politik dan ekonomi bangsa Tiongkok, ekspedisi Cheng Ho juga membawa agenda tersembunyi (hidden agenda). Penempatan konsul, diplomat, dan duta keliling mesti dibaca dalam penegakan otoritas politik. Demikian pula penempatan konsul dagang mesti dilihat dari aspek ekonomi.
“Juga persebaran para juru dakwah Islam di hampir setiap kota yang disinggahi adalah upaya melakukan misionarisme Islam (Islamisasi). Singkatnya, ekspedisi besar itu menyimpan hidden agenda baik untuk kepentingan pragmatis Kekaisaran Ming maupun kepentingan ‘primordial Islam’ Cheng Ho,” tulis Sumanto.
Sumanto menguraikan di Palembang, Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam yang sudah sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang-orang Tionghoa. Dari situ, Cheng Ho membentuk komunitas Tionghoa Islam di Sambas. “Barangkali di Palembang-lah masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara yang pertama, kemudian diteruskan di Jawa, Semenanjung dan Filipina,” tulis Sumanto.
Kehadiran armada Cheng Ho di pesisir Jawa, terutama pada pelayaran pertama tahun 1405 dan ketiga tahun 1413, disambut cukup antusias oleh masyarakat Islam setempat terlebih para pemuka agamanya. Seperti Maulana Malik Ibrahim, tokoh muslim awal di Gresik, yang menyambut baik rombongan Cheng Ho dan Ma Huan. Cheng Ho kemudian meninggalkan juru dakwah Tionghoa dan pengikutnya yang berhasrat tinggal di Jawa untuk berbaur dengan komunitas Islam guna menyebarkan Islam.
“Hampir di setiap pesisir Jawa sejak Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara sampai Tuban, Gresik dan Surabaya, Cheng Ho selalu menempatkan orang-orang Islam dari Tiongkok,” tulis Sumanto.
Namun, Singgih berpendapat “saya belum pernah melihat bukti bahwa Cheng Ho memiliki misi Islamisasi meski dia seorang muslim. Misi pelayarannya untuk meneguhkan kekuasaan kekaisaran Tiongkok di kawasan laut selatan.”
Meskipun demikian, Singgih tak menolak jika ada pengikut Cheng Ho yang turut melakukan pengislaman di pesisir Jawa. “Kalau itu (Islamisasi) bisa terjadi. Sebagian dari anak buah Cheng Ho tetap tinggal di pantai utara Jawa. Bagaimanapun juga ada diaspora Muslim Tionghoa pada periode itu untuk berdagang. Para pedagang ini yang mungkin menyebarkan Islam, karena tiap muslim punya kewajiban dakwah meski hanya satu ayat. Mereka berasal dari Mazhab Hanafi. Dengan demikian mereka berkontestasi dengan Mazhab Syafi’i yang dibawa dari India dan Timur Tengah. Lalu kalah,” ujar Singgih.
Dari tahun 1405 hingga meninggalnya tahun 1433, Cheng Ho telah melakukan pelayaran tujuh kali dan mengunjungi 37 negara: dari Champa sampai India, sepanjang Teluk Persia serta Laut Merah hingga pesisir Kenya, termasuk Nusantara.
“Prestasi besar ini menjadikan Cheng Ho diberi julukan oleh Kaisar Yung Lo sebagai Ma San Bao (Ma Si Tiga Permata). Pada masyarakat santun, julukan itu menunjuk pada Tri Ratna dalam Buddhisme. Sementara pada lingkungan yang bejat, julukan itu berarti bahwa Ma seorang prajurit jempolan meski tak punya zakar dan penis,” tulis Sumanto.
Julukan Ma San Bao yang merujuk pada Tri Ratna (Buddha, Dharma, dan Sangha) seakan menyiratkan agama yang dianut Cheng Ho. Buddha adalah guru, Dharma adalah ajaran dan Sangha adalah para pendeta dan vihara .
Kendati dijuluki Ma San Bao, Sumanto tetap yakin Cheng Ho adalah seorang muslim yang melakukan Islamisasi. Meyebut Cheng Ho bukan muslim bahkan dijadikan dewa yang disembah di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Po Kong oleh penganut Konfusianis di Tiongkok “adalah sebuah anakronisme (hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu, red.).”
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar