Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Al-Qaidah Merilis; Zhawahiri Serukan Persatuan Mujahidin Suriah di Tengah Krisis Kepemimpinan

Al-Qaidah Merilis; Zhawahiri Serukan Persatuan Mujahidin Suriah di Tengah Krisis Kepemimpinan

Written By Unknown on Jumat, 08 Desember 2017 | Desember 08, 2017


Pada 28 November 2017, Al-Qaidah merilis salah satu pesan terpenting dalam beberapa tahun dari pemimpinnya, Dr. Aiman Azh-Zhawahiri. Sisi lain dari proyek jihad di Suriah telah meninggalkan krisis kepemimpinan baru bagi Al-Qaidah setelah para pemimpin Hai’ah Tahrir Asy-Syam (HTS) berselisih dengan sejumlah kalangan terkait arahan jihad.

Informasi dari media resmi HTS menyebutkan bahwa beberapa orang yang mengklaim loyal kepada Al-Qaidah sempat ditahan oleh pihak HTS. Di antaranya terdapat nama nama Dr. Sami Al-Aridi (mantan Ketua Dewan Syariah) dan Abu Julaibib Al-Urduni (mantan Amir Jabhah An-Nushrah untuk wilayah Sahil). Alasan penahan tersebut adalah dalam rangka menyelesaikan masalah setelah timbul “agitasi” yang bisa mengancam keutuhan barisan mujahidin. Barangkali ini adalah krisis internal paling serius bagi Al-Qaidah sejak deklarasi the Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) pada tahun 2013.

HTS dipelopori dan dibentuk oleh Jabhah Fath Asy-Syam (JFS), organisasi penerus Jabhah An-Nushrah (JN) yang—sebelumnya—merupakan cabang resmi Al-Qaidah di Suriah. HTS merupakan hasil merger dengan beberapa kelompok jihad lainnya pada 8 Januari 2017. Sejak awal pembentukan HTS telah memicu perdebatan sengit di kalangan internal Al-Qaidah, maupun di kalangan kelompok-kelompok jihad yang berafiliasi maupun yang memiliki kedekatan dengannya—seperti Ahrar Asy-Syam.

Kesepakatan terbatas dan bersyarat antara HTS dan Turki serta agenda yang lebih bersifat “nasional” terkait fokus regional di Suriah termasuk dua isu sentral yang diperdebatkan. Namun, salah satu isu terpenting adalah apakah Jabhah Fath Asy-Syam (JFS) telah melanggar baiat (janji kesetiaan) kepada Al-Qaidah dan Azh-Zhawahiri ataukah tidak.

Sebelumnya Azh-Zhawahiri telah menyinggung tanda tanya seputar baiat JN/JFS. Namun, dalam pesan terkininya ia menggunakan diksi (pilihan kata) yang paling jelas mengenai topik tersebut. “Saya ingin mengonfirmasi secara pasti bahwa kami tidak melepaskan seorang pun dari baiat kami,” kata pemimpin tertinggi Al-Qaidah tersebut.

Azh-Zhawahiri mengingatkan bahwa ketika Al-Qaidah “memukul mundur” Abu Bakr Al-Baghdadi dan jamaahnya (the Islamic State), pihak Al-Qaidah belum pernah melepaskan “Jabhah An-Nushrah” atau “siapa pun” dari baiat mereka. Ia pun menekankan bahwa “baiat” adalah “kesepakatan yang mengikat” dan “dilarang untuk memutuskannya secara sepihak”. Terlebih lagi, merupakan kewajiban syar’i bagi mujahidin untuk memenuhi baiat mereka.

Menanggapi Azh-Zhawahiri, Abu Abdillah Asy-Syami— pemimpin senior sekaligus anggota majelis syura HTS— menyampaikan sudut pandang versinya melalui akun media sosial (1/12/2017). Asy-Syami berargumen bahwa pada dasarnya para petinggi JFS membidani lahirnya HTS mereka tidak melanggar ideologi maupun garis-garis besar haluan perjuangan Al-Qaidah. Jadi, ketika mereka melepaskan ikatan keorganisasian dari Al-Qaidah dan membentuk HTS, itu dilakukan atas dasar pertimbangan maslahat dan melalui konsultasi dengan para ulama di Syam.

Pada tanggal 28 Juli 2016, Amir JN Abu Muhammad Al-Julani mendeklarasikan transformasi Jabhah An-Nushrah menjadi Jabhah Fath Asy-Syam. Ketika membacakan deklarasi tersebut, Al-Julani diapit oleh Abu Abdillah Asy-Syami (di kirinya) dan Abul Faraj Al-Mishri (di kanannya), tokoh senior yang dekat dengan Azh-Zhawahiri (seperti tampak dalam foto di bawah).


Dalam pernyataannya, Al-Julani menyampaikan bahwa organisasinya tidak lagi berafiliasi dengan “entitas luar (asing)”. Ungkapan ambigu ini dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa JFS “independen” dari Al-Qaidah.

Dalam tanggapannya untuk Azh Zhawahiri, Asy-Syami mengakui bahwa “gagasan proyek ini,” yang berarti JFS, “adalah untuk mengubah nama kelompok tersebut … dan mengumumkan apa yang akan bisa dipahami di media sebagai pemutusan hubungan dengan” Al-Qaidah. Namun, menurut Asy-Syami, “akan tetap ada rahasia yang tidak diungkapkan kepada mereka, dalam keadaan yang akan menyerupai situasi sebelum perselisihan kita dengan ISIS,” atau semacam baiat rahasia.

Asy-Syami menambahkan bahwa sementara Azh-Zhawahiri menganggap bahwa JFS telah “benar-benar melepaskan ikatannya … bukan itu persoalannya menurut sudut pandang kami.” Kemudian Asy-Syami juga mengungkapkan bahwa usulan pihak Al-Julani untuk menjalin baiat atau ikatan rahasia dengan Al-Qaidah tidak disetujui oleh Azh-Zhawahiri. “Kami tidak menerima baiat Jabhah An-Nushrah untuk menjadi rahasia. Kami menganggap ini sebagai salah satu kesalahan fatal,” kata Azh-Zhawahiri.

Al-Qaidah memang pernah “direpotkan” dengan baiat rahasia the Islamic State of Iraq (cikal-bakal ISIS) yang kemudian diingkari oleh juru bicara ISIS Abu Muhammad Al-Adnani. Jadi, pengaturan tersebut ditolak. Namun, menurut penilaian the Long War Journal, Azh-Zhawahiri tidak selalu menganggap baiat rahasia sebagai sebuah kesalahan. Bahkan, dia dan tokoh-tokoh Al-Qaidah lainnya dengan sengaja menyembunyikan peran An-Nushrah di jaringan Al-Qaidah pada masa awal keterlibatan jihad di Suriah.

Al-Julani mengungkapkan kesetiaannya kepada Azh-Zawahiri pada 9 April 2013, dalam rangkan mencari jalan keluar dari deklarasi sepihak ISIS yang ingin mengambil alih JN di Suriah. Sebenarnya Azh-Zawahiri merasa keberatan karena Al-Julani mengumumkan baiatnya kepada Al-Qaidah saat itu. Azh-Zhawahiri menilai bahwa Al-Julani “keliru … menunjukkan hubungannya dengan Al-Qaidah tanpa mendapat izin atau saran, bahkan tanpa memberi tahu kami.”

Al-Qaidah telah menggunakan taktik mengaburkan hubungan antara kepemimpinan senior dan berbagai organisasi afiliasinya di berbagai medan jihad. Jadi, jika saat ini Azh-Zhawahiri menolak “baiat rahasia” bisa jadi setelah mengevaluasi dampak negatifnya pada masa lalu.

Memang sempat beredar desas-desus yang belum dikonfirmasi lebih lanjut bahwa cabang Al-Qaidah baru akan dideklarasikan di Suriah. Namun, sejauh ini Azh-Zawahiri hanya menyerukan “persatuan” di Suriah dan tempat lain serta menekankan bahwa jihad Suriah bukanlah jihad yang “berdiri sendiri” dari jihad-jihad di belahan bumi lainnya.

Belum jelas bagaimana Al-Qaidah akan menangani kasus Al-Julani lebih lanjut. Yang jelas, di mata Al-Qaidah, Al-Julani adalah amir cabang regional di Suriah (JN) sehingga harus tunduk pada “aturan main” jamaah tersebut. Birokrasi Al-Qaidah jelas telah terganggu dengan terbentuknya HTS yang mengakomodasi unsur-unsur dari luar JN. Meski demikian, Azh-Zhawahiri tidak mengingkari Al-Julani (yang sekarang menjadi Amir HTS) secara langsung, juga tidak secara eksplisit menyerukan terbentuknya kelompok baru di Suriah. Bahkan, beberapa kali Azh-Zhawahiri merujuk kepada Amir HTS dengan mendoakannya agar Allah “mengaruniainya kesuksesan dan kemudahan”.

Meskipun Azh-Zhawahiri tidak mengecam Al-Julani dengan menyebut namanya, ia berusaha untuk membantah argumen yang dikemukan Al-Julani saat mendeklarasikan JFS. Pemimpin Al-Qaidah tersebut berpendapat bahwa melepaskan diri dari organisasinya tidak dan tidak akan menghentikan Amerika untuk menargetkan para jihadis, atau mencegah Amerika Serikat menuding mereka sebagai teroris, atau akan menjadi garansi terwujudnya persatuan mujahidin. Semua argumen ini dikemukan oleh Al-Julani dan mereka yang sependirian dengannya untuk melepaskan ikatan organisasi dari Al-Qaidah. Terbukti, deklarasi JFS gagal mengantarkan terwujudnya persatuan mujahidin Suriah di bawah payung tunggal HTS.

Setidaknya, lewat pernyataan terkininya, Azh-Zhawahiri mencoba untuk menghapus kebingungan terkait arahannya sebelumnya mengenai “persatuan”, termasuk bilamana tepat untuk memutuskan hubungan organisasi dengan Al-Qaidah. Ia mengatakan bahwa Al-Qaidah telah “berulang kali mengomunikasikan” kesediaannya untuk melepaskan “ikatan organisasinya dengan Jabhah An-Nushrah jika hanya dua syarat terpenuhi,” yaitu hanya setelah terwujudnya “penyatuan mujahidin” dan berdirinya sebuah “pemerintahan Islam” dengan umat yang memilih “imam” mereka sendiri.

Jadi, Al-Qaidah tidak mengizinkan JN atau yang lainnya melepaskan baiat mereka ketika dua syarat itu belum terwujud”. “Hanya ketika itu terwujud,” kata Azh-Zhawahiri, barulah Al -Qaidah akan “meninggalkan ikatan organisasinya dan mengucapkan selamat” kepada muslimin Suriah atas prestasi mereka. Yang jelas, “persaudaraan Islam dan jihad tetap ada di antara kita,” lanjut pemimpin Al-Qaidah tersebut.

Dengan kata lain, Azh-Zhawahiri mengatakan bahwa Al-Qaidah bersedia untuk mengakhiri kehadiran resminya di muka publik Suriah hanya setelah sebuah negara atau emirat yang disepakati mujahidin Suriah berdiri. Tentu saja, negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip politik Islam (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah) sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Qaidah. Al-Qaidah telah menegaskan hal ini lewat pernyataan sebelumnya, seperti pada bulan Mei 2016, atau sekitar dua bulan sebelum Al-Julani mendeklarasikan perubahan JN menjadi JFS.

Dalam perkembangan yang positif, HTS telah menginisiasi terbentuknya tim rekonsiliasi setelah ada seruan inisiatif dari sejumlah ulama kepada unsur-unsur yang berasal dari Al-Qaidah. Tim rekonsiliasi ini bekerja secara independen dan beranggotakan tokoh-tokoh senior, baik dari pihak Al-Qaidah maupun HTS, seperti Abu Abdil Karim (Al-Qaidah) dan Abu Malik Asy-Syami. Di antara keputusan tim ini adalah membebaskan para tokoh yang loyal kepada Al-Qaidah, kecuali Dr. Sami Al-Aridi yang tampaknya masih harus menunggu waktu.

(The-Long-War-Journal/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: