Ilustrasi
Sangat terhormat dikatakan sebagai orang yang gila. Gila ilmu pengetahuan sampai waktunya dihabiskan untuk mengabdi pada ilmu, gila kerja, tak kenal lelah untuk mencapai prestasi dan karya setinggi-tingginya dan gila berjuang dengan penuh idealisme dan pengorbanan, tidak peduli akan keterbatasan yang dimilikinya. Namun sebaliknya akan merasa sangat hina, jika dikatakan gila harta, sampai tak ada waktu sedikitpun untuk lepas darinya, gila jabatan sampai segala cara akan diraih demi kuasa dan gila wanita, sampai dikejar sampai ke ujung dunia.
Kini muncul fenomena Gila Ansor dan Gila Banser. Pikiran, waktu dan tenaganya dipertaruhkan untuk organisasi Gerakan Pemuda Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Muncul kesadaran massif ber-Ansor dan ber-Banser nyaris tak terbendung, disaat ormas-ormas lain kebingungang mencari anggota untuk sekedar melakukan pengamanan, apalagi untuk apel kesetiaan dan apel kebangsaan yang membutuhkan ribuan orang.
Hampir setiap minggu diakhir pekan, Jumat-Senin dini hari, Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Cabang GP Ansor sibuk menggelar Pelatihan Kader Dasar/Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar Banser), juga Pelatihan Kepemimpinan Lanjutan/Kursus Banser Lanjutan (Susbalan). Untuk PW dan PC klaster satu (Jawa dan lampung), ratusan bahkan ribuan kader tiap minggu berbondong-bondong mengikuti pelatihan yang memerlukan pengorbanan waktu dan fisik, bahkan uang, karena mengikuti pelatihan harus membayar alias tidak gratisan. Betul-betul gila ber-Ansoria dan Berbanseria. Kendatipun panitia telah membatasi jumlah peserta dalam setiap pelatihan, tapi animo remaja dan pemuda mengikuti organisasi warisan ulama ini, tak terbendung.
Pimpinan Pusat dan PW GP Ansorpun dibikin kewalahan, dengan menyediakan instruktur-instruktur yang harus diturunkan mencetak para kader gila itu. Entah berapa milyar kalau dirupiahkan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kaderisasi, karena tidak teranggarkan dalam APBN dan APBD. Negara diuntungkan karena tidak mengeluarkan biaya sepeserpun, untuk menjadikan anak mudanya moderat dalam beragama, santun dalam berprilaku, komitmen pada bangsa dan negaranya. Muncul kesetiaan luar biasa kader-kader Ansor-Banser dalam menjaga Pancasila dan NKRI. Itu juga ekspresi kegilaan Ansor-Banser terhadap negaranya. Wong tidak dibayar, kok seluruh jiwa dan raga dipertaruhkan agar Indonesia aman, damai dan penuh cinta kasih dalam naungan NKRI. Kalau bukan orang gila, disebut apa manusia-manusia jenis ini, disaat yang lain terkena penyakit materialistik dan hedonistik.
Jika kita melihat pasukan Banser dalam Apel Kebangsaan kemarin di Plataran Candi Prambanan Klaten, Sabtu (16/12) kita merinding melihat orang-orang gila yang penuh dedikasi dan komitmen. Banyak diantara pasukan Banser yang telah berumur 60 tahun ke atas. Mereka melangkah dengan sigap dan tegap nyaris tak memikirkan lagi bahwa dirinya sudah tua. Ya mereka itu orang gila, bukannya tingal duduk di kursi sambil menimang cucu dan menonton sinetron kesayangannya? Tapi pergi bersama sahabat-sahabatnya untuk apel kebangsaan, tak mau kalah dengan yang masih muda. Bagi mereka menjadi Banser tak ada pensiun. Sekali Banser tetap Banser sampai ajal menjempuntnya. Demikian doktrin para instruktur yang telah menancap dalam hati mereka.
Sekali waktu Anda perlu mendengarkan cerita mereka para pejuang Banser-Ansor, dari urusan yang paling sederhana, bagaimana membeli seragam, apa bekal untuk anak istri ketika mereka tinggalkan untuk bertugas, dan suka dukanya di medan juang. Sudah pasti lelah fisik ketika melakukan pengamanan, tanggap bencana dan segala hal terkait bakti sosial dan kebangsaan. Namun jiwa mereka bahagia dan sejahtera karena bisa menjadi bagian dari orang-orang yang berjuang. Cerita mencicil sepatu dan baju loreng pakaian kebesarannya sudah biasa kita dengar, namun dipecat dari pekerjaan karena demi tugas disatuiannya menjadi daftar panjang betapa mereka adalah orang-orang yang gila.
Tidak semua bos tempat mereka bekerja, well terhadap para Banser-Ansor. resiko diberhentikan dari pekerjaan juga menjadi bagian cerita pilu yang mengharu biru. Bagi orang gila jenis ini, pekerjaan bisa dicari, namun kalau negeri hancur oleh orang-orang wahabi dan takfiri tak boleh terjadi. Istri boleh cemberut dan ngomel karena tidak bawa pulang uang untuk memasak di dapur tetapi penentang-penentang Pancasila dan NKRI tak boleh nyaring menyuarakan khilafah.
Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyash adalah ayat-ayat qauliyah yang terus diperjuangkan, sementara alam dan segala isinya adalah ayat-ayat kauniyah yang perlu diejawantahkan. Banser-Ansor menyadari dengan baik pesan-pesan Tuhan yang qauliyah dan kauniyah itu berkat bimbingan ulama dan kyai bijak bestari penjaga negeri dan pewaris para nabi. Ya mereka gila karena ayat suci dan ajaran para Nabi serta bimbingan para ulama dan kyai.
Khidmahnya kepada para ulama dan kyai pendiri Nahdlatul Ulama tak terkalahkan oleh siapapun. Banser bukan TNI, bukan juga Polisi apalagi Satpol PP dan Satpam. Mereka adalah pasukan NU pengawal ulama dan NKRI yang berani mati. Marsnya sangat heroik selalu dinyanyikan penuh semangat dan menggugah.
Izinkan ayah Izinkan ibu//Relakan kami pergi berjuang
Dibawah kibaran bendera NU//Majulah ayo maju serba serbu (serbu)
Tidak kembali pulang//Sebelum kita yang menang
Walau darah menetes di medan perang//Demi agama kurela berkorban
Maju ayo maju ayo terus maju//Singkirkanlah dia dia dia
Kikis habislah mereka//Musuh agama dan ulama
Wahai barisan Ansor serbaguna//Dimana engkau berada (disini)
Teruskanlah perjuangan//Demi agama ku rela berkorban
Lapangan Banteng, 19 Desember 2017
Ruchman Basori
Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar