Iranian President Mahmoud Ahmadinejad and Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu (Foto: AFP/Getty Images/Reuters)
Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran, kembali membuat marah Israel. Dalam orasinya pada peringatan wafatnya Ayatullah Khomeini (3 Juni 2007), Ahmadinejad, seperti dikutip Jerusalem Post, menyatakan bahwa, “…kehancuran Israel sudah dekat”. Dan seperti biasanya, pernyataan tersebut juga kontan membuat Eropa—yang tampaknya tak pernah bisa berlepas dari ‘dosa’ historis holocaust— merah padam. Menlu Spanyol dan Menlu Perancis langsung menyampaikan kecaman resmi negaranya. Bagi keduanya, kata-kata Ahmadinejad harus mendapatkan respon dunia yang keras.
Ini bukan kali pertama Ahmadinejad menyampaikan pernyataan kontroversial terhadap rezim Zionis Israel. Satu pernyataan lainnya yang memicu kontroversi internasional dan dikutip hampir seluruh media pemberitaan dunia adalah, ketika pada sebuah konferensi bertajuk “The World Without Zionism” (Oktober 2005), Ahmadinejad menyatakan, “…Israel harus dihapuskan dari peta (dunia).”
Namun, dalam konteks ini, media-media Barat, telah melakukan disinformasi terhadap, bukan hanya konteks, tetapi bahkan teksnya sekalipun.
Disinformasi yang Sistematis
Kutipan tersohor dari pernyataan Ahmadinejad yang dalam bahasa Inggris kerap diterjemahkan sebagai “Israel must be wiped off the map” sungguh telah mengalami disinformasi yang sistematis. Mengapa demikian?
Pertama, pernyataan tersebut, seperti yang penulis kutip dari situs berbahasa Parsi ahmadinejad.ir, sebenarnya berbunyi, “Imam ghoft een rezhim-e ishghalgar-e qods bayad az safheh-ye ruzgar mahv shavad. Di sini, Nejad secuil pun tidak menyebut “Israel”, baik sebagai wilayah maupun bangsa. Ahmadinejad sebaliknya menggunakan sebuah frase spesifik, rezhim-e ishghalgar-e qods (‘rezim yang menjajah al-Quds’). Fakta ini menghadirkan perbedaan yang signifikan, karena sebuah rezim secara esensial—tidak seperti wilayah atau bangsa—tidak berkaitan dengan persoalan ‘peta dunia’.
Kedua, dalam pernyataan tersebut, tidak terdapat kata nagsheh (Parsi) sebagai padanan kata peta (map). Ketiga, kata to wipe out (menghapus) merupakan kesalahan penerjemahan yang diakibatkan oleh ketidakpahaman akan konstruksi verba Parsi, mahv shavad, yang digunakan Nejad. Verba tersebut berfungsi intransitif, sehingga padanannya yang lebih tepat adalah to vanish from (‘hilang/lenyap’) bukan to wipe out (‘menghapus’) atau to eliminate (‘menghancurkan’).
Luar biasa, dunia sudah dibuat percaya bahwa Presiden Iran telah mengancam akan “menghapus Israel dari peta (dunia)” meskipun dia tidak pernah mengucapkan kata peta, menghapus, dan bahkan Israel.
Lantas, apa terjemahan yang mendekati pernyataan tersebut? Tepatnya, inilah yang dikatakan Ahamdinejad, “Imam (Khomeini) berkata rezim yang menjajah al-Quds ini akan lenyap dari lembaran masa (sejarah).” Sejatinya, Nejad hanya mengungkapkan sebuah logika sejarah, bahwa penguasa atau rezim yang zalim serta menindas tidak akan pernah bertahan dalam lembaran sejarah.
Implikasi seperti itu terkait dengan konteks bahwa, dalam keseluruhan pernyataannya, Nejad menganalogikan lenyapnya rezim Zionis dengan rezim-rezim lain, seperti Shah Iran dan rezim komunis Uni-Soviet. Pertanyaanya, adakah kedua rezim itu runtuh karena bombardir militer atau serangan nuklir? Bukankah kedua rezim itu runtuh karena rakyat yang mereka tindas tidak lagi menginginkan mereka?
Dalam konteks seperti di ataslah, kita harus memahami pernyataan Nejad terbaru bahwa, “…kehancuran Israel sudah dekat.” Seperti dikutip dari IRNA, pernyataan ini terkait dengan sepak terjang Israel di Palestina dan Lebanon dalam setahun terakhir. Bagi Nejad, jika rezim Zionis tetap meneruskan penindasan terhadap bangsa Palestina dan mengulangi invasi militer ke Lebanon, maka “bangsa Palestina dan Lebanon akan menekan tombol ‘hitung mundur’ untuk membawa kehancuran bagi rezim Zionis.” Lagi-lagi logika sejarahlah yang ingin disampaikan Nejad, bahwa bangsa-bangsa terjajah yang menuntut kemerdekaan akan melawan dan menghancurkan siapa pun rezim penjajah mereka.
Konteks yang Tak Terkatakan
Terlepas dari pernyataan-pernyataan Nejad yang mengalami disinformasi, dan yang ingin dikesankan sebagai pernyataan anti-Semit, terdapat hal-hal substansial yang luput dari pemberitaan media Barat.
Pertama, sikap Iran dalam konflik Palestina-Israel. Seperti pernah diungkapkan Nejad sendiri, “Iran bukanlah ancaman bagi negara manapun,…bahkan bagi Israel sekalipun. Kami ingin menyelesaikan persoalan di sana (konflik Palestina-Israel) secara damai, melalui referendum” (kayhannews.ir). Referendum yang diikuti setiap penduduk asli tanah Palestina, baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi, adalah solusi yang pernah diajukan Iran secara resmi, baik dalam forum PBB maupun OKI.
“Solusi satu-negara” (one-state solution) bukanlah milik Iran semata. Pemikir-pemikir Yahudi, seperti Noam Chomsky dan Uri Avnery pun memandang solusi ini sebagai yang terideal, meskipun bukan yang ‘realistis’. “Solusi dua-negara” (two-state solution), seperti yang konon berlaku sekarang, bahkan dipandang banyak aktivis hak asasi manusia sebagai sebuah halusinasi, mengingat karakter rasis dan apartheid rezim Zionis. “Solusi satu-negara” melalui referendum adalah penyelesaian yang paling beradab bagi semua pihak tetapi jelas tidak bagi rezim rasis Zionis.
Kedua, fakta bahwa 30 ribu lebih orang Yahudi hidup dengan tenang dan damai di Iran, sebuah jumlah komunitas Yahudi terbesar di Timur Tengah. Terlebih lagi, mereka pun memiliki representasi di parlemen Iran. Jika memang pernyataan Nejad tersebut dipandang anti-Semit, maka apa kata dunia tentang penindasan rezim Zionis terhadap bangsa Arab Palestina? Bukankah orang-orang Arab juga anak keturunan Sem putra Nuh? Jika pernyataan Nejad dianggap sebagai pernyataan pemusuhan, maka apa kata dunia terhadap George W. Bush yang menyandingkan Islam dengan fasisme, “islamofasisme”. Apa pula kata dunia kepada senator sekaligus kandidat presiden AS, John McCain, yang menyenandungkan lagu berirama reggae, “Bom…bom…bom Iran.” Adakah dunia pernah menyebut semua itu sebagai pernyataan pemusuhan?
Dalam memperingati 40 tahun penjajahan rezim Zionis terhadap al-Quds (Perang Enam Hari 5-10 Juni 1967), sudah semestinya bangsa-bangsa di dunia, yang mencintai peradaban dan keadilan serta menghargai martabat kemanusiaan, bangkit dan menegaskan sikap untuk membantu bangsa Palestina yang tertindas serta menjaga al-Quds, sebagai tempat suci agama-agama Tuhan, dari tindakan vandalisme rezim Zionis.
(Jerusalem-Post/Huseinku/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar