Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » , » Desa Vihear Sambo: Simbol Solidaritas Antara Syiah dan Ahlusunnah Kamboja

Desa Vihear Sambo: Simbol Solidaritas Antara Syiah dan Ahlusunnah Kamboja

Written By Unknown on Minggu, 07 Januari 2018 | Januari 07, 2018


Desa Vihear Sambo di propinsi Khum Kamboja menjadi rumah mayoritas musim, yang mana sebelum itu kesemuanya adalah penganut Ahlusunnah, namun sekarang ini sebagian dari mereka menganut ajaran Ahlulbait (as).

Menurut laporan IQNA dilansir dari Khmer Times, akhir tahun 2000 adalah awal mula peningkatan jumlah masyarakat Syiah di Vihear Sambo, dimana mayoritas mereka setelah setelah datangnya seorang muslim Syiah warga Perancis yang menimba ilmu di Iran, lambat laut mereka menganut mazhab ini.

Tendensi masyarakat Vihear Sambo pada Syiah menimbulkan kegelisahan sejumlah penganut Ahlusunnah kawasan ini, yang mayoritas adalah Ahlusunnah ortodoks dan terus berlanjut selama bertahun-tahun dan mereka tidak berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan komunitas Syiah dan memisahkan diri dari mereka.

Kendati tidak diterima dan hubungan dingin antar para penganut dua mazhab Islam ini, pada tahun-tahun terakhir khususnya dari tahun 2014, kondisi ini mulai berubah.


Pudarnya Konflik

Terkadang sebagian perbedaan dari kedua kelompok Islam ini, di bawah naungan pengalaman-pengalaman bersama kehidupan masyarakat yang muncul akibat sejumlah tragedi dan kekerasan sejarah Kamboja modern kehilangan warna dan digantikan dengan persahabatan dan persatuan. Dulu, kehadiran orang Syiah mungkin menimbulkan reaksi atau permusuhan, seperti yang terjadi di Indonesia dan Malaysia, namun desa Kamboja ini tidak mengalami ketegangan seperti itu.

Desa ini memiliki 2 ribu penduduk, yang mayoritas mereka yakni sekitar 340 keluarga Ahlusunnah dan 42 keluarga adalah Syiah. Mayoritas mereka adalah petani dan sibuk memproduksi beras, gandum dan karet.

Chi Wanat, imam masjid Ahlusunnah Vihear Sambo mengatakan, kendati mazhab Islam beragam, namun komunikasi dan interaksi antar mereka khususunya dalam dua tahun terakhir semakin membaik.


“Desa kami memiliki banyak penganut mazhab Syiah di banding desa dan propinsi lainnya. Sejatinya hanya desa kami semata yang memiliki jumlah Syiah ini,” imbuhnya.

Wanat mengatakan, kami bahkan saling berpartisipasi satu sama lain dalam acara pernikahan, namun ini terbatas pada acara-acara pernikahan saja dan kami tidak hadir dalam kegiatan-kegiatan ibadah.


Permulaan Tendensi Syiah

Ia menambahkan, beberapa keluarga Syiah ini dulunya dan sebelum datangnya Muhammad Zain pada tahun 2010 adalah Sunni. Muhammad Zain yang pergi ke Perancis untuk menyambung hidup, setelah kekerasan tahun 1970, ia pergi ke Iran dan di situ menimba ideologi-ideologi Syiah dan menganut ajaran ini.

Sats Mats, pemimpin komunitas Syiah Vihear Sambo (40 tahun) yang duduk di depan akademi anak-anak muslim mengatakan, kendati kami memiliki ideologi berbeda, namun kami tinggal berdampingan dengan damai dan tenang.

Ia menimba ilmu di Iran selama 7 tahun. Ia menambahkan, pada tahun 2009 saya mendapatkan beasesa di sebuah universitas Iran dan belajar dalam jurusan studi agama. Setelah saya kembali ke sini, saya menjadi pempimpin komunitas Syiah.


Keluhuran Moral

Saat Mats ditanya alasan kesyiahannya, ia menjawab alasan utama saya adalah tasayyu’ dari aspek moral dalam tingkat yang lebih tinggi dan luhur.

Saya mengenal Syiah pasca studi dan riset tentangnya dan saya menganutnya, karena menurut saya Syiah lebih tinggi dari mazhab lainnya.

Mats mengatakan, saat kami mememluk Syiah, bahkan komunikasi dengan orang-orang teramat sukar, namun sekarang ini komunikasi berubah secara positif. Bahkan kami membangun sebuah sekolah untuk anak-anak kami dan sebentar lagi kami juga akan membangun sebuah masjid.

“Kami di sini memiliki tiga sukarelawan pengajar agama, yang kesemuanya menimba ilmu dari tahun 2010. Kesemuanya seperti saya, menimba studi agama selama 7 tahun dan mereka sibuk mengajar anak-anak sejak dari pulang,” imbuhnya.

Kendati komunitas Syiah dan Ahlusunnah tinggal di desa Vihear Sambo di Kamboja dengan damai dan tenang, namun di penjuru dunia lainnya, khususnya di Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Teluk Persia, yang mayoritasnya adalah Ahlusunnah mereka tidak bersikap baik dengan sejumlah minoritas agama.


Umat Muslim Kamboja

Kerajaan Kamboja, sebuah negara di Asia Tenggara dengan ibukota Phnom Penh. Populasi negara ini berjumlah 16 juta dan bahasa resminya adalah bahasa Khmer yang memiliki tulisan tersendiri. Kamboja secara geografis, merupakan bagian dari semenanjung Indochina dan satu perbatasan dengan Thailand, Laos dan Vietnam.

Kamboja di bawah penjajahan Perancis selama 100 tahun dan merdeka pada tahun 1953. Agama resmi Kamboja adalah Buddhisme, namun agama Islam memiliki penganut terbanyak setelah Buddhism. Menurut statistik tahun 2009, sekitar 250 ribu masyarakat negara ini adalah muslim dan mayoritas dari suku Cham atau Melayu.


Masuknya Islam

Dengan masuknya muslim Champ dan Melayu ke negara Kamboja, negara ini akhirnya mengenal Islam. Kendati sebagian masyarakat Kamboja tidak menerima agama Islam, namun mayoritas muslim Kamboja dari suku Cham dan Melayu. Masyarakat Cham memiliki pemerintahan kerajaan sejak dari abad kedua sampai 19 Masehi, dan pasca serangan Vietnam dan kekalahan telaknya, negara Champ melebur dengan tanah Vietnam. Banyak sekali masyarakat Cham yang gugur dalam pertempuran ini. Setelah itu, mayoritas masyarakat Cham bermigrasi ke beberapa negara lain, termasuk Kamboja dan menetap di situ. Masyarakat Melayu juga para imigran muslim yang bermigrasi dari Malaysia ke negara ini dan telah membentuk bagian kecil komunitas muslim.


Adab dan Tradisi

Umat muslim Kamboja menurut ajaran-ajaran agamanya tidaklah mencari kemewahan dan memiliki hidup yang sangat sederhana. Kesederhanaan ini bahkan terlihat dalam acara pernikahan, yang memiliki anggaran sangat minim. Khotbah akad pernikahan dan menantu dilakukan oleh satu orang imam. Menurut mereka, waktu terbaik pernikahan adalah pasca penyelenggaraan haji dan acara biasanya berlangsung selama satu setengahhari. Dua atau tiga model makanan dihidangkan dan apabila mempelai dari desa, mayoritas warganya diundang. Masyarakat juga membawa uang, makanan atau hadiah-hadiah khusus untuk penganten dan mempelai.

Umat muslim dengan membangun masjid, menyelenggarakan acara religi, doa dan munajatnya. Sejatinya, lebih dari 100 masjid dibangun untuk muslim. Di setiap tempat muslim memiliki seorang pemimpin bernama hakim, dimana masyarakat mengkonsultasikan segala urusan kehidupannya dan ia berpartisipasi dalam acara dan perayaan religi sebagai pembesar majelis.

Saat salat di masjid, muazin yang disebut dengan bilal memanggil umat muslim untuk menunaikan salat dan imam masjid juga memberi petunjuk para jamaah. Demikian juga markas spiritual muslim ini di Kamboja adalah Semenanjung Chrouy Changvar di dekat Phnom Penh, dan umat Islam pergi ke tempat ini untuk mengunjungi dan berkonsultasi dengan para tetua agama mereka. Sementara itu, mereka mengadakan perayaan tradisional dan religius di semenanjung ini.

(Khmer-Times/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: