Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Kejujuran

Kejujuran

Written By Unknown on Minggu, 10 Desember 2017 | Desember 10, 2017


Allah SWT berfirman;

وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا لَوْلاَ نُزِّلَتْ سُورَةٌ فَإِذَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ مُّحْكَمَةٌ وَذُكِرَ فِيهَا الْقِتَالُ رَأَيْتَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يَنظُرُونَ إِلَيْكَ نَظَرَ الْمَغْشِيِّ عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَأَوْلَى لَهُمْ * طَاعَةٌ وَقَوْلٌ مَّعْرُوفٌ فَإِذَا عَزَمَ الاْمْرُ فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ.

“Dan orang-orang yang beriman berkata: ‘Mengapa tiada diturunkan suatu surat?’ Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu melihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan celakalah bagi mereka.

“Ta’at dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”[1]


Kejujuran (al-sidq) setidaknya memiliki tiga arti;

Pertama, jujur sebagai lawan (antonim) dusta, yakni jujur dalam berkata, atau tidak berbicara kecuali apa yang diyakini sesuai dengan kenyataan, karena berdusta hukumnya haram.

Tentang ini terdapat beberapa hadis sebagai berikut.

Riwayat pertama, dari Imam Jakfar Al-Shadiq AS dari para leluhurnya bahwa Rasulullah SAW bersabda;

ثلاث من كنَّ فيه كان منافقاً وإن صام وصلَّى وزعم أنَّه مسلم : من إذا ائتمن خان، وإذا حدَّث كذب، وإذا وعد أخلف. قال الله ـ عزَّوجلَّ ـ في كتابه : ﴿إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الخَائِنِينَ﴾ وقال : ﴿أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ﴾ وفي قوله : ﴿وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولاً نَّبِيّاً.

“Ada tiga perkara yang jika terjadi pada seseorang maka dia menjadi munafik meskipun dia berpuasa, shalat, dan merasa sebagai Muslim, yaitu; berkhianat jika dipercaya; berdusta jika berbicara; dan ingkar jika berjanji. Allah Azza wa Jalla dalam kitab suciNya berfirman; ‘Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (QS. Al-Anfal [8]: 88).’ Dia juga berfirman; ‘Bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta (QS. Al-Nur [24]; 7).’ Dia juga berfirman; ‘Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi (QS. Maryam [19]: 54 ).’”[2]

Riwayat kedua, dari Muhammad bin Muslim dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Muhammad Al-Baqir as berkata;

إنَّ الله ـ عزَّ وجلَّ ـ جعل للشرِّ أقفالاً، وجعل مفاتيح تلك الأقفال الشراب، والكذب شرُّ من الشراب.

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membuatkan gembok-gembok untuk keburukan, dan menjadikan minuman keras sebagai kunci untuk gembok-gembok itu, namun kedustaan lebih buruk daripada minuman keras.”[3]

Maksudnya kemungkinan ialah bahwa orang yang menenggak minuman keras akan kehilangan akalnya, dan ketika kehilangan akalnya maka dia berpotensi melakukan kejahatan. Tapi dusta ternyata lebih keji daripada minuman, karena orang yang konsisten pada kejujuran akan cenderung meninggalkan kejahatan.

Sebab, manusia acapkali bergantung kepada dusta dan penipuan dalam berbuat jahat, atau bergantung pada dusta untuk menutupi keburukan dan kejahatannya. Dengan demikian maka kedustaan menjadi kunci untuk membuka kejahatan. Orang yang mabuk berbuat jahat cenderung di luar kesadarannya, sedangkan pendusta berbuat jahat dengan sengaja, disadari, dan bahkan akan cenderung berbuat jahat sebanyak mungkin selagi dia mampu dan berkesempatan demi kepentingannya sendiri. Atas dasar ini, dusta lebih buruk daripada minuman keras.

Riwayat ketiga, dari Husain bin Abi Ala’ dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

إنّ الله ـ عزَّوجلَّ ـ لم يبعث نبيّاً إلاّ بصدق الحديث وأداء الأمانة إلى البرِّ والفاجر.

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jallah tidak mengutus nabi kecuali dengan kejujuran dalam berbicara dan menyampaikan amanat kepada orang baik maupun orang yang keji.”[4]

Riwayat keempat, dari Ishak bin Ammar dan lain-lain dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

لا تغترُّوا بصلاتهم ولا بصيامهم; فإنَّ الرجل ربَّما لهج بالصلاة والصوم حتّى لو تركه استوحش، ولكن اختبروهم عند صدق الحديث وأداء الأمانة.

“Janganlah tertipu oleh shalat maupun puasa mereka, karena bisa saja seseorang menjaga shalat dan puasa sehingga bahkan cemas jika meninggalkannya, tapi ujilah dulu mereka dengan kejujuran dalam berbicara dan menyampaikan amanat.”[5]


Kedua, jujur sebagai lawan pelanggaran, yaitu jujur dalam berjanji. Jika seseorang berjanji tapi dia mengetahui bahwa dia akan melanggarnya maka dustanya akan kembali kepada dusta dengan tipe dan makna yang pertama. Sedangkan arti yang dimaksud di sini ialah bahwa dia tidak berniat mengingkarinya ketika berjanji tapi berapa lama kemudian timbul niat untuk mengingkari janji. Jika janjinya masuk dalam kategori akad dan transaksi atau perjanjian penting yang pelanggarannya akan merugikan orang lain maka hukumnya jelas wajib dipenuhi dan haram dilanggar, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ …

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”[6]

أَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً.

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”[7]

Janji yang tidak masuk dalam kategori demikian, yakni sekedar diucapkan secara spontan dan tak ada bobotnya maka hukumnya makruh dan tidak sampai haram dilanggar, menurut sebagian besar fakih. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa hukumnya syubhat haram, karena terdapat beberapa riwayat yang sangat menekankan masalah pemenuhan janji, antara lain sebagai berikut;

Dari Syuaib Al-Aqarqufi dengan sanad yang sempurna dari Imam Jakfar Al-Shadiq dari para leluhurnya bahwa Rasulullah SAW bersabda;

مَنْ كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليفِ إذا وعد.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaknya memenuhi apabila berjanji.”[8]

Dari Hisyam bin Salim dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

عدّة المؤمن أخاه نذر لا كفَّارة له. فمَنْ أخلف فبخلف الله بدأ، ولمقته تعرَّض، وذلك قوله : ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ.

“Janji orang yang beriman kepada saudara seimannya merupakan sebentuk nazar yang harus dipenuhi, hanya saja pelanggarannya tak mengharuskan membayar kaffarah. Maka siapa yang melanggar janji maka dia menentang Allah dan mendapat murka Allah, sebab Dia berfirman; ‘Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. Al-Shaf [61] 3).’”[9]

Diriwayatkan dari Sama’ah bin Mahran dengan sanad yang sempurna dari Imam Jakfar Al-Shadiq dari leluhurnya bahwa Rasulullah SAW bersabda;

مَنْ عامل الناس فلم يظلمهم، وحدَّثهم فلم يكذبهم، ووعدهم فلم يخلفهم، كان ممَّن حَرُمت غيبته، وكملت مروءته، وظهر عدله، ووجبت أخوّته.

“Barangsiapa bergaul dengan masyarakat lalu tidak menzalimi mereka, berbicara dengan mereka lalu tidak mendustai mereka, dan berjanji kepada mereka lalu tidak mengingkarinya maka dia termasuk orang yang haram digunjing, sempurna kehormatannya, menampak keadilannya, dan wajib dipandang sebagai saudara.”[10]

Dari Mansur bin Hazim dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shaqiq as berkata;

إنَّما سُمِّي إسماعيل (ع) صادق الوعد; لأ نّه وعد رجلاً في مكان، فانتظره سنة، فسمَّاه الله صادق الوعد. ثُمَّ إنَّ الرجل أتاه بعد ذلك، فقال له إسماعيل : ما زلت منتظراً لك.

“Ismail AS dijuluki ‘Shadiq al-Wa’ad (orang yang benar janjinya) adalah karena dia berjanji kepada seseorang di suatu tempat lalu dia menunggunya sampai satu tahun sehingga Allah menamainya Shadiq al-Wa’ad. Orang itu kemudian mendatanginya setelah itu dan Ismailpun berkata kepadanya, ‘Aku masih menantimu.’”[11]

Ketiga, jujur dalam arti solid dalam melihat realitas dan hakikat, yakni jujur dalam beriman, dan tidak sekedar mengaku beriman, atau bahkan tidak sekedar mendapatkan kepuasan intelektual, melainkan juga merasuk dalam kalbu, mengendap dalam perasaan, dan berpengaruh pada tingkah laku. Bisa jadi berkenaan dengan makna inilah firman Allah SWT;

طَاعَةٌ وَقَوْلٌ مَّعْرُوفٌ فَإِذَا عَزَمَ الْأَمْرُ فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ.

“Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. “[12]


Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib telah memberikan ungkapan yang sangat indah mengenai kejujuran atau kebenaran dalam beriman, yaitu ketika beliau menyifati keadaan orang-orang yang bertakwa. Beliau berkata;

عظم الخالق في أنفسهم فصغر ما دونه في أعينهم.

“Sangat agung Sang Pencipta dalam jiwa mereka sehingga selainNya mengecil di mata mereka.”[13]

Kalimat ini menyingkap makna yang lebih dari sekedar percaya akan kemaha agungan Allah dan keremehan selainNya. Sebab, bisa saja seseorang secara intelektual berkeyakinan demikian tapi batinnya tidak merasakan kebesaran Allah dan kekerdilan selainNya.

Buktinya, tak sedikit orang yang terpukau menyaksikan kebesaran para tiran dunia dan tergoda menyaksikan gemerlap dan kemewan dunia meskipun dia berkeyakinan bahwa semua itu hanyalah ilusi dan fatamargona belaka. Orang jujur dalam beriman ialah mata batinnya berhasil meraba dan merasakan kemaha agungan Tuhan dan kekerdilan selainNya.

Ini adalah ibarat orang yang melihat obyek kecil melalui mikroskop sehingga dia melihatnya besar meskipun dia mengetahuinya kecil, atau orang yang melihat obyek besar dengan lensa pengecil sehingga dia melihatnya kecil meskipun dia mengetahuinya besar. Besar dan kecil obyek dalam kepekaan fisik berbeda dengan sekedar keyakinan akan besar dan kecil itu. Kejujuran dalam beriman adalah ketersampaian iman pada tingkat sensibilitas batiniah.

Banyak sekali riwayat yang menegaskan bahwa syarat kejujuran atau kesungguhan dalam beriman ialah pengaruhnya pada tingkah lalu.[14] Beberapa riwayat di antaranya ialah sebagai berikut;

Riwayat dari Abdurrahim Al-Qasir bahwa dia menulis surat kepada Imam Jakfar Al-Shadiq as melalui Abdul Malik bin A’yun untuk menanyakan kepada Imam mengenai iman. Imam Al-Shadiq as lantas membalas dengan menulis;

الإيمان هو إقرار باللسان، وعقد بالقلب، وعمل بالأركان. فالإيمان بعضه من بعض، وقد يكون العبد مسلماً قبل أن يكون مؤمناً، ولا يكون مؤمناً حتّى يكون مسلماً. فالإسلام قبل الإيمان، وهو يشارك الإيمان، فإذا أتى العبد بكبيرة من كبائر المعاصي أو صغيرة من صغائر المعاصي التي نهى الله ـ عزَّ وجلَّ ـ عنها، كان خارجاً من الإيمان، وساقطاً عنه اسم الإيمان، وثابتاً عليه اسم الإسلام، فإن تاب واستغفر عاد إلى الإيمان، ولم يخرجه إلى الكفر إلاّ الجحود والاستحلال : إذا قال للحلال هذا حرام، وللحرام هذا حلال ودان بذلك، فعندها يكون خارجاً من الإيمان والإسلام إلى الكفر.

“Iman adalah pengakuan dengan lisan , pengikatan dengan hati, dan pengamalan rukun-rukun, maka iman sebagiannya berasal dari bagian yang lain. Bisa saja seorang hamba telah Muslim sebelum menjadi mukmin, dan tidak akan menjadi mukmin sebelum menjadi muslim. Jadi Islam letaknya sebelum iman, namun menyertai iman. Jika seorang hamba melakukan suatu dosa besar atau suatu dosa kecil yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla maka dia keluar dari iman dan gugurlah nama iman darinya, tapi nama Islam tetap ada padanya. Jika dia bertaubat dan memohon ampunan maka dia kembali kepada iman. Tidaklah membuatnya keluar menjadi kafir kecuali pembangkangan dan penghalalan. Yakni dia mengatakan haram bagi yang halal, dan mengatakan halal bagi yang haram, serta beragama dengan cara demikian maka dia telah keluar dari iman dan Islam menjadi kafir.”[15]

Diriwayatkan dari Al-Bakhtari bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda;

ليس الإيمان بالتحلِّي ولا بالتمنِّي، ولكنَّ الإيمان ما خلص في القلب، وصدَّقه الأعمال.

“Keimanan bukanlah dengan menjadikannya sebagai hiasan dan angan-angan semata. Sebaliknya, keimanan adalah apa yang dimurnikan dalam kalbu, dan dibenarkan oleh amal perbuatan.”[16]

Diriwayatkan dari Imam Ali Al-Ridha as dari para leluhurnya bahwa Rasulullah SAW bersabda;

الإيمان قول مقول، وعمل معمول، وعرفان العقول.

“Iman adalah perkataan yang dikatakan, amalan yang diamalkan, dan pengetahuan akal.”[17]

Dari Imam Ali Al-Ridha as dari para leluhurnya bahwa Imam Ali as berkata;

“Iman adalah pengakuan dengan lisan, pengetahuan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota tubuh.”[18]


Iman yang “jujur” adalah iman yang membekas dalam kepekaan dan emosionalitas. Hal ini antara lain dikukuhkan dalam berbagai riwayat yang menjadikan cinta sebagai bagian dari iman atau agama, antara lain sebagai berikut;

Di riwayatkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadis as berkata;

لايمحض رجل الإيمان بالله حتّى يكون الله أحبَّ إليه من نفسه وأبيه وأُمّه وولده وأهله وماله، ومن الناس كلِّهم.

“Keimanan seseorang kepada Allah tidak akan murni sampai kecintaannya kepada Allah melebihi cintanya kepada diri, ayah, ibu, anak, keluarga dan hartanya, dan kepada semua orang.”[19]

Dari Fudhail bin Yasar dengan sanad yang sahih bahwa dia bertanya kepada Imam Jakfar Al-Shadiq as apakah cinta dan benci adalah bagian dari iman. Imam balik menyoal;

وهل الإيمان إلاّ الحبُّ والبغض؟

“Bukankah iman tak lain adalah cinta dan benci?”

Beliau lantas membacakan firman Allah SWT;

حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الاْيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ.

“… Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”[20]

Dari Said bin Yasar dengan sanad yang sahih bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

هل الدين إلاّ الحبّ ؟ ! إنَّ الله ـ عزَّوجلَّ ـ يقول : قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ.

“Bukankah agama tak lain adalah cinta? Sesungguhnya Allah Azza wa Jallah berfirman; Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu (QS. Ali Imran [3]: 31).’” [21]

Dari Rab’i bin Abdullah bahwa dia bertanya kepada Imam Jakfar Al-Shadiq as: “Biarlah jiwaku sebagai tebusanmu, sesungguhnya kami memberi nama sesuai nama-nama kalian (Ahlul Bait), apakah ini bermanfaat untuk kami?” Beliau menjawab;

إي والله، وهل الدين إلاّ الحبّ ؟ ! قال الله : ﴿… إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ.

“Ya, demi Allah, bukankah agama tak lain adalah cinta? Allah berfirman; Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu (QS. Ali Imran [3]: 31) .’”[22]

Diriwayatkan dari Buraid bin Muawiyah bahwa dia bercerita bahwa suatu hari saat dia bersama Imam Jakfar Al-Shadiq as tiba-tiba datang seorang pria dari Khurasan datang dengan berjalan kaki dalam keadaan dua kakinya terbungkus. Pria itu berkata, “Demi Allah, aku tidak datang kecuali karena kecintaan kepadamu, Ahlul Bait.” Imam as lantas berkata;

والله لو أحبَّنا حجر حشره الله معنا. وهل الدين إلاّ الحبُّ ؟ ! إنَّ الله يقول : ﴿قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ …﴾ وقال: ﴿ … يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ …﴾. وهل الدين إلاّ الحبُّ ؟

“Demi Allah, seandainya sebuah batu mencintai kami niscaya batu itu akan dikumpulkan Allah bersama kami. Bukankah agama tak lain adalah cinta? Sesungguhnya Allah berfirman; ‘Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu..’ Allah juga berfirman; ‘… mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin).’[23] Bukankah agama tak lain adalah cinta?”[24]

Dalil lain bahwa keimanan yang jujur atau sejati bergantung kepada cinta adalah firman Allah SWT:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَاد فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ.

“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”[25]

Penjelasan beserta nash atau teks-teks suci yang telah disebutkan di bagian-bagian sebelumnya bahwa cinta merupakan esensi dan ruh iman tentu tidak berarti kita cukup dengan hanya merasa mencintai Ahlul Bait as lalu mengabaikan berbagai kewajiban dan mengentengkan larangan sebagaimana yang difahami oleh banyak kalangan awam. Sebab, seandainya teks-teks suci itu berarti demikian maka para insan maksum menjadi tak ubahnya dengan menjerumuskan umat kepada maksiat, padahal mereka jelas-jelas merupakan pintu hidayah dan penyeru manusia agar menjauhi maksiat.

Dengan demikian, arti yang sebenarnya ialah bahwa jika keimanan seseorang mencapai level cinta dan merasuk dalam batin dan perasaan serta menjadi sesuatu yang mendarah daging maka dengan sendirinya dia akan menjauhi maksiat. Kecintaan kepada Ahlul Bait as meniscayakan ketaatan, bukan malah menjurus pada maksiat. Menurut beberapa riwayat, hal ihwal perbuatan kita akan sampai kepada Ahlul Bait as sehingga perbuatan buruk dan maksiat akan mengusik dan mengundang keprihatinan mereka. Karena itu, jika kita memang mencintai mereka maka tentu kita tidak akan bersedia mengusik mereka.

Diriwayatkan dari Samaah dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata; “Mengapa kalian mengusik Rasulullah SAW?” Seseorang lantas bertanya, “Bagaimana kita dapat mengusik beliau?” Imam menjawab;

أما تعلمون أنَّ أعمالكم تعرض عليه، فإذا رأى فيها معصية ساءه ذلك. فلا تسؤوا رسول الله، وسرُّو.

“Tidakkah kalian mengetahui bahwa amal perbuatan kalian ditunjukkan kepada beliau? Karena itu ketika beliau melihat ada maksiat di dalamnya maka hal ini mengusiknya, maka janganlah kalian mengusik Rasulullah, dan gembirakanlah beliau.”[26]

Allah SWT berfirman;

اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ…

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…”[27]

Diriwayatkan dari Yak’qub bin Syuaib bahwa dia bertanya kepada Imam Jakfar Shadiq as tentang ayat ini, dan imampun menjawab bahwa orang-orang mukmin yang dimaksud ada para imam maksum.[28]

Diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaffar bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

إن أعمال العباد تعرض على رسول الله (ص) كلَّ صباح : أبرارها وفجّارها، فاحذروا، فليستحي أحدكم أن يعرض على نبيّه العمل القبيح.

“Sesungguhnya amalan hamba-hamba ditunjukkan kepada Rasulullah SAW setiap pagi, baik mereka yang mulia maupun mereka yang keji, maka berhati-hatilah, kalian hendaknya malu karena perbuatan buruk ditunjukkan kepada Nabi.”[29]

Imam Mohammad Al-Baqir as berkata kepada Jabir;

يا جابر أيكتفي من ينتحل التشيُّع أن يقول بحبنا أهل البيت، فوالله ما شيعتنا إلاّ من اتّقى الله وأطاعه.

“Wahai Jabir, cukupkah orang yang terhubung dengan kami sebagai Syiah mengatakan mencintai kami? Demi Allah, bukanlah Syiah kami kecuali orang yang bertakwa dan mematuhiNya.”[30]

Keharusan mengubah iman menjadi cinta tak lain adalah demi meneguhkan kepatuhan kepada Allah SWT dan kerterjauhan dari maksiat, bukan justru untuk meremehkan perbuatan maksiat lantaran berharap mendapat syafaat. Hakikat ini terlihat dalam berbagai ayat dan riwayat tentang kecintaan yang komprehensif dan meliputi Allah SWT, Rasulullah SAW, Ahlul Bait, kaum mukmin, dan amal salih, antara lain sebagai berikut;

Mengenai cinta kepada Allah SWT, Dia berfirman;

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبّاً لِلّهِ.

“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”[31]

Mengenai cinta kepada Allah SWT, RasulNya, dan jihad yang merupakan salah satu amal salih, Dia berfirman;

… أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَاد فِي سَبِيلِهِ …

“… adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya…”[32]

Mengenai cinta kepada Ahlul Bait as, seperti yang telah disebutkan, Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;

والله لو أحبّنا حجر حشره الله معنا

“Demi Allah, seandainya sebuah batu mencintai kami niscaya Allah akan mengumpulkannya bersama kami.”[33]

Mengenai cinta kepada orang-orang yang beriman, Allah SWT berfirman;

… يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ …

“…mereka (Anshor) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin).”[34]

Mengenai cinta kepada ketaatan dan kebencian kepada maksiat, Allah SWT berfirman:

“حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الاْيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ…

“… Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan….”[35]

Terakhir, patut diingat bahwa “iman yang tidak jujur”, yakni iman yang tidak sesuai dengan amal perbuatan beresiko tercabutnya keimanannya itu sebelum mati. Diriwayatkan dari Al-Mufadhdhal Al-Ja’fi bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

انّ الحسرة والندامة والويل كلَّه لمن لم ينتفع بما أبصر، ومن لم يدر الأمر الذي هو عليه مقيم أنفع هو له أم ضر.

“Kerugian, penyesalan, dan celaka yang terbesar ialah bagi orang yang tidak mendapatkan manfaat dari apa yang dimengertinya, dan tidak mengetahui perkara yang dialaminya apakah bermanfaat atau merugikan baginya.”

Al-Ja’fi bertanya bagaimanakah cara membedakan antara orang yang selamat dan orang yang celaka itu.

Imam menjawab;

من كان فعله لقوله موافقاً، فأثبت له الشهادة بالنجاة، ومن لم يكن فعله لقوله موافقاً فإنّما ذلك مستودع.

“Yaitu orang yang perbuatannya sesuai dengan perkataannya, sehingga membuktikan bahwa syahadat menjadi keselamatan baginya, sedangkan orang yang perbuatannya tidak sesuai dengan perkataannya maka syahadat itu hanyalah titipan belaka.”[36]


Referensi:

[1] QS. Muhammad [47]: 20 – 21

[2] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 340, Bab Jihad Al-Nafs, hadis 45.

[3] Ibid, jilid 12, hal. 244, Bab 138, Ahkam Al-Asyrah, hadis 3.

[4] Bihal Al-Anwar, jilid 71, hal. 2.

[5] Ibid.

[6] QS. Al-Maidah [5]: 1.

[7] QS, Al-Isra’ [17]: 34.

[8] Al-Wasa’il, jilid 12, hal. 165, Bab 109 Ahkam Al-Asyrah, hadis 2.

[9] Ibid, hadis 3.

[10] Al-Wasa’il, jilid 12, hal. 279, Bab 152, Ahkam Al-Asyrah, hadis 2.

[11] Ibid, hal. 164, bab 109, Ahkam Al-Asyrah, hadis 1.

[12] QS. Muhammad {47]: 21.

[13] Nahjul Balaghah, Khutbah 193.

[14] Lihat Bihar Al-Anwar, jilid 69, hal. 19 dan seterusnya, Kitab Al-Iman wa Al-Kufr, bab 10, yang menegaskan bahwa amal baik merupakan bagian dari iman.

[15] Bihar Al-Anwar, jilid 69, hal. 73.

[16] Ibid, hal. 72.

[17] Ibid, hal. 62.

[18] Ibid.

[19] Bihar Al-Anwar, jilid 70, hal. 25.

[20] QS. Al-Hujurat [49]: 7.

[21] Bihar Al-Anwar, jilid 69, hal. 237.

[22] Ibid, jilid 104, hal. 130, dan jilid 27, hal. 95.

[23] QS. Al-Al-Hasyr [59]: 9.

[24] Bihar Al-Anwar, jilid 27, hal. 95.

[25] QS. Al-Taubah [9]: 24.

[26] Ushul Kafi, jilid 1, hal. 219.

[27] QS. Al-Taubah [9]: 105.

[28] Ushul Kafi, jilid 1, hal. 219.

[29] Bihar Al-Anwar, jilid 23, hal. 340.

[30] Ushul Kafi, jilid 2, hal. 74.

[31] QS. Al-Baqarah [2]: 165.

[32] QS. Al-Taubah [9]: 24.

[33] Bihar Al-Anwar, jilid 27, hal. 95.

[34] QS. Al-Hasyr [59]: 9.

[35] QS. Al-Hujurat [49]: 7.

[36] Al-Kafi, jilid 2, hal. 419.

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: