Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Pengorbanan

Pengorbanan

Written By Unknown on Minggu, 10 Desember 2017 | Desember 10, 2017


Allah SWT berfirman;

وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالاْيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلاَ يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”[1]

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْء فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ.

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”[2]


يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْماً كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيراً * وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لاَ نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلاَ شُكُوراً * إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْماً عَبُوساً قَمْطَرِيراً.

“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.”[3]


Pengorbanan (itsar) ialah mengutamakan orang beriman lainnya atas diri sendiri dalam hal harta, kenyamanan, dan berbagai kenikmatan lain yang dianugerahkan Allah SWT. Pengorbanan diri demi orang lain sangat ditekankan dalam berbagai ayat dan riwayat. Pengorbanan ini ada dua tingkatan dan kategori sebagai berikut;

Pertama, pengorbanan yang dilakukan dengan berat hati. Artinya, seseorang sebenarnya merasa berat berkorban untuk orang lain karena bagaimana juga dia lebih menyukai diri dan kepentingannya sehingga tidak mudah baginya untuk berbuat demi kepentingan orang lain. Sebab, kikir merupakan bawaan yang nyaris tak dapat dipisahkan dari diri manusia, sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT;

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.

“Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[4]


Sifat kikir seolah begitu melekat dalam diri setiap orang, tapi Allah memelihara dan menjaga sebagian orang dari sifat buruk ini, seperti disingguhnya dalam firmanNya;

… وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ …

“….walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir….”[5]


Pengorban demikian tergolong jihad melawan hawa nafsu sehingga pahalanya sangat besar di sisi Allah.

Kedua, pengorbanan dengan sukarela dan senang hati. Pengorbanan kategori ini lebih mulia sehingga lebih besar pahalanya daripada kategori pertama. Manusia tidak bisa melakukan pengorbanan sedemikian rupa kecuali setelah jiwanya terdidik dan tertempa dengan hebat sehingga jiwanya sedemikian bersih, tak ternodai lagi dengan sifat kikir, dan pada giliran sangat mudah dan dengan senang hati berkorban demi kepentingan orang lain yang membutuhkan pengorbanannya.

Berikut ini penjelasan mengenai ayat-ayat yang mengawali artikel ini. Mengenai ayat pertama, yaitu ‘..dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…” , ada yang menyebutkan bahwa ayat ini turun ketika umat Islam menang dalam perang melawan kaum Yahudi Bani Nadhir dan rampasan perang (ghanimah) dari merekapun sampai ke Rasulullah SAW.

Saat itu kaum Muhajirin lebih membutuhkan rampasan perang itu daripada saudara-saudara mereka dari kaum Ansar, karena Muhajirin di kota Madinah adalah pendatang yang berasal dari Mekkah sehingga tergolong apa yang disebut ibnu sabil, yaitu orang yang berada di perjalanan atau perantauan, sedangkan Ansar adalah penduduk setempat dan tinggal di rumah dan kampung halaman sendiri.

Karena itu Rasulullah SAW bersabda kepada Ansar;

إن شئتم قسَّمتم للمهاجرين من أموالكم ودياركم، وتشاركونهم في هذه الغنيمة، وإن شئتم كانت لكم دياركم وأموالكم ولم يقسّم لكم شيء من الغنيمة.

“Jika kalian berkenan maka silakan kalian membagikan sebagian harta dan tempat tinggal kalian kemudian kalian dapat berpartisipasi dalam rampasan perang ini. Dan jika kalian berkenan untuk tetap memiliki tempat tinggal dan harta benda kalian maka tak ada bagian untuk kalian dari rampasan perang ini.”


Kaum Ansar lantas berkata, “Kami bahkan rela memberikan sebagian harta dan tempat tinggal kami sekaligus mengorbankan (melepas) rampasan perang itu untuk mereka dan tidak berpartisipasi dalam pembagiannya.”

Maka turunlah ayat; “..dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…”[6]

Masih mengenai firman Allah “dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri..,.” ada pula yang menyebutkan bahwa ayat suci Al-Quran dalam surat Al-Hasyr [59]: 25 ini turun berkenaan dengan tujuh orang yang tercekik dahaga pada Perang Uhud. Saat itu tersedia air yang cukup hanya untuk salah seorang di antara mereka. Salah satunya menyilakan rekan-rekannya untuk meneguk tapi tak seorangpun mau menegaknya sehingga mereka semua mati kehausan. Allah SWT lantas memuji mereka dengan firman tersebut.[7]

Ada pula yang menyebutkan bahwa salah seorang sahabat mendapat hadiah berupa kepala hewan panggang karena dia telah bersusah payah untuk mendapatkannya. Tapi ternyata dia berkeliling menyilakan para tetangganya untuk ikut menikmatinya terlebih dahulu. Sebanyak sembilan orang ikut menikmatinya sehingga dia hanya mendapatkan sisanya, lalu turunlah ayat tersebut.[8]

Namun demikian, tafsiran pertama yang disebutkan di bagian pertama artikel inilah yang relevan dengan konteks ayat, sedangkan tafsiran-tafsiran lain bisa jadi sekedar penerapan atau pengulangan dalam tanzil.

Dalam riwayat dari Abu Hurairah disebutkan bahwa suatu hari seorang pria datang kepada Rasulullah SAW dan mengadu kepada beliau bahwa dia kelaparan. Beliau lantas menyuruhnya mendatangi rumah isteri-isterinya, namun mereka mengatakan tidak memiliki apapun kecuali air. Beliau lantas bertanya, “Siapa yang dapat membantu orang itu malam ini?” Imam Ali bin Abi Thalib as menjawab, “Saya akan membantunya, wahai Rasulullah.”

Imam Ali as lantas mendatangi isterinya, Fatimah Al-Zahra as, dan bertanya, “Apa yang kamu miliki, wahai putri Rasulullah?” Fatimah as menjawab, “Tidak ada apa-apa kecuali makanan jatah satu anak kecil, tapi biarlah kita korbankan demi tamu kita.” Imam Ali as berkata, “Wahai puteri Muhammad, tidurkanlah anak itu, matikanlah pelita supaya tamu itu mengira tuan rumah sudah makan.”

Dini hari kemudian Imam Ali as mendatangi Rasulullah saw dan memberitahu beliau ihwal kejadian itu, lalu turunlah ayat tersebut.[9]

Diriwayatkan dari Imam Jakfar Al-Shadiq as bahwa suatu hari Fatimah al-Zahra as berkata kepada suaminya, Imam Ali as, “Pergilah kepada ayahku dan mintalah sesuatu darinya.” Imam menjawab “ya” kemudian pergi mendatangi Rasulullah SAW, dan beliaupun memberinya uang 1 dinar. Namun, ketika keluar dari rumah Nabi SAW, Imam berjumpa dengan Miqdad bin Al-Aswad. Keduanya berdiri lama dan imam mendengar pengaduan Miqdad ihwal kesulitan yang dialaminya sehingga membutuhkan bantuan.

Imam lantas memberikan uang 1 dinar itu kepada Miqdad. Setelah itu Imam pergi ke masjid dan tertidur di dalamnya. Nabi SAW menunggu Imam tapi tak kunjung datang sehingga beliau mencari dan menemukannya dalam keadaan tertidur di masjid. Beliau membangunkannya hingga Imam duduk. Nabi SAW bertanya, “Apa yang kamu perbuat, wahai Ali?” Imam menjawab, “Wahai Rasulullah, Setelah keluar dari rumahmu aku ditemui Miqdad bin Al-Aswad lalu dia bercerita kepadaku panjang lebar, masya Allah, sehingga aku memberinya uang dinar itu.”

Nabi SAW bersabda;

أمّا إنَّ جبرئيل فقد أنبأني بذلك، وقد أنزل الله كتاباً فيك : ﴿… وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾.

“Jibril telah memberitahuku tentang ini, dan Allah telah menurunkan suatu ayat berkenaan denganmu; ‘…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.’”[10]

Selanjutnya adalah penjelasan mengenai ayat kedua yang disebutkan di bagian pertama artikel ini, yaitu;

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ…

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai…” [11]

Kebajikan yang dimaksud bisa jadi adalah “perbuatan baik” sehingga berarti bahwa manusia tidak bisa mencapai perbuatan baik sampai dia menafkahkan sebagian harta yang disukainya. Bisa juga berarti “pahala kebajikan” sehingga berarti bahwa manusia tidak akan bisa meraih besarnya pahala kebajikan sebelum dia menafkahkan sebagian dari apa yang disukainya. Tafsiran pertama tampaknya lebih relevan.

Ayat ini membuat pengecualian sedemikian rupa, yakni bahwa manusia tidak bisa berbuat kebajikan kecuali jika bersedia memberikan kepada orang lain sebagian harta yang dicintainya, karena nilai perbuatan ditimbang dari kadar pengorbanannya, sedangkan pengorbanan adalah menginfakkan apa yang disukainya, bukan apa yang tidak disukainya.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa firman Allah “…dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. ….”[12] berkenaan dengan suatu kasus atau peristiwa yang dialami Ahlul Bait as, meskipun di saat yang sama menghasilkan norma dan hukum yang berlaku umum. Dalam Al-Quran juga terdapat ayat-ayat sedemikian rupa antara lain sebagai berikut;

Pertama, Allah SWT berfirman;

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ.

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan mereka dalam keadaan ruku’”[13]

Banyak orang mendirikan shalat dan ruku’, namun peristiwa orang berzakat ketika sedang ruku’ jelas kejadian langka yang terjadi karena faktor kebetulan, dan peristiwa ini diketahui hanya berkenaan dengan Imam Ali as tanpa ada kontradiksi antara suatu kejadian kongkret dan perkara yang berlaku umum berupa penekanan atas shalat, zakat, dan ruku’. Adapun tafsiran bahwa ruku’ yang dimaksud adalah ketundukan karena ruku’ merupakan ekspresi ketundukan jelas merupakan tafsiran majazi (metafora) yang berlawanan dengan dhahir ayat.

Maka tepatlah kiranya Hassan bin Tsabit bersyair tentang Imam Ali as antara lain;

فأنتَ الذي أعطيتَ إذ كنتَ راكعاً *** فدتكَ نفوسُ القومِ يا خيرَ راكعِ

“Engkaulah yang memberi di saat ruku, maka biarlah jiwa semua orang berkorban demimu wahai sebaik-baik orang yang ruku’.”[14]

Kedua, Allah SWT berfirman;

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ …

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia…”[15]

Dalam ayat ini terdapat pertemuan tiga hal yang menunjukkan pengangkatan imam Ali sebagai wali amr bagi umat Islam;

Pertama, apa yang diperintahkan kepada Nabi SAW agar disampaikan kepada umat adalah perkara yang berat untuk segera beliau laksanakan sehingga terjadi suatu peristiwa langka di mana Allah SWT memberikan suatu penegasan sedemikian rupa.

Kedua, perintah ini disertai peringatan bahwa jika beliau tidak menyampaikan risalah yang diturunkan itu maka beliau tak ubahnya dengan tidak menyampaikan semua risalah lain atau serangkaian ajaran yang telah beliau sampaikan sebelumnya.

Ketiga, Allah SWT berjanji melindungi beliau dari gangguan orang yang beliau kuatirkan berkenaan dengan pengangkat Imam Ali as sebagai penerus beliau.

Sekarang mari kita kembali ke tema pengorbanan. Diriwayatkan dari Jamil bin Darraj bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

خياركم سمحاؤكم، وشراركم بخلاؤكم. ومنْ خالص الإيمان البرّ بالإخوان، والسعي في حوائجهم; فإن البارّ بالإخوان ليحبّه الرحمان، وفي ذلك مرغمة للشيطان، وتزحزح عن النيران، ودخول الجنان. يا جميل أخبر بهذا غرر أصحابك.

“Orang terbaik kalian adalah yang santun di antara kalian, dan orang terkeji kalian adalah yang kikir di antara kalian. Dan di antara yang tulus beriman adalah yang berbaik kepada saudara-saudaranya dan berusaha (membantu memenuhi) kebutuhan mereka. Sesungguhnya orang yang baik kepada saudara-saudaranya pastilah dicintai Sang Maha Pengasih, dan yang demikian itu menghinakan syaitan, menjauhkan dari neraka, dan memasukkan ke dalam surga. Wahai Jamil, sampaikan kabar ini kepada para sahabat muliamu.”

Jamil bertanya, “Biarlah aku menjadi tebusanmu, siapakah para sahabat muliaku?” Beliau menjawab;

“Mereka adalah orang-orang yang berbuat baik kepada saudara-saudaranya dalam keadaan susah maupun lapang. Wahai Jamil, orang memiliki banyak harta mudah berbuat demikian, karena itu Allah Azza wa Jalla memuji orang yang memiliki sedikit harta namun berbuat demikian. Dalam kitab sucinya Dia berfirman; “Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.’”[16]


Referensi:

[1] QS. Al-Hasyr [59]: 25.

[2] QS. Ali Imran [3]: 92.

[3] QS. Al-Insan [76]: 7 – 10.

[4] Al-Taghabun [64]: 16.

[5] QS. Al-Nisa’ {4]: 128.

[6] Majma’ Al-Bayan, jilid 9, hal. 430.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Tafsir Al-Burhan, jilid 4, hal. 317.

[10] Ibid, hal. 317 – 318.

[11] QS. Ali Imran [3]: 92.

[12] QS. Al-Insan [76]: 7 – 10.

[13] QS. Al-Maidah [5]: 55.

[14] Bihar Al-Anwar, jilid 35, hal. 197.

[15] QS. Al-Maidah [5]: 67.

[16] Tafsir Al-Burhan, jilid 4, hal. 317.

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: