Tulisan ini hasil catatan perjalanan seorang jurnalis Inggris ke Tepi Barat, Palestina. Ia menuliskan testimoni yang menegaskan ketidakadilan Israel terhadap orang-orang Arab.
Tepatnya 100 tahun telah berlalu sejak Menteri Luar Negeri Inggris Arthur J. Balfour mengirimkan surat yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour kepada Walter Rothschild. Isinya berupa janji bahwa Inggris akan membantu menciptakan “tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi” di Palestina.
Tidak dilupakan pula bahwa Perdana Menteri saat ini Theresa May mengatakan bahwa Deklarasi Balfour adalah “salah satu surat paling penting dalam sejarah”. Kemudian hanya butuh waktu sekitar tiga dekade hingga dideklarasikan “Negara Israel”. Tak mengherankan jika Benjamin Netanyahu sampai terbang ke London untuk merayakan ulang tahunnya.
Jadi, bisa dimengerti para pemimpin politik Palestina tidak diundang, apalagi sampai diajak berkonsultasi. Namun, ini adalah sebuah kesalahan. Setidaknya demikian penilaian Peter Oborne, seorang blogger kolumnis.
Oborne adalah jurnalis yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai kolumnis lepas (Freelancer of the Year) dalam Online Media Award (2016) lewat artikel yang ditulisnya di Middle East Eye. Sebelumnya, ia memenangkan penghargaan Columnist of the Year dalam ajang penghargaan British Press Awards (2013).
Menurut Oborne, Deklarasi Balfour tidak hanya janji untuk memberikan tanah air bagi orang Yahudi. Isinya juga janji untuk “tidak melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina”. Apakah janji tersebut dipenuhi? Oborne sampai menyempatkan diri terbang ke wilayah yang diduduki Israel dan Tepi Barat untuk mencari tahu lebih dalam. Berdasarkan pengamatan mantan kepala kolumnis the Daily Telegraph (mengundurkan diri pada 2015), perlakuan terhadap orang-orang Palestina yang ia saksikan tidak hanya secara fisik merendahkan mereka. Hal tersebut juga secara moral merendahkan orang-orang Israel.
Foto: Oborne mewawancarai Abdurrahim Bisyarat, seorang pemimpin Badui Arab di Tepi Barat (Foto: MEE)
Hebron (Al-Khalil): Kota yang tertutup bagi orang-orang Palestina
Peter Oborne coba pergi ke kota Hebron di Tepi Barat, sekitar satu jam perjalanan ke selatan Yerusalem. Ketika ia mengetik “Hebron” ke Waze (aplikasi yang setara dengan Google Maps), sebuah peringatan muncul: “Tujuan ini adalah daerah berisiko tinggi atau dilarang secara hukum oleh Israel.”
Para pemukim Israel, bagaimanapun, menempati area rumah di atas pasar kuno, di mana mereka dijaga oleh pasukan Israel. Tentara-tentara ini—Oborne kira setidaknya seorang tentara dari tiap pemukim—berdiri dengan tenang saat para pemukim tersebut melecehkan, menganiaya, dan menyerang penduduk setempat.
Warga Palestina mengatakan bahwa baru saja pagi itu seorang pemukim bertopeng menyerang dua anak berusia 10 dan 11 tahun di jalanan. Oborne diberitahu bahwa tentara tidak berusaha untuk melakukan intervensi.
Insiden semacam itu, kata penduduk setempat, biasa terjadi. Pernah, pada bulan Oktober 2015, mahasiswi bernama Dania Ersheid dari Hebron ditembak mati di sebuah pos pemeriksaan. Usianya baru 17 tahun.
Menurut Breaking the Silence—sebuah LSM yang merilis kesaksian veteran tentara Israel yang pernah bertugas di wilayah yang diduduki—terdapat hubungan pribadi yang erat antara pemukim Yahudi dan militer. Ini masih dikombinasikan dengan fakta bahwa para pemukim Israel secara hukum bertanggung jawab bukan kepada tentara, tetapi polisi. Bisa diartikan bahwa tentara sering tidak melakukan apapun untuk melindungi orang Palestina dari kekerasan pemukim.
Tentara Israel telah menciptakan sebuah kota hantu di beberapa bagian kota tua Hebron. Pada bulan Juli 2017, ketika Komite Warisan Unesco memberi “status warisan” bagi daerah-daerah ini, timbul kemarahan dari pihak Israel.
Pasar kuno terutama ditutup karena “alasan keamanan”. Lebih dari 1.000 rumah telah dikosongkan dan lebih dari 1.300 toko tutup. Oborne menyusuri daerah yang sepi ini. Tampak slogan-slogan seperti “Hevron Yehudit”—“Hebron adalah Yahudi”—tertulis di dinding. Bintang David disemprotkan di pintu banyak toko. Nama-nama jalan telah diubah dari penyebutan orang-orang Palestina menjadi berbahasa Ibrani.
Sampailah Oborne di Masjid Ibrahimi, yang dikenal orang Yahudi sebagai “Makam Para Leluhur”, di mana diperkirakan Ibrahim, Ishaq, Sarah, Ya’qub, dan Leah dimakamkan. Inilah salah satu situs keagamaan yang dipandang paling penting di dunia.
Tempat ini juga menandai “titik temu” antara Muslim, Yahudi, dan Kristen. Oborne sendiri menegaskan penghayatannya sebagai seorang Kristen “yang menyembah Tuhannya Ibrahim”. Menurutnya, jika ajaran agung ketiga agama besar dihayati, maka penganutnya perlu berkumpul di atas situs tersebut.
Namun, ada garis tak terlihat di jalanan luar sana, yang tampaknya tidak boleh dilewati oleh orang Palestina. Terlihat seorang wanita Palestina yang sepertinya berjalan “terlalu jauh” di jalanan. Seorang tentara pun menanyainya, “Apakah kamu Muslim?”
Jika di dalam situs terbagi-bagi (dipartisi), demikian pula halnya dengan wilayah Palestina yang diduduki. Sepertiga disisihkan untuk Muslim dan dua pertiga disisihkan untuk orang Yahudi.
Partisi tersebut dibangun setelah pada tahun 1994, ketika seorang pemukim Israel bernama Baruch Goldstein, yang bermigrasi dari Amerika Serikat, masuk ke kompleks masjid dengan darah dingin dan menembak mati 29 Muslim dengan senapan mesin. Lebih banyak lagi yang terbunuh di luar rumah sakit oleh tentara Israel di tengah demonstrasi.
February 1994: Setelah peristiwa pembantaian di “Makam Para Leluhur”, dekat Masjid Ibrahimi di Hebron. (Foto: AFP)
Tak jauh dari kompleks Masjid Ibrahimi terdapat museum kecil. Ketika Oborne memasukinya, ruangan itu tampak kosong dan tanpa pengawasan. Ia pun memangil-manggil.
Keluarlah seorang wanita dari ruang belakang dan mengantarkan Oborne berkeliling. Ruang pertama didedikasikan untuk kehadiran orang Yahudi kuno di Hebron. Yang kedua berkonsentrasi pada peristiwa yang disebut “pembunuhan orang Yahudi oleh orang Arab” pada tahun 1929, yang menjadi bagian dari ketegangan yang lebih luas terkait akses ke Tembok Ratapan di Yerusalem. Ruang kedua tersebut berisi foto-foto kontemporer yang tampak mengerikan dan gamblang serta kesaksian tentang kekejaman, di mana 69 orang Yahudi terbunuh.
Museum ini membantu Oborne untuk memahami kepastian moral dan kemutlakan religius yang dirasakan oleh para pemukim Yahudi bahwa Hebron adalah milik mereka. Di mata mereka adalah orang Arab, bukan orang Yahudi, yang merebut kekuasaan. Ketika beranjak pergi, Oborne berkata kepada pemandunya betapa ia terharu dengan kesaksian tentang kekejaman pada tahun 1929.
Namun, Oborne coba mempertanyakan mengapa museumnya juga tidak menandai pembunuhan Goldstein terhadap orang-orang Arab pada tahun 1994. Wanita tadi menjawab bahwa hal tersebut tidak bisa dibandingkan. Secara subjektif ia menilai bahwa pembunuhan orang Yahudi pada tahun 1929 dilakukan secara sistematis, sedangkan ia menyebut Goldstein sebagai individu gila yang bertindak sendiri.
Setelah itu Oborne berkendara ke dekat pemukiman Qiryat Arba, tempat Goldstein dimakamkan. Seorang penjaga mengangguk di pintu masuk.
Pihak berwenang Israel pernah menghancurkan sebuah makam dan tempat shalat yang dibangun setelah Knesset Parlemen Israel mengeluarkan sebuah undang-undang yang melarang monumen bagi teroris. Namun, kali ini terlihat kuburan dan plakat dengan ukiran.
Oborne pun menemukan kuburan di balik deretan toko di taman publik. Tampak prasasti berbahasa Ibrani yang berbunyi: “Kepada Baruch Goldstein yang suci, yang menyerahkan hidupnya untuk orang-orang Yahudi, Taurat, dan bangsa Israel.” Di samping kuburan, sebuah wadah kaca berisi dua lilin dan beberapa bekas korek api. Secara individual para pelayat juga meletakkan banyak batu kecil; bagian dari tradisi berkabung Yahudi.
Kemudian Oborne berjalan kembali ke toko-toko dan mencoba berbicara dengan pemukim. Sebagian besar bekerja di militer atau kepolisian. Dengan sopan mereka menolak untuk menjawab pertanyaannya.
Akhirnya ia menemukan seorang wanita yang mengatakan bahwa ia mengenal Goldstein. “Ia dokter saya,” kata wanita tersebut. “Ia adalah pria hebat. Ia adalah orang luar biasa yang merawat orang-orang Arab dan Yahudi.”
Wanita tersebut mengatakan bahwa dirinya berasal dari Amerika Serikat dan pindah ke Qiryat Arba saat kecil, dan ia “menentang kekerasan di kedua belah pihak”. Adapun mengenai Goldstein, ia merasa, “Ada sesuatu yang mendorongnya. Ada banyak kekerasan di kedua pihak saat itu.”
Namun, wanita itu bersikeras bahwa tidak ada yang “simbolis” terkait makam Goldstein di Qiryat Arba. Dia dikuburkan di pemukiman, katanya, karena ia tidak bisa dikuburkan di dekat Hebron.
Perlu sedikit imajinasi untuk mengukur bagaimana orang Israel akan bereaksi jika seorang Palestina yang telah menembak mati 29 orang Yahudi dengan darah dingin diberi tempat peristirahatan yang sangat penting di sebuah kota atau desa di Tepi Barat.
Perlu pula diingat bahwa banyak pejuang Palestina yang gugur ketika melakukan serangan terhadap pihak Israel, yang dikuburkan secara rahasia dengan makam yang tidak disebutkan namanya (tetapi nomornya). Ini berarti bahwa keluarga pejuang yang meninggal tidak dapat mengunjungi orang yang mereka cintai.
Namun, teroris religius dan pembunuh massal Goldstein tampak “beristirahat dengan damai” di tempat terhormat, di pemukiman Israel, tempat di mana ia tinggal. Ini hanyalah salah satu contoh standar ganda di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Terhadap orang-orang Palestina, Israel menerapkan hukum militer. Adapun status pemukim Yahudi adalah warga negara Israel, dengan semua perlindungan hukum sipil.
Sekolah, rumah, dan harapan warga Palestina yang dihancurkan
Ketika Peter Oborne mengunjungi Palestina 10 tahun yang lalu dengan kelompok lobi Conservative Friends of Israel, pemandunya menggambarkan para pemukim Yahudi sebagai para pria dan wanita liar yang bertindak independen dari pemerintah dalam mengejar visi keagamaan khusus.
Oborne dengan jujur mengakui bahwa sebelum kunjungannya ke Tepi Barat pada Oktober 2017 yang lalu, ia sepenuhnya gagal untuk memahami sejauh mana pemukim telah menjadi bagian dari perangkat dasar negara Israel.
Ada investasi kolosal di bidang infrastruktur, jalan, layanan dan keamanan bagi pemukim. Sementara fasilitas dasar dan keamanan dasar dilarang bagi orang-orang Palestina atau—mungkin—karena Deklarasi Balfour mendefinisikan mereka sebagai “komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina”.
Di Tepi Barat, “komunitas non-Yahudi” tersebut rentan terhadap penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Rumah mereka dibongkar tanpa peringatan. Mereka menjalani kehidupan yang terlunta-lunta dan dipaksa tunduk kepada kehendak otoritas yang tidak dapat diakses dan secara garis besar memusuhi, tanpa hak-hak yang melekat sebagai warga negara.
Pos pemeriksaan bahkan membuat perjalanan singkat terasa melelahkan, sulit diprediksi, dan sering kali gagal. Hidup warga Palestina didedikasikan untuk tetap mempertahankan tanah mereka, sementara para pemukim Yahudi terus berusaha untuk menjauhkan mereka.
Oborne pun mencoba menemui Abdurrahim Bisyarat, seorang kepala suku Badui yang tinggal di Al-Hadidiya, sebuah perkemahan bukit yang terisolasi di atas Lembah Yordan. Bisyarat, 67, menceritakan kepada Oborne bagaimana tentara Israel telah menyita ternaknya, menembaki hewan-hewannya dari jip dan bahkan helikopter, serta berulang kali membuldozer rumahnya. Pada satu fase mereka menyerang tenda 32 kali hanya dalam rentang waktu 16 hari, katanya.
April 2016: Seorang pria Badui berdiri di samping puing-puing rumahnya yang dihancurkan oleh traktor tentara Israel di Khirbat Tana, dekat Bait Furik, Tepi Barat. (Foto: AFP)
Saat Oborne mewawancarainya, Shumud, putri Bisyarat yang berusia 10 tahun, menyuguhkan teh. Dalam bahasa Arab, namanya bermakna “keteguhan hati”, dan ia lahir saat buldozer Israel menghancurkan perkemahan tersebut.
Pendidikan Shumud menjadi persoalan. Bisyarat mengatakan kepada Oborne bagaimana ketika ia membangun sebuah sekolah untuk kemudian dihancurkan oleh tentara Israel. Ia pernah mencoba membangun taman kanak-kanak hingga akhirnya hancur.
Dengan rasa berat orang-orang Badui memutuskan untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah yang berjarak beberapa kilometer jauhnya. Ini berarti harus memperbaiki jalur dari perkemahan ke jalan utama. Namun, ketika itu coba dikerjakan, orang-orang Israel pun menghancurkan pekerjaan mereka.
Orang-orang Israel tampaknya mengerahkan segala untuk menghancurkan kehidupan orang-orang Badui. Itu berarti mengusir mereka dari tanah mereka. Maknanya penghancuran rumah dan ternak. Juga berarti mencegah mereka dari akses terhadap air.
Secara tradisional Sungai Yordan telah menjadi sumber air utama mereka, tetapi orang Badui tersebut ditolak aksesnya karena sungai tersebut merupakan zona militer. Orang-orang Badui biasa mengambil air dari sungai.
Namun, orang-orang Israel menggali sumur-sumur artesis yang dalam untuk mengakses pasokan air bawah tanah sehingga arus sungai-sungai tersebut benar-benar kering. Sekarang mereka harus membeli air dari orang-orang Israel yang sama, yang menyedot pasokan air dari mereka.
Syekh pemuka Badui mengatakan bahwa ketika pendudukan Tepi Barat dimulai pada tahun 1967, perkemahannya beranggotakan sekitar 300 keluarga dengan 2.000 jiwa. Kini, hanya tinggal 16 keluarga yang tersisa atau hampir 100 orang saja.
“Beberapa telah menjual domba mereka dan menjadi pekerja di permukiman,” katanya kepada saya. “Yang lainnya menganggur. Sepanjang waktu kami dikejar dan diusir dari satu daerah ke daerah lainnya.” Intinya, orang-orang Israel ingin memindahkan orang Arab Badui ke kota—yang sering disebut township—serta mengakhiri cara hidup tradisional mereka yang nomaden.
Ada paradoks mendalam yang telanjang di sini. Orang-orang Israel menerapkan sistem hukum sewenang-wenang mereka sendiri di Tepi Barat, sementara pendudukan Israel itu sendiri ilegal menurut hukum internasional. (Lihat: https://www.un.org/press/en/2016/sc12657.doc.htm).
Memang, orang-orang Yahudi mengklaim tanah air nasional yang dijanjikan oleh Inggris seabad yang lalu. Namun, pengabaian terhadap warga Palestina pada perayaan 100 Tahun Deklarasi Balfour di Roma dengan mengesampingkan orang-orang Palestina—di mata Oborne—sangat tidak tepat.
Meski Oborne juga meyakini perlunya sebuah negara bagi orang-orang Yahudi, tetapi ia juga percaya bahwa pengabaian yang tercela tersebut mungkin lebih merusak orang-orang Israel daripada orang Palestina sendiri. Dalam perspektif Oborne, ini adalah pengkhianatan terhadap visi idealis dan manusiawi yang mendorong terbentuknya “Negara Israel” lewat Deklarasi Balfour.
(Middle-East-Eye/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar