KH. Abdul Moqsith Ghazali
Belakangan terjadi pertarungan antara ustadz wahabi dan ustadz sunni. Para ustadz wahabi rajin membid’ahkan hampir seluruh amaliah umat Islam ahlus sunnah waljamaah Indonesia. Tahlilan, yasinan, muludan, dzikir nyaring, tarekat,.. disebutnya sebagai bid’ah yang sesat.
Sempoyongan ustadz-ustadz seleb berhaluan sunni menangkis serangan ustadz wahabi. Sebab, secara keilmuan, kedalaman keilmuan Islam ustadz seleb memang jauh di bawah ustadz wahabi. Ustadz seleb rata-rata tak menguasai turats Islam dengan baik.
Gagap menghadapi serangan kaum wahabi, muncullah ustadz fenomenal berhaluan sunni. Ia cakap bicara mengenai sejarah Islam dan hadits Nabi. Dia memukul balik kaum wahabi dengan mengutip sumber-sumber otoritatif dalam Islam.
Seperti yang lain, saya termasuk yang mengapresiasi ketangkasan yang bersangkutan dalam merespons serangan kaum wahabi. Dakwahnya berhasil mendapat dukungan besar dari publik Islam. Di tengah applause panjang umat Islam, kepercayaan diri sang ustadz menaik tajam. Dia tak hanya menyerang wahabi tapi juga syiah.
Rupanya tak cukup di situ, dia masuk membelah NU antara NU garis lurus dan sebaliknya. Dan baginya hanya ada tiga tokoh di NU yang layak jadi rujukan dan tiga-tiganya berasal dari NU garis lurus itu. Padahal dia pasti tahu bahwa tidak ada organisasi NU garis lurus itu. Dan menyebut hanya ada tiga tokoh muda NU yang layak menjadi rujukan, dia seperti mendegradasi sisanya, yaitu para kiai sepuh NU.
Sebelum semuanya terlambat, ustadz muda ini perlu mulai berfikir strategis. Bedakan antara kawan seiring seperjuangan dan mana “lawan” yang menjadi sasaran. Jika peluru diarahkan ke seluruh penjuru mata angin, saya mengkhawatirkan bukan hanya si ustadz akan kehabisan peluru, tapi juga tak kuat menangkis serangan dari berbagai kalangan.
Sabtu, 30 Desember 2017
Salam,
Abdul Moqsith Ghazali
(Serambi-Mata/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar