Puluhan tahun kebijakan politik luar negeri AS di dunia Arab memberikan alasan bagi bangsa Arab untuk menganut anti-Amerikanisme. Pengakuan Amerika atas Yerussalem sebagai ibukota Israel adalah hal terakhir yang meledakkan kemarahan mereka.
Sejak pecahnya jihad global, para analis AS berkutat mencari jawaban yang tepat terhadap pertanyaan obsesif Amerika, “Mengapa mereka membenci kita?”
Saking inginnya mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini, banyak pengamat Amerika mengamati dunia arab secara khusus dan Muslim secara umum. Keduanya dianggap akar dari kebencian, ekstrimisme, dan eksklusivitas dalam beragama.
Pilar kebijakan luar negeri AS
Pengumuman Donald Trump yang menyetujui Yerussalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedubes AS ke kota tersebut bisa jadi adalah hal terakhir dari daftar panjang alasan yang memupuk kebencian ini, yang pada kenyataannya tidak ada hubungannya dengan emosi, namun berhubungan dengan penolakan dan ketidaksetujuan terhadap kebijakan luar negeri AS di dunia Arab.
Kebijakan luar negeri AS memiliki dua tonggak utama:
Pertama, dukungan mutlak terhadap Israel secara finansial dan militer, yang telah dilakukan secara konsisten sejak berdirinya Irael di tahun 1948. Dukungan terhadap Israel menjadi tanggung jawab moral bagi setiap presiden AS dan pemerintahannya.
Pemerintahan AS terlalu fokus untuk melihat dari sudut pandang Israel saja, dan tidak bisa melihat buruknya sisa-sisa hasil penjajahan, ataupun cerita dari sisi Arab.
Kedua, meski memuji Demokrasi yang katanya berkembang di Israel, AS tetap terus menerus mendukung diktator Arab, dari Kairo hingga ke Riyadh. Seperti Israel, diktator seperti ini seakan didewakan, menerima jutaan dolar bantuan AS dan dilayani dengan arsenal militer yang tidak melindungi rakyat AS, ataupun kepentingan mereka di area tersebut.
Seluruh politik adalah lokal
Meski dua tonggak kebijakan AS tersebut tetap tidak berubah, dalam tingkatan sosial, ribuan pemuda Arab ingin pindah ke AS untuk mendapatkan pendidikan, melarikan diri dari banyaknya perang yang terjadi di dunia Arab — yang dilakukan dengan Israel sebagai partner, dan memulai hidup baru bersama keluarga mereka.
Sebagian berhasil memenuhi impiannya. Namun sebagian yang lain menghadapi kecurigaan, kebencian rasis, _Islamophobia_, dan yang paling baru adalah larangan masuk disertai dengan interogasi yang buruk dan perendahan martabat di Bandara.
Bagi orang Arab, tidak perlu waktu lama untuk menerangkan mengapa mereka menolak kebijakan luar negeri AS. Dua alasan sudah cukup. Namun bagi orang Amerika, penting untuk memahami bahwa pemerintah mereka telah memberi orang Arab banyak alasan untuk membenci kebijakan luar negeri mereka.
Anti-Amerikanisme bukan sekadar sentimen, namun tentang posisi politik. Mengakui Yerussalem sebagai ibukota Israel adalah alasan terakhir yang meledakkan amarah mereka.
Mahasiswa Ilmu Politik telah diajarkan dari hari pertama bahwa pondasi paling penting dalam kebijaan luar negeri adalah audiens domestik. Mahasiswa diajarkan bahwa seluruh politik adalah lokal. Bagi Amerika pun berlaku demikian.
Dukungan AS terhadap Israel terus konsisten, dengan berbagai metode dan jurusnya. Beberapa presiden mempromosikan kedamaian dan keluar dari konfrontasi, sementara yang lain memilih jalan perang dengan intervensi militer dan strategi perubahan rezim di dunia Arab. Pendudukan Irak di tahun 2003 bukan karena AS mencabut dukungannya pada diktator ataupun meletakkan dukungan militernya untuk menjatuhkan diktator Arab.
AS secara strategis memilih Saddam Hussein. Sejak tahun 1980an, ia adalah orang yang terpilih untuk mengalahkan mullah Iran di Tehran dalam perang panjang dan berdarah-darah atas nama AS dan otokrasi sekutu teluk.
Imperium Yang Angkuh
Invasi Irak adalah sebuah kesombongan imperial. Imperium yang terluka, secara tidak terduga mendapat tamparan keras pada jantung finansialnya melalui serangan 9/11. Ia berusaha mati-matian untuk mengembalikan citranya dan menunjukkan kekuatannya setelah disengat oleh lebah yang sebelumnya menjadi sekutu di Afghanistan satu dekade sebelumnya.
Presiden Bush ingin memberi pelajaran. Dia memilih Baghdad.
Presiden AS lain, seperti Barack Obama, mundur dan memilih manajemen konflik di dunia Arab stelah ia mendapat pelajaran keras di Afghanistan dan Irak.
Tetapi Trump memilih untuk kembali ke jalur konfrontasi. Ia memilih Yerussalem, simbol dari perjuangan Palestina untuk merdeka dari pendudukan, di saat di mana ia merasa Arab akan merespon dengan enteng, tidak efektif dan tidak akan memberi masalah bagi Washington maupun Israel.
Trump dan menantunya Jared Kushner telah mengamankan keterlibatan Riyadh meskipun Raja Salman membuat keributan dengan pernyataannya tentang Yerussalem.
Sang Raja mengulang kembali bahwa orang Palestina memiliki hak terhadap Yerusalem timur, sebuah wilayah yang berada di bawah dominasi penuh Israel, kekuatan pendudukan yang secara sistematis menghancurkan rumah-rumah Palestina dan mengusir penduduknya, sehingga membuat kota tersebut paling kaya di Israel, karena pajak dan denda yang sangat tinggi yang dibebankan pada orang-orang Yerusalem.
Dalam konteks di mana setiap laporan menunjukkan bahwa Arab Saudi dan negara teluk lain sedang menjalani proses normalisasi dengan Israel dalam masalah ekonomi dan keamanan, sulit untuk menganggap serius pernyataan sang Raja.
Sebagai negara satelit terdekat denagn Saudi, Bahrain mengirimkan delegasi ke Yerusalem yang terdiri dari sejumlah personel, termasuk Ulama Syiah bersurban, untuk menunjukkan itikad baik. Beberapa orang Saudi telah mengunjungi Israel dan bertemu dengan para pejabat di sana. Para presiden negara Arab lain juga terpaksa membuat keributan yang sama tentang Yerusalem.
Negara predator
Gerakan Trump yang nekat namun terprediksi ini telah diumumkan dalam kampanye pemilihannya. Yahudi dan evangelis bukan alasan yang meyakinkan di balik keputusan tersebut, karena presiden-presiden AS sebelumnya tidak memiliki rasa berutang budi terhadap lobi-lobi tersebut namun tetap mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada Israel.
Trump berani melakukan apa yang ditunda oleh Presiden sebelumnya.
Jadi, dukungan konsisten AS terhadap negara predator semacam Israel, dan sokongan tanpa syarat atas “beberapa kejahatan yang mereka tahu” adalah sebab pertama dan terakhir dari anti-amerikanisme yang kita sebut sebagai kebencian.
Lobi Yahudi dan evangelis sama sekali tidak cukup untuk menerangkan blunder Trump yang terakhir.
AS perlu paradigma baru untuk menghadapi dunia Arab dengan cara yang tidak menambahkan kehinaan pada luka yang sudah menganga. Namun sepertinya tidak mungkin sebuah imperial yang sedang mengalami kemunduran dalam dunia multipolar mampu membuat perubahan paradigma yang diinginkan.
Mengenali Yerusalem sebagai ibukota Israel adalah simptom dari kemunduran imperial yang beralih kepada keputusan yang tidak menentu (random) dan provokatif, pola yang mirip dengan apa yang kita saksikan di hari-hari terakhir kehancuran Roma.
(Middle-East-Eye/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar