Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Bekas Qadhi Besar Mazhab Sayfi’i Halab, Syria, Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki: Ini Sebabnya Aku Memilih Syiah (Part 8)

Bekas Qadhi Besar Mazhab Sayfi’i Halab, Syria, Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki: Ini Sebabnya Aku Memilih Syiah (Part 8)

Written By Unknown on Jumat, 16 Februari 2018 | Februari 16, 2018


Oleh: Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki

Nash-nash tentang Dua Belas Khalifah Pasca Nabi Muhammad saw

Jumhur ulama Islam, para imam hadis dan sejarah, dari kalangan Ahlus Sunnah dan Syi’ah telah meriwayatkan hadis tentang dua belas khalifah dalam kitab-kitab sahih dan musnad mereka dengan jalur yang berbeda-beda.

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan di dalam Musnad-nya dari asy-Sya’bi dari Masruq yang berkata, “Kami pemah duduk-duduk dalam majelis ‘Abdullah bin Mas’ud, ia mengajarkan al-Qur’an kepada kami. Tiba-tiba ada seorang pria yang berkata kepadanya, “Wahai Aba ‘Abdurrahman, apakah kalian telah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang berapa khalifah yang dimiliki oleh umat ini?”

Maka, ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Tidak ada seorang pun yang bertanya kepadaku tentang hal itu sejak aku datang ke Irak.” Kemudian ia berkata, ‘Ya, kami telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw, lalu ia menjawab, “Dua belas, seperti bilangan pemimpin Bani Israil.”

Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan hadis tersebut dengan jalur yang lain.[139]

Ia juga meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Jabir bin Samurah yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda pada Haji Wada’, Agama ini senantiasa akan mengalahkan orang yang memusuhinya dan orang yang menentangnya tidak akan membahayakannya sehingga berlalu dua belas pemimpin dari umatku, semuanya berasal dari Quraisy.175

Muslim meriwayatkan dalam Shahîhnya dari Jabir bin Samurah yang berkata, “Aku bersama ayahku pemah masuk menemui Nabi Saw, lalu aku mendengar ia bersabda, “Sesungguhnya Urusan (agama) ini tidak akan punah sehingga berlalu dua belas khalifah. Kemudian ia berkata sesuatu yang samar bagiku, maka aku menanyakan hal itu kepada ayahku. Ayahku berkata bahwa ia bersabda, “Semuanya berasal dari Quraisy.”[140]

Muslim juga meriwayatkan dalam Shahîh -nya dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Agama ini akan tetap tegak berdiri sehingga tiba hari kiamat dan ada pada mereka dua belas khalifah, semuanya berasal dari Quraisy.”[141]

Dalam riwayat yang lain, “Urusan manusia akan senantiasa berjalan selama mereka dipimpin oleh dua belas orang laki-laki, semuanya berasal dari Quraisy.”

Dalam riwayat yang lain, “Agama Islam ini akan senantiasa mulia selama dipimpin oleh dua belas khalifah, semuanya berasal dari Quraisy.”

Dalam riwayat yang lain, “Agama ini akan senantiasa mulia dan kukuh selama dipimpin oleh dua belas khalifah, semuanya berasal dari Quraisy.”

Dalam Sunan at- Tirmidzi disebutkan hadis yang sama, tetapi dengan menggantikan kata “khalifah” menjadi “amir”.[142]

Dalam Shahih al-Bukhâri dari Jabir bin Samurah bahwa Nabi Saw bersabda, “Setelahku ada dua belas amir (khalifah), “lalu beliau berkata sesuatu yang tidak aku dengar. Ayahku berkata bahwa ia bersabda, “Semuanya berasal dari Quraisy.”[143]

Al-Bukhari juga meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Perkara ini (kekhalifahan) akan senanliasa berada pada Quraisy selama masih ada dua belas orang dari mereka.”[144]

Al-Muttaqi menyebutkan dalam Kanzul ‘Ummâl dari Nabi Saw sesungguhnya ia bersabda, “Setelahku ada dua belas khalifah.”[145]

Ibn Hajar menyebutkan dalam Shawa’iq-nya, “Ath­-Thabrani meriwayatkan dari Jabir bin Samurah bahwa Nabi Saw bersabda, ‘Setelahku ada dua belas amir (khalifah), semuanya berasal dari Quraisy.”[146]

Dalam Irsyâddus Sari dan Sunan Abi Dawud diriwayatkan dari jalur asy-Sya’bi dari Jabir bin Samurah bahwa Nabi Saw bersabda, “Agama ini akan senantiasa mulia selama dipimpin oleh dua belas khalifah.”

Dan juga dalam Sunan Abi Dawud diriwayatkan dari jalur Isma’il bin Abi Khalid dari ayahnya dari Jabir bin Samurah bahwa Nabi Saw bersabda, “Agama ini akan senantiasa tegak berdiri sehingga berlalu dua belas khalifah, semuanya disepakati oleh umat ini.”[147]

As-Sadyi, penulis kitab tafsir, menyebutkan (hadis dua belas imam) sebagaimana yang dinukilkan oleh penulis ash-Shirâtul Mustaqim, kemudian ia berkata, “Hadis-hadis tersebut (tentang dua belas imam) menunjukkan dua belas imam dari keturunan Muhammad Saw, dan tidak ada yang sejalan dengan pembatasan dua belas imam tersebut kecuali Syi’ah Imamiyah.”

Al-Qunduzi al-Hanafi menyebutkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah’ dari kitab Mawaddah al-Qurbâ dengan sanadnya dari Jabir bin Samurah yang berkata, “Aku pemah bersama ayahku di rumah Nabi Saw lalu aku mendengar Nabi Saw bersabda, “Setelahku ada dua belas khalifah kemudian ia memelankan suaranya, maka aku bertanya kepada ayahku apa yang ia pelankan suaranya itu. Ayahku menjawab, ia bersabda, “Semuanya dari Bani Hasyim.”

Ia meriwayatkan dari Samak bin Harb hadis yang serupa.Ia juga meriwayatkan dari asy-Sya’bi dari Masruq dari Ibn Mas’fid bahwasanya dia berkata, “Sesungguhnya Nabi kita Saw telah mengabarkan kepada kita bahwa sepeninggal beliau akan ada dua belas orang khalifah seperti bilangan pemimpin (naqib) Bani Israil.

Ia juga berkata dalam bab yang sarna, “Yahya bin al-Hasan menyebutkan dalam kitab al-‘Umdah dua puluh jalur riwayat bahwa para khalifah sepeninggal Nabi Saw dua belas orang, semuanya dari berasal dari Quraisy, dalam Shahîh al-Bukhâri tiga jalur riwayat, dalam Shahîh Muslim sembilan jalur riwayat, dalam Sunan Abi Dawud tiga jalur riwayat, dalam Sunan at-Tirmidzi satu jalur, dan dalam al-Hamidi tiga jalur.” Kemudian ia berkata,”Sebagian muhaqqiq (periset) menyebutkan bahwa hadis­-hadis yang menunjukkan bahwa para khalifah sepeninggal Nabi Saw ada dua belas orang sangatlah terkenal, yang diriwayatkan melalui jalur yang banyak, dan ditinjau dari konteks zaman dan tempat diketahui bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Saw dengan hadis-­hadis Nabi Saw adalah dua belas (imam) dari Ahli Baitnya dan keturunannya. Sebab, hadis-hadis tersebut tidak mungkin diterapkan pada para khalifah sepeninggal beliau dari kalangan sahabatnya karena jumlahnya yang sedikit (kurang dari dua belas orang), dan tidak mungkin diterapkan pada raja-raja dari Bani Umayyah karena jumlah mereka yang melebihi dua belas orang dan juga karena kezaliman mereka yang melampaui batas, kecuali ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, selain itu mereka juga bukan dari Bani Hasyim karena Nabi Saw bersabda, “Mereka semuanya dari Bani Hasyim.”

Oleh karena itu, hadis-hadis tentang dua belas khalifah tersebut hanya dapat diterapkan pada para imam dua belas dari Ahlul bait Nabi Saw dan keturunannya. Sebab, mereka adalah orang-orang yang paling alim pada zaman mereka, paling mulia, paling wara’, paling bertakwa, paling mulia nasabnya, dan paling mulia di sisi Allah. Ilmu mereka bersumber dari ayah dan kakek-kakek mereka yang bersambung kepada Nabi Saw dengan mewarisi ilmu mereka dan juga ilmu laduni. Demikianlah sebagaimana diketahui oleh para ahli ilmu dan tahkik, dan juga ahli kasyf dan taufik.

Di antara yang termasuk menguatkan makna sabda Nabi Saw tersebut adalah hadis tsaqalain (yaitu sabda beliau, “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua hal yang sangat berharga, selama kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Ahlul Baitku”). Demikianlah yang dikatakan oeh al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah, silakan Anda merujuk kepadanya.

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dalam kitabnya yang sama, Yanâbi’ul Mawaddah, dari Jabir yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Aku adalah pemuka para nabi, sedangkan aku pemuka para washi (penerima wasiat Nabi Saw untuk menjadi khalifah sepeninggalnya). Dan sesungguhnya washi-washi-ku setelahku ada dua belas, permulaannya adalah aku dan yang terakhir adalah al-Qa’im al-Mahdi. ”

Syaikhul Islam al-Hamuyini asy-Syafi’i juga meriwayatkan hadis tersebut dalam kitabnya Farâ’idus Simthain dari Ibn ‘Abbas Ra.

Hadis-hadis yang menegaskan bahwa mereka adalah washi-washi Rasulullah Saw dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah sangatlah banyak, yang mencapai batas mutawatir, di samping yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Syi’ah.

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari Salman yang berkata, “Aku pemah memasuki rumah Nabi Saw aku melihat Husain As sedang berada dalam pangkuannya. Nabi Saw mencium pipinya dan mulutnya, ia bersabda kepadanya, “Engkau adalah sayid, anak sayid dan saudara sayid. Engkau adalah imam, anak imam dan saudara imam. Engkau adalah hujah, anak hujah dan saudara hujah serta ayah dan hujah-hujah yang sembian, hujah yang kesembilan dari mereka adalah al-Qa’im al-Mahdi.”

Demikian juga al- Hamuyini asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Farâ’idus Simthain dari Ibn ‘Abbas Ra yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Aku, Ali, Hasan, Husain, dan sembilan dari anak keturunan al-Husain disucikan dan dipelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan (maksum).”

Dan juga diriwayatkan dalam kitab yang sarna dari Ibn ‘Abbas bahwa Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya washi-washi-ku dan hujah-hujah Allah atas makhluk-Nya setelahku ada dua belas; yang pertama di antara mereka adalah saudaraku dan yang terakhirnya anakku.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, siapakah saudaramu itu?” Beliau menjawab, “Ali.” Lalu beliau ditanya lagi, “Siapakah anakmu?” Beliau menjawab, “al-Mahdi, dialah yang akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman. Demi Dzat Yang Mengutusku dengan kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, seandainya tidak tersisa dari umur dunia kecuali satu hari, niscaya Allah akan memanjangkan hari itu sehingga muncul pada hari itu anakku al-Mahdi. Kemudian Ruhullah Isa bin Maryam turun, lalu dia akan shalat di belakang anakku, bumi pun akan bersinar dengan cahaya Tuhannya, dan kekuasaannya akan mencapai timur dan barat.”

Dan juga disebutkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-95, dari al-Manâqib dengan sanadnya dari Jabir bin’ Abdillah yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Jabir, Sesungguhnya washi-washi-ku dan para imam kaum Muslim sesudahku permulaannya adalah ‘Ali, kemudian Hasan, kemudian Husain, kemudian ‘Ali bin Husain kemudian Muhammad bin Ali yang dikenal dengan al-Baqir, engkau akan menemuinya wahai Jabir. Maka, jika engkau bertemu dengannya, sampaikanlah salam dariku, kemudian Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian ‘Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin ‘Ali, kemudian ‘Ali bin Muhammad kemudian Al-Hasan bin Ali, kemudian Al-Qa’im, namanya sama dengan namaku, gelarnya sama dengan gelarku. Anak Hasan bin Ali inilah yang kepadanya Allah Swt akan menaklukkan timur bumi dan baratnya. Dia akan mengalami masa kegaiban dari para pengikutnya, suatu kegaiban yang seseorang tidak akan tetap pada pendirian keimamannya kecuali yang hatinya telah telah diuji oleh Allah untuk beriman.”

Jabir berkata, maka aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah orang-orang dapat mengambil manfaat dengannya pada masa kegaibannya itu?” Ia menjawab, “Ya, demi Dzat Yang Mengutusku dengan kenabian, sesungguhnya mereka mendapatkan cahaya dengan cahaya wilayahnya dalam masa kegaibannya, sebagaimana orang-orang mendapatkan manfaat dengan matahari meskipun terhalangi oleh awan. Ini adalah sesuatu yang disembunyikan dari rahasia Allah dan perbendaharaan ilmu Allah, maka rahasiakanlah hal ini kecuali kepada yang ahlinya. ”

Juga disebutkan dalam Yanâbi’ul mawaddah, awal bab ke-76, juga dalam kitab al-Manâqib dengan sanadnya dari Jabir al-Anshari yang berkata, “Jandal bin Janadah pemah masuk menghadap Nabi Saw lalu ia menanyakan kepada beliau beberapa masalah, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang washi-washi-mu sepeninggalmu agar aku dapat berpegang teguh kepada mereka.”

Nabi Saw menjawab, “Washi-washi-ku ada dua belas orang.” Jandal berkata, “Demikianlah kami mendapatkan mereka dalam Taurat.” Lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, beri tahukanlah kepadaku nama-nama mereka.”

Nabi Saw menjawab, “Yang pertama di antara mereka adalah pemuka para washi, ayah para imam, ‘Ali, kemudian kedua anaknya: al-Hasan dan al-Husain, maka berpegang teguhlah kamu kepada mereka, dan janganlah kamu terperdaya oleh kebodohan orang-orang yang bodoh. Apabila telah lahir ‘Ali bin al-Husain Zainal Abidin, maka Allah akan menghendaki engkau menghadap kepada-Nya (waktu kematianmu) dan akhir perbekalanmu dari dunia ini adalah minuman susu yang engkau meminumnya.”

Jandal berkata, “Kami mendapatkannya tertulis dalam Taurat. Dan dalam kitab-kitab para nabi disebutkan: Iliya, Syibran, dan Syabiran, maka ini adalah nama ‘Ali, al-Hasan, dan al-Husain. Maka, siapakah setelah al-Husain dan siapa nama-nama mereka?”

Nabi Saw menjawab, “Jika telah terputus masa al-Husain, maka imam setelahnya adalah ‘Ali, ia dijuluki Zainal Abidin, kemudian anaknya, yaitu Muhammad, ia dijuluki al-Bâqir, kemudian anaknya, yaitu Ja’far, ia dijuluki ash-Shâdiq, kemudian anaknya, yaitu Musa, ia dijuluki al-Kazhim, kemudian anaknya, yaitu Ali, ia dijuluki ar-Ridhâ, kemudian anaknya, yaitu Muhammad, ia dijuluki at-Taqi dan az-Zaki, kemudian anaknya, yaitu’Ali, ia dijuluki at-Taqi dan al-Hâdi, kemudian anaknya, yaitu al-Hasan, ia dijuluki al-Askari, kemudian anaknya, yaitu Muhammad, ia dijuluki al-Mahdi, al-Qâ’im, dan al-Hujjah, ia akan gaib, kemudian ia akan muncul dan memenuhi bumi ini dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman. Beruntunglah orang­-orang yang bersabar dalam masa kegaibannya, beruntunglah orang­-orang yang bertakwa atas hujah mereka. Merekalah orang-orang yang disifatkan Allah dalam Kitab-Nya.”

“Petunjuk. bagi mereka yang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib.” (Qs. Baqarah [2]: 2-3)

Kemudian ia membacakan ayat,

Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah banwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Qs. Mujadilah [58]: 22)

AI-Hamuyini meriwayatkan dalam Farâ’idus Simthain dengan sanadnya dari Ibn ‘Abbas yang berkata, “Pemah ada seorang Yahudi yang datang menemui Rasulullah Saw ia bemama Na’tsal. Ia bertanya, “Wahai Muhammad, aku hendak menanyakan kepadamu tentang beberapa hal yang senantiasa bergelora di dalam dadaku, jika engkau dapat menjawab pertanyaanku, niscaya aku akan memeluk agama Islam di hadapanmu.”

Nabi Saw bersabda, “Tanyakanlah wahai Aba ‘Amarah!”

Maka, ia (Na’tsal) menanyakan kepada Nabi Saw beberapa hal sampai pada pertanyaannya, “Beri tahukanlah kepadaku, siapakah washi-mu karena setiap nabi pasti mempunyai seorang washi (pengemban wasiat Nabi Saw untuk menjadi khalifah sepeninggalnya). Sesungguhnya nabi kami, Musa bin lmran, mewasiatkan kepada Yusya’ bin Nun.”

Nabi Saw menjawab, “Sesungguhnya washiyy-ku adalah ‘Ali bin Abi Thalib, dan setelahnya adalah al-Hasan dan al-Husain, kemudian setelahnya adalah sembilan imam dari tulang sulbi al-­Husain.”

Ia (Na’tsal) berkata, ‘Wahai Muhammad, beri tahukanlah kepadaku nama-nama mereka!.”

Nabi Saw menjawab, “Jika al-Husain telah meninggal dunia, maka penggantinya anaknya, ‘Ali; jika ‘Ali telah meninggal dunia, maka penggantinya anaknya, Muhammad; jika Muhammad telah meninggal dunia, maka penggantinya anaknya, Ja’far; jika Ja’far telah meninggal dunia, maka penggantinya anaknya, Musa; jika Musa telah meninggal dunia, maka penggantinya anaknya, ‘Ali; jika ‘Ali telah meninggal dunia, maka penggantinya anaknya, Muhammad; jika Muhammad telah meninggal dunia, maka penggantinya anaknya, ‘Ali; jika ‘Ali telah meninggal dunia, maka penggantinya anaknya, al-­Hasan; dan jika al-Hasan telah meninggal dunia, maka penggantinya anaknya, al-Hujjah Muhammad al-Mahdi. Merekalah dua belas….”

Kemudian disebutkan bahwa orang Yahudi itu (Na’tsal) memeluk agama Islam dan dia mengabarkan bahwa dia mendapatkan nama-nama mereka (dua belas imam Ahlul bait) di dalam kitab-kitab para nabi yang telah lalu, dan juga termasuk yang disampaikan kepada mereka oleh Musa As.

Al-Hamuyini meriwayatkan di dalam Fara’idus Simthain dan al-Khawarizmi al-Hanafi dengan sanadnya sampai kepada Abu Sulaiman, pengembala unta Rasulullah Saw, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Pada malam akan dimikrajkan ke langit, Allah yang Maha Agung berfirman kepadaku,

“Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya.” (Qs. al Baqarah [2]: 285)

Kemudian aku berkata, “Demikian pula orang-orang yang beriman.”

Allah berfirman, ‘Engkau benar. Wahai Muhammad, sesungguhnya Aku telah memandang penduduk bumi, lalu Aku memilihmu di antara mereka. Maka, Aku mengambil untukmu nama dari nama-nama-Ku. Oleh karena itu, setiap kali Aku disebut di suatu tempat, niscaya engkau juga disebut bersama-Ku. Aku adalah Mahmud (Yang Terpuji), dan engkau adalah Muhammad (yang dipuji).

Kemudian Aku memandang (penduduk bumi) untuk yang kedua kalinya, maka Aku memilih ‘Ali di antara mereka. Aku pun menamakannya dengan nama-Ku. Wahai Muhammad, Aku telah menciptakanmu dan menciptakan ‘Ali, Fatimah, al-Hasan, al–Husain dan para imam dari anak keturunan al-Husain dari cahaya-Ku. Aku juga telah mengemukakan wilayah kalian kepada penduduk langit dan bumi, maka barang siapa menerimanya, dia di sisi-Ku termasuk orang­-orang yang beriman; dan barang siapa mengingkarinya, dia di sisi-Ku termasuk orang-orang yang kafir.

Wahai Muhammad, seandainya seorang hamba dari hamba-­hamba-Ku menyembah-Ku sampai binasa, kemudian dia menghadap kepada-Ku dalam keadaan mengingkari wilayah kalian, niscaya Aku tidak akan mengampuninya. Wahai Muhammad, apakah engkau ingin melihat mereka?”

Aku menjawab, “Ya, wahai Tuhanku.”

Allah berfirman kepadaku, “Lihat ke arah kanan ‘Arsy!”

Lalu, aku melihat, tiba-tiba aku melihat ‘Ali, Fatimah. Al-­Hasan, al-Husain, ‘Ali bin al-Husain, Muhammad bin ‘Ali, Jafar bin Muhammad, Musa bin Ja’far, ‘Ali bin Musa, Muhammad bin ‘Ali, ‘Ali bin Muhammad, al-Hasan bin ‘Ali, dan Muhammad al-Mahdi bin al­Hasan, ia seperti bintang mutiara di tengah-tengah mereka.

Allah berfirman, “Wahai Muhammad, mereka adalah hujah­-hujah-Ku atas makhluk-Ku, dan mereka adalah washi-washi-mu, sedangkan al-Mahd! di antara mereka akan bangkit dari keturunanmu. Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sesungguhnya dia akan menuntut balas terhadap musuh-musuh-Ku dan memudahkan kepada wali-wali-Ku.”

­Muwaffaq bin Ahmad al-Hanaf’i meriwayatkan dalam Manâqib-nya dari Salman dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda kepada al-Husain As, “Engkau adalah seorang imam, anak seorang imam dan saudara seorang imam serta ayah para imam yang sembilan, yang kesembilan di antara mereka adalah al-Qa’im.”

Syihabuddin al-Hindi meriwayatkan dalam Manâqib-nya dengan sanadnya dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “(Akan lahir) dari keturunan al-Husain bin ‘Ali para imam yang sembilan, yang kesembilan di antara mereka adalah al-Qa ‘im.”

Al-Hamuyini meriwayatkan di dalam Farâ’idus Simthain dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Barang siapa yang meninggalkan ‘Ali sepeninggalku, dia tidak akan melihatku dan aku tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Barang siapa menentang ‘Ali, Allah akan mengharamkan untuknya surga, dan Dia akan menjadikan neraka sebagai tempatnya. Barang siapa menelantarkan ‘Ali, Allah akan menelantarkannya pada hari kiamat. Dan barang siapa menolongnya, Allah akan menolongnya pada hari dia bertemu dengan-Nya dan Dia akan mengajarkan kepadanya hujahnya ketika dia dimintai pertanggung-jawaban.”

Nabi Saw bersabda, “al-Hasan dan al-Husain adalah dua orang imam umatku setelah ayah mereka berdua. Keduanya adalah pemuka para pemuda penghuni surga, ibu mereka berdua pemuka kaum wanita, ayah mereka berdua pemuka washi-washi, dan dari keturunan al-Husain sembilan imam, yang kesembilan di antara mereka adalah al-Qa’im, dia adalah anakku. Ketaatan kepada mereka sama dengan ketaatan kepadaku dan penentangan kepada mereka sama dengan penentangan kepadaku. Hanya kepada Allah aku mengadukan orang yang mengingkari keutamaan mereka dan menyia-nyiakan hak mereka sepeninggalku. Cukuplah Allah sebagai Pelindung dan Penolong keturunanku dan para imam umatku, dan Dialah yang menyiksa orang-orang yang mengingkari hak mereka. Dan orang-­orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali ”

Al-Imamul Akbar, pemuka Syi’ah dan pembaharu syariat, Ayatullah al-‘Uzhma, al-Mujahid al-A’zam, Muhammad bin Yusuf yang dikenal dengan sebutan al-‘Allamah al-Hilli menyebutkan dalam kitab Kasyful Haqq’ beberapa hadis tentang dua belas khalifah dengan jalur yang berbeda-beda, kemudian al-Fadhl bin Rauzabahan pun mengakui kesahihan hadis-hadis tersebut, padahal ia adalah seorang nashibi, yang sangat membenci Ahlulbait. Al-Fadhl berkata, “Apa yang disebutkan (oleh al-Hum) tentang hadis-hadis yang diriwayatkan berkenaan dengan dua belas khalifah adalah sahih dan diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih…”

Aku katakan, telah diriwayatkan dari Nabi Saw hadis tentang dua belas khalifah dalam hadis yang sangat banyak, selain yang telah kami sebutkan di dalam kitab ini, seperti dalam al-Bayân, karangan al-Hafizh al-Kanji; Fashlul Khithâb, karya al-Khawajab Barsa al-­Hanafi; Arba’in, karya Syaikh As’ad bin Ibrahim al-Hanbali; Arba’in, karya Ibn Abil Fawaris, dan kitab al-Hafizh Ibnu al-Khasyab dan selainnya, selain yang diriwayatkan melalui jalur Syi’ah yang jumlahnya sangat banyak.

Sayid Hasyim al-Bahrani meriwayatkan dalam kitabnya Ghâyatul Marâm, hadis dua belas khalifah melalui enam puluh enam jalur dengan sanad-sanadnya dari jalur Ahlus Sunnah. Ia menyebutkan tujuh jalur dari kitab Manaqib Amirul Mu’minin As, karya al-Maghazali asy-Syafi’i, ia meriwayatkan dari Musnad Ahmad bin Hanbal dan Shadrul A ‘immah ‘inda Ahlis Sunnah, karya al-Khawarzimi melalui dua belas jalur.

Ia meriwayatkan dari Abu Na’im al-Hafizh, dari al-Khathib dalam Târikh-nya, dan dari al-Hamuyini dua puluh tiga jalur, dari al-Fushûlul Muhimmah, karya Ibnu as Shibagh al-Maliki, dan dari Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadid, dua jalur.

Aku katakan, aku telah mendapatkan sebuab risalah yang ditulis oleh seorang tokoh Islam terkemuka, Syaikh Kazhim Abu Nuh Rah, ia berisikan jalur-jalur riwayat hadis para imam berasal dari Quraisy. Dalam risalah tersebut, halaman 14, ia berkata, “al-‘Allamab as­-Sayyid Hasan Shadruddin meriwayatkan dalam kitabnya ad-Durârul Mûsawiyyah fi Syarhil ‘Aqâ’idil Ja ‘fariyyah hadis dua belas khalifab melalui jalur Ahmad bin Hanbal tiga puluh empat jalur, dan ia menyebutkan jalur-jalur Muslim, al-Bukhari, dan al-Hamidi, dan ia juga menyebutkan jalur-jalur riwayat yang kuat dengan menggabungkan di antara enam kitab sahih, riwayat ats- Tsa’labi, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Burdah, Ibnu ‘Umar, ‘Abdurrahman bin Samurah, Jabir, Anas, Ibnu ‘Abbas, ‘Umar bin al-Khatthab, ‘Aisyah dan riwayat Watsilah dan Abu Sulaiman ar-Ra’i.

Adapun riwayat ‘Umar bin al-Khatthab, ‘Ali bin al-Musayyib telah menyandarkan kepada ‘Umar sabda Nabi Saw, “Para imam selepasku dua belas..”

Ad-Daurusti menyandarkan kepada Ibnu al-Mutsanna sesungguhnya ia bertanya kepada ‘Aisyah, “Berapakah jumlah khalifah Rasulullah Saw?”

‘Aisyah menjawab, “Sesungguhnya ia (Nabi Saw) telah mengabarkan kepadaku bahwa sepeninggalnya ada dua belas khalifah.”

Ibnu al-Mutsanna berkata, “Beritahukanlah kepadaku nama-nama mereka!”

Akan tetapi ‘Aisyah enggan membeberkan nama-nama khalifah dua belas yang dimaksud kepadanya.

Kemudian setelah menyebutkan jalur-jalur riwayat hadis dua belas khalifah, Sayid Hasan Shadruddin menyebutkan kitab-kitab karangan para ulama Ahlus Sunnah yang meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya Manâqib Ahmad bin al-Hanbal, an-Nasa’i, Tanzilul Qur’ân fi Manâqib Ahlil Bait, karangan Abu Na’im al-Hafizh al-Ishfahani, Farâ’idus Simthain fi Fadhâ’ilil Murtadhâ waz Zahrâ karangan al-­Hamayini asy-Syafi’i, Mathtâlibus Sa’ul, karya Muhammad bin Thalhah asy-Syafi’i, Kitâb al-Bayân, karya al-Kanji asy-Syafi’i, Musnad Fathimah, karya ad-Daru Quthni, Kitâb Fadhâi’lil Ahlil Bait, karya al-Khawarizimi al-Hanafi, al-Manâqib, karya Ibn al-Magbazili al-Faqih asy-Syafi’i, al-Fushulul Muhimmah, karya Ibnu Shibagh al-­Maliki, Jawâhirul ‘lqdâin, karya as-Samhadi al-Mishri, Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, karya al-Muhibb ath-Thabari, Mawaddatul Qurbâ, karya ‘Ali bin Syihab al-Hamdani asy-Syafi’i, ash-Shawâ’iqul Muhriqah karya Ibn al-Haitsami, al-Ishâbah, karya Ibnu Hajar al-‘ Asqalani, Jâmi’ul Ushûl, Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Abi Ya’la al-­Mûshili, Musnad Abi Bakar al-Bazzâr, Ma’âjim, karya ath-Thabrani, Jâmi ‘ush Shaghir, karya as-Suyuthi, dan Kanzud Daqâ’iq, karya al-­Manawi.

Aku katakan, sesungguhnya riwayat-riwayat yang banyak dan bermacam-macam ini, yang sampai kepada kita melalui jalur riwayat Ahlus Sunnah, merupakan dalil yang paling kuat dan hujah yang paling nyata bahwa khalifah sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung adalah Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As, kemudian setelahnya adalah anak keturunannya sebelas Imam Maksum. Mereka adalah khalifah-khalifah Rasulullah Saw dan imam-imam kaum Muslimin, satu demi satu hingga pada hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam (pada hari kiamat).

Siapa pun tidak akan sanggup mengingkari hadis-hadis tentang dua belas khalifah ini yang telah diriwayatkan dalam hadis-hadis sahih dari jalur ulama Ahlus Sunnah dan imam-imam hadis mereka, apalagi dari jalur Syi’ah, kecuali orang yang telah tumpul pikirannya dan hatinya telah tertutup (untuk menerima kebenaran).

Orang yang demikian itu adalah seperti yang difirmankan Allah Swt,

“(mereka) itu tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (Qs. al-Baqarah .”[2]: 171)

Dan firman-Nya,

“Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tunan Yang Mana Pemurah (al-Qur’an). Kami biarkan baginya setan (yang menyesatkannya) dan yang menjadi teman karibnya.” (Qs. Az -Zuhruf [43]: 36)

Dan juga firman-Nya,

“Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun engkau menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (Qs. al-Kahfi [18]:57).


Keutamaan Ali Bin Abi Thalib As dan Keturunannya yang Suci

Para ulama, dari seluruh mazhab dan aliran dalam Islam, menyebutkan riwayat-riwayat hadis yang tak terbilang, dalam kitab­-kitab karangan mereka, kitab-kitab shahîh, dan musnad, tentang keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As dan keturunannya yang suci, di antaranya:


Tidak Diperbolehkan melewati Shirâth tanpa Izin ‘Ali

Ibnu Hajar meriwayatkan dalam ash-Shawâ’iqul Muhriqah, ia berkata, “Ibnuu as-Saman meriwayatkan bahwa Abu Bakar berkata tentang ‘Ali, ‘Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk melewati shirâth kecuali yang mendapatkan izin dari ‘Ali.”[148]

Al-Khawarizmi meriwayatkan dalam Maqtalul Husain dengan sanadnya dari al-Hasan al-Bashri dari ‘ Abdullah yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Pada hari kiamat kelak, ‘Ali bin Abi Thalib akan duduk di atas Firdaus, yaitu di atas puncak gunung yang tertinggi di surga, di atasnya adalah ‘Arsy Tuhan semesta alam, dan di kaki gunungnya memancar sungai-sungai surga dan berpencar di dalam surga-surga. ‘Ali duduk di atas kursi yang terbuat dari cahaya, yang mengalir di hadapannya Tasnim (nama sungai di surga), tidak diperkenankan siapa pun untuk melewati shirâth, kecuali ada bersamanya pernyataan (pengakuan) terhadap wilayahnya dan wilayah Ahlulbaitnya, lalu pecintanya akan masuk surga, sedangkan orang yang membencinya akan masuk neraka.”[149]

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al Hamuyini asy-Syafi’i dalam Farâ’idus Simthain’.[150]

Al-Muhibb ath-Thabari asy-Syafi’i meriwayatkannya dalam Ar-Riyâdhun Nadhrah.[151] Al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkannya dalam Târikh Baghdâd.[152] Ibnu al-Maghazili asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Manâqib, dan Abu Bakar bin Syihabuddin asy-Syafi’i dalam Rasyfatush Shâdi.

Dan hadis ini juga diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, selain Abu Bakar, Ibnu ‘Abbas, dan Ibnu Mas’ud.


‘Ali Pembagi Surga dan Neraka

Al-Khawarizimi al-Hanafi meriwayatkan dalam Manâqib-­nya dari ‘Ali bin Abi Thalib as yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Wahai ‘Ali, sesungguhnya kamu adalah pembagi surga dan neraka, dan sesungguhnya engkau mengetuk pintu surga, lalu engkau memasukinya tanpa hisab. ‘”


Seandainya Manusia Bersepakat dalam Mencintai ‘Ali, Niscaya Allah Tidak Akan Menciptakan Neraka

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah dari al-Hamdani dari ‘Umar bin al-Khathab yang berkata, “Nabi Saw bersabda, “Seandainya manusia bersepakat dalam mencintai ‘Ali bin Abi Thalib, niscaya Allah tidak akan menciptakan neraka.”[153]

Al-‘Allamah al-‘Askari berkata dalam kitabnya Maqâm al-Imâm Amirul Mu’minin ‘indal Khulafâ,[154] hadis ini diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khathab dan selainnya dari sahabat yang mulia oleh sekelompok ulama Ahlus Sunnah, di antaranya:

Al-Khawarizmi dalam kitabnya Maqtalul Husain, ia meriwayatkan hadis ini dengan sanadnya dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Seandainya manusia bersepakat dalam mencintai ‘Ali bin Abi Thalib, niscaya Allah tidak akan menciptakan neraka.”[155]

Muhammad bin Shalih al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya al-Kawakib ad-Durri, dari ‘Umar bin al-­Khathab yang berkata, “Nabi Saw bersabda, “Seandainya manusia bersepakat dalam mencintai ‘Ali bin Abi Thalib, niscaya Allah tidak akan menciptakan neraka.”[156]


Orang yang Paling Dekat kepada Rasulullah Saw adalah ‘Ali As

Al-Khawarizmi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Maqtalul Husain dengan sanad dari asy-Sya’bi yang berkata, “Abu Bakar pernah memandang ‘Ali ketika dia datang seraya berkata, ‘Barang siapa yang ingin memandang kepada orang yang paling dekat kepada Rasulullah Saw, paling mulia lagi paling agung kedudukannya di sisi Allah, maka hendaklah dia memandang kepada orang ini ­sambil menunjuk kepada ‘Ali bin Abi Thalib-karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya ia (‘Ali) benar-benar seorang yang amat belas kasihan terhadap manusia, dan sesungguhnya dia benar-benar seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”[157]

Aku katakan, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Muttaqi al-Hanafi dalam Kanzul ‘Ummâl ,[158] al-Muhibb ath-Thabari asy-Syafi’i dalam ar-Riyâdhun Nadhrah,[159], dan selain keduanya dengan sedikit perbedaan teks hadis.


“Wahai ‘Ali, Tanganmu di Tanganku, Engkau Masuk Surga Bersamaku.”

Al-Muhibb ath-Thabari meriwayatkan dalam Dzakâ’irul ‘Uqbâ dari ‘Umar bahwa ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali, “Wahai ‘Ali, tanganmu berada di tanganku, engkau masuk bersamaku pada hari hamat di tempat yang aku masuk (surga)…”[160]

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Muttaqi dalam Kanzul ‘Ummal,[161] dari Tarikh Ibnu ‘Asakir, dan dari Fadhâ’ilush Shahâbah, karya Abu Na’im, dan juga diriwayatkan oleh Abu Bakar asy-Syafi’i dalam al-Ghîlâniyyat.

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh sekelompok ulama Ahlus Sunnah yang lain, di antaranya: al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, dari Anas yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Didatangkan pada hari kiamat seekor unta dari unta-unta surga, lalu engkau menungganginya wahai ‘Ali, sedangkan lututmu menempel pada lututku, dan pahamu menempel pada pahaku, sehingga engkau masuk surga..” [162]

Al-Hafizh meriwayatkan dari Salim dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Ketika ‘Umar ditikam dan memerintahkan musyawarah untuk menunjuk penggantinya, ia berkata, “Apa mungkin yang akan dikatakan orang-orang tentang ‘Ali? Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Wahai ‘Ali, tanganmu berada di tanganku pada hari kiamat sehingga engkau masuk ke tempat yang aku masuk (surga).”

Aku katakan, sesungguhnya ini adalah hadis yang agung dan kedudukan yang agung bagi ‘Ali As. Al-‘Allamah al-‘Askari berkata dalam kitabnya Maqâmul Imâm,[163] “Telah diriwayatkan hadis yang banyak dari jalur ulama Ahlus Sunnah bahwa ‘Ali As bersama Nabi Saw di surga, di antaranya hadis yang diriwayatkan di dalam Dzakâ’irul ‘Uqbâ, halaman 89, dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Saw bersabda kepada ‘Ali, ‘Engkau bersamaku dalam istanaku di surga bersama Fatimah putriku,” kemudian ia membaca ayat, ” Sedangkan mereka bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (Qs. al-Hijr [15]:47)

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam al-Manâqib dan juga disebutkan dalam Dzakhâ’irul ‘Uqba, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda kepada ‘Ali, “Apakah engkau tidak rela bahwa engkau bersamaku dalam surga bersama al-Hasan dan al-Husain, dan keturunan kita di belakang kita, sedangkan istri-istri kita di belakang kelurunan kita, dan para Syi ‘ah (pengikul) kita di sebelah kanan dan sebelah kiri kita.”[164]


“Kedudukan ‘Ali di Sisiku, seperti Kedudukanku di Sisi Tuhanku.”

Ibnu Hajar menyebutkan dalam ash-Shawâ’iqul Muhriqah,[165] lbnu as-Saman meriwayatkan dalam kitabnya al-Muwâfaqah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Ketika Abu Bakar dan’ Ali datang untuk menziarahi kuburan Rasulullah Saw” enam hari setelah wafatnya, ‘Ali berkata kepada Abu Bakar, ‘Majulah!’ Yakni, masuklab lebih dabulu ke dalam kamar yang dalamnya terdapat kuburan Rasulullab Saw. Kemudian, Abu Bakar berkata, ‘Aku tidak akan mendahului seseorang yang aku telah mendengar Rasulullab Saw bersabda, ‘Kedudukan ‘Ali di sisiku, seperli kedudukanku di sisi Tuhanku.”

Aku katakan, banyak ulama Ahlus Sunnah yang meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka, di antaranya: Al-Muhibb ath-Thabari asy-Syafi’i dalam Dzakhâ’irul ‘Uqba, halaman 64, dan dalam ar-Riyâdhun Nadhrah, jilid 2, halaman 163.


“Sesungguhnya Allah Telah Menganugerahkan kepada Saudaraku, ‘Ali bin Abi Thalib, Keutamaan-Keutamaan yang Tidak Terhitung.”

Al-Kanji asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Kifâyatuth Thâlib dengan sanad dari ash-Shadiq As, dari ‘Ali bin al-Husain, dari ayahnya, dari Amirul Mukminin ‘Ali As yang berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menganugerahkan kepada saudaraku, ‘Ali bin Abi Thalib, keutamaan-keutamaan yang tidak terhitung dan sangat banyak. Barangsiapa menyebutkan salah satu keutamaan dari keutamaan-keutamaannya, dan mengakuinya, nicaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang; barangsiapa yang menuliskan salah satu keutamaan dari keutamaannya, niscaya malaikat akan senantiasa memohonkan ampunan untuknya, selama tulisan itu masih ada; barangsiapa yang mendengarkan salah satu keutamaan dari keutamaannya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang diakibatkan oleh pendengarannya; dan barangsiapa yang memandang tulisan yang berisikan keutamaan-keutamaannya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang diakibatkan oleh penglihatannya.”[166]

Nabi Saw bersabda; “Memandang saudaraku, ‘Ali, merupakan ibadah dan menyebut (keutamaannya) juga merupakan ibadah. Allah tidak akan menerima iman seorang hamba Allah, kecuali dengan mengakui wilayâh-nya dan berlepas diri dari musuh-musuhnya.”


“Aku Berdamai kepada Orang yang Berdamai dengan Penghuni Kemah Ini.”

Al-Khawarizmi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya dengan sanad dari Yunus bin Sulaiman at-Tamimi, dari ayahnya, dari Zaid yang berkata, “Aku mendengar Abu Bakar berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah Saw memasang sebuah kemah, sedangkan ia bersandar pada sebuah busur. Ketika itu, dalam kemah tersebut terdapat ‘Ali, Fatimah, al-Hasan, dan al-Husain, lalu Rasulullah Saw bersabda,

“Wahai segenap kaum Muslim, aku berdamai kepada orang yang berdamai dengan penghuni kemah ini. Aku memerangi orang yang memerangi mereka. Aku menolong orang yang menolong mereka. Dan aku memusuhi orang yang memusuhi mereka. Tidak ada yang mencintai mereka kecuali orang yang berbahagia dan baik kelahirannya (lahir dari hasil pernikahan yang sah). Tidak ada yang membenci mereka kecuali orang yang celaka dan lahir dari hasil perbuatan zina.”

Kemudian ada seseorang yang bertanya kepada laid, “Wahai Zaid, apakah engkau mendengar Abu Bakar berkata hal itu?” Zaid menjawab, “Ya, demi Tuhan Pemilik Ka’bah.” [167]

Hadis ini juga diriwayatkan oleh ‘Abdullah al-Hanafi dalam kitabnya Arjahul Mathâlib, halaman 309, dan al-Muhibb ath-Thabari asy-Syafi’i dalam ar-Riyâdhun Nadhrah.


“Kami Ahlulbait, Tidak Ada Seorang pun yang Dapat Dibandingkan dengan Kami.”

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Mawaddatul Qurbâ, karya al-Hamdani asy-­Syafi’i, yang meriwayatkan dengan sanad dari Abu Wa’il dari Ibnu ‘Umar yang berkata, “Dahulu kami jika menghitung sahabat­sahabat Nabi Saw, kami biasa berkata, ‘Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman.” Lalu ada seseorang yang berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdurrahman, lalu ‘Ali siapakah ia?”

Ibnu ‘Umar menjawab, “Ali terrnasuk Ahlulbait, yang tidak dapat dibandingkan dengannya seorang pun. Ia (‘AIi) bersama Rasulullah Saw dalam derajatnya. Sesungguhnya Allah berfirrnan, “Dan orang-orang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.” (Qs. at-Thur [52]:21)

Oleh karena itu, Fatimah bersama Rasulullah Saw berada pada derajat yang sama, sedangkan ‘Ali bersama mereka berdua.'”

Al-‘Allamah al-‘Askari berkata dalam kitabnya Maqâmul Imâm, “Sesungguhnya perkataan Ibnu ‘Umar, “Ali adalah dari Ahlulbait, yang tidak dapat dibandingkan dengannya seorang pun,”[168] dikuatkan oleh banyak hadis Nabi Saw, di antaranya hadis yang diriwayatkan dalarn Dzakhâ’irul ‘Uqbâ karya al-Muhibb ath-­Thabari asy-Syafi’i, halaman 17, dari Anas yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Kami Ahlulbait tidak dapat dibandingkan dengan seorangpun.”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh ‘Ubaidullah al-Hanafi dalarn Arjahul Mathâlib, halaman 330, sama seperti yang diriwayatkan dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, hanya saja ia berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dalarn al-Manâqib.” Dalam kitab tersebut, pada halaman yang sama, dikatakan, “Ali As berpidato di atas mimbar, di antaranya ia berkata, ‘Kami Ahlulbait Rasulullah Saw, tidak ada seorang pun yang dapat dibandingkan dengan kami.”

Ad-Dailami meriwayatkan dalarn Firdausul Akhbâr dan dalam Yanâbi’ul Mawaddah, halaman 253, setelah menukilkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Abdullah bin Ahmad bin Hanbal pemah bertanya kepada ayahnya tentang pengutamaan sahabat, lalu ayahnya menjawab, “Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman, kemudian ia diam.”

‘Abdullah berkata, “Wahai ayahku, di mana ‘Ali bin Abi Thalib?”

Ahmad bin Hanbalmenjawab, “Ali adalah dari Ahlulbait, mereka (Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman) itu tidak dapat dibandingkan dengannya.”


“‘Ali Adalah Saudaraku, Khalifahku dan Orang yang Mewarisi Ilmuku.”

At-Tirmidzi (Muhammad bin Shalih) al-Hanafi meriwayatkan dalam al-Kawâkib ad-Durri dari ‘Umar yang berkata, “Ketika Rasulullah Saw mengikat persaudaraan di an tara para sahabatnya, ia bersabda, “Ini ‘Ali adalah saudaraku di dunia dan akhirat, khalifahku dalam keluargaku, washiyy (penerima wasial unluk menjadi khalifah)-ku bagi umatku, orang yang mewarisi ilmuku, pembayar utangku, hartanya dariku dan hartaku darinya, memberikan kebaikan kepadanya sama dengan memberikan kebaikan kepadaku, dan memberikan kemudaratan kepadanya sama dengan memberikan kemudaratan kepadaku. Barang siapa yang mencinlainya, berarli dia lelah mencinlaiku; dan barang siapa yang membencinya, berarti dia lelah membenciku.”[169]

Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi dalam Yanâbi’ul Mawaddah, halaman 251.

Aku katakan, sesungguhnya ‘Umar mengakui bahwa ‘Ali adalah washiyy Rasulullah Saw bagi umat dan khalifah dalam keluarganya, dan ia telah meriwayatkan hadis yang sama kandungan hadis ini dari Nabi Saw yang banyak jumlahnya, bahkan lebih dari dua ratus hadis. Kami telah mengumpulkan sebagian di antaranya dalam kitab kami asy-Syi’ah wa Hujjatuhum fit Tasyayyu’ (Syi’ah dan Hujah Mereka di dalam Kesyi’ahan Mereka).

Alangkah baiknya, sekiranya ‘Umar dengan segala pengakuan yang banyak tersebut, yang diriwayatkan di dalam kitab­kitab Ahlus Sunnah, tidak melakukan hal-hal yang menciptakan hal yang merugikan (mudarat) Nabi Saw dan Ahlulbaitnya yang diberkati, seperti penyerbuannya ke rumah Fatimah dan pengumpulan kayu bakar untuk membakar rumahnya berikut orang yang ada di dalamnya serta pemaksaan yang dilakukannya terhadap ‘Ali untuk melakukan baiat (kepada Abu Bakar), dan hal-hal lainnya yang bersumber darinya yang dilakukan secara sengaja terhadap orang-orang yang diperintahkan Allah Swt untuk mencintai mereka, sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang (mawaddah) terhadap keluargaku.” (Qs. asy-Syura [42]:23)

Dan juga sabda Nabi Saw, “Aku wasiatkan kepada kalian Ahlulbaitku karena sesungguhnya mereka itu adalah titipanku (amanah) kepada kalian.”


“Ali Adalah Orang yang Paling Utama yang Aku Tinggalkan Setelahku.”

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Mawaddatul Qurbâ, karya al-Hamdani asy-­Syafi’i, dari lbnu ‘Umar, ia berkata, “Pemah Salman al-Farisi berjalan melewati kami, ketika itu kami sedang dalam suatu perkumpulan. Ia bermaksud menengok seseorang. Tiba-tiba ada seseorang di antara kami yang berkata, ‘Jika kalian mau, niscaya akan aku beri tahukan kepada kalian seorang yang paling utama di kalangan umat ini setelah Nabinya, dan ia lebih utama daripada dua orang laki­-laki ini (Abu Bakar dan ‘Umar).

Maka, Salman berkata, ‘Jika kalian mau, niscaya akan aku beri tahukan kepada kalian seorang yang paling utama di kalangan umat ini setelah Nabinya, dan ia lebih utama daripada dua orang laki-laki ini, ( Abu Bakar dan ‘Umar’). Kemudian Salman pergi. Salman ditanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, apa yang kamu katakan?” Salman menjawab, ‘Aku pemah menghadap Rasulullah Saw, lalu aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah berwasiat?” Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Salman, apakah engkau tahu, siapakah orang-orang yang mendapatkan wasiat (al-Aushiyâ’)?’ Salman berkata, “Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. ”

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Adam washiyy-nya adalah Syits, dan ia (Syits) adalah putranya yang paling utama yang ditinggalkan setelahnya; washiyy Nuh adalah Sam, dan ia (Sam) adalah orang yang paling utama yang ditinggalkan setelahnya; washiyy Musa adalah Yusya’, dan ia adalah orang yang paling utama yang ditinggalkan setelah; washiyy Sulaiman adalah Ashif bin Barkhiya, dan ia (Ashif) adalah orang yang paling utama yang ditinggalkan setelahnya; washiyy ‘Isa adalah Syam’un bin Barkhiya, dan ia adalah orang yang paling utama yang ditinggalkan setelahnya; dan sesungguhnya aku telah mewasiatkan (menjadikannya sebagai washiyy) kepada ‘Ali, dan ia adalah orang yang paling utama yang aku tinggakan setelahku.” [170]

Aku katakan, at-Tirmidzi al-Hanafi telah meriwayatkan hadis seperti di atas dalam al-Kawâkib ad-Durri, halaman 133, bahkan hadis semacam ini telah diriwayatkan dalam riwayat yang berbeda-beda dari ‘Umar dan Ibnu ‘Umar dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah.

Jelaslah dari hadis ini dan yang semisalnya, yang sebagiannya telah kami sampaikan, bahwa setiap nabi yang telah lalu mempunyai seorang washiyy yang telah ditentukan dari sisi Allah, dan tidaklah dibenarkan bagi seorang nabi untuk meninggal dunia dalam keadaan ia tidak mewasiatkan kepada seseorang dan meninggalkan syariatnya diabaikan.

Demikian juga Rasulullah Saw, ia sudah semestinya telah berwasiat. Bukankah Anda tahu bahwa ia telah mewasiatkan kepada ‘Ali pada hari ia memberikan peringatan kepada kerabatnya yang terdekat (asyiratakal aqrabin), pada hari Ghadir Khum, dan pada kesempatan yang berbeda-beda, sebagaimana telah dicatat dalam buku-buku sejarah. Bahkan, ketika dalam keadaan sakit yang membawa pada wafatnya, ia meminta kertas dan pena untuk menuliskan wasiatnya agar mereka tidak tersesat selamanya.

Akan tetapi, hal itu ditolak oleh ‘Umar dengan ucapannya, “Sesungguhnya nabi kalian telah meracau (mengigau),” dan ucapannya, “Pada kita telah ada Kitabullah yang itu sudah cukup bagi kita,” seakan-akan Rasulullah Saw tidak tahu bahwa ada Kitabullah di tengah-tengah mereka.

Seandainya Rasulullah Saw tidak meninggalkan wasiat, niscaya ia bertentangan dengan para rasul dan nabi sebelumnya . Perhatikanlah hadis yang diriwayatkan oleh Salman tersebut dan hadis­-hadis lainnya yang semacamnya yang diriwayatkan para sahabat Nabi Saw yang lain.

Dengan demikian, penunjukan seorang washiyy adalah merupakan kewajiban para nabi. Oleh karena itu, mereka menunjuk para washiyy mereka berdasarkan perintah Allah Swt, bukan dari diri mereka sendiri. Sebab, pengetahuan mereka terbatas sehingga mereka tidak diperkenankan menunjuk washiyy mereka berdasarkan kehendak mereka sendiri, tetapi mereka memasrahkannya kepada Allah karena Dialah yang mengetahui segala rahasia.

Allah Swt. berfirman,

“Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Qs. al-Qashash [28]:68).


“Sebaik-baik Laki-Laki Kalian Adalah ‘Ali bin Abi Thalib.”

AI-Qundtizi Al-Hanafi meriwayatkan di dalam Yanabi’ul Mawaddah21 dari kitab Mawaddatul Qurba; karangan AI-Hamdiini Asy­Syiifi’i dengan sanadnya dari Ibn ‘Umar dari Rasulullah Saw. bahwasanya beliau bersabda, “Sebaik-baik laki-taki kalian adalah ‘Ali bin Abi Thalib, sebaik-baik pemuda kalian adalah al-Hasan dan al-­Husain, dan sebaik-baik wanita kalian adalah Fatimah binti Muhammad.”

Aku katakan, para ulama Ahlus Sunnah telah meriwayatkan hadis tersebut dan yang semisalnya di dalam kitab-kitab mereka.

AI-Muttaqi al-Hanafi meriwayatkan dalam Kanzul ‘Ummâl, jilid 6, halaman 159, dari Ibnu ‘Abbas sesungguhnya ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Ali adalah sebaik-baik manusia.”

Dari Hudzaifah, ia berkata, “Aku mendengar Nabi Saw bersabda, “Ali adaJah sebaik-baik manusia barang siapa menolaknya, maka ia telah kufur.” Demikian diriwayatkan oleh al-Hafizh ad-­Dimasyqi dalam kitab at-Târikh dari al-Khathib al-Hafizh. Demikian juga disebutkan dari Jabir.

Dalam riwayat ahli hadis dari Syam disebutkan, “Tidak ada yang membencinya kecuali orang kafir.” Dan dalam sebuah riwayat , A’isyah dari ‘Atha’, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘A’ isyah tentang ‘Ali, lalu ia menjawab, “Ialah sebaik-baik manusia, tidak ada yang meragukannya kecuali orang kafir.'”


“Barangsiapa Mencintai ‘Ali, Allab Akan Menerima Shalat dan Puasanya, dan Ia Sederajat Para Nabi.”

Al-Khawarizmi meriwayatkan dalam Manâqib-nya dengan sanadnya dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa mencintai ‘Ali, Allah akan menerima shalat, puasanya, dan ibadah malamnya, Allah juga akan mengabulkan doanya. Barang siapa mencintai ‘Ali. Allah akan memberikan kepada setiap tetesan keringat di badannya dengan ganjaran sebuah rumah di surga. Ketahuilah! Sesungguhnya yang mencintai keluarga Muhammad, ia akan merasa aman ketika dihisab dan pada mizan (timbangan amal) dan ketika menyeberangi shirâth. Ketahuilah! Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka aku yang menjaminnya masuk surga bersama para nabi. Dan ketahuilah! Sesungguhnya barang siapa yang membenci keluarga Muhammad, kelak akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tertulis di antara kedua matanya, ‘Orang yang berputus asa dari rahmat Allah.”[171]

Muhammad bin Shalih al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya al-Kawâkib ad-Durri”, ia berkata, “Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab sesungguhnya ia berkata, ‘Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa yang mencintaimu wahai ‘Ali, ia akan sederajat bersama para nabi pada hari kiamat; dan barangsiapa membencimu.maka tidak dipedulikan ia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani. ”

Aku katakan, telah banyak diriwayatkan dari Rasulullah hadis­-hadis yang menyebutkan faidah dan kegunaan mencintai Amirul Mukminin ‘Ali As dan bahaya membencinya. Di antaranya, dalam Arjahul Mathâlib, karya ‘Ubaidullah al-Hanafidisebutkan, “Diriwayatkan dari Ibn Mam’ud bahwa Nabi Saw bersabda, ‘Mencintai keluarga Muhammad sehari lebih utama daripada beribadah selama setahun, dan barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, pasti ia akan masuk surga.”

Dan dalam Kanzul ‘Ummâl, karya al-Muttaqi al-Hanafi disebutkan, “Diriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir, karya ath-­Thabrani, dan at-Târikh al-Kabir, karya Ibnu ‘Asakir, dari Abu ‘Ubaidah bin Muhammad bin ‘Ammar bin Yasir, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, ‘Rasulullah Saw bersabda, “Aku mewasiatkan kepada orang yang beriman kepadaku dan membenarkanku untuk berwilayah kepada ‘Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang menjadikan Ali sebagai walinya (pemimpinnya), berarti ia telah menjadikan aku sebagai walinya. Dan barang siapa yang menjadikan aku sebagai walinya, berarti ia telah menjadikan Allah sebagai Walinya. Barangsiapa yang mencintai ‘Ali, berarti ia telah mencintaiku; barang siapa yang mencintaiku, berarti ia telah mencintai Allah; barangsiapa yang membenci ‘Ali, berarti ia telah membenciku; dan barangsiapa yang membenciku, berarti ia telah membenci Allah Swt.”

Ketahuilah! Bahwa kecintaan yang diriwayatkan dalam hadis tersebut dan hadis-hadis yang semisalnya bukanlah sekadar kecintaan yang dianggap oleh sebagian orang. Akan tetapi, kecintaan yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah kecintaan yang disertai dengan pengakuan terhadap wilâyah-nya (kepemimpinannya) yang umum.

Jelasnya, orang yang mendahulukan musuh orang yang dicintainya atas orang yang dicintainya itu adalah kecintaan yang palsu dan kedustaan yang nyata. Hal sangat jelas bagi setiap orang yang berpikiran jernih.

Rasulullah Saw tidak memaksudkan kecintaan yang disebutkan dalam hadis tersebut sekadar kecintaan saja, tetapi yang beliau maksudkan adalah kecintaan yang disertai dengan pengakuan terhadap wilâyah (kepemimpinan). Dalil kami akan hal itu adalah hadis-hadis yang banyak yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang mendorong umatnya untuk mencintai Ahlulbaitnya dan menjadikan mereka sebagai pemimpin.

Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi setiap mukallaf untuk mengambil hukum-hukum agamanya, baik ushhuluddin (pokok-pokok agama) maupun furu’uddin (cabang-cabang agama) dari orang-orang yang telah dijamin kemaksuman mereka, sesuai nash AI-Quran dan hadis Rasulullah Saw, yaitu para Imam Ahlulbait.

Sebab, orang yang tidak dijamin kemaksumannya tidak tepat untuk mengemban tugas yang berat ini karena ia dapat melakukan kesalahan. Bisa jadi, dalam hal yang wajib, ia mengeluarkan fatwa yang sebaliknya (sebagaimana terjadi pada masa kekhalifahan ‘Umar bin AI-Khaththab yang terjadi tidak hanya sekali).

Oleh karena itu, dalam keyakinan kami (Syi’ah) seorang imam wajib berdasarkan nash dari Allah Yang mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi, dan Rasulullah Saw. tidak mewasiatkan kekhalifahan kecuali kepada orang yang maksum, yang terpelihara dari dosa dan kesalahan, yang merupakan perintah dari Allah Swt.


“Engkau Adalah Saudaraku dan Pembantuku.”

Al-Muttaqi al-Hanafi meriwayatkan dalam Kanzul ‘Ummâl yang ia nukil dari kitab al-Mu’jam al-Kabir, karya ath-Thabrani, dengan sanadnya dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali, ‘Bukankah aku telah membuatmu rela wahai ‘Ali, engkau saudaraku, pembantuku, pembayar utangku, dan yang melaksanakan janjiku. Barangsiapa yang mencintaimu dalam masa hidupku, maka ia telah memenuhi janjinya; barangsiapa yang mencintaimu di masa hidupmu sepeninggalku, Allah akan mencapnya dengan keamanan dan keimanan; barangsiapa yang mencintaimu sepeninggalku, sedangkan ia tidak melihatmu, maka Allah akan mencapnya dengan keamanan dan keimanan serta akan menjadikannya merasa aman pada hari kiamat; dan barangsiapa membencimu wahai ‘Ali, ia akan mati dalam keadaan mati jahiliah.”

Aku katakan, hadis ini adalah hadis sahih dan hasan, tidak ada keraguan tentang hal ini, sebagaimana ditegaskan oleh ath-Thabrani dan lainnya. Hadis ini juga dikuatkan oleh hadis-hadis lainnya yang diriwayatkan dalam kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah, seperti disebutkan di dalarn kitab Hilyâtul Auliyâ’, karya Abu Na’im, jilid I, halaman 86, Kanzul ‘Ummâl, karya al-Muttaqi al-Hanafi, jilid 6, halarnan 155, dan lainnya.

Al-Muttaqi al-Hanafi meriwayatkan dalam Kanzul ‘Ummâl” hadis lain dari Ibnu ‘Abbas, dalamnya terdapat tambahan yang dinukilkan dari kitab al-Mu’jam al-Kabir, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa ingin hidup seperti hidupku, meninggal seperti meninggalku, dan menempati surga ‘Aden yang ditanam oleh Tuhanku, maka hendaklah ia menjadilran ‘Ali sebagai walinya (pemimpinnya) sepeninggalku, dan hendaklah ia mengikuli Ahlibaitku sepeninggalku karena sesungguhnya mereka adalah keturunanku. Mereka diciptakan dari tanahku dan dikaruniai pemahamanku dan ilmuku. Celakalah orang-orang yang mendustakan keutamaan mereka dari kalangan umatku, yang memutuskan silaturahimku pada mereka. Sungguh, mereka tidak akan mendapatkan syafaatku.”

Sesungguhnya hadis yang agung ini diriwayatkan dari Nabi Saw yang telah disepakati kesahihannya oleh Ahlus Sunnah dan Syi’ah, bahkan juga disepakati oleh selain keduanya. Hadis ini secara jelas memerintahkan umat Nabi Saw untuk mencintai Ahlulbaitnya dan mengikuti keturunannya, baik dalam urusan agama maupun dunia mereka. Sebab, mereka (Ahlulbai Nabi Saw) telah dikaruniai pemahaman dan ilmu Nabi Saw, sebagaimana ditegaskan olehnya.

Dengan demikian, mereka (Ahlulbait Nabi Saw.) memang layak untuk diikuti karena mereka telah dikaruniai pemahaman dan ilmu Nabi Saw, bukan hanya karena mereka itu sekadar keturunannya saja.

Hadis tersebut seperti hadis-hadis Nabi Saw yang lain yang dikenal dengan hadis “tsaqalain” dan hadis “safinah” secara jelas menegaskan bahwa keberuntungan dan keselamatan seseorang, baik di dunia maupun akhirat, bergantung pada berpegang teguhnya ia kepada Ahlulbaitdan naiknya ia ke dalam bahtera keselamatan dengan mengikuti mereka. Sebab, mereka (Ahlulbait) adalah perbendaharaan ilmu Rasulullah Saw dan mewarisi hikmatnya serta seluruh hal-lainnya yang dibutuhkan oleh seorang khalifah dan imam.

Rasulullah Saw menerangkan kepada para sahabat beliau agar mereka mengikuti jalan Ahlulbaitnya yang lurus dan berjalan pada jalan mereka yang terang, yang malamnya seperti siangnya, dan beliau sekali-kali tidak meninggalkan umatnya tanpa menunjuk seorang khalifah yang meneruskan kepemimpinan umat ini sepeninggal beliau. Seandainya Nabi Saw meninggalkan umatnya tanpa menunjuk seorang khalifah, maka sama saja ia mengantarkan umatnya pada kebinasaan.

Tentu, sekali-kali tidak akan pernah terjadi hal itu padanya. Sebab, perhatian dan kepeduliannya terhadap umat amat mendalam dan kasih sayangnya sangat besar kepada mereka.


“Bintang-Gemintang adalab Pelindung bagi Penduduk Langit, sedangkan Ahlulbaitku Adalab Perlindungan bagi Umatku.”

Ibnu Hajar meriwayatkan dalam Shawâ’iq-nya dari Nabi Saw sesungguhnya ia bersabda, “Bintang-bintang adalah perlindungan bagi penduduk langit, sedangkan Ahlulbaitku adalah perlindungan bagi umatku.”

Kemudian Ibn Hajar berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh sekelompok perawi dengan sanad yang dha’if (lemah).”

Aku katakan, perhatikanlah dengan penilaian yang adil ucapannya, “Hadis ini diriwayatkan oleh sekelompok perawi yang semuanya dengan sanad yang dha’if (lemah),” sesungguhnya ia benar-­benar mempunyai maksud yang buruk. Sebab, hadis tersebut dikuatkan oleh hadis yang lain, yaitu sabda Nabi Saw, “Ahlulbaitku adalah pelindung bagi penduduk bumi. Jika Ahlulbaitku telah sirna, niscaya akan datang bagi penduduk bumi tanda-tanda kiamat yang telah dijanjikan kepada mereka. ”

Dalam riwayat lain dari Ahmad bin Hanbal disebutkan, “Jika bintang-bintang telah sirma, niscaya penduduk bumi pun akan sima; dan jika Ahlibaitku telah sirna, niscaya akan simalah penduduk bumi.”

Disebutkan dalam riwayat al-Hakim, dan ia mensahihkannya sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, “Bintang-bintang adalah pelindung bagi penduduk bumi dari kekaraman, sedangkan Ahlibaitku pelindung bagi umatku dari perselisihan. Jika ada kabilah dari bangsa Arab yang menentang mereka (Ahlulbait), niscaya mereka akan senantiasa berselisih dan menjadi partai iblis.”

Dan banyak lagi riwayat yang satu sama lainnya saling menguatkan, misalnya sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku di tengah-tengah kalian seperti bahtera Nul!, barangsiapa yang menaikinya, niscaya ia akan selamat.”

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “… dan barang siapa yang tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam, ” dan di dalam riwayat yang lain, “Binasa.”

Ibn Hajar meriwayatkan, “Sesungguhnya perumpamaan Ahlibaitku seperti pintu pengampunan bagi Bani Israil, barangsiapa yang memasukinya, niscaya ia akan diampuni.”

Dan dalam riwayat lain, “Dosa-dosanya akan diampuni.”[172]


Penutupan Semua Pintu yang Menuju ke Masjid Kecuali Pintu Rumah ‘Ali

An-Nasa’i meriwayatkan dalam Khashâ’ish-nya dari Zaid bin Arqam sesungguhnya ia berkata, “Dahulu beberapa orang dari sahabat Rasulullah Saw mempunyai pintu yang menuju ke masjid. Lalu Rasulullah Saw bersabda, “Tutuplah pintu-pintu (yang menuju ke Masjid) kecuali pintu ‘Ali.”

Kemudian, beberapa orang membicarakan hal terscbut, lalu ia berpidato, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian ia bersabda, “Amma ba’du. Sesungguhnya aku telah memerintahkan untuk menutup pintu-pintu ini, kecuali pintu ‘Ali. Kemudian tidak salah seorang dari kalian yang membicarakan hal itu. Demi Allah, aku tidak menutupnya dan tidak pula membukanya. Akan tetapi, aku diperintahlean (oleh Allah) dengan suatu perintah, dan aku pun mengikutinya.”

Aku katakan, al-Hakim juga meriwayatkan hadis tersebut dalam Mustadrak-nya,jilid 3, halaman 125, dengan sanad yang berbeda dan terdapat sedikit perbedaan dalam teks hadis.

Al-Muhibb ath-Thabari juga meriwayatkannya dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 76, demikian juga para tokoh ulama Ahlus Sunnah yang lainnya meriwayatkan hadis tersebut.


‘Ali Bersama al-Qur’an dan al-Qur’an Bersama ‘Ali

AI-Qunduzi al-Hanafi menyebutkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah sebuah riwayat bahwa Nabi Saw bersabda ketika ia sakit yang membawa pada wafatnya, “Wahai orang-orang, sudah dekat waktunya nyawaku akan dicabut dengan cabutan yang cepat, dan sesungguhnya aku telah menasihatkan kepada kalian. Ketahuilah! Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian dua peninggalan yang sangat berharga (tsaqalain), yaitu Kitabullah ‘Au;; wa Jalla dan keturunanku Ahlulbaitku.”

Kemudian beliau memegang tangan ‘Ali seraya bersabda, “‘Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama ‘Ali. Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya menjumpaiku di Haudh, aku akan menanyakan kepada keduanya apa yang kalian perselisihkan tentang keduanya. ”

Al-Hamuyini meriwayatkan dalam Farâ’idush Shimthain, bab ke-36, dengan sanad dari Ummu Salamah Ra yang berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Ali bersama kebenaran, dan kebenaran bersama ‘Ali. Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya menjumpaiku di Haudh.”


‘Ali Pemimpin Kaum Muslim

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah”, halaman 55, dari Ibnu ‘Abbas sesungguhnya ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda kepada Ummu Salamah, “Wahai Ummu Salamah, ‘Ali dariku dan aku dari ‘Ali. Dagingnya dari dagingku dan darahnya dari darahku. Kedudukan ‘Ali di sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Wahai Ummu Salamah, dengarkanlah dan saksikanlah, ‘Ali adalah pemimpin kaum Muslim.”


‘Ali Pemimpin Bangsa Arab

Al-Qundfizi al-Hanafi juga meriwayatkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah dari Anas bin Malik yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Siapakah pemimpin bangsa Arab?” Para sahabat menjawab, “Engkau wahai Rasulullah.”

Ia bersabda, “Aku adalah pemimpin anak Adam, sedangkan ‘Ali adalah pemimpin bangsa Arab.”


‘Ali adalah Makhluk yang Paling Dicintai oleh Allab dan Rasul-Nya

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dalam Yanâbi’ul Mawaddah dari Ahmad bin Hanbal dengan sanad dari Safinah, Maula Nabi Saw, bahwa ia berkata, “Pemah seorang wanita Anshar memberikan kepada Rasulullah Saw daging berupa dua ekor burung yang dipanggang dan dua potong roti. Lalu Nabi Saw berdoa, “Ya Allah, datangkanlah kepadaku makhluk-Mu yang paling dicintai oleh-Mu dan Rasul-Nya, lalu ‘Ali datang, maka dia makan daging burung yang dipanggang itu bersama Nabi Saw sehingga keduanya merasa kenyang.“

Aku katakan, hadis ini dikenal dengan hadis daging panggang burung.


‘Ali Penakwil Al-Quran

Ibnu Hajar al-Asqalani meriwayatkan dalam al-Ishâbah dari ‘Abdurrahman bin Basyir yang berkata, “Kami pemah duduk-­duduk bersama Nabi Saw, ketika itu ia bersabda, “Ada seorang laki-la di antara kalian yang berperang karena penakwilannya, ebagaimana aku berperang karena penurunannya,” Kemudian Bakar berkata, “Akukah itu wahai Rasulullah?’ Ia menjawab, “Bukan.” Lalu ‘Umar berkata, “Akukah itu wahai Rasulullah?” Ia menjawab, “Bukan, tetapi orang yang sedang menjahit sandal.”

Kemudian, kami keluar (untuk melihat, siapakah orang yang dimaksud itu), ternyata ia adalah ‘Ali yamg sedang menjahit sandal Rasulullah Saw di kamar ‘A’isyah, lalu kami pun memberikan kabar gembira itu kepadanya.”

Aku katakan, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Qunduzi dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah, halaman 90, al-Muhibb ath-Thabari juga meriwayatkan hadis tersebut dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 76, dengan sedikit perbedaan dalam teks hadisnya.


Allah Swt Memperkuat Nabi-Nya dengan ‘Ali As

Al-Muhibb ath-Thabari meriwayatkan dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dari Ibnu al Khamis yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Ketika aku dimikrajkan ke langit, aku melihat pada kaki ‘Arsy sebelah kanan, di tempat itu aku melihat sebuah tulisan yang aku pahaminya (tertulis), ‘Muhammad Rasul Allah, aku memperkuatnya dengan ‘Ali dan aku menolongnya dengan ‘Ali.”


Barang Siapa Membenci ‘Ali, Allah Akan Menyungkurkan Mukanya ke dalam Neraka

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari al-Hamuyini asy-Syafi’i dalam Farâ’idus Simthain dan as-Sam’lini dalam al-Fadhâ’il dengan sanad dari Abuz Zubair dari Jabir bin’ Abdillah al-Anshari Ra, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Saw di Arafah, saat itu ia bersabda kepada Ali As, “Wahai ‘Ali, letakkanlah telapak tanganmu pada telapak tanganku! Wahai ‘Ali, aku dan engkau diciptakan dari satu pohon, aku adalah pangkalnya, sedangkan engkau adalah cabangnya, al-Hasan dan al-­Husain merupakan ranting-rantingnya. Barangsiapa berpegangan pada ranting-rantingnya, niscaya ia akan masuk surga. Wahai ‘Ali, seandainya umatku banyak mengerjakan shalat sehingga badannya membungkuk seperti busur, dan banyak berpuasa sehingga mereka menjadi seperli tali panah, kemudian mereka membencimu, niscaya Allah akan menyungkurkan muka mereka ke dalam neraka.”


‘Ali As adalah Orang yang Pertama Beriman kepada Nabi Saw

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari Abu Laila al-Ghifari sesungguhnya ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Akan terjadi pada umatku fitnah (perselisihan dan pertikaian). Jika hal itu telah terjadi, ikutilah ‘Ali bin Abi Thalib karena sesungguhnya ia adalah orang yang pertama beriman kepadaku dan orang yang pertama kali bersalaman denganku pada hari kiamat. Ia adalah ash-Shiddiqul Akbar dan ia adalah Fâruq (pembeda antara hak dan batil) umat ini. Ia adalah pemimpin kaum Mukmin, sedangkan harta adalah pemimpin kaum munafik.”[173]


‘Ali adalah Washiyy Rasulullah Saw

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari Ahmad bin Hanbal dari Anas bin Malik sesungguhnya ia berkata, “Kami pernah berkata kepada Salman, ‘Tanyakanlah kepada Nabi Saw tentang washiyy-nya!’ Lalu, Salman bertanya kepada Nabi Saw, “Wahai Rasulullah, siapakah yang menjadi washiyy-ku?’ Kemudian, Nabi Saw berkata, “Wahai Salmdn. siapakah washiyy Milsd?” Salman menjawab, “Yusya’ bin Nun.” Nabi Saw bersabda, “Washiyy-ku, yang mewarisiku. yang membayarkan utangku dan menunaikan janjiku adalah ‘Ali bin Abi Thalib.”[174]

Ibn Mardawaih meriwayatkan dalam Manaqib-nya dari Salman, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, “Kepada siapa yang kami harus ikuti sepeninggalmu dan mempercayakan urusan kami?”

Rasulullah Saw menjawab, “Khalifahku, saudaraku, pembantuku. dan orang yang paling baik yang aku tinggalkan sepeninggalku adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Ialah yang menyampaikan dariku dan melaksanakan janjiku.”

Ibn Mardawaih juga meriwayatkan dalam Manâqib-nya, Abu Na’im dalam Hilyatul Auliyâ’, al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, dan al-Khawarizmi dalam Maqtalul Husain dan Manâqib-nya dengan sedikit perbedaan dalam teks hadisnya dari Anas, ia berkata, “Nabi Saw bersabda kepada ‘Ali, “Engkaulah yang menyampaikan risalahku sepeninggalku, menyampaikan dariku, memperdengarkan kepada manusia suaraku, dan mengajarkan Kitabullah kepada manusia apa-apa yang mereka tidak ketahui.”

Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili meriwayatkan dalam Syarh Nahjul Balâghah dari Abu Ja’far al-Iskafi sabda Nabi Saw kepada ‘Ali ketika turunnya ayat, “Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.” (Qs. asy-Syura [26]214) Ali adalah saudaraku, washiyy-ku, dan khalifahku sepeninggalku.”

Dan al-Muhibb ath-Thabari meriwayatkan dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dan al-Khawarizmi dalam kitabnya al-Manâqib dari Nabi Saw sesungguhya ia bersabda, “Setiap nabi mempunyai washiyy dan orang yang mewarisi ilmunya dan sesungguhnya ‘Ali adalah washiyy-ku dan orang yang mewarisi ilmuku.”

Sesungguhnya hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang menegaskan bahwa ‘Ali As adalah washiyy-nya sangatlah banyak, yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Telitilah dengan saksama, niscaya Anda akan menemukan kebenaran ini. Maka, tidak ada alasan lagi bagi seseorang untuk menolak kebenaran ini (bahwa ‘Ali As adalab khalifab Rasulullah Saw secara langsung sepeninggalnya) setelab sampai kepadanya keterangan yang nyata ini.

“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula.” (Qs. al-Anfal [8]: 42)

Al-Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak dari Abu Dzar al-Ghifari Ra sesungguhnya ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali bin Abi Thalib, “Barangsiapa menaatiku, berarti ia telah menaati Allah; barangsiapa yang menentangku, berarti ia telah menentang Allah; barangsiapa yang menaatimu, berarti ia telah menaatiku; dan barangsiapa yang menentangmu, berarti ia telah menentangku.”[175]


Barang Siapa yang Mencintai ‘Ali, Allah Akan Mencintainya

Al-Hakim juga meriwayatkan dalam kitabnya al-Mustadrak dari Ibnu ‘Abbas sesungguhnya ia berkata, “Nabi Saw pernah (pada suatu hari) memandang ‘Ali As, lalu ia bersabda, ‘Wahai ‘Ali, engkau adalah pemimpin (Sayyid) di dunia dan pemimpin di akhirat. Kekasihmu adalah kekasihku dan kekasihku adalah kekasih Allah; musuhmu adalah musuhku, dan celakalah bagi orang yang membencimu sepeninggalku.”[176]


Mencintai ‘Ali adalah Tanda Keimanan, Membencinya adalah Tanda Kemunafikan

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dari ‘Ali As, ia berkata, “Nabi Saw telah mewasiatkan kepadaku bahwa tidak ada yang mencintaimu kecuali Mukmin dan tidak ada yang membencimu kecuali orang munafik.”[177]

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan hadis tersebut dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah, halaman 47, dengan jalur riwayat yang berbeda.

Al-Hakim meriwayatkan dalam kitabnya al-Mustadrak dari Abu Dzar Ra sesungguhnya ia berkata, “Kami dahulu mengenali orang-­orang munafik dengan pendustaan mereka terhadap Allah dan Rasul-­Nya, tidak mengerjakan shalat, dan kebeneian terhadap ‘Ali bin Abi Thalib As.”[178]


Tiga Perkara yang Hanya Dimiliki oleh ‘Ali As

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu ‘Umar sesungguhnya ia berkata, “Kami biasa berkata pada zaman Nabi Saw, “Rasulullah Saw merupakan sebaik-baik manusia, kemudian Abu Bakar, kemudian ‘Umar. Sungguh, telah dikaruniakan kepada ‘Ali bin Abl Thalib As tiga perkara, seandainya aku diberikan satu saja di antara ketiga perkara tersebut, niscaya lebih aku sukai daripada aku mendapatkan sekawanan unta merah (harta yang paling berharga di kalangan bangsa Arab), yaitu; Rasulullah Saw menikahkannya dengan putrinya dan ia mendapatkan keturunan darinya, penutupan semua pintu yang menuju ke dalam masjid kecuali pintunya, dan pemberian bendera kepadanya pada hari Perang Khabar.”[179]


Allah Swt Mewajibkan Makhluk-Nya untuk Mencintai ‘Ali As

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari al-Khawarizmi dengan sanad dari Imam Muhammad al-Baqir As dari Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari Ra sesungguhnya ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Jibril telah datang kepadaku dengan membawa selembar daun yang berwarna hijau dari surga, tertulis padanya, “Sesungguhnya Aku Allah telah mewajibkan makhluk-Ku untuk mencintai ‘Ali, sampaikanlah wahai kekasih-Ku hal itu dari-Ku.”[180]


‘Ali As Tidur di Tempat Tidur Rasulullah Saw pada Malam Hijrah

Al-Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak dari Ibnu ‘Abbas sesungguhnya ia berkata, “Ali mengorbankan dirinya (semata-mata demi mencari keridhaan Allah) dan memakai pakaian Nabi Saw, lalu tidur di tempat tidurnya, padahal ketika itu kaum musyrik sedang mengincar Rasulullah Saw (untuk membunuhnya). Rasulullah Saw memakaikan selimutnya kepada ‘Ali, sedangkan kaum musyrik Quraisy bermaksud membunuhnya.

Lalu mereka (kaum musyrik Quraisy) pun mengintai ‘Ali karena disangkanya ia adalah Rasulullah Saw yang sedang tidur dengan memakai selimut. Ketika kaum musyrik Quraisy menyerbu masuk ke dalam kamar Rasulullah Saw, temyata yang mereka dapatkan adalah ‘Ali, mereka lalu naik pitam seraya mencacinya…”[181]


‘Ali Menghancurkan Berhala yang Paling Besar

Al-Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak dengan sanad yang sampai kepada ‘Ali As sesungguhnya ia berkata, “Ketika malam hari Rasulullah Saw menyuruhku untuk tidur di atas tempat tidurnya, dan ia keluar dari rumahnya untuk melaksanakan hijrah, Rasulullah Saw membawaku ke tempat berhala-berhala, lalu ia bersabda, “Duduklah!’ Maka, aku pun duduk di samping Ka’bah, kemudian Rasulullah Saw naik di atas pundakku, kemudian ia bersabda, ‘Bangunlah” Maka, aku pun bangun mengangkatnya, lalu ketika ia mengetahui kelemahanku dalam mengangkatnya, ia bersabda, ‘Duduklah!’ Maka, aku pun duduk, lalu aku menurunkannya dari pundakku, kemudian ia bersabda kepadaku, ‘Wahai ‘Ali, naiklah di atas pundakku!” Maka, aku pun naik di atas pundaknya, kemudian ia bangkit seraya mengangkatku dan ia mengkhayalkan kepadaku seandainya aku mau, aku dapat meraih langit. Kemudian aku naik di atas Ka’bah. Kemudian Rasulullah Saw menjauh, lalu aku melemparkan berhala yang paling besar, yang dipahat dari besi. Ia bersabda kepadaku, ‘Hancurkanlah ia!’ Maka, aku pun terus berusaha menghancurkan berhala tersebut sampai aku berhasil menghancurkannya, lalu aku turun.”[182]


‘Ali Menyampaikan Surat Barâ’ah (berlepas diri) kepada Penduduk Makkah

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Waki’ sesungguhnya ia berkata, “Isra’il berkata, ‘Abu Ishaq berkata dari Zaid bin Yutsai’, dari Abu Bakar bahwa Nabi Saw pernah mengutusnya untuk menyampaikan surat barâ’ah (pemakluman) kepada penduduk Makkah, yang kandungan surat itu adalah sebagai berikut:

“Orang musyrik tidak diperkenankan setelah tahun ini untuk melaksanakan ibadah haji, dan demikian juga tidak dibolehkan seseorang melakukan thawaf dalam keadaan telanjang. Tidaklah akan masuk surga kecuali jiwa yang berserah diri kepada Allah (Muslim). Barangsiapa antara ia dan Rasulullah ada masa perjanjian, maka tundalah perjanjian itu sampai pada masanya. Dan sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri (barâ’ah) dari orang-orang musyrik. Lalu, Abu Bakar melaksanakan tugas Rasulullah Saw yang diamanahkan kepadanya. Akan tetapi, setelah tiga hari Abu Bakar pergi dengan membawa surat itu, Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali, “Susullah Abu Bakar dan perintahkanlah ia untuk kembali kepadaku, dan sampaikanlah isi surat itu (kepada penduduk Makkah)!” Kemudian, ‘Ali pun melakukan hal itu.

Kemudian setelah Abu Bakar datang menghadap Nabi Saw, ia menangis seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah telah terjadi sesuatu pada diriku?”

Rasulullah Saw menjawab, “Tidak ada sesuatu yang terjadi pada dirimu kecuali kebaikan. Akan tetapi, aku diperintahkan untuk tidak menyampaikan surat itu (pemakluman kepada penduduk Makkah) kecuali diriku sendiri atau seseorang dariku.”[183]

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya: al-Muhibb ath-Thabari dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 69, dengan sedikit perbedaan dalam teks hadis, at-Tirmidzi dalam Shahîh–nya, jilid 2, halaman 461, an-Naisaburi dalam al-­Mustadrak lish Shahîbain, jilid 2, halaman 51, al-Muttaqi al-Hanafi dalam Kanzul ‘Ummâl, jilid 1, halaman 246 dan 249, Ibnu Hajar al-‘Asqalani asy-Syafi’i dalam al-Ishâbah, jilid 2, halaman 509, dan Ibnu Hajar al-Haitsami dalam ash-Shawâ’iqul Mubriqah, halaman 19.


Iman ‘Ali As Lebih Berat daripada Penduduk Langit dan Bumi

Al-Muhibb ath-Thabari meriwayatkan dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ” dengan sanad dari ‘Umar bin al-Khaththab sesungguhnya ia berkata, “Aku bersaksi terhadap Rasulullah Saw, sesungguhnya aku mendengar ia bersabda, “Seandainya tujuh petala langit dan bumi diletakkan pada sebuah sisi timbangan dan iman ‘Ali diletakkan pada sisi lainnya, niscaya iman ‘Ali akan lebih berat.”[184]

Aku katakan, hadis ini juga diriwayatkan oleh banyak tokoh ulama Ahlus Sunnah, di antaranya: ath-Thabari asy-Syafi’i dalam kitabnya yang lain ar-Riyâdhun Nadhrah, jilid 2, halaman 226, al-­Qunduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah, halaman 254, al-Khawarizmi al-Hanafi dalam kitabnya al-Manâqib, halaman 78, al-Muttaqi dalam kitabnya Kanzul ‘Ummâl, jilid 6, halaman 156, al-Kanji asy-Syafi’i dalam kitabnya Kifâyatuth Thâlib, halaman 129, dan Ash-Shufuri asy-Syafi’i dalam kitabnya Nuzhatul Majâlis, jilid 2, halaman 240.


Pengakuan ‘Umar terhadap Keutamaan ‘Ali As

Ibn Hajar al-Haitsami meriwayatkan dalam kitabnya ash-­Shawâ’iqul Muhriqah, Pasal “Penyebutan Pujian Sahabat terhadap ‘Ali As”, ia berkata, “Ibn Sa’ad meriwayatkan dalam kitabnya ath-Thabâqât dengan sanad dari Abu Hurairah yang berkata, “Umar bin AI-Khaththab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui (a’lam) di antara kami tentang masalah hukum.[185]

Ath-Thabari meriwayatkan di dalam ar-Riyâdhun Nadhrah dari ‘Umar bin AI-Khaththab, dia berkata, “‘Orang yang paling mengetahui di antara kam; tentang masalah hukum adalah ‘Ali bin Abi Thalib.”[186]

As-Suyuthi meriwayatkan dalam kitabnya Târikh Khulafâ hadis yang semisal itu di dalam bab tentang keutamaan ‘Ali.

Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dalam al-Isti’âb dari Sa’id bin al-Musayyib sesungguhnya ia berkata, “Umar berlindung (kepada Allah) dari suatu masalah yang sulit yang tidak ada di dalamnya Abul Hasan.”[187]

Ath-Thabari juga menyebutkan riwayat tersebut dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 82.

Al-Muttaqi al-Hanafi menyebutkan riwayat itu dalam kitabnya Kanzul ‘Ummâl dari ‘Umar bahwasanya dia berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau turunkan kepadaku masalah yang berat, kecuali Abul Hasan ada di sisiku.”[188]

Ath-Thabari meriwayatkan di dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ bahwa ‘Umar sering bertanya kepada ‘Ali As dalam banyak masalah sulit yang dihadapinya, dan ucapan ‘Umar, “Ya Allah, janganlah Engkau turunkan kepadaku masalah yang berat, kecuali Abul Hasan (‘Ali) ada di sisiku.”

Yahya bin ‘Aqil juga menyebutkan bahwa ‘Umar biasa berkata kepada ‘Ali jika ia bertanya kepadanya suatu masalah, lalu ‘Ali memecahkan masalahnya tersebut, “Semoga Allah tidak tetap menghidupkanku sesudahmu wahai ‘Ali.”

Dan diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa ‘Umar berkata kepada ‘Ali, setelah dia menanyakan kepada ‘Ali suatu masalah dan’ Ali telah menjawabnya, “Aku berlindung kepada Allah untuk hidup di dalam suatu hari, sedangkan engkau tidak ada di dalamnya wahai Abal Hasan.”

Al-Kanji asy-Syati’i meriwayatkan dalam Kifâyatuth Thâlib, ia berkata, “Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dari ‘Umar yang berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum,” kemudian “Umar berkata, “Aku mengikuti hal itu dari Rasulullah Saw” maka sekali-kali aku tidak akan pemah meninggalkannya.”

Ibnu ash-Shibagh juga meriwayatkan hal itu dalam al-Fushûlul Muhimmah, halaman 17.


Ucapan ‘Umar, “Tidaklah Sempurna Kemuliaan kecuali dengan (Mengakui) Wilayâh ‘AIi.”

Ibn Hajar meriwayatkan dalam kitabnya ash-Shawâ’iqul Muhriqah, ia berkata, “Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dalam aI-­Isti’âb dari lbnul Musayyib, ia berkata, “Umar berkata, ‘Cintailah orang-orang yang mulia dan hendaklah kalian saling mencintai serta takutlah terhadap kehormatan kalian, janganlah ia sampai jatuh ke lembah yang paling bawah (nista). Ketahuilah! Sesungguhnya tidaklah sempurna kemuliaan kecuali dengan (mengakui) wilâyah ‘Ali.”

Ucapan ‘Umar tersebut bersumber dari sabda Rasulullah Saw, yaitu dalam hadis terkenal yang diriwayatkan oleh banyak ulama Ahlus Sunnah, seperti: al-Hamuyini asy-Syafi’i dalam Farâ’idus Simthain, jilid 2, halaman 49, Ubaidullah al-Hanafi dalam Arjahul Mathâlib, halaman 320, dan az-Zamakhsyari dalam al-Kasyâf, jilid 2, halaman 339.

Az-Zamakhsyari meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan mencintai keiuarga Muhammad, ia meninggal dalam keadaan syahid. Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, ia meninggal dalam keadaan diampuni dosanya. Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, ia meninggal dalam keadaan bertobat. Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, ia meninggal dalam keadaan beriman, yang sempurna imannya. Ketahuilah! Barangsiapa, meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, malaikat maut akan memberinya kabar gembira dengan masuk surga, kemudian Munkar dan Nakir (juga akan mengabarkan hal yang sama).

Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, ia akan diantar masuk ke dalam surga, sebagaimana pengantin perempuan diantar ke rumah suaminya. Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, akan dibukakan baginya dalam kuburnya dua pintu ke surga. Ketahuilah! Barangsiapa meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, Allah akan menjadikan kuburnya sebagai tempat persinggahan para malaikat… ”

Adakah kemuliaan yang lebih besar daripada kemuliaan yang didapatkan pecinta keluarga Muhammad? Dan apakah kemuliaan akan sempuma tanpa mencintai keluarga Muhammad?

Oleh karena itu, perkataan ‘Umar tersebut sesuai dengan apa yang telah dikabarkan oleh Rasulullah Saw dari hasil kecintaan kepada keluarga Muhammad, dan ‘Ali adalah salah seorang dari keluarga Rasulullah Saw yang paling mulia dan paling utama dengan penegasan dari Nabi Saw dalam banyak hadis beliau.

Aku katakan, hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw tentang keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali As dan Ahlulbait yang telah disucikan oleh Allah Swt. sangatlah banyak, tidak terhitung. Semua penulis yang menuliskan tentang keutamaan Ahlulbait, walaupun ia telah berusaha dengan segala upayanya, tetap tidak akan mampu menyebutkan semua keutamaan mereka.

Oleh karena itu, kami membatasi yang sekiranya cukup bagi orang-orang yang berpikir, yang mereka ini telah meluruskan niat mereka dan membebaskan diri mereka dari kefanatikan mazhab serta menjauhkan diri dari pertikaian golongan. Adapun pembaca kita yang tetap keras kepala, tidak mau menerima kebenaran yang hakiki, banyaknya hadis Nabi Saw yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah sama sekali tidak memberikan manfaat kepadanya, apalagi hadis-hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan dalam kitab-­kitab Syi’ah, yang diriwayatkan melalui jalur para Imam Ahlulbait As.

Demi Tuhanmu, katakanlah kepadaku wahai pembaca yang budiman, masih adakah bantahan yang layak ditujukan kepada kami, setelah adanya nash-nash yang gamblang dan tegas yang menetapkan kebenaran terhadap keyakinan kami, para pengikut mazhab Ahlulbait?

Dan juga demi Tuhanmu, katakanlah kepadaku wahai pembaca Muslim yang adil, apakah diriwayatkan hadis-hadis sahih tentang keutamaan para sahabat Nabi Saw dalam kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah, seperti hadis-hadis sahih, yang diriwayatkan tentang keutamaan-keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbaitnya dalam kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah?

Kemudian, apakah Allah Swt telah menghilangkan dosa dan noda kepada salah seorang dari sahabat Nabi Saw, sebagaimana Allah telah menghilangkan dosa dan noda dari Ahlulbait?

Adakah diturunkan firman Allah Swt kepada salah seorang dari sahabat Rasulullah Saw ayat, “Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang (mawaddah) terhadap keluargaku.” (Qs. asy-Syura [42]:23) selain ‘Ali dan Ahlulbait?

Demi Tuhan Pemilik Ka’bah, tidak pernah sejarah menuturkan kepada kita salah seorang sahabat Nabi Saw yang memperoleh keutamaan seperti yang diperoleh oleh Amirul Mukminin ‘Ali dan keluarganya, kecuali dalam hadis-hadis yang dibikin-bikin (hadis palsu) yang sengaja diciptakan oleh orang-orang, seperti Abu Hurairah, Samurah bin Jundab, dan para pemalsu hadis lainnya yang semisal dengan keduanya.

Apakah layak setelah ini, ada orang lain yang lebih didahulukan daripada ‘Ali dan Ahlulbait yang telah disucikan oleh Allah dari segala dosa dan noda, yang mereka ini selalu berada dalam jalan kebenaran, sesuai nash al-Quran dan hadis Nabi Saw yang mulia?

Ya Allah, hanya kepada-Mu kami mengadu, dan hanya kepada­Mu pula kami berlindung dari musuh-musuh Muhammad dan Ahlulbaitbeliau. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung. []


Referensi:

[139]. Lihat, Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 1, hal. 406
[140] . Lihat, , Muslim, Shahîh , jil. 2, hal. 79, Bab Sesungguhnya Orang-orang itu Mengikuti Quraisy.
[141] . Idem.,
[142] . Lihat, Sunan at- Tirmidzi, jil. 2.
[143] . Lihat, Shahîh al-Bukhâri, jil. 4, bab Hukum-hukum.
[144] . Idem, Bab Manakib Quraisy dan dalam bab Para Khalifah berasal dari Quraisy.
[145]. Lihat, al-Muttaqi, Kanzul ‘Ummâl Jil. 6, hal. 160.
[146] . Lihat, Ibn Hajar, Shawa’iq, bab 11, pasal 2.
[147] .Hadis-hadis tentang dua belas khalifah tersebut hanya dapat terapkan pada mazhab Syi’ah lmamiyah yang mengakui dua belas imam atau khalifah. Adapun selain Syi’ah lmamiyah sarna sekali tidak dapat diterapkan pada mereka karena mereka membolehkan kepemimpinan di tangan seorang selain dari Quraisy. Selain itu, jumlah raja dari Bani Umayyah dan ‘Abbasiyah melebihi dua belas orang. Apabila dikatakan bahwa yang dimaksud dengan dua belas khalifah adalah orang-orang saleh di antara mereka, maka jawabnya adalah: pertama, orang-orang saleh sesuai pengakuanmu di antara para khalifah Bani Umayyah dan ‘Abbasiyah jumlahnya tidak mencapai dua belas orang. Kedua, jika pendapatmu itu benar, maka hal ini mengharuskan adanya selang waktu antara seorang imam dengan imam yang lain sehingga terdapat kekosongan zaman dari imam. Hal tidak ini dapat dibenarkan sesuai hadis sahih yang diriwayatkan dari Nabi Saw., “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak mengenal imam lamannya, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliah.”
[148] . Lihat, Ibn Hajar, ash-Shawâ’iqul Muhriqah, hal. 78.
[149] . Lihat, al-Khawarizmi, Maqtalul Husain, jil. 2, hal. 39.
[150] . Lihat, al Hamuyini asy-Syafi’i, Farâ’idus Simthain, jil. 1, hal. 54.
[151] . Lihat, al-Muhibb ath-Thabari asy-Syafi’i, ar-Riyâdhun Nadhrah, jil. 2, hal. 173, 177 dan 144.
[152] . Lihat, al-Khathib al-Baghdadi, Târikh Baghdâd, jil. 3, hal. 161.
[153]. Lihat, al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, hal. 251.
[154]. Lihat, al-‘Allamah al-‘Askari Maqâm al-Imâm Amirul Mu’minin ‘indal Khulafâ, hal. 54.
[155] . Lihat, al-Khawarizmi Maqtalul Husain, jilid 2, hal. 38.
[156] . Lihat, Muhammad bin Shalih al-Hanafi, al-Kawakib ad-Durri, halaman 122.
[157]. Lihat, al-Khawarizmi al-Hanafi, Maqtalul Husain, hal. 97.
[158] . Lihat, al-Muttaqi al-Hanafi, Kanzul ‘Ummâl jilid 6, halaman 393
[159] . Lihat, al-Muhibb ath-Thabari asy-Syafi’i, ar-Riyâdhun Nadhrah, jil. 2, hal. 163
[160] . Lihat, al-Muhibb ath-Thabari, Dzakâ’irul ‘Uqbâ, hal. 89.
[161]. Lihat, al-Muttaqi al-Hanafi Kanzul ‘Ummal, jil. 6, hal. 159 ز
[162]. Lihat, al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib hal. 76.
[163]. Lihat ,al-‘Allamah al-‘Askari, Maqâmul Imâm, hal. 24.
[164] . Lihat, Dzakhâ’irul ‘Uqba, halaman 90
[165] . Lihat, Ibnu Hajar, ash-Shawâ’iqul Muhriqah, hal. 108.
[166] . Lihat, Kanji asy-Syafi’i, Kifâyatuth Thâlib, hal. 124.
[167] . Lihat, al-Khawarizmi al-Hanafi, al-Manâqib, hal. 206.
[168] . Lihat, al-‘Allamah al-‘Askari, Maqâmul Imâm, hal. 57.
[169] . Lihat, at-Tirmidzi (Muhammad bin Shalih) al-Hanafi, al-Kawâkib ad-Durri’, hal. 134.
[170] . Lihat, al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, hal. 253.
[171] . Lihat, al-Khawarizmi, Manâqib, hal. 43.
[172] . Demikian diriwayatkan dalam ash-Shawâ’iqul Muhriqah, karya Ibn Hajar. Aku katakan, sesungguhnya Ibn Hajar meriwayatkan banyak riwayat yang sesuai dengan keyakinan Syi’ah, dimana mereka ini adalah orang-orang yang memperwalikan Allah dan Rasul-Nya, serta ‘Ali, Fatimah, al-Hasan, dan al-Husain, yang mereka ini adalah ashâbul kisâ, dimana mereka ini telah diajak oleh Rasulullah Saw untuk ber-mubahalah dengan kaum Nasrani dan Najran, dan juga sembilan (imam) dari keturunan al-Husain, kemudian setelah itu ia (Ibn tlajar) mengalamatkan celaan dan tuduhan terhadap Syi’ah untuk mengkhayalkan kepada pembaca bahwa mereka ilu bukan Syi’ah yang ada pada zaman permulaan Islam, lalu ia menganggap bahwa dirinyalah dan orang-orang yang semisalnya, dari golongan nawashib yang tercela, yang sebenamya Syi’ah.
[173] . Lihat, Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddahh, hal. 82.
[174] . Lihat, Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddahh, hal. 128.
[175] . Lihat, Al-Hakim, al-Mustadrak, jil. 3, hal. 128.
[176] . Idem.,
[177] . Lihat , Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil 2, hal. 102.
[178] . Lihat, Al-Hakim, al-Mustadrak, jil. 3, hal. 129.
[179] . Lihat , Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil 7, hal. 20.
[180] . Lihat, Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, hal. 78
[181] . Lihat, Al-Hakim, al-Mustadrak, jil. 3, hal. 4.
[182] . Lihat, Al-Hakim, al-Mustadrak, jil. 3, hal. 5.
[183] . Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil. 1, hal. 156.
[184] . Lihat, al-Muhibb ath-Thabari, Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, hal. 100.
[185] . Lihat, Ibnu Hajar al-Haitsami, ash-­Shawâ’iqul Muhriqah
[186] . Lihat, Ath-Thabari, ar-Riyâdhun Nadhrah, hal
[187] . Lihat, Ibnu ‘Abdil Barr, al-Isti’âb, hal.
[188] . Lihat, Al-Muttaqi al-Hanafi, Kanzul ‘Ummâl, hal.

(Syiah-Sunni/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: