Yahudi bukan Zionis, Kristen bukan Crusaders dan Islam bukan ISIS. Ada perbedaan antara agama dan organisasi pemeluknya. Agama-agama samawi mengajarkan rahmah, compassion dan rahamanut/rehem, sedangkan pemeluknya ada yang mengamalkan agama berdasarkan ambisi kekuasaan dan kebencian.
Zionisme dianggap sebagai bentuk kolonialisme tidak hanya oleh warga Palestina dan Indonesia, namun zionisme juga dilawan oleh banyak kalangan Yahudi seperti Satmar Hasidim, Neturei Karta, dan organisasi-organisasi Heredi Orthodox. Para Rabi Yahudi dari kalangan ini menilai bahwa zionisme adalah gerakan penjajahan yang menggunakan kekerasan secara tidak manusiawi. Zionisme tidak mencerminkan ajaran inti Yahudi dan cenderung sekuler.
Yahudi, sebagaimana diutarakan oleh Hillel, mengajarkan: “Apa yang tidak engkau senangi untuk dirimu sendiri, jangan lakukan kepada sesamamu. Itulah inti seluruh ajaran Taurat”. Hal ini senada dgn Rabi Aqiba yang menyatakan bahwa perintah “Kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri” adalah prinsip utama Taurat.
Rabi Aqiba yang menebarkan ajaran belas kasih itu dieksukusi oleh Romawi pada tahun 135 M, bahkan Sinagog-sinagog Yahudi juga dibakar dan dihancurkan. Bukannya membalas dendam, para Rabi Yahudi malah berkata: “Tak usah bersedih, kita memiliki penebusan yang setara dengan Rumah Suci, yakni melakukan perbuatan yang penuh kasih sayang (gemilut hasadim) karena kita menginginkan cinta (hesed) dan bukan semata-mata persembahan.
Yahudi, seperti halnya Islam, memperbolehkan peperangan hanya untuk membela diri dan dalam keadaan terpaksa. Prinsip utamanya adalah menebarkan shalom atau salam yang berarti damai. Shalom bukan sekedar ketiadaan konflik, namun juga diyakini sebagai keutuhan, harmoni dan penyelesaian konflik.
Para Rabi Yahudi yang anti zionisme sering mengingatkan pesan Taurat: “Hendaknya engkau tidak membenci saudaramu di dalam hatimu”. Mereka meyakini bahwa kekerasan terhadap warga Palestina merupakan pelanggaran moralitas keyahudian. Kekuatan sejati bangsa Israel tidak terletak pada kekuatan militer, tetapi dalam belas kasih dan rekonsiliasi. Siapakah yang kuat? para Rabi bertanya. “Dialah yang mengubah musuh menjadi teman”, jawab para Rabi Yahudi.
Penghayatan atas ajaran mulia Yahudi inilah yang mendorong para audien AJC memberikan applause yang meriah kepada Gus Yahya saat mengakhiri dialognya dengan mengajak orang Yahudi mendahulukan rahmah/kasih sayang daripada konflik. Dialog itu meninggalkan pesan bahwa jembatan perdamaian di Palestina adalah melalui rahmah atau rahamanut dalam versi Ibrani. Wallahu a’lam bishawab.
Gus Irwan Mashduqi, Lc.
(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar