Jahid meriwayatkan: seorang Nasrani dengan lancang dan kurang ajar mendatangi Imam kelima, Imam Muhammad al- Bagir as, dan berkata: “Anta Baqor (kamu yang namya sapi)”
Imam menjawab: “Tidak, bukan demikian, aku adalah Baaqir. (bagir)”
Nasrani kembli bertanya: “Apa kamu anak Tabbakhah (tukang masak roti)”?
Imam menjawab: “Itu adalah keahliannya”.
Nasrani bertanya yang ketiga kalinya: “Apakah engkau anak seorang budak hitam Badziyah (bermulut jelek)?”
Imam menjawab:
”إِنْ كُنْتَ صَدَّقتَ غَفَرَاللّٰه لَهَا، وَ إِنْ كُنْتَ كَذَّبتَ غَفَرَ اللّٰه لَك“
“Kalau engkau benar, semoga Allah memaafkannya, dan kalau engkau bohong semoga Allah memaafkanmu.”
Laki-laki Nasrani itu terheran melihat akhlak Imam Bagir dalam menjawab cercaannya, beliau jawab cacian dengan kebesaran jiwa dan rendah diri serta tidak emosi. Setelah itu laki-laki Nasrani itu jatuhbersimpuh dihadapan Imam, dan memeluk agama Islam. [1]
Perlu diketahui, ibu Imam Muhammad al-Bagir as, adalah Ummu Abdullah putri Imam Hasan Mujtaba as.
Selain peristiwa di atas, peristiwa yang serupa dengan kisah di atas yang menimpa muhakkik muhaddits terkemuka Khajeh syeikh Nasiruddin Thusi, dengan salah seorang yang menyuratinya dengan tidak sopan dan lancang, dalam surat itu dikatakan, kepada “Anjing putra Anjing “
Surat tersebut sampai ketangan mulia syeikh, kemudian beliau membalas surat lancang dan tidak sopan tersebut dengan sebagai berikut:
“Perkataan yang engkau tujukan kepadaku: Wahai Anjing, tidak benar. Sebab anjing berjalan dengan empat, tangan dan kaki. Kukunya panjang dan tajam, tetapi aku berjalan dengan tegak dan lurus, wajahku tampak terang, tidak seperti anjing yang wajah dan hidungnya dipenuhi oleh bulu dan rambut. Kuku-kukuku pendek dan tidak tajam, aku bisa berbicara dan tertawa. Sedangkan anjing, tidak bisa berbicara dan tertawa. Atau dalam istilah Mantiq (ilmu logika), karakteristik yang ada pada jiwaku berbeda dengan yang ada pada anjing.
Dangan sikap dan jawaban yang seperti ini, tanpa cacian dan emosi, penulis surat tenggelam dalam kebodohan dan kedunguannya.
Catatan Akhir
[1] Al Bayan Wa Tabyin, 1 / 84 cetkan Abdus Salam. Muhammad Harun Manaqib Ibnu Syahr Asub 4 / 207
Dikutip dari: Beginilah Seharusnya Syi'ah Berperilaku, Mahdi Faqih Imani, hal.50-51.
(Karimah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar