Oleh: Jan Roi Amanson Sinaga
Beberapa waktu yang lalu, Bunda Neno Warisman, dengan suara melengking di atas sebuah mobil bak terbuka, mengajak seluruh simpatisannya di Surakarta mengucapkan ikrar. Persis di depan Markobar, milik putra Presiden Jokowi.
Semua peserta yang hadir, didominasi kaum ‘lonceng’ (pria), seolah tunduk dan manut untuk mengikuti ikrar yang dibacakan mantan artis tersebut.
Beberapa bulan yang lalu, sebuah lagu sudah dirilis lewat media YouTube. Judulnya 2019 Ganti Presiden. Penyanyinya macam-macam, ada politisi, mantan musisi, mantan artis, yang mau jadi musisi, yang belajar jadi politisi, sampai yang sok-sokan seorang politisi. Bahkan ada yang ngaku-ngaku mirip Mahathir Mohamad, padahal kelasnya beda jauh.
Beberapa bulan dan bulan yang lalu, sebuah tagar #2019GantiPresiden mulai menggema. Pencetusnya, ya pasti mereka yang berada di pihak oposisi. Dengan berbagai alasan, dengan beragam alibi, seruan untuk segera ganti presiden mereka gaungkan.
Bahkan, tanpa mereka sadari, usaha mereka akhirnya menjerumuskan pengikutnya hingga kelewat batas dalam berekspresi, berujung fitnah dan caci maki.
Seolah-olah Presiden saat ini, Joko Widodo, tidak ada benarnya, semua salah. Bahkan, saat mata kita melihat upaya pembangunan infrastruktur yang sangat berguna bagi rakyat, seolah tidak ada artinya. Bahkan terasa kalah dari presiden sebelumnya, atau sebelum-sebelumnya. Sampai saya berpikir, itu otak apa sudah kesetrum belut listrik? Sehingga tidak ada sikap untuk menghargai sedikitpun.
Memuji Jokowi dengan menyatakan presiden paling berhasil memanglah tidak benar 100%. Karena dari sekian banyak janji Nawacita beliau saat kampanye dulu, masih banyak yang belum dilaksanakan dengan maksimal. Kita boleh berbangga hati dengan perkembangan infrastruktur yang sangat baik, sehingga menjadi nadi utama penggerak ekonomi rakyat nantinya.
Tapi masalah hukum dan pelanggaran HAM? Masih menumpuk di meja kerja beliau untuk segera dieksekusi, dan rakyat masih menantikan penyelesaiannya. Pelanggaran HAM di Papua, kasus Mei 98, kasus ‘Kamisan’, dan beragam kasus lainnya yang menyengsarakan rakyat.
Tapi, cara upaya yang dilakukan pihak oposisi terkesan lebay, dan tidak elegan. Bahkan tidak jarang mempermalukan diri sendiri. Agama yang begitu suci pun akhirnya dikorbankan.
Bagaimana tidak tertawa, saat TGB melontarkan pujian dan dukungan kepada Jokowi, langsung dituduh ‘haus kekuasaan’ dan tidak taat perintah agama. Padahal, sebelum TGB menyatakan ungkapan hati tersebut, beliau dielu-elukan sebagai sosok yang tepat pengganti Jokowi.
Tapi di mana salahnya TGB saat ia mengutarakan kebenaran apa yang telah ia lihat? Apa yang telah ia dan rakyat NTB rasakan dari hasil kinerja pemerintahan Jokowi-JK? Beliau pun dihakimi secara sepihak dan dituduh yang macam-macam.
Saat pak Ngabalin akhirnya duduk di lingkaran pemerintahan, dituduh juga ‘haus kekuasaan’. Lah, itu yang kalian dukung dengan tagar #2019GantiPresiden bersama barisan sakit hatinya, mau merebut apa?
Munafik namanya jika kita sebut mereka berjuang bukan untuk merebut kekuasaan di saat ada yang telah berjuang 2 periode ingin menjadi penguasa tapi gagal, dan berencana mencetak ‘hattrick’. Masih mengelak disebut ingin berkuasa?
Di saat ada yang ngakunya ingin memperjuangkan ‘umat’, memperbaiki keadaan bangsa, tapi berupaya membenturkan rakyat dengan timbulnya polemik di tengah-tengah masyarakat.
Come on! Mari bersikap jujur. Menyatakan ingin berkuasa bukanlah hal ‘kurang ajar’ kok. Itu lumrah dalam sebuah negara demokrasi. Semua yang terjadi saat ini hanya ingin berkuasa di negeri yang kita cintai ini.
Akan tetapi, jangan sampai mengorbankan persatuan, kedamaian yang sudah terjalin erat selama ini. Menukil ungkapan Ahok yang membuat ia tersandung kasus hukum, “Jangan mau dibohongin oleh mereka yang nafsunya ingin berkuasa, namun mengorbankan segalanya, termasuk keyakinannya.”
Jadi, mau ganti Presiden? Oleh siapa? Kita ingin ganti Presiden saat ada sosok yang benar-benar mampu membangun bangsa lebih baik. Dan tentunya jauh lebih baik dari Jokowi. Ada?
Jokowi yang berhasil memimpin daerah saja masih kelabakan mengurus negara sebesar ini,.Masa masih mau coba-coba yang tidak punya pengalaman memimpin rakyat bebal seperti kamu? Iya… Kamu.. !
Benar kata TGB, yang sudah dimulai Jokowi akan rusak nantinya jika bukan beliau yang selesaikan. Buktinya, kan sudah dirasakan warga….. Eh, warga wakanda aja deh! Lantas, masih mau ganti Presiden?
Lagu 2019 Ganti Presiden itu memang enak didengar kok. Bahkan saya yang jelas-jelas pro pemerintahan yang sah, sering putar lagu itu. Apalagi melihat ekspresi pak Amien Rais saat bernyanyi, mengingatkan saya dengan pak Mahathir.
Tapi ingat, 2019 itu waktunya pemilihan presiden, bukan ajang cari bakat semisal Presiden Idol atau Blind audition ala The Voice of oposisi.
Tanda tagar 2019 Ganti Presiden juga sudah mewabah di dunia maya. Bahkan sudah masuk ke rumah ibadah, bukan? Mungkin mengejar target trending topic di Twitter ngalahin #ThreeLions yang sudah ditwit sebanyak 52,7 ribu kali.
Tapi ingat bapak-bapak dan ibu-ibu, 2019 itu bukan mau ganti tagar, tapi pilpres. Paham? Kagak. Jika memang ada calon yang mumpuni, ketengahkan dari sekarang. Bukan malah lebih senang koar-koar ganti presiden, tapi calonnya gak ada.
Mau ganti Presiden? Oleh siapa? Wong calonnya aja banyak sekali. Ada Pak Prabowo yang masih setia dengan perjuangannya. Ada Mbah Amien Rais yang ngakunya semakin muda setelah Mahathir Mohamad kembali jadi PM Malaysia. Ada Anies, Gatot, dan lain-lain, dan lain-lain.
Siapa calonnya?
“Tunggu dong. Kan pendaftaran masih lama?” alasan mereka.
Padahal mereka sedang membaca situasi politik, karena Jokowi juga belum menentukan Cawapres yang akan diusung. Padahal Pak Jokowi sengaja menahan diri untuk melihat sejauh mana sih ‘keberanian’ penantangnya di 2019 nanti. Dan sampai saat ini, langkah Jokowi masih unggul di depan, karena pihak lawan juga masih kocar-kacir lobi-lobi politik yang semakin hari semakin ‘gelap’ arahnya.
Yang pasti, pemilih potensial saat ini adalah kaum milenial (usia 45 ke bawah), dan tentunya rata-rata melek politik, yang paham mana yang layak didukung untuk jadi pemimpin, mana yang hanya sekadar melampiaskan nafsu berkuasa saja.
Yang jelas, jika ingin ganti presiden, pilihlah calon yang kompeten, dan lebih dari segalanya ketimbang Pak Jokowi. Karena memilih pemimpin itu layaknya memilih pendamping hidup.
Jangan milih suami/istri yang menang gagah-gagahan saja, tapi loyo saat beraksi. Bukan juga yang katanya rajin ibadah, tapi setan yang menguasai hati. Bukan pula yang katanya siap menjadi tulang punggung keluarga, tapi nyatanya buaian belaka.
Tapi pilihlah yang sudah memberi bukti, yang membalas caci maki dengan sejumlah prestasi. Yang taat beribadah itu, kelihatan dari perbuatannya, bukan hanya kata-kata hiasan semata. Yang ber-Tuhan itu, yang menghargai sesama, bukan yang rela membenturkan sesama manusia.
Dan itu semua, sudah ada di depan mata. Jadi, masih mau ganti Presiden? Oleh siapa? Masak ngakunya mau ganti presiden, ganti mantan kader di Senayan aja gak sanggup? Ai na boha do? (Bagaimana sih?)
(Qureta/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar