Setelah Jokowi menunjuk KH Ma’ruf Amin sebagai Cawapres ada kesan umum yang beredar yang saya tangkap: “Jokowi menari-nari mengikuti bunyi gendang lawan”. Maksudnya, Jokowi selama ini diserang oleh lawan-lawannya dengan isu agama dan SARA, kini–menurut mereka–Jokowi mengikuti permainan mereka saat pemilihan Cawapresnya. Atau ada yang beranggapan Jokowi penakut, karena takut diserang dengan isu SARA dan politik identitas, kini ia pun jadikan SARA dan politik identitas sebagai bentengnya.
Tapi bagi saya, pilihan Jokowi atas KH Ma’ruf Amin adalah pilihan yang cerdas, cerdik, kokoh dan sulit dikalahkan oleh lawan.
Saya pun teringat pelajaran ilmu Kalam dari Imam Al-Ghazali melalui bukunya, al-Iqtishad fil I’tiqad yang kira-kira terjemahan “Berakidah Secara Ekonomis”. Dari judulnya kita ini sudah menarik. “Ekonomis” di sini maksudnya seperti pemahaman kita saat ini, mencari posisi di tengah, tidak bermewah-mewah, juga tidak melarat. Mencari titik ekonomis. Demikian pula dalam berakidah. Imam Al-Ghazali menjauhi ekstrimisme (at-tatharrufiyah), sebagai tokoh Ahlul Sunnah Waljamaah Al-Asyariyah, Imam Ghazali mendayung dia antara dua arus ekstrim: kubu rasional murni dan kubu skriptualis harafiah (Letterlijk). Kubu pertama sangat percaya kekuatan akal dan menolak teks, kubu kedua sering mengatasnamakan teks dengan menolak akal. Imam Al-Ghazali menempuh jalur tengah, yang kira-kira pemahaman saat ini memang “ekonomis” sesuai judul kitab beliau.
Yang menarik dalam buku ini, bagaimana Imam Al-Ghazali menghadapi kubu rasionalis, ahli filsafat (filsuf), logika, kaum naturalis (al-Ghazali menggunakan istilah ad-dahriyah, dalam istilah Arab modern para naturalis disebut a-thabiiyun), Imam Al-Ghazali menghadapi dan menaklukkan kubu lawannya dengan metode dan cara beragumentasi mereka.
Al-Iqtishad fil I’tiqad adalah kitab polemik terbaik Imam Al-Ghazali yang mampu menghadapi masalah ketuhanan (al-ilahiyah), alam (al-alam) dan waktu (zaman) dari argumentasi teologi Islam yang menaklukkan kubu filsuf, logika dan naturalis yang mereka percaya alam itu tak bermula (qadim) dan tak berakhir (azali), demikian pula waktu, karena alam dan waktu itu qadim dan azali maka tidak dibutuhkan Tuhan. Imam Ghazali meruntuhkan argumentasi ini dengan meneguhkan bahwa hanya Tuhan yang tak bermula dan tak berakhir (qadim-azali/alfa-omega).
Bagaimana Imam Al-Ghazali meruntuhkan argumentasi lawan? Menurut dosen saya saat itu Doktor Afifi yang mengampu materi Ilmu Kalam Imam Al-Ghazali menggunakan tehnik “muwajahatul khashm bi thariqatil khashm” (menghadapi lawan dengan metode lawan). Dalam menghadapi kaum filsuf, logika dan naturalis, Imam Al-Ghazali tidak menggunakan teks-teks keagamaan, Quran dan Hadits, tapi metode rasional yang mereka juga pakai, yakni logika!
Cara yang dipakai adalah silogisme (qiyas), Imam Al-Ghazali menerima dan memakai premis mayor yang juga diterima oleh kalangan lawanya yang kemudian kesimpulannya sama dan ditunjukkan kelemahan lawannya.
Contoh:
Al-alam mutaharrikun/alam ini bergerak (premis mayor)
Kullu mataharrikin lahu muharrikun/setiap yang bergerak ada penggeraknya (premis minor)
Al-alam lahu muharrikun/alam membutuhkan penggerak (kesimpulan)
Premis mayor (alam bergerak) ini terima oleh kalangan filsuf dan ahli logika, maka Imam Al-Ghazali pun menyodorkan Kesimpulannya “alam yang bergerak membutuhkan penggerak”, artinya alam bergerak tidak dengan sendirinya, penggerak dan penyebab utama inilah yang sering disebut sebagai “prima-causa” inilah bukti Tuhan itu wajib ada sebagai Panggeran dan Penyebab Utama (Prima-causa).
Seperti Imam Al-Ghazali, Jokowi juga menggunakan tehnik ini. Ia menerima semua premis-premis mayor lawan: agama itu penting, Islam itu penting, ekonomi Islam itu penting, ulama itu penting, ormas Islam itu penting, fatwa itu penting, rekomendasi ulama itu penting. Kemudian kesimpulannya, Jokowi memilih KH Ma’ruf Amin, seorang tokoh agama, tokoh umat Islam, pemimpin ormas Islam terbesar, tokoh pemberi fatwa, tokoh ekonomi Islam, tokoh ekonomi keumatan, yang saya haqqul yakin jawaban dan pilihan Jokowi ini tidak akan bisa dibantah dan ditolak oleh lawan-lawannya.
Kita baru saja dibisingkan dengan rekomendasi yang mengatasnamakan Ijtima’ Ulama untuk pasangan Umara-Ulama, maksudnya Prabowo atau Abdul Somad/Salim Segaf. Tapi kini, Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno, jangankan memenuhi kriteria ulama, disebut santri pun belum. Malah Jokowi yang merestui aspirasi mereka dengan duet Jokowi KH Ma’ruf Amin sebagai Umara-Ulama.
Jokowi telah menggunakan jurus tai chi yang memfokuskan pada keseimbangan (nasionalis-religius), kelembutan dan untuk yang lebih atraktif lagi: menggunakan tenaga serangan lawan sebagai pukul balik pada lawan! Isu SARA dan politik identitas yang selama ini menyerang Jokowi telah dikendalikan melalui kelembutan KH Ma’ruf Amin.
Dengan memilih KH Ma’ruf Amin, dengan sendirinya Jokowi telah memasukkan permainan lawan yang sering memakainya dengan isu SARA dan Agama ke dalam kardus. Apalagi di tengah isu “jenderal kardus” dan duit 500 M seperti yang disebutkan oleh elit Demokrat Andi Arief yang gagal berkoalisi dengan Gerindra.
Mungkin ada yang menyebut Jokowi pragmatis dan oportunis dalam pilihan politiknya dengan memilih seorang ulama. Padahal inilah kenyataan politik, politik kenyataan atau politik praktis, dalam hadits disebutkan:
كما تكونوا يولى عليكم
Kamaa takuunuu yuwalla alaikum (Pemimpin mu akan terpilih sesuai dengan selera/kondisi/kebutuhanmu).
Jokowi bukan pemimpin yang menentang arus, bukan pula yang mengikuti arus, tapi pemimpin yang mampu mengendalikan arus. Arus populisme Islam dan politik identitas inilah yang harus diwaspadai dengan cermat, bukan dibendung habis-habisan, tapi bagaimana dimanfaatkan demi kemaslahatan umat.
Ibarat arus sungai yang deras, bukan dibiarkan sia-sia mengalir, kalau sedang banjir menjadi petaka bagi sekelilingnya, bukan pula arus sungai itu ditutup dan dimatikan tapi arus itu dibendung, dikendalikan, dimanfaatkan energinya untuk pembangun listrik, debit airnya diatur untuk irigasi, waduknya bisa untuk pariwisata, perikanan dan pengembangan ekonomi.
Pasangan Jokowi KH Ma’ruf Amin adalah jawaban di tengah maraknya radikalisme dan ekstrimisme yang berusaha membenturkan isu agama dengan nasionalisme negara, bagaimana agama dipakai untuk menghancurkan konsensus nasional: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, maka pasangan muslim nasionalis, religius, nusantara Jokowi KH Ma’ruf Amin yang akan menjaga negeri ini.
Setiap pilihan pastilah ada yang senang ada yang kecewa. Saya ingin mengutip kaidah fiqih yang dikenal dalam tradisi santri sebagai pedoman hidup bahwa kenyataan hidup ini tidak semua yang kita inginkan bisa diraih semua. Ada kaidah yang mengatakan:
ما لا يدرك كله لا يترك كله
ma laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu (apa yang tidak bisa diambil semua, jangan ditinggalkan semuanya). Inilah sikap pasrah, ikhlas atau dengan istilah “nrimo” dalam budaya negeri kita.
Sebagai yel-yel marilah kita sambut Pilpres 2019, Jokowiiiiiii? Aaaaaamin…. Jokowiiiiiii? Aaaaaaamin…. Kebetulan aaamin di sini artinya kabulkan Ya Allah.
Pasangan Jokowo-KH Ma’ruf Amin kabulkan Ya Allah sebagai Pasangan Presiden-Wakil Presiden 2019.
Mohamad Guntur Romli, Caleg PSI Dapil Jatim III (Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi).
(Gun-Romli/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar