Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Kenapa Umat Islam Susah Dipertemukan?

Kenapa Umat Islam Susah Dipertemukan?

Written By Unknown on Kamis, 16 Agustus 2018 | Agustus 16, 2018

Ilustrasi

Sejak masih duduk di bangku Aliyah dulu, pertanyaan di atas selalu menggayut di benak saya. Ide mempersatukan umat Islam dalam satu pandangan dan barisan politik, saya kira, merupakan angan-angan yang menghinggapi pikiran hampir sebagian besar umat Islam. Haji Rhoma Irama bahkan di dalam karyanya, menyisipkan pesan persatuan itu sebagai pesan moral yang harus didengar semua umat Islam. Bahkan, topik tentang persatuan umat Islam pun seperti tidak mengalami titik jenuh ketika disampaikan di mimbar-mimbar keagamaan seperti majelis ta’lim dan juga maulid Nabi. Tapi, apa lacur, mempersatukan umat Islam dari dulu, hari ini, mungkin juga esok, bak mempertemukan minyak dengan air.

Kenapa umat yang katanya mempunyai Al-Qur’an yang satu, Nabi yang satu, dan Kiblat yang satu ini susah untuk dipertemukan?

Beberapa pangkal masalah telah ditemukan setelah melalui pembacaan terhadap literatur dan situasi politik di mana umat Islam terlibat di dalamnya.

1. Pembacaannya dimulai dari masa sebelum Indonesia merdeka yaitu mulai tahun 1820 hingga 1926.

Tahun 1820 dijadikan sebagai patokan karena dari situlah persoalan dimulai. Maraknya dakwah puritanisme yang dikembangkan oleh Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang di Ranah Minangkabau, menjadi pemicu sulitnya usaha mempertemukan umat Islam. Dakwah yang semula diarahkan sebagai upaya untuk mengklarifikasi mana ajaran yang murni berasal dari Nabi Muhammad sholla Allahu alayhi wa sallam, dalam perjalanannya berubah menjadi konflik sosial di antara kalangan tradisionalis Islam, yang dituding sebagai pendukung adat, dengan kalangan puritanis, yang diklaim sebagai para pembaharu di tengah masyarakat.

Fakta sejarah tersebut hingga hari ini belum diklarifikasi apakah benar konflik sosial yang terjadi di Minangkabau, yang disebut sebagai perang Paderi itu murni muncul sebagai puncak dari benturan pemikiran yang berlangsung di masyarakat ketika itu, atau rekayasa Belanda untuk melemahkan perlawanan kalangan ulama terhadap kebijakan kolonialistik Belanda?

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang sudah dilakukan terkait dengan klarifikasi yang sudah diberikan? Jika diakui bahwa konflik sosial itu memang ada, bagaimana usaha yang dilakukan untuk mengkonstruksi rekonsiliasi di antara kedua kelompok yang pernah bertikai?s

2. Lahirnya Muhammadiyyah sebagai organisasi yang mengusung ide pembaharuan, dalam kenyataannya juga mendorong munculnya riak-riak kecil di masyarakat, seperti perdebatan tentang perlu-tidaknya bermazhab, definisi bid’ah yang menyentuh perkara khilafiyah, dan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang ajaran tarekat yang oleh sebagian masyarakat dianggap “mengganggu”.

3. Lahirnya Organisasi Persatuan Islam di Bandung. Organisasi yang pada asalnya adalah ingin mempersatukan umat Islam dalam satu wadah persatuan, dalam kenyataannya juga tidak bisa menghindari diri dari perdebatan yang telah muncul sebelumnya. Bahkan, sebagai lanjutan dari perdebatan itu, di Bandung selalu terdengar propaganda anti pemikiran lama yang dianggapnya “merusak” ajaran Islam.

4. Lahirnya NU, yang selama ini dikatakan untuk menjaga bangsa, dalam kenyataannya merupakan reaksi atas upaya stigmatisasi yang dikembangkan oleh mereka yang setuju gagasan pembaharuan ala Muhammad bin Abdul Wahab dan juga Muhammad bin Abduh. Itu bisa dibaca di bagian kedua kitab Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Hadlrotus Syaikh Hasyim Asyari, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. Di dalam kitab tersebut, beliau menyebut pemikiran kedua tokoh pembaharu di atas sebagai bid’ah di dalam pemikiran Islam.

Tak ayal, bisa dikatakan bahwa NU lahir sebagai bentuk advokasi atas pemahaman keislaman mayoritas publik Nusantara yang “dizalimi” para pengusung ide pembaharuan. Agak sulit untuk menutup motif tersebut, karena ide perlawanan terhadap gagasan pembaharuan sangat terlihat melalui penggunaan politik kebahasaan seperti salafiyyah, syafi’iyyah, dan ahlussunnah wal jamaah. Bisa dikatakan bahwa sebenarnya yang pertama kali menggunakan label-label Islam klasik sebagai identitas organisasi seperti salafiyyah, syafi’iyyah, ahlus sunnah wal jamaah, dan Ansor, itu adalah NU.

5. Problematika benturan ideologis di antara umat Islam sesungguhnya telah dijembatani dengan bertemunya organisasi para pemuda, seperti Jong Islameten Bond, Jong Java, dan sebagainya, dengan membentuk poros persatuan yang mengesampingkan perbedaan agama di antara mereka. Seperti tersirat pesan bahwa nasionalisme ditampilkan sebagai upaya untuk menengahi polemik di antara umat Islam,yang merupakan mayoritas dari bangsa Indonesia ketika itu (90%).

6. Upaya mempertemukan umat Islam di ranah politik, bisa dikatakan berhasil ketika semua ormas Islam sepakat untuk mendirikan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang kemudian bertransformasi menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Debat-debat tentang khilafiyah di antara umat Islam mengalami penurunan frekuensi akibat terkurasnya energi para tokoh umat mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sampai di sini bisa dikatakan bahwa tawaqqufnya umat dari perdebatan khilafiyah di antara sesama mereka, melahirkan kerjasama yang apik untuk mendirikan Negara dan Pemerintah Republik yang dicita-citakan.

7. Namun, sayangnya kemesraan itu hanya berlangsung selama 22 tahun. Hasrat yang begitu besar untuk berkuasa, pada gilirannya mengabaikan persoalan sentimentil yang diibaratkan bagai bom waktu yang siap meledak kapan saja. Keluarnya NU dari Masyumi pada asasnya bukan dilatarbelakangi oleh persoalan yang sifatnya prinsipil. NU, dari sisi aqidah, mempunyai cara pandang yang sama dengan ormas-ormas Islam lainnya, terhadap atheisme dan Komunisme. Hanya saja dalam persoalan politik, NU punya cara yang diyakini lebih elegan untuk mengimbangi dominasi politik PKI di pemerintahan. Sayangnya, usulan itu yang kemudian dianggap sinis oleh sebagian elite MASYUMI, yang berasal dari kalangan modernis. Anggapan bahwa orang pesantren yang hanya memahami kitab kuning dan tidak paham dinamika politik, telah membuat sakit perasaan para tokoh NU.

8. NU pun keluar dari MASYUMI. Keluarnya NU dari MASYUMI dalam kenyataannya membuka kembali lembaran konflik khilafiyah yang dulu pernah diawali oleh para pengusung ide pembaharuan dan puritanisme Islam.

9. Hingga saat ini, isu khilafiyah masih terus berlangsung di sana sini. Sasaran tembaknya adalah NU sebagai jam’iyyah dan jama’ah. Kecurigaan terhadap kalangan modernis Islam, tampaknya masih akan sulit ditepis walaupun berkali-kali dikatakan bahwa mereka tampil untuk mempersatukan umat.

10. Kondisinya saat ini, NU seperti seorang perempuan yang pernah mengalami kawin cerai dari suami yang sama. Secara psikologis, tentu bukan perkara yang mudah bagi sang perempuan untuk percaya begitu saja kepada ucapan mantan suami yang pernah diceraikannya. Lebih-lebih jika sebab perceraian itu adalah karena perasaan yang disakiti. Dengan berbagai cara, sang mantan suami, mengatakan bahwa ia ingin bersatu kembali dengan mantan isterinya. Tapi yang pasti, belum tentu mantan isteri mau begitu saja. Barangkali, mencari suami baru yang belum pernah menyakiti perasaannya adalah pilihan terbaik daripada CLBK namun hati tetap tersakiti. Dan sialnya bagi kalangan modernis Islam itu, suami baru yang tengah dinanti itu adalah “musuh lama” mereka, yaitu nasionalisme.

Jadi, kenapa umat Islam susah dipertemukan? Barangkali di-PHP-in terlalu lama itu penyebabnya. Karena jika dikatakan penyebabnya adalah kardus, ketahuilah bahwa bisnis kardus saat ini bisa mencapai omset Rp 300 juta! Gak percaya? Baca dong detikcom. hehehe…salam PHP, Javascript, HTML, MySQL….

Sumber FB Ustad Abdi Djohan

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: