Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Jangan Debat Bahasa Inggris, Baca Quran Saja

Jangan Debat Bahasa Inggris, Baca Quran Saja

Written By Unknown on Kamis, 16 Agustus 2018 | Agustus 16, 2018


Oleh: Kajitow Elkayeni

Kelompok sebelah mulai meminta syarat tak masuk akal: debat dengan Bahasa Inggris. Orang-orang ini menganggap Bahasa Inggris adalah simbol kecerdasan. Padahal kalau mau menguji kecerdasan melalui bahasa, mestinya pakai Bahasa Arab. Ia jenis bahasa yang bisa berubah strukturnya menjadi ribuan bentuk. Atau Bahasa Jawa, belajar bahasa ini sama seperti belajar tiga bahasa sekaligus.

Meskipun begitu, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Jawa, tetap bukan indikator kecerdasan. Kemampuan menyampaikan gagasan, kemampuan menguasai masalah, menangkis argumen lawan, berkelit dan menyerang, adalah fokus utama dalam perdebatan.

Namun kita coba pakai logika mereka, untuk menunjukkan betapa kacaunya nalar yang mereka miliki. Kita coba menjadi mereka sejenak dan membalikkan serangan konyol mereka ini, pada kelompok mereka sendiri.

Prabowo tak bisa salat dan baca Alquran dengan baik. Ia memang muslim, tapi kualitas keislamannya dipertanyakan. Konon ia berpindah agama agar pernikahannya direstui oleh keluarga Soeharto. Melihat salat Prabowo yang kaku, mengingatkan saya sewaktu belajar salat ketika kecil dulu.

Waktu itu saya kentut saat salat dimulai. Karena malam, tempat wudlu di masjid kampung gelap, saya tidak berani mengambil wudlu. Akhirnya saya salat tanpa wudlu. Salat tanpa wudlu itu menyiksa batin saya. Gerakan yang saya lakukan kaku, karena saya tahu salat saya hanya pura-pura. Saya hanya ingin dilihat orang-orang seolah-olah sedang salat.

Karena dulu, tidak salat itu diangap aib, amoral, melawan adat, sekaligus terancam digebuk Bapak. Salat tanpa wudlu itu adalah contoh bagaimana sikap seorang anak ketika terpaksa.

Keadaan salat Prabowo sedikit-banyak mirip dengan salat saya yang tanpa wudlu itu. Prabowo terlihat kaku, kehilangan fokus, tidak khusuk, dan yang paling jelas, terlihat tidak menikmati salatnya. Padahal salat itu meditasi ala Islam. Dalam kajian tasawuf ada istilah ladzatul ‘ibadah. Istilah ini untuk menggambarkan keasyikan dalam ibadah. Kelezatan ibadah.

Sahabat Ali sewaktu panah yang menancap di tubuhnya hendak dicabut, beliau salat dua rakaat. Dalam keadaan salat itulah panah dicabut dan konon tidak terasa sakit. Atau ketika mengetahui fakta, Imam Syafii dan pembesar agama lain memilih tidak menikah. Karena kata guru saya, salat dua rakat bagi mereka jauh lebih lezat dari berhubungan badan.

Ladzatul ‘ibadah ini tidak terlihat dari profil Prabowo saat ia menunjukkan ke publik gaya salatnya. Itu memang salat politik. Gayanya begitu artificial, sekadar gerakan fisik tanpa jiwa. Jangankan menjadi imam, menjadi makmum saja dia belum lulus.

Padahal kita tahu, salat dan baca Quran adalah standar paling dasar seorang muslim. Mereka yang tak menguasai dua hal ini dipertanyakan keislamannya. Ini tingkatan anak SD yang baru mengenal agama.

Jika salat yang tak perlu kecerdasan saja belepotan, apalagi ketika disuruh membaca Alquran. Mungkin untuk kelas Iqra satu atau hapalan Alfatihah dia bisa. Namun untuk pembacaan tartil, tepat tajwidnya, perlu bertahun-tahun mengaji.

Bayangkan kalau acara debat menggunakan Bahasa Arab, atau membaca kitab kuning. Bisa pingsan mereka di atas panggung. Karena Quran itu bahasa wahyu, mudah diingat, mudah menyentuh, dan tidak membosankan. Toh untuk yang paling standar ini saja Prabowo tidak akan sanggup. Apalagi menggunakan bahasa Arab sehari-hari (non wahyu).

Nah, ujian salat dan baca Quran ini saja tak bisa diterima nalar sebagai bagian dari kontestasi Pilpres. Padahal kedua calon itu muslim. Karena muslim paling standar pasti bisa. Tak perlu masuk pesantren bertahun-tahun. Toh Prabowo mungkin tidak akan lolos ujian standar itu.

Apalagi jika menggunakan Bahasa Inggris sebagai ukuran kecerdasan. Sangat tak masuk akal. Padahal bagi kaum puritan di kelompok Prabowo, Bahasa Inggris dianggap bahasa orang kafir.

Bahasa memang tak memiliki identitas tambahan seperti itu. Juga tak menunjukkan kecerdasan seseorang. Orang yang lahir dan besar di Inggris atau Amerika, tentu fasih Bahasa Inggrisnya. Begitu juga dengan orang Arab di Arab, orang Jepang di Jepang, orang Korea di Korea.

Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, menggunakan standar Bahasa Inggris dan Bahasa Arab sama sesat pikirnya. Begitu juga dengan menunjukkan peribadatan seperti salat dan haji ke publik. Yang sedang diadu di atas panggung Pilpres itu bukan demi mencari guru Bahasa atau pemuka agama, tapi seorang pemimpin negara. Syaratnya bukan, fasih Bahasa Inggris atau tidak? Lancar baca Quran atau tidak?

Yang dicari di atas panggung itu adalah pemimpin yang bisa bekerja. Jujur, tak suka bagi-bagi mahar dan tidak cenderung korup. Yang mempunyai visi pembangunan dan kesejahteraan bagi rakyat.

Kita sedang mencari pemimpin yang bersih, tak punya masalah dengan buruh pabrik, tak punya konflik dengan rekan bisnis, tidak tercatat namanya di Panama Papers. Kita perlu seseorang yang tegas, yang berani menghajar mafia migas, mafia pangan, mafia perkebunan, tanpa pandang bulu.

Dan dari semua kriteria itu, Prabowo-Sandi bermasalah. Maka mereka mencari sesuatu yang bisa menutupi cela itu. Fakta bahwa Prabowo bukan muslim yang baik, yang lolos standar keislaman. Fakta bahwa Sandi itu bisnisman yang culas, ayah angkatnya saja dikhianati, apalagi hanya karyawan yang terlantar

Nah, permintaan debat dengan Bahasa Inggris ini adalah upaya untuk mengelabui publik. Karena Prabowo-Sandi mengenyam pendidikan Barat. Bahasa inggrisnya cas cis cus. Padahal biasanya mereka pakai isu agama, sayangnya keagamaan Prabowo nyaris nol. Sandi masih mendingan meski hanya islam abangan.

Mereka juga tak mungkin bawa isu kepemimpinan. Dua-duanya gagal di bidang masing-masing. Prabowo gagal di militer. Ia dipecat. Sandi adalah seorang hitman dalam dunia ekonomi. “Burung pemakan bangkai” yang memburu perusahaan bangkrut untuk dipermak, lalu dijual. Orientasi para burung pemakan bangkai ini hanya profit. Tidak ada kemanusiaan dan kesejahteraan buruh dalam agenda mereka.

Argumen debat dengan Bahasa Inggris jelas konyol dan mengada-ada. Kalau mau, jangan debat pakai Bahasa Inggris, baca Quran saja. Prabowo muslim (katanya), pasti bisa. Ayo berani?

(Seword/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: