Rais Aam Nahdlatul Ulama KH. Makruf Amin secara resmi telah ditetapkan sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo pada Pilpres mendatang. Keputusan tersebut, tentu saja mengharuskan Kiai Makruf untuk meletakkan jabatannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART) Nahdlatul Ulama.
Pasal 51 Ayat 6 Anggaran Rumah Tangga NU menegaskan; “Apabila Rais Aam, Wakil Rais Aam, Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar mencalonkan diri atau dicalonkan, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau diberhentikan.”
Adapun proses pencalonan yang dimaksud pada pasal 6 tersebut adalah pencalonan pada jabatan politik (Pasal 4). Yakni, jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, DPR RI, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota (pasal 5).
Terkait hal ini, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj menyebutkan akan membahasnya kemudian seusai Kiai Makruf selesai menunaikan ibadah haji. Sebagaimana diketahui, seusai tahap pendaftaran capres – cawapres, Makruf pergi haji.
Saat ini, Makruf Amin telah pulang dari ibadah haji. Kabar tentang pergantiaan jabatan rais aam pun belum tersiar. Hanya saja, pada 30 Agustus 2018 ini, seluruh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) se-Indonesia berkumpul di Jakarta. Mereka diundang oleh PBNU dalam rangka Silaturahmi Nasional yang bertajuk “Konsolidasi Nahdlatul Ulama Menjelang Satu Abad.”
Apakah forum tersebut akan membahas juga tentang pergantian rais aam? Kita tunggu saja. Namun, satu hal yang menarik di sini adalah menerka, siapakah kira-kira figur yang akan menggantikan kiai yang terpilih sebagai rais aam pada Muktamar 33 NU di Jombang itu.
Merujuk pada Pasal 48 ART NU, menyebutkan “Apabila Rais Aam berhalangan tetap, maka Wakil Rais Aam menjadi Pejabat Rais Aam.” Dengan aturan demikian, maka KH. Miftahul Akhyar bakal ditetapkan sebagai Pejabat Rais Aam. Sebagaimana ketika Rais Aam KH. Sahal Mahfudz meninggal dunia pada 2014 silam. Melalui rapat pleno syuriyah dan tanfidziyah PBNU, KH. Mustofa Bisri di daulat menjadi Pejabat Rais Aam. Saat itu, ia merupakan wakil rais aam bersama KH. Hasyim Muzadi.
Akan tetapi, Pejabat Rais Aam bukanlah posisi yang definitif. Bisa saja para pengurus wilayah menghendaki Rais Aam yang definitif. Dalam sejarah Nahdlatul Ulama, pengganti rais aam bisa menjadi definitif. Bukan semata pejabat saja. Dengan catatan, hal tersebut diinginkan oleh pengurus wilayah sebagai pemilik mandat atas jabatan rais aam.
Hal ini sebagaimana terjadi ketika KH. Bisri Syansuri meninggal dunia pada 25 April 1980. Kala itu, ia masih menjadi Rais Aam. Posisinya yang kosong tersebut, ditempati oleh KH. Anwar Musadad yang menjabat sebagai Wakil Rais Aam. Akan tetapi ia hanya didapuk menjalankan fungsi-fungsi rais aam. Bukan sebagai rais aam itu sendiri. Setahun kemudian, pada 30 Agustus 1981, PBNU menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta.
Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Cholid menegaskan, jika Munas tersebut tak bermaksud untuk menetapkan pengganti rais aam. Hanya akan membahas rekomendasi guna bahan Konferensi Besar (Konbes) NU. Di forum Konbes itulah, pengganti Kiai Bisri akan ditetapkan.
Akan tetapi, sidang pleno di Munas yang membahas tentang tata cara penetapan pengganti rais aam, mengalami perubahan. Atas usul dari KH. Achmad Shiddiq dari Jember, pada forum tersebut dilakukan pemilihan pengganti rais aam. Akhirnya, secara aklamasi KH. Ali Ma’shoem dari Pesantren Al-Munawir, Krapyak, Yogyakarta ditetapkan sebagai rais aam secara defenitif.
Peristiwa Munas Kaliurang ini, menjadi contoh menarik bagaimana dinamika pergantian rais aam di NU yang patut dicermati untuk konteks saat ini. Tidak hanya karena waktu pelaksanaannya yang sama (30 Agustus), namun juga motifnya. Motif Munas dan Silatnas kali ini sama-sama tak bertujuan menetapkan pengganti rais aam. Tapi, pada kenyataannya, Munas justru menetapkan posisi rais aam secara definitif. Bisa jadi silatnas kali ini, juga demikian. Tiba-tiba memutuskan pengganti Makruf Amin.
Hal yang menarik lainnya dari Munas tersebut, adalah sosok pengganti. Tidak selamanya, posisi wakil rais aam itu bakal menggantikan rais aam ketika berhalangan tetap, baik karena kematian ataupun mengundurkan diri. KH. Anwar Musaddad yang menjadi wakil rais aam, tidak terpilih. Justru Kiai Ali yang didaulat oleh PWNU dan peserta Munas, untuk menggantikan Kiai Bisri sebagai Rais Aam.
Adapula KH. Abdullah Faqih yang menjadi wakil rais pada masa KH. Hasyim Asy’ari. Namun, ketika Kiai Hasyim meninggal dunia pada 25 Juli 1947, justru KH. Abdul Wahab Hasbullah yang naik menggantikannya. Hal yang sama juga terjadi pada masa KH. Ilyas Ruhiyat menjadi rais aam pada 1992. Ia terpilih dalam Konbes NU di Lampung menggantikan KH. Achmad Shiddiq yang wafat pada 23 Januari 1991. Padahal Kiai Ilyas bukanlah wakil rais aam kala itu.
Lantas, siapakah sosok pengganti Kiai Makruf Amin? Kiai Miftahul Akhyar kah atau ada nama lain? Kita tunggu.
Penulis: Ayung Notonegoro
(Laduni/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar