Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS BIMBINGAN ORANG TUA - PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS BIMBINGAN ORANG TUA - PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan

Dongeng, Keterampilan Yang Efektif Untuk Melembagakan Konsep-konsep Al-Quran


Unsur mendongeng dan validasi adalah salah satu keterampilan yang paling berharga dan efektif yang dapat digunakan oleh para pengajar Alquran selain mengajarkan hafalan Alquran, mereka dapat melembagakan konsep-konsep dan ajaran firman wahyu di tengah-tengah para pelajar Alquran.

Menurut laporan IQNA, mensuport anak-anak muda untuk menghafal Alquran dan mendorong mereka untuk hal-hal yang baik adalah tugas yang penting dan sensitif yang mengharuskan para pengajar untuk menggunakan keterampilan dan strategi yang menarik dan up-to-date.

Demikian juga, mengajarkan Alquran kepada orang-orang dari pelbagai usia membutuhkan keragaman metode dan cara serta keterampilan yang berbeda. Untuk alasan ini, para pengajar yang mengemban perkara penting pendidikan hafalan Alquran ini, diminta untuk memiliki keterampilan lebih dan lebih baik sehingga para pelajar Alquran semakin lebih akrab dengan Alquran dan mereka mendapat manfaat dari ajaran-ajaran Alquran.

Di sisi lain, tugas pengajar Alquran tidak terbatas pada mengajarkan hafalan kitab Ilahi ini, tetapi pengajar berada dalam posisi keagamaan dan ibadah yang sejatinya pekerjaannya dikategorikan sebagai sebuah ibadah, karena selain mengajarkan hafalan Alquran, ia harus mengajarkan konsep dan ajaran- ajaran moral kitab Ilahi ini kepada para pelajar Alquran.

Dari sisi lain, pengajar menjadi tempat kepercayaan para pelajar Alquran dan muridnya tahu bahwa dia mengenal konsep moral, sosial dan religius kalam wahyu, meskipun tujuan tertinggi dari Alquran adalah pembentukan masyarakat yang secara moral dan sistematis dan juga tujuan diturunkannya Alquran bukanlah semata-mata untuk hafalan dan tilawah ayat-ayatnya. Dalam hal ini, lingkaran dan kursus Alquran dari aspek tujuan pendidikan, memiliki tanggung jawab, dan para pengajar Alquran sangat berpengaruh dalam perkara ini.

Dalam hal ini, situs Al Najah News dengan menerbitkan artikel berjudul “Peran pengajar dalam menghafal Alquran, dalam melembagakan konsep-konsep pendidikan” mengupas makam dan kedudukan pengajar Alquran dalam melembagakan ajaran dan doktrin-doktrin moral juga menuturkan, kursus dan sesi pengajaran untuk menghafal Alquran tidak boleh dibatasi untuk menghafal dan membaca Alquran saja, tetapi sesi ini harus memberikan kesempatan untuk menjelaskan ajaran dan konsep-konsep moral Alquran dan pendidikannya.


Dalam artikel ini, 10 cara dan praktik telah dipaparkan, dimana pengajar Alquran dapat menggunakannya untuk memperkenalkan sifat-sifat baik dan terpuji yang berasal dari konsep-konsep tertinggi Alquran dalam melembagakan para pelajar Alquran, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Takwa dan menjaga batasan-batasan agama: Dalam artian bahwa, para pengajar Alquran harus menjadi tauladan dalam hal ini dan mereka seharusnya tidak hanya mampu berbicara dan bertutur kata, tetapi mewujudkan sifat dan konsep Alquran dalam perilaku praktis mereka. Jadi seorang pengajar Alquran harus mempraktikan terlebih dahulu untuk dirinya sendiri. Seorang pengajar yang tidak mengindahkan batasan-batasan agama, bagaimana mungkin akan dapat mengajak orang lain untuk melakukan ketakwaan dan menjauhi batasan-batasan Ilahi! Bagaimana bisa seorang pengajar yang tidak mematuhi aturan-aturan dapat mendidik generasi yang tidak hanya tidak mengindahkan batasan-batasan Ilahi, tetapi juga akan meremehkan dan mengejeknya dan juga akan enggan di bidang lain dalam kehidupan mereka.

2. Takut dan harapan kepada Allah: Pengajar Alquran harus mengilhami ketakutan dan harapan kepada Allah dalam ruh para pelajar Alqurannya. Yakni pada saat yang sama sang pengajar memperingatkannya dengan azab dan siksa Allah dan juga memberikan kabar gembira akan surga dan ganjaran dalam mengindahkan hukum-hukum Allah.

3. Unsur mendongeng dan menjelaskan cerita-cerita bermanfaat: Cerita mempengaruhi jiwa manusia. Pengajar Alquran harus mendefinisikan cerita yang bermanfaat untuk para pelajar Alqurannya. Cerita adalah penolong terbaik dalam mendidik generasi. Dalam Alquran dan Sunnah, ada kisah-kisah yang sangat berharga yang menarik dan berguna bagi pembaca Alquran.

4. Atensi pelaksanaan salat berjamaah di masjid-masjid: Pengajar Alquran harus memperhatikan fakta bahwa pelajar Alquran melaksanakan salat di Masjid dan mensuport mereka untuk selalu memiliki jalinan dengan masjid dan membiasakan mereka untuk pergi ke masjid.


5. Mendorong pelajar Alquran untuk menghafal Alquran: Pengajar harus mendorong pelajar Alquran untuk menghafal Alquran melalui penggunaan ayat-ayat dan hadis tentang keutamaan membaca dan menghafal Alquran untuk mendorong Alquran untuk diperkuat serta memperkuat hasrat mereka dalam hal ini.

6. Memperhatikan pelajar Alquran: Di pusat-pusat dan lingkaran Alquran, para pelajar Alquran harus diberi perhatian khusus sampai pada batas dirinya memprioritaskan pertemuan-pertemuan tersebut dibanding aspek-aspek lain dalam kehidupanya dan teman-temannya tidak dapat melarangnya untuk datang ke pusat-pusat Alquran tersebut.


7. Mendengarkan kesalahan para pelajar Alquran berdasarkan metode membimbing: Penghargaan tidak selalu untuk pelajar ideal dan tauladan, tetapi karena kadang-kadang bimbingan Nabawi digunakan untuk menarik, membimbing dan mengarahkan orang yang keliru, sudah semestinya pengajar Alquran mengarahkan kekeliruan para pelajar Alquran. Tujuannya para pelajar Alquran dengan metode indah, melewati kekeliruan-kekeliruannya.

8. Mencintai pelajar Alquran: Mengusap-usapkan tangan di atas kepala pelajar Alquran dan mencintainya merupakan faktor penting dalam menariknya ke pusat Alquran dan mendorongnya untuk menghafal Alquran dan solusi ini jauh lebih efektif daripada hukuman dan teguran.


9. Jujur dengan pelajar Alquran: Jika pengajar Alquran berperilaku secara jujur dengan para pelajar Alqurannya dan berada di tengah-tengah mereka saat kesulitan dan kesusahan, ini akan jauh lebih efektif bagi para pelajar Alquran dalam memperkuat proses menghafal Alquran dan memahami konsep firman wahyu dalam sesi-sesi ini.

10. Saran dan bimbingan tidak langsung: Ini akan membuat pelajar Alquran lebih tertarik pada pengajarnya dan memiliki dampak yang signifikan terhadap pendidikannya. Selain ia mengetahui kekeliruannya, kehormatan dan kepribadiannya terjaga di tengah-tengah pengajarnya dan teman-teman sekelasnya.

Selain strategi yang diusulkan, ada metode dan program pendidikan lain yang mensuport para pelajar Alquran untuk menunaikan salat wajib di masjid secara berjamaah dan pelaksanaan salat nafilah, mengadakan musabaqoh Alquran, menyelenggarakan kompetisi budaya, menulis artikel tentang subyek Alquran dan ilmu serta rangkuman dari beberapa buku berharga... adalah di antara program ibadah dan budaya ini.


Mengunjungi tempat-tempat bersejarah, pusat-pusat dan institusi-institusi Alquran dan bertemu dengan para ulama terkemuka termasuk kegiatan-kegiatan sosial lainnya, akan efektif dalam mengurangi kelelahan para pelajar Alquran serta membahagiakan mereka dan persahabatan antar mereka.


Demikian juga, ada kegiatan yang dapat dilakukan oleh pelajar Alquran dengan bimbingan dan arahan pengajar mereka untuk keluarga dan kerabat mereka, termasuk pengajaran surah al-Fatihah dan beberapa surah Alquran, pengajaran wudhu, mandi, dan lain-lain.

(Al-Najah-News/IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Dimana Penanti Imam Zaman afs Mendapat Pendidikan?


Lebih dari itu, keluarga Mahdawi adalah sebuah keluarga pecinta dan yang mentaati Imam Zaman afs dan mereka hidup sebagaimana kehidupan nabawi, alawi, fathimi dan mahdawi. Dimana di dalamnya kita bisa melihat contoh kecil dari pemerintahan Imam Zaman afs.

Shabestan News Agency, mengenai generasi Mahdawi, Hujjatul Islam Naili Pour menjelaskan bahwa anak-anak berada dalam pengaruh perbuatan kedua orangtuanya, dimana mereka meniru dan meneladani segala keadaan dan ucapan apra orangtua.
Perbuatan orangtua secara secara tidak langsung berpengaruh kepada anak-anaknya. Oleh sebab itu para orangtua yang menginginkan anak-anak yang beriman, saleh, jauh dari dosa dan mencintai Ahlul Bait as harus memulainya dari mereka sendiri, yakni berusahalah untuk selalu beramal baik dan saleh.

Terlebih lagi, anak-anak yang diberi pendidikan dengan penuh rasa kasih dan cinta itu akan menjadi penolong dan sahabat Imam Mahdi a.s. Lalu bagaimana bisa menjadi sahabat Imam Mahdi a.s, jika anak-anak yang mereka didik tidak sesuai dengan apa yang telah agama perintahkan.

Ia menambahkan, maksud dari keluarga Mahdawi ialah sebuah keluarga yang hubungan antara anggotanya diatur berdasarkan pada pemikiran agama serta berporos pada wilayat Imam Makshum as.

Lebih dari itu, keluarga Mahdawi adalah sebuah keluarga pecinta dan yang mentaati Imam Zaman afs dan mereka hidup sebagaimana kehidupan nabawi, alawi, fathimi dan mahdawi. Dimana di dalamnya kita bisa melihat contoh kecil dari pemerintahan Imam Zaman afs, demikian jelas Hujjatul Islam Naili Pour.


خانه هایی که امام زمان(عج) به آنها نظر لطف دارد/مهدی یاوران کجا تربیت می شوند؟

خانه مهدوی، محیطی کوچک برای اجرای وظایف انتظار و آرمان های بزرگ مهدویت است و حضرت حجت(عج) به آن گوشه چشمی دارند و خانه محبان اهل بیت(ع) محسوب می شود. خانواده مهدوی و مهدی یاور یعنی خانواده ای که در مسیر جانفشانی برای حضرت مهدی(عج) قدم بر می دارد.

به گزارش خبرنگار گروه مهدویت خبرگزاری شبستان ، مروری به تاریخ تمدن بشر و نیز آموزه های ادیان الهی که اسلام برترین و کامل ترین آنها است ما را به این نکته می رساند که «خانواده» کلیدی ترین و از اصلی ترین بنیان های شکل گیری، توفیق و پیشرفت و فلاح جامعه است، این خانواده است که می تواند در بستر خود فرصت تربیت مصلحان، نخبگان و تاریخ سازان را ایجاد کند یا بالعکس با عملکرد ضعیف، بی برنامگی و خودباختگی و ولنگاری سبب ترمز بریدن افراد در مسیر انحراف و انحطاط شود؛ از این رو است که در آموزه های اسلامی بویژه در فرهنگ مهدویت که آینده جهان با آن پیوندی تنگاتنگ دارد، خانواده مرکز ثقل و نقطه عزیمت ملت ها و امت ها به مقصد سعادت و رستگاری است.

از این رو، در بررسی نقش خانواده در انتظار پویا و زمینه ساز گفت وگویی داشته ایم با حجت الاسلام نیلی پور، مدیر بنیاد فرهنگی مهدی موعود(عج) استان اصفهان که به حضورتان تقدیم می شود:


نیلی پور با اشاره به تعریف «خانواده مهدوی» گفت: خانواده مهدوی، خانواده ای آرمانی و معنوی است که علاوه بر داشتن همه ارزش های انسانی و اخلاقی،، به طور ویژه به دو موضوع خدامحوری و امام محوری توجه دارد چنان که خانه و خانواده رنگ و بوی توجه، عشق، عرفان و اطاعات از خدا و امام زمان(عج) می دهد.

وی تصریح کرد: خانواده مهدوی یعنی خانواده ای عارف، عاشق و مطیع امام زمان(عج)، این خانواده احساس یتیمی را دارد که از پدر خویش دور مانده و روز و شب خود را با یاد و داغ فراق امام زمان(عج) سپری می کند. در خانواده مهدوی، معنویت حرف اول را می زند و افراد مقید به امانتداری، ادب، نماز اول وقت، سحرخیزی و تلاوت قرآن اند و حداقل روزی یک سلام صمیمی به امام زمان(عج) می دهند.

اهتمام خانواده مهدوی به تربیت مهدی یاوران

نیلی پور با بیان اینکه خانواده مهدوی برای امام زمان(عج) سرباز تربیت می کند، گفت: خانواده مهدوی با عمل و رفتار خود، دیگران را عاشق و واله امام زمان(عج) می کند و اعضای آن فرزندان معنوی حضرت مهدی(عج) محسوب می شوند.

مدیر بنیاد فرهنگی مهدی موعود(عج) استان اصفهان تاکید کرد: یاس و تنبلی، بُخل، تنگ نظری، ظلم، خیانت، فرار از مسئولیت های خانوادگی و اجتماعی در این خانواده راه ندارد؛ به عبارت بهتر، خانواده مهدوی و مهدی یاور یعنی خانواده ای که در مسیر جانفشانی برای حضرت مهدی(عج) قدم بر می دارد و از رفاه، خانه، وقت، ثروت و حتی در صورت لزوم از اهدا جان هم دریغ نمی کند، به همین دلیل در زیارت جامعه کبیره می خوانیم: «بِأبى أنْتُمْ وَ اُمّى وَ نَفْسى وَ أهْلى وَ مالى؛ پدر و مادرم و خودم و خانواده ام و مالم به فدای شما.»


عنایت ویژه امام زمان(عج) به خانواده مهدوی


وی ابراز کرد: خانه مهدوی، محیطی کوچک برای اجرای وظایف انتظار و آرمان های بزرگ مهدویت است و حضرت حجت(عج) به آن گوشه چشمی دارند و خانه محبان اهل بیت(ع) محسوب می شود.

مهدی نیلی پور تاکید کرد: در مقام مقایسه بین فرهنگ خانواده و تمدن مهدوی، اشتراکات و اهداف همسوی متعددی به چشم می خورد که پرداختن و توجه به این اصول مشترک در جهت تقویت فرهنگ خانواده در راستای همسویی و همانندسازی هرچه بیشتر با فرهنگ مهدویت می تواند تاثیرگذار باشد تا از این طریق بتوان به تربیت سربازان مهدی باور در خانواده خود بپردازیم.

وی تصریح کرد: انسان در زندگی فردی، خانوادگی و اجتماعی خود، نیازمند آرامش و آسایش، خوشی و خوشبختی است و به آرامش بیش از آسایش نیاز دارد، آنچه امروزه بشر را در یک چرخه رنج و افسردگی و سردرگمی قرار داده است، توجه افراطی به آسایش و خوشی و تن آسایی و بی توجهی به عوامل پایدار آرامش و خوشبختی و روح آسائی است.


بنیان خانواده مهدوی رحمت، سکونت و کرامت است

مولف «خانواده مهدوی» با بیان اینکه خانواده سالم و صالحِ مهدوی و منتظر باید ضمن تلاش برای تامین آسایش و خوشی، هزینه های مادی و معنوی فراوان تری برای تامین خوشبختی و آرامش روحی اختصاص دهد، ابراز کرد: محور ارتباطات در یک خانواده مهدوی براساس اصل رحمت، سکونت، کرامت، روابط عاطفی عمیق و ایجاد آرامش استوار است زیرا یک خانواده مهدوی با درک تفاوت مبنایی میان «خوشبختی» و «خوشی»، تمام تلاش خود را برای تامین خوشبختی «سعادت دنیوی و اخروی» و در کنار آن برای تامین خوشی و رفاه به کار می بندد.

نیلی پور با اشاره به سفارش های اهل بیت (ع) در زمینه گرم نگاه داشتن کانون خانواده و ایجاد فضایی آرام در آن، افزود: امام سجاد (ع) می فرمایند: «وَ اَمّا حَقُّ الزَّوجَةِ فَاَنْ تَعْلَمَ اَنَّ اللّه َ عَزَّوَجَلَّ جَعَلَها لَكَ سَكَنا وَ اُنْسا فَتَعْلَمَ اَنَّ ذلِكَ نِعْمَةٌ مِنَ اللّه ِ عَلَيْكَ فَـتُـكْرِمَها وَ تَرْفُقَ بِها وَ اِنْ كانَ حَقُّكَ اَوجَبَ فَاِنَّ لَها عَلَيْكَ اَنْ تَرْحَمَها؛ حق زن اين است كه بدانى خداوند عزوجل او را مايه آرامش و انس تو قرار داده و اين نعمتى از جانب اوست، پس احترامش كن و با او مدارا نما، هر چند حق تو بر او واجب تر است اما اين حق اوست كه با او مهربان باشى.»


دیدگاه شهید مطهری پیرامون لزوم صلح و سازش در خانواده

مدیر بنیاد فرهنگی مهدی موعود(عج) استان اصفهان با اشاره به نظر شهید آیت الله مطهری پیرامون لزوم و چگونگی تامین صلح و سازش در خانواده خاطرنشان کرد: ایشان می فرمایند: «به ‏طور قطع در میان زن و مرد باید صلح و سازش برقرار باشد. اما صلح و سازشی که در زندگی زناشویی باید حکمفرما باشد با صلح و سازشی که میان دو همکار، دو شریک، دو همسایه، دو دولت مجاور و هم مرز باید برقرار باشد، تفاوت بسیار دارد. صلح و سازش در زندگی زناشویی نظیر صلح و سازشی است که میان پدران و مادران با فرزندان باید برقرار باشد که مساوی است با گذشت و فداکاری و علاقه مندی به سرنوشت یکدیگر و شکستن حصار دوگانگی و سعادت او را سعادت خود دانستن و بدبختی او را بدبختی خود دانستن، برخلاف صلح و سازش میان دو همکار یا دو شریک یا دو همسایه یا دو دولت مجاور. این گونه صلح ها عبارت است از عدم تعرض و عدم تجاوز به حقوق یکدیگر. در میان دو دولت متخاصم «صلح مسلح» هم کافی است. اگر نیروی سومی دخالت کند و نوار مرزی دو کشور را اشغال کند و مانع تصادم نیروهای دو کشور شود، صلح برقرار شده است زیرا صلح سیاسی جز عدم تعرض و عدم تصادم مفهومی ندارد .اما صلح خانوادگی غیر از صلح سیاسی است. در صلح خانوادگی عدم تجاوز به حقوق یکدیگر کافی نیست، از صلح مسلح کاری ساخته نیست. چیزی بالاتر و اساسی تر ضرورت دارد؛ اتحاد و یگانگی و آمیخته شدن روح ها باید تحقق پذیرد، همچنانکه در صلح و سازش میان پدران و فرزندان نیز چیزی بالاتر از عدم تعرض ضروری است.»

پایان پیام/9

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pentingnya Konsultasi Sebelum Menikah


Melihat perkembangan zaman saat ini dengan adaya kerja-kerja yang dilakoni perempuan serta tingginya pendidikan wanita dan pemuda telah menciptakan aspek kehidupan berbeda. Dari itu konsultasi sebelum melangsungkan pernikahan dipandang penting guna erat serta abadinya hubungan pernikahan.

Seorang anggota lembaga keilmuan di Universitas Isfahan, Dr Zahra Fatihi Zadeh pada pertemuan ilmiah yang berkelanjutan tentang hubungan antara suami dan istri mengatakan, peran para wanita dan pria pada zaman sekarang ini sudah jauh berbeda dengan sebelumnya. Perbedaan ini bisa mengakibatkan kehidupan keluarga tidak berlangsung lama. Karena itu merujuk kepada spesialis untuk berkonsultasi menjadi sesuatu yang penting.

“Agar keharmonisan antara dua individu itu terjaga maka perlu campur tangan ilmu pengetahuan,” kata dia.

Dr Zahra lebih lanjut menjelaskan, banyak keluarga karena kurangnya pengetahuan atau masalah ekonomi atau masalah sosial kemasyarakatan, mereka hanya memikul permasalahannya sendiri. Hari ini, dengan banyaknya kerja-kerja yang dilakoni oleh perempuan dan tingginya pendidikan wanita dan pemuda telah menciptakan aspek kehidupan berbeda.

Dia juga menyinggung tentang tingginya statistik perceraian, terutama di kota-kota besar. Setiap empat pernikahan, kata dia, salah satunya berujung dengan perceraian.

“ Jenis pertanyaan saat konsultasi sebelum nikah, pengetahuan tentang kesehatan, kondisi jiwa serta timbangan dalam memilih teman hidup dengan bantuan spesialis akan menjadi bagian yang penting secara ilmiah dalam pernikahan,” demikiran terang Dr Zahra Fatihi Zadeh.

تأثیر ویژگی‌های شخصیتی در ازدواج/ زوجین پیش از ازدواج به مشاورین مراجعه کنند
 
خبرگزاری شبستان: استاد دانشگاه اصفهان با تأکید بر ضرورت مراجعه به مشاورین پیش از همسر گزینی و ازدواج، گفت: زوجین پیش از وارد شدن به عرصه ازدواج باید کسب مهارت کنند تا بتوانند شرایط لازم برای زندگی مشترک را داشته باشند.

به گزارش خبرنگار خبرگزاری شبستان از اصفهان، دکتر مریم فاتحی‌زاده کارشناس مسائل خانواده و علوم تربیتی، در سلسله نشست‌های خانواده با موضوع مهارتهای همسر گزینی در دفتر تبلیغات اسلامی اصفهان، با اشاره به گسترده بودن مباحث مربوط به مهارت‌های همسر گزینی، گفت: مهارت‌های همسر گزینی از موضوع آمادگی برای ازدواج شروع می‌شود و نخستین کاری که یک مشاور باید انجام دهد این است که میزان آمادگی شخص برای ازدواج را مورد سنجش قرار دهد.

وی در ادامه با بیان اینکه آمادگی افراد برای ازدواج در 6 حیطه باید مورد بررسی قرار بگیرد، افزود: آمادگی هیجانی و توانایی کنترل هیجان، آمادگی روانشناختی، آمادگی اقتصادی و توانمندی تأمین معاش و عقل معاش شخص، آمادگی اجتماعی و برقراری روابط اجتماعی، چرا که پس از ازدواج روابط انسان حداقل دو برابر خواهد شد و به همین دلیل توانمندی‌های ارتباط اجتماعی لازم دارد، همچنین آمادگی جسمی و جنسی نیاز از نیازهای افراد در زمان ازدواج است و در آخر مهارت‌های فرد برای زندگی مشترک نظیر ارتباط کلامی و حل مسأله و بحران‌ها و مشکلات است.

نداشتن آمادگی برای ازدواج موجب عدم موفقیت ازدواج می‌شود

فاتحی‌زاده یکی از علل شکست ازدواج را نداشتن آمادگی لازم برای تشکیل زندگی مشترک دانست و اظهار کرد: زوجین پیش از وارد شدن به عرصه ازدواج باید کسب مهارت کنند تا بتوانند شرایط لازم برای زندگی مشترک را داشته باشند، موضوع دیگر این است که باید دلایل ضرورت ازدواج کردن در فرد مورد بررسی قرار بگیرد.

وی ضرورت نداشتن و دلیل صحیح نداشتن برای ازدواج را یکی دیگر از عوامل شکست ازدواج‌ها عنوان کرد و گفت: فشار خانواده یکی از علل ازدواج کردن شخص در شرایط نداشتن آمادگی برای ازدواج است که در نهایت معمولا به شکست می‌رسد، زمانی که فرد دلیل درستی برای ازدواج نداشته باشد یا آماده ازدواج نباشد نباید وارد زندگی مشترک شود تا در نهایت به شکست نرسد.

کارشناس مسائل خانواده خودشناسی را دیگر شرط لازم برای فراهم شدن شرایط ازدواج و تشکیل زندگی مشترک برشمرد و تصریح کرد: مسأله خودشناسی و هویت یابی در زمینه ازدواج بسیار مهم و دارای اهمیت است، سؤال خیلی رایجی که با آن مواجه هستیم سؤال‌های جلسات خواستگاری است، وقتی کسی از کارشناسان می‌پرسد که باید در خواستگاری چه سؤالاتی مطرح کنم در حقیقت نشان دهنده این است که خودشناسی نداشته و به خاطر این عدم شناخت نمی‌داند باید با چه ملاک‌ها و سؤالاتی طرف مقابل خود را مورد سنجش قرار دهد.

انتظارات از همسر باید سنجیده شود

استاد دانشگاه اصفهان سنجش همخوانی ارزش‌ها و ملاک‌های زندگی را از مهمترین مباحث در زمینه ازدواج دانست و اظهار کرد: انتظارات طرفین از همسر پیش از ازدواج باید مورد سنجش قرار بگیرد تا همخوانی و همسویی آن مشخص شود، همچنین باید معلوم شود شخصی که تصمیم به ازدواج گرفته تا چه حد توانایی استقلال از خانواده خود دارد و می‌تواند جدای از آنها وارد زندگی مشترک شود.

فاتحی‌زاده عدم تناسب در انتخاب اولیه را یکی از عوامل شکست ازدواج عنوان کرد و گفت: در گذشته افراد یک شناخت کلی نسبت به خانواده‌های یکدیگر داشتند و اکثرا افرادی که با هم آشنایی نسبی داشتند وارد زندگی مشترک می‌شدند به همین دلیل دوران آشنایی و نامزدی کمتری داشتند اما ازدواجشان با موفقیت همراه بود اما امروزه شرایط زندگی‌ها به نحوی است که اصلا شناخت و یا امکان شناخت به سادگی وجود ندارد.

وی با بیان اینکه افراد مطلقه برای ازدواج با مشکلات و معضلاتی روبرو هستند، افزود: این افراد به خانواده گزینه جدید ازدواج خود اجازه آشنایی با خانواده و همسر سابق خود را نمی دهند و این یک کار غلط است چرا که افراد حق دارند با زندگی گذشته فرد و اطلاعات زندگی او آشنا شوند.

کارشناس مسائل خانواده با اشاره به آیاتی از قرآن کریم، تصریح کرد: هرکسی با توجه به شخصیت و شاکله خود عمل خواهد کرد، هر انسانی ویژگی‌های شخصیتی دارد که عامل بسیار مهمی در زندگی ما و سازگاری یا عدم سازگاری ما خواهد بود و تأثیرگذاری بسیاری خواهد داشت، بعضی افراد توانمندی‌های بالاتری دارند و برهی از نظر توانمندی‌ها دچار مشکل هستند.

فاتحی‌زاده شخصیت را بسیار اثرگذار در تمام شرایط زندگی افراد توصیف کرد و بیان داشت: در زمینه ازدواج یکی از مهمترین وظایف مشاورین خانواده سنجش شخصیت افراد و تناسب شخصیت آنها با یکدیگر است.

ویژگی‌های شخصیتی در آینده زندگی مشترک مؤثر است

وی ادامه داد: نظریه‌ای پنج عاملی شخصیت یکی از تست‌هایی است که برای مراجعین به مشاوره در زمینه ازدواج استفاده می‌شود، 5 ویژگی شخصیتی خیلی مهم وجود دارد که نخستین بخش آن مسأله خودشیفتگی در برابر توافق پذیری است، بعضی از مردم اهل تواضع و خشوع هستند و با دیگران توافق دارند اما برخی به خاطر خودشیفتگی حاضر به توافق با دیگران نیستند.

استاد دانشگاه اصفهان ویژگی خودشیفتگی را از ویژگی‌های شخصیتی افراد برشمرد و خاطرنشان کرد: بدترین ویژگی برای ایجاد مشکل در ازدواج خوشیفتگی است، برای اینکه یک مشاور خوب باشیم باید این ویژگی‌ها را در درون خودش جست‌وجو کنیم و به خودشناسی برسیم، مثل همین خرید‌هایی که انجام می‌دهیم و در انجام دادن آن نسبت به شرایط خود و ویژگی‌ها لازم برای انتخاب یک محصول آگاهی داریم.

کارشناس مسائل خانواده، با اشاره به طلاق عاطفی به عنوان یکی از آسیب‌های عدم شناخت صحیح طرفین در ازدواج، اظهار کرد: روان رنجوری یکی دیگر از ویژگی‌های شخصیتی است که موجب می‌شود افراد در ازدواج و در تشکیل زندگی مشترک دچار مشکل شده و حتی ازدواج آنها به طلاق بیانجامد، زودرنجی و حساسیت زیاد نسبت به مسائل مختلف، زودرنجی بسیار زیاد و رفتارهایی از این دست از ویژگی‌های افراد روان رنجورخو است.

فاتحی‌زاده نداشتن ثبات و آرامش را یکی از عواقب روان رنجورخویی عنوان کرد و افزود: هرکسی ممکن است درجاتی از این ویژگی را داشته باشند اما بعضی افراد بیش از حد مبتلا به این مشکل هستند و اگر کسی بیش از اندازه روان رنجورخو است باید با مراجعه به مشاورین این ویژگی خود را تعدیل کند، در غیر اینصورت در زندگی با مشکلات بسیاری مواجه خواهد شد. 


افراد روان رنجورخو ازدواج سختی در پیش خواهند داشت

وی برانگیختگی بیش از حد و تلاش برای نشان دادن واکنش در سریعترین زمان ممکن را از ویژگی‌های افراد روان رنجورخو دانست و تصریح کرد: این افراد همواره اضطراب دارند و کارهای خود را با ناراحتی انجام می‌دهند و معمولا احساس ترس و اضطراب و عصبانیت را با خود به همراه دارند. هر رخدادی در زندگی به همراه استرس است، افراد روان رنجورخو به خاطر آسیب پذیر بودن در برابر استرس‌ها بسیار آسیب پذیر هستند و زندگی خود را تحت تأثیر قرار می‌دهند.

استاد دانشگاه اصفهان با بیان اینکه افراد روان رنجورخو ازدواج‌های سختی را در پیش خواهند داشت خاطرنشان کرد: روان رنجورخوها زیاد نق می‌زنند و از شرایط شکایت دارند، همواره بی ثبات بوده و گاهی ناگهان از آرامش و حالت شادی به عصبانیت و ناراحتی خواهند رسید، این افراد باید پیش از ازدواج حتما به مشاورین مراجعه کرده و عوارض این ویژگی را تعدیل کنند، ویژگی‌های شخصیتی قابل تغییر نیستند ولی قابل تعدیل و کاهش هستند.

وی افراد خیلی با ثبات را هم دارای مشکل بیخیالی توصیف کرد و عنوان کرد: خوشبختانه اکثر مردم در حالت تعادل در این زمینه هستند، اما اگر دو نفر روان رنجورخو بودند باید مراقب باشند که ازدواج آنها با مشکلات بسیار زیادی به دنبال خواهد بود، هر دو در برابر استرس آسیب پذیر هستند و نباید با یکدیگر ازدواج کنند لازم است حتما یکی از طرفین حداقل دارای ثبات شخصیتی باشد.

فاتحی‌زاده توافق پذیری را توأم با تواضع و فروتنی برشمرد و اظهار کرد: افراد خودشیفته معمولا اهل انتخاب لباس گران شیک پوشی‌های خاص هستند و برای خود حرمت شدیدی قائل هستند، اما افراد توافق پذیر اینچنین نیستند، ملاحظه و مراعات دیگران از ویژگی‌های افراد توافق پذیر است، افراد خودشیفته دنیا را از دید خودشان می‌بینند فقط و خیال می‌کنند همه چیز همانطور است که آنها تشخیص می‌دهند، به همین خاطر به خواسته‌های دیگران اهمیت نمی‌دهند و توجهی ندارند که شرایط دیگران به چه صورت است.


ازدواج دو خودشیفته نظیر حضور دوپادشاه در یک سرزمین است

کارشناس امور تربیتی رقابت با فرزند را از ویژگی‌های افراد خودشیفته برشمرد و تصریح کرد: دو فرد خودشیفته ازدواج خیلی بدی خواهند داشت علیرغم اینکه برای یکدیگر جذابیت بسیاری دارند، اما این دو پس از ازدواج نظیر دو پادشاه در یک سرزمین هستند که یا ازدواج آنها منجر به جدایی خواهد شد یا اینکه با طلاق عاطفی مواجه خواهند شد و هرکدام یک زندگی موازی برای خود ایجاد خواهند کرد.

وی توافق پذیری بیش از حد را توأم با مشکل و عدم توجه به نیازهای شخصی و حقوق فردی ذکر کرد و گفت: وجدان گرایی یا عدم وجدان گرایی یکی دیگر از ویژگی‌های مهم شخصیتی در زمینه ازدواج است، وجدان گرایی یا وظیفه شناسی در بهبود شرایط زندگی بسیار مؤثر است و کسانی که از این ویژگی مهم برخوردار نیستند در زندگی با مشکلات بسیاری روبرو خواهند شد و همسر آنها مدام باید نسبت به مسائل مختلف به انها تذکر دهد.

فاتحی‌زاده غیرقابل اعتماد بودن را از ویژگی‌های افراد فاقد وجدان‌گرایی عنوان کرد و افزود: زمانی که فردی وجدان‌گرا باشد مسؤولیت پذیر خواهد بود و می‌توان کارها را با خیال راحت به او واگذار کرد و خیال افراد از واگذار کردن کارها به او راحت است، اما اگر فرد وجدان‌گرا نباشد نمی‌توان زیاد به او اعتماد کرد و واگذاری کارها به آن فرد چندان نتیجه بخش نخواهد بود. این افراد در زندگی به خود و دیگران به ویژه فرزند و همسر خود آسیب خواهند زد.


تجربه گرایی افراطی ممکن است موجب تغییر دین و عقاید مذهبی هم بشود

کارشناس مسائل خانواده تجربه‌گرایی در برابر عدم انعطاف و خشکی را از دیگر ویژگی‌های شخصیتی برشمرد و عنوان کرد: افراد تجربه گرا همواره دنبال تجربه‌های جدید و دستیابی به چیزهای نو و تازه در زندگی هستند از زندگی یکنواخت دوری می‌کنند و تلاش می‌کنند تا تنوع در زندگی داشته باشند، برخلاف آنها افرادی هستند که انعطاف نداشته و دارای روحیاتی خشک و بسته هستند، آدم‌هایی که از تغییر متنفر هستند و همیشه یکنواخت و روزمره هستند و این دو تیپ شخصیتی در کنار یکدیگر نمی‌توانند زندگی خوبی داشته باشند.

وی نداشتن ثبات و احتمال بروز خیانت در زندگی زناشویی یا حتی تغییر دین و عقاید مذهبی را از ویژگی‌های افراد افراطی در تجربه‌گرایی برشمرد و اظهار کرد: درونگرایی و برونگرایی از دیگر ویژگی‌های شخصیتی است که در زمینه ازدواج باید به آن توجه داشت، اکثر مردم در جامعه ما در این زمینه متعادل هستند، اما برخی افراد در درونگرایی یا برونگرایی دچار افراط هستند و این موضوع مشکلات بسیاری برای زندگی خانوادگی آنها به دنبال خواهد داشت.

پایان پیام/121

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Orangtua Memiliki Peran Penting Dalam Menumbuhkan Jati Diri Anak


Jika ayah-ayah dan ibu-ibu dalam interaksi-interaksi kekeluargaan dengan perempuan-perempuan atau laki-laki yang bukan muhrim mencontohkan sebuah interaksi yang pantas dan layak, dengan akal dan disertai dengan adab dan aturan dan menghindari sikap dan tindakan yang berlebih-lebihan dalam interaksi-interaksi ini pada hakikatnya mereka telah mengambil langkah-langkah pendikan dan tarbiyah secara tidak langsung untuk mendidik anak-anak perempuan dan laki-laki mereka.

Shabestan News Agency, Ahmad Razaqi, salah seorang psikolog dan pengajar di univerisitas mengatakan bahwa pendidikan dan pembelajaran penyiapan anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki untuk bagaimana bersikap terhadap lawan jenis harus dimulai dari sejak kecil dan awal terbentuknya identitas diri mereka, dan cara terbaik dalam proses pendidikan ini adalah menyampaikan contoh-contoh objektif.

Ia menjelaskan, di tengah ini sikap dan tindakan ayah dan ibu dengan orang-orang yang bukan sesama jenis adalah langkah-langkah yang paling prinsip untuk melawan hubungan-hubungan tidak sehat dan menggambarkan hubungan-hubungan rasional dan syar'i dengan lawan jenis.

Jika ayah-ayah dan ibu-ibu dalam interaksi-interaksi kekeluargaan dengan perempuan-perempuan atau laki-laki yang bukan muhrim mencontohkan sebuah interaksi yang pantas dan layak, dengan akal dan disertai dengan adab dan aturan dan menghindari sikap dan tindakan yang berlebih-lebihan dalam interaksi-interaksi ini pada hakikatnya mereka telah mengambil langkah-langkah pendikan dan tarbiyah secara tidak langsung untuk mendidik anak-anak perempuan dan laki-laki mereka.
ارایه الگوی عینی و عملی موثرترین شیوه در فرآیند تربیتی/روابط عاطفی والدین نقش مهمی در هویت یابی و رشد اعتماد به نفس فرزندان دارد

خبرگزاری شبستان:یک روان شناس با بیان اینکه روابط عاطفی والدین مهمترین عامل در هویت یابی و رشد اعتماد به نفس فرزندان است، بر لزوم آموزش احکام برخورد با جنس مخالف تاکید کرد.

احمد رزاقی، روانشناس و استاد دانشگاه در گفتگو با خبرنگار اجتماعی شبستان گفت: تربیت و آماده سازی دختران و پسران برای رودررو شدن با جنس مخالف می بایست از همان دوران کودکی و آغاز شکل گیری شخصیت و هویت آنان صورت گیرد و بهترین و موثرترین شیوه در فرآیند تربیتی ارایه الگوی عینی و عملی است.

وی بیان کرد: در این میان رفتار پدر و مادر با افراد غیر همجنس از اصلی ترین پیش نیازهای مقابله با روابط ناسالم و ترسیم روابط معقول و مشروع با جنس مخالف است.

رزاقی تصریح کرد: اگر پدران و مادران در معاشرت های خانوادگی و فامیلی با زنان و مردان نامحرم برخوردی شایسته، منطقی و توأم با ادب و وقار داشته باشند و از افراط و تفریط در این رابطه پرهیز کنند در واقع اقدام به آموزش و تربیت غیرمستقیم دختران و پسران خود کرده اند.

این روانشناس خاطرنشان کرد: گزینش خانواده های آگاه و متدین برای ایجاد روابط خانوادگی و پرهیز از معاشرت با خانواده هایی که اعضای آن احترام و اهمیت لازم را به مقام و منزلت زنان و دختران قایل نیستند و یا در گفتار و رفتار با گروه غیرهمجنس، رعایت موازین عقل و شرع را نمی کنند از شرایط و لوازم قطعی آموزش غیرمستقیم دختران و پسران می باشد که نباید از آن غفلت کرد.


روابط عاطفی والدین نقش مهمی در هویت یابی و رشد اعتماد به نفس فرزندان دارد

وی افزود: برقراری روابط عاطفی و صمیمی با فرزندان و درک مقتضیات سنی، نیازها و مطالبات آنان از مهمترین عوامل هویت یابی و رشد اعتماد به نفس و نیز از بزرگترین موانع بازدارنده در ایجاد روابط پنهان و جلب توجه و محبت افراد غیرهمجنس به شمار می رود.

رزاقی اظهار کرد: پدران و مادران آگاه و با کرامت ضمن فراهم آوردن محیطی آرام، بانشاط و صمیمی و خداپسندانه در کانون خانواده روابطی گرم، دوستانه و پایدار با فرزندان خود برقرار کرده و با مصاحبت، همدلی و همزبانی دختران و پسران خود را از جلب محبت و توجه گروه غیرهمجنس و ایجاد روابط پنهانی و نامناسب با آنان بی نیاز می سازند.

این روانشناس در ادامه افزود: در این صورت دختران و پسران به جای الگوگیری از گروه همسن که اغلب از تجربه و آگاهی بسیار کمی برخوردارند، پدران و مادران خود را به عنوان الگوی رفتاری محبوب برگزیده و تحت تاثیر اخلاق و رفتار آنان از جمله برخورد با افراد غیر همجنس قرار می گیرند.


هویت یابی جنسی نقش مهمی درتکریم شخصیت دختران و پسران دارد

وی با بیان اینکه هویت یابی جنسی از جمله مسایل مهمی است که در ترسیم و تکریم شخصیت دختران و پسران نقش اصلی دارد، اظهار کرد: لذا جوانان می بایست در مورد جنسیت خود و نقش های مربوط به آن تصور روشن و دقیقی داشته باشند تا بدین ترتیب وظایف و موقعیت خود در برابر جنس مقابل را به خوبی دریابند.

وی ادامه داد: اینجاست که دختران و پسران ضمن حضور در جمع و مشارکت سالم و مفید در مجالس و مباحثات جمعی وقار، متانت و عفاف خود را نیز حفظ خواهند کرد.


لزوم آموزش احکام برخورد با جنس مخالف

رزاقی با بیان اینکه آموزش احکام برخورد با جنس مخالف نیز از دیگر ملزومات در بستر ضابطه مند کردن فرآیند روابط دختران و پسران در جامعه اسلامی به شمار می آید، اذعان کرد: نباید این مسئله مورد غفلت و بی توجهی پدران و مادران و اولیای مراکز آموزشی و تربیتی قرار گیرد.

این روانشناس افزود: با آگاهی و اعمال احکام و موازین شرعی قانونی کمتر دختر و پسری نیاز به ایجاد روابط پنهانی و ناهنجار خواهد داشت.

رزاقی تصریح کرد: طرح این واقعیت که همه ما قبل از هر چیز انسان هستیم و همه انسان ها می بایست در چهارچوب شرع و عقل و در راستای دستیابی به کمالات و فضایل انسانی روابط انسانی و الهی با یکدیگر داشته باشیم از مهمترین و موثرترین عوامل بازدارنده تقدیر و تبعیض علیه بانوان و ایجاد روابط سالم و پویا در بین گروه های غیرهمجنس به شمار می آید که می بایست در کلیه شئون جامعه (به ویژه خانه و مدرسه) مورد توجه و تامل جدی قرار گیرد.

وی یادآور شد: نقد فرهنگ و آداب حاکم بر روابط دو جنس مخالف در کشورمان و نفی این برداشت غلط که ارتباط هر مرد و زن و دختر و پسری لزوما ارتباط جنسی و نامعقول است و زدودن این توهم که روابط بین افراد غیرهمجنس است یا غیرممکن است و یا تنها در دو صورت مقدور است یا پنهان و یا آزاد.

پایان پیام/35

(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pola Didik Nabi Ibrahim as Dalam Membangun Keluarga Visioner


Oleh: Euis Daryati M.A.

Banyak momen yang terjadi di bulan Dzulhijjah terkait dengan Nabi Ibrahim as beserta keluarganya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa ibadah haji merupakan ringkasan dari berbagai aktifitas keluarga Nabi Ibrahim as yang telah diabadikan oleh Allah Swt. Beliau merupakan salah satu nabi yang banyak disebut dalam al-Quran terkait langsung dengan pendidikan keluarga.

Allah Swt telah menjadikan Nabi Ibrahim as sebagai uswatun hasanah atau teladan baik bagi kita [QS al-Mumtahanah:4]. Salah satu yang dapat kita jadikan teladan dari kehidupan beliau ialah ‘pola didik’ dalam keluarga;


Memilih Lingkungan dan Sekolah yang Tepat

Dengan melihat fenomena, Nabi Ibrahim as dapat memahami kondisi yang tengah terjadi, dan akan terjadi. Di mana hal tersebut dapat berpengaruh bagi perkembangan putranya. Beliau cerdas dalam menangkap sikon yang tidak mendukung bagi perkembangan dan pendidikan putranya. Karena itu, meskipun Nabi Ismail as dilahirkan di Mesir, negeri yang subur dan baik bagi perkembangan fisiknya, namun beliau memilihkan tempat yang lebih tepat untuk perkembangan dan pendidikan putranya. Mekah menjadi tempat pilihan untuk pertumbuhan dan pendidikan putranya, Ismail as. Beliau ingin menyelamatkan keluarganya dari suasana tidak kondusif, serta menyelamatkannya dari komunitas yang penuh kesyirikan. “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau… agar mereka mendirikan solat… beri rezeki mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyuku.” [QS Ibrahim:37].

Nabi Ibrahim as memilih kota Mekah yang masih bersih dan suci. Beliau yakin bahwa kelak anak dan istri beliau akan menjadi orang yang bermanfaat, karena tempat tersebut mendukung untuk perkembangan spiritualnya. Meskipun kondisi Mekah itu tandus dan kering, namun beliau yakin akan campur tangan Allah Swt dalam mendidik putranya untuk menjadi generasi yang soleh.

Jika dianalogikan kepada kita sebagai orang tua, maka pada tahapan pertama, suami sebagai kepala rumah tangga hendaknya selektif dalam memilihkan tempat tinggal, juga, sekolah anaknya. Dalam memilihkan tempat tinggal, baik milik sendiri, maupun menyewa, hendaknya hal yang paling diperhatikan ialah tempat tersebut nyaman untuk pertumbuhan dan pendidikan anaknya. Jauh dari pergaulan tidak sehat, bersih dari narkoba, miras, tempat judi, kekerasan, tempat gossip dan lainnya. Karena rumah dan lingkungan, pada tahapan awal dapat memberikan pengaruh baik dan buruk pada karakter anak-anak.

Rumah adalah madrasah pertama bagi anak. Karena masa kehamilan dan masa menyusui anak selalu bersama ibu, maka ibu juga merupakan guru pertama bagi anak. Ibu sebagai guru pertama dapat menanamkan pondasi-pondasi kuat bagi karakter anak untuk menjadi generasi yang soleh atau solehah. Ibu yang solehah dan kuat seperti Hajar, sebagai guru pertama dapat membentuk murid pertamanya menjadi generasi yang soleh dan kuat seperti Ismail as. Karena itu, seorang suami hendaknya membantu istrinya dalam perannya sebagai guru pertama bagi anak, agar dapat menjadi ibu dan guru yang solehah. Sebelum mendidik anak yang soleh, hendaknya orang tua berusaha menjadi orang tua yang soleh.

Begitu pula, terkait dengan tempat pendidikan, jika dianalogikan dengan pendidikan modern, Mekah diibaratkan sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas, yang bersih dari berbagai virus pendidikan. Kehidupan serba modern seperti sekarang, banyak orangtua yang sibuk bekerja sehingga tidak punya untuk mengasuh dan mendidik anaknya.

Jika tidak dapat mendidik anak-anaknya sendiri, maka harus selektif dalam memilih lembaga pendidikan yang formal, maupun non formal. Pilihlah lembaga pendidikan yang memiliki kriteria; kondusif dalam proses belajar mengajar, lingkungan yang sehat, jauh dari bully, disiplin, menanamkan nilai-nilai, memperhatikan sisi psikologis dan spiritual anak-anak. Bukan hanya sekolah yang hanya prioritas pada sisi akademisi saja, tanpa memperhatikan kebutuhan lain anak-anak. Anak bukan seperti mesin yang hanya dijejali pelajaran-pelajaran saja, dengan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Generasi yang kita butuhkan ialah generasi yang cerdas, soleh, dan mandiri.


Motivasi Ruhani Orangtua

Nabi Ibrahim as motivator sejati dalam dunia pendidikan, beliau sosok yang senatiasa memberikan motivasi terhadap anak-anaknya berupa doa. Beliau sadar, bahwa beliau tidak dapat memberikan dorongan langsung secara fisik. Karena itu, beliau memberikan dorongan ruhani dengan senantiasa mendoakan agar putra dan istrinya dapat melangsungkan kehidupan di Mekah.

Orang-orang modern paling banyak menghabiskan waktu mengikuti seminar-seminar parenting tapi lupa menjadi teladan yang baik. Orang tua masa kini sibuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, tapi lupa memberikan makanan ruhani. Nabi Ibrahim as tidak banyak memberikan bekal materi, namun tidak henti-hentinya bermunajat kepada Allah agar anak dan keturunannya menjadi generasi yang baik. Di antaranya ialah beliau berdoa agar anak keturunannya menjadi orang yang mendirikan solat, “Ya Allah, jadikanlah aku dan dari anak keturunanku termasuk orang-orang yang mendirikan solat. Maka kabulkanlah doa (ku)…” [QS Ibrahim:40].

Terdapat perbedaan antara melaksanakan solat dan mendirikan solat. Banyak sekali orang yang melaksanakan solat, namun tidak banyak orang yang mendirikan solat. Orang yang mendirikan solatnya dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Meneladani Nabi Ibrahim as, orangtua hendaknya mendidik anaknya agar menjadi orang mendirikan solat, bukan hanya sekedar melaksanakan solat. Dan, hal itu perlu kesabaran, managmen waktu, program yang teratur, disiplin dan kontroling.

Tentang doa orangtua untuk anak juga telah dicontohkan oleh Imam Sajjad as, dalam ash-Shahifah as-Sajjadiyyah. Banyak keajaiban dari doa orang tua bagi kebaikan anaknya. Doa tersebut dapat membantu dalam pembentukan karakter baik anak. Doa orang tua muncul karena ridho kepada anak, ridho orang tua adalah ridho Allah. Ridho Allah dan ridho orang tua hasilnya ialah kebikan, keberkahan, dan kebahagiaan. Karena itu, orang tua hendaknya senantiasa dalam doa-doanya, baik doa qunut, maupun yang lainnya, bermunajat dengan khusyu demi kebaikan anaknya. Karena hal itu merupakan makanan ruhani, dan motivasi ruhani bagi anak, untuk menjadi generasi yang soleh di masa mendatang.

Saat ini, kita banyak menyoroti kehidupan Nabi Ibrahim as, karena peristiwa yang terjadi di bulan ini banyak berkaitan dengan Nabi Ibrahim as dan keluarganya. Juga, Ibadah haji, merupakan ibadah yang manasik-manasiknya banyak menceritakan tentang kehidupan Nabi Ibrahim as dan keluarganya. Dengan mengambil berkah dari bulan ini pula, kita berusaha menggali kembali kehidupan keluarga Nabi Ibrahim as, agar kita dapat meneladaninya dalam membangun keluarga kita di zaman yang modern ini. Pola asuh dan pola didik para nabi dalam keluarganya tidak akan mengenal kata usang dan kuno, namun selalu memberikan inspirasi bagi kehidupan kita.

Pada artikel sebelumnya, kita telah menjelaskan tentang beberapa pola didik Nabi Ibrahim as dalam keluarganya. Di antaranya ialah memilihkan lingkungan dan tempat pendidikan yang tepat untuk perkembangan dan pendidikan anak-anak, juga motovasi ruhani orangtua. Motivasi ruhani ialah berupa doa-doa yang dipanjatkan oleh orangtua tanpa rasa lelah untuk anak-anaknya. Nabi Ibrahim as sebagai motivator sejati telah mencontohkan hal tersebut. Adapun langkah-langkah lainnya yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as ialah;

Menyatukan Visi dan Misi

Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim as ialah wanita salehah yang sangat tangguh. Teguh dalam menjalankan tugas sebagai seorang istri dan ibu. Allah Swt telah memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk membawa Hajar, ke padang tandus Mekah. Kemudian Allah Swt juga menyuruhnya untuk meninggalkan Hajar beserta anaknya yang masih kecil di tempat tersebut. Di tempat yang tidak ada kehidupan, juga tidak ada seorang pun di sana, selain Hajar dan putrany. Hajar pun menjadi single parent selama kepergian suaminya ke Palestina dalam rangka menjalankan perintah-Nya. Ia mengasuh dan mendidik putranya sendirian.

Sejak menginjakkan kakinya di tanah Mekah yang tandus dan gersang, ia melemparkan pandangan pada ke sekitarnya dengan perasaan tak menentu disertai pertanyaan kepada suaminya, Ibrahim as. Apakah ia telah meninggalkan mereka? Namun Ibrahim as diam tak menjawab. Kemudian Hajar bertanya lagi apakah ini perintah Allah Swt? Nabi Ibrahim as pun mengiyakannya. Mendengar jawabannya lalu Hajar pun berkata, “Jika demikian baiklah. Tuhan tidak akan membuat kita sia-sia.” Pada akhirnya setelah perjuangan Hajar dengan berlari kecil antara bukit Sofa dan Marwa, Allah pun mengeluarkan air zam-zam. Perjuangan keras seorang ibu demi anaknya yang kemudian diabadikan dalam salah satu ritual ibadah haji.

Saat Hajar tahu bahwa ia ditinggalkan oleh Ibrahim as bersama putranya karena perintah Allah Swt, maka ia pun ikhlas menjalaninya. Ia ikhlas karena mengetahui bahwa Allah Swt senantiasa menginginkan kebaikan hamba-nya. Ia ikhlas karena yakin bahwa hal itu demi kemaslahatan pertumbuhan dan perkembangan putranya. Karena keikhlasan itu pula Nabi Ibrahim as percaya bahwa Hajar mampu mendidik putranya.

Inilah, salah satu pola didik yang harus diteladani oleh orangtua sekarang ini. Sebelum mereka mendidik anaknya, maka terlebih dahulu antara ayah dan ibu harus menyatukan visi dan misinya. Mau dibawa kemana anak-anak? Mau didik seperti apakah anak-anak? Visi dan misi sebagai orang Mukmin tentunya harus visi dan misi dunia-akhirat, bukan hanya orentasinya dunia saja, atau pun akhirat saja.

Andaikan pun jika karena tuntutan kerja, yang lebih banyak terjun langsung mendidik anak ialah ibunya, namun tetap saja dengan keterbatasan waktu dan kesempatan yang dimiliki oleh seorang ayah, ia harus tetap menjalakan perannya sebagai ayah meski dengan jarak jauh. Menyamakan presepsi dan pandangan, ialah hal-hal yang harus didiskusikan oleh ayah dan ibu terkait dengan pendidikan anak. Si ibu dapat menjelaskan kepada anak-anaknya tentang ketidakhadiran ayahnya, sehingga anak-anak tetap merasakan kehadiran, cinta dan kasih sayang ayah mereka.

Meski secara fisik Nabi Ibrahim as tidak berada di samping putranya, namun Hajar mampu menjelaskan dan menggantikan peran ayah dengan baik. Hal itu terjadi karena pandangan, presepsinya yang sama dengan suaminya. ‘Satu kata’ antara ayah dan ibu dalam mendidik anak itu sangat penting untuk membentuk karakter anak yang teguh pendirian dan berprinsip. Sebaliknya, perbedaan visi-misi ayah dan ibu, akan membentuk anak yang berkarakter labil, dan mudah terpengaruh.

Hajar memahami tugas suaminya, karena itu ia menjalankan perannya dengan baik. Mampu mengisi kekosongan serta ketidakhadiran secara fisik peran seorang ayah dengan baik. Hajar adalah contoh wanita tangguh dan hebat yang mampu menjalankan tugasnya sebagai istri dan ibu dengan baik. Mampu menghantarkan putranya demi meraih cita-citanya. Mampu melahirkan dan membentuk generasi yang brilian.


Demokratis dan Menyenangkan

Sebagian orang mengartikan bahwa peran ayah identik dengan ketegasan, dan tak ada kompromi. Aturan dan perintahnya harus dijalankan oleh semua anggota rumah, dan menganggap kewibawaan seorang ayah ialah dalam hal-hal tersebut.

Namun, bila kita menelaah kehidupan Nabi Ibrahim as, maka beliau jauh dari sikap tersebut. Beliau sosok pendidik yang menyenangkan dan demokratis. Beliau mengedepankan pendekatan dialog dan musywarah. Hal itu terlihat saat beliau memceritakan mimipinya kepada Ismail as, putranya agar menyembelihnya. Beliau tidak bersikap otoriter terhadap putranya.

Allah Swt telah menjelaskan sikap demokratis Nabi Ibrahim as tersebut dalam al-Quran, “Wahai anakku! sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirlanlah, bagaimana pendapatmu! Ia (Ismail as) menjawab, “Wahai Ayahku, lakukanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar. Maka ketika keduanya berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabarannya).” [QS as-Shafat: 102-103]

Sikap demokratis memberikan dampak positif pada anak, di antaranya menumbuhkan rasa percaya diri dan merasa dihargai. Seorang ayah yang bijak ialah ayah yang tidak memaksakan kehendaknya kepada anak-anak. Anak-anak dilibatkan dalam menentukan sekolah, cita-cita, masalah, dan keputusan-keputusan penting lainnya yang berkaitan dengan anak. Tidak sedikit anak-anak yang mengambil jurusan karena paksaan orangtuanya, akhirnya gagal. Bunda Rani Razak, seorang ahli parenting berkaitan dengan sikap demokrasi itu telah menyebutkan tiga langkah; Pikir, Pilih, dan Putuskan.
– pertama, ajaklah anak untuk memikirkan berbagai alternatif solusi yang bisa diambil (Pikir).
– Kedua, berdiskusilah dengan anak, beri kebebasan padanya untuk memilih solusi yang paling tepan (Pilih).
– Ketiga, biarkan anak yang ambil keputusan (Putuskan).

Semoga kita dapat meneladani pola didik Nabi Ibrahim as, agar mampu menghasilkan generasi yang saleh, mandiri dan cerdas.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

“Ayah, Ingat Peranmu Dalam Mendidik Anak!”


Oleh: Euis Daryati MA

Sepasang suami istri, sebut saja Sahil dan Hanna, sudah membangun rumah tangga cukup lama dan dikaruniai beberapa anak. Hanna termasuk tipe istri yang penurut, tidak banyak menuntut dan sangat patuh pada suami. Ia mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai mengasuh anak, membersihkan rumah, memasak dan menyiapkan keperluan suami.

Sebaliknya, saat berada di rumah, Sahil hanya istirahat dan tidak mau membantu mengasuh anak, atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Alasannya, itu semua adalah tugas istri.

Suatu hari Hanna dipanggil ke sekolah karena nilai akademis anaknya merosot tajam.di sekolah dia cenderung tertutup. Sedangkan anak satunya lagi itu sangat nakal di sekolah. Alih-alih menghibur dan mencarikan solusi, suaminya justru menyalahkan Hanna, “Kenapa anak-anak jadi seperti itu? Kamu ini ibu mereka, sudah tugasmu mendidik dan memperhatikan anak-anak. Aku sudah sibuk bekerja, jadi sudah capek untuk mengurusi itu.”

Ya, sayang sekali masih banyak yang beranggapan bahwa mengasuh dan mendidik anak adalah tugas istri semata. Anggapan yang mengatakan “Suami mencari nafkah, istri mengasuh anak” seolah menjadi pakem dalam kehidupan sehari-hari. Tugas mendidik anak hanya dibebankan pada istri. Dan sering kali, saat anak-anak berperilaku menyimpang, maka istrilah yang pertama kali disalahkan karena dianggap tidak becus mendidik anak.

Padahal, ayah dan ibu, kedua-duanya memiliki peran penting dalam mendidik anak, dan dalam membentuk generasi yang baik, sehingga dibutuhkan interaksi dan kerjasama yang baik di antara mereka.


Fenomena Father Hunger

Indonesia saat ini disebut sebagai Fatherless Country, banyak anak yang berayah namun serasa yatim karena kurangnya ikatan antara ayah dengan anak. akibatnya terjadi kerusakan psikologis yang diderita anak-anak karena kehilangan sosok ayah.

Padahal, anak yang dekat dengan ayahnya akan menjadi pribadi yang percaya diri dan mudah beradaptasi dengan lingkungan luar. Karena bagi anak-anak, ayah adalah sosok misterius karena jarang pulang. Namun, ketika seorang ayah bisa menjalankan perannya, maka anak akan menyimpulkan bahwa dunia luar aman baginya.

Stimulus pagi hari, anak akan menjadi lebih termotivasi dengan melihat sosok orang yang membangunkannya. Anak akan merasa lebih bahagia saat ayahnya pun ikut peduli untuk membangunkannya dan mengajaknya shalat bersama.

Tentu, banyak efek negatif dari father hunger’ bila hal itu terjadi, di antaranya; kurang dapat beradaptasi dengan lingkungan luar, kurang percaya diri, mudah tersinggung dan susah dalam mengambil keputusan. Bagi anak perempuan yang kurang kasih sayang dan jauh dai sentuhan pendidikan sosok ayah, ketika beranjak dewasa sangat mudah jatuh cinta dan dirayu oleh laki-laki. Akibatnya dengan mudah akan jatuh ke pelukan laki-laki, menyerahkan diri dan kehormatannya.

Dan jika ia telah menikah, dalam menghadapi masalah rumah tangganya, akan mudah give up, menuntut cerai dengan suami, dan dengan mudah menyimpulkan bahwa semua laki-laki itu tidak baik.


Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Versi Alquran

Bila kita menilik ayat-ayat yang bercerita tentang para orang tua yang sedang mendidik anak-anaknya, maka kebanyakan bercerita tentang peran para ayah. Dalam Alquran ada tujuh belas dialog tentang anak, empat belas di antaranya tentang ayah dengan anak. Luqman dan anaknya, Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ismail as, Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ishak as, Nabi Syuaib as dan anaknya, dan lainnya. Hanya dua dialog dalam Alquran yang bercerita tentang dialog ibu dan anak, saudara Nabi Musa as dan Maryam as dengan Nabi Isa as. Hal tersebut dapat kita lihat seperti dalam surah Lukman, surah Maryam, surah al-Qashash, surah al-Baqarah ayat 132, dan surah Yusuf ayat 67. Ternyata, proses pendidikan dalam keluarga, yang digambarkan melalui Alqur’an dilakukan oleh para ayah. Tidak ada satu ayat pun yang memotret momen pendidikan dari para ibu, kecuali adanya perintah menyusui. Tentu, hal itu tanpa menafikan tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang sifatnya umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Dalam surah at-Tahrim ayat 6 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, selamatkan diri dan keluarga kalian dari api neraka.” Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ali as mengatakan, “Didiklah dan ajarilah mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir].

Mengajar, mengarahkan, dan mendidik anak tak ubahnya usaha untuk mendapatkan surga. Dan, mengabaikan pendidikan anak-anak sama artinya dengan menyebabkan mereka masuk neraka. Dalam ayat tersebut pun seorang suami (ayah) yang diperintahkan untuk menjaga keluarganya (anak dan istrinya) dari api neraka dengan mendidik anak dan istrinya.

Surah Thaha ayat 132 juga menugaskan orang tua, dalam hal ini, ayah untuk memerintahkan anggota keluarga menunaikan shalat. Ayat ini menggunakan kata ganti untuk seorang laki-laki (dzamir mufrad mudzakar), “Perintahkan kepada keluargamu untuk mendirikan solat dan bersabar dalam mengerjakannya.” Ayat ini juga meminta kesabaran orang tua karena dalam pendidikan dan pengasuhan mutlak diperlukan kesabaran dan ketelatenan. Sejarah mencatat, setelah ayat ini turun, Rasulullah saw selalu mendatangi rumah Sayyidah Fathimah as dan Imam Ali as lalu bersabda, “Shalatlah.”

Kisah Lukmanul Hakim juga menunjukkan bahwa seorang ayah bertanggung jawab mengajari anaknya tentang akidah, fikih, dan akhlak. Alquran mengabadikan kisahnya agar bisa diteladani oleh para ayah lainnya.

Lukman memberikan contoh kepada para ayah tentang materi-materi yang harus diajarkan kepada anak-anak, namun ia juga mengajarkan metode dan pola didik yang benar.

Dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu adalah benar-benar kezaliman yang besar… Wahai anakku! Sungguh jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahalembut, Mahateliti [QS Lukman:13,16].

Ayat tersebut berkaitan dengan akidah dan keyakinan, yaitu tentang keesaan Allah dan larangan menyekutukan-Nya.

Wahai anakku, dirikanlah solat, perintahkan (manusia) kepada yang ma’ruf dan mencegah (mereka) dari yang mungkar, bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.[QS Lukman:17].

Ayat ini menjelaskan tentang pendidikan fikih dan hukum seperti solat dan amar ma’ruh dan nahi munkar.

Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara keledai.” [QS Lukman:18, 19].

Ayat-ayat berikut menyinggung tentang pendidikan akhlak dan etika, yaitu larangan bersikap sombong.

Ungkapan ya bunayya yang diucapkan Lukman dalam memanggil putranya saat mengajari dan mendidiknya, telah mengajarkan kepada para ayah tentang pola ajar dan pola didik yang benar. Ungkapan ya bunayya atau ‘wahai anakku sayang’, mengajarkan bahwa dalam mendidik anak kita harus lakukan dengan penuh kasih sayang dan jauh dari kekerasan. Ajarkan dan didik anak-anak tentang kebaikan dengan cara yang baik. Kenalkan anak-anak tentang keindahan Islam dengan cara yang indah. Artinya, tahap pertama pola asuh dan didik anak ialah dengan kelembutan dan kasih sayang. Adapun hukuman dan lainnya itu adalah solusi terakhir, yang itu pun tetap dilakukan dengan cara yang baik dan cantik.

Di samping itu, hak asuh yang diberikan pada ayah saat suami istri bercerai juga mengisyaratkan pentingnya peranan ayah dalam penddikan anak.


Peran Ayah dalam Pendidikan Anak dalam Riwayat

Dalam riwayat-riwayat pun kita dapat lihat yang menggambarkan tentang peran penting ayah dalam pendidikan anak.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw pernah bersabda, “Seorang ayah yang mendidik anak-anaknya adalah lebih baik daripada bersedekah sebesar 1 sa’ di jalan Allah.”

Nabi saw pun mencontohkan, bahkan ketika beliau tengah shalat, beliau tidak menyuruh orang lain, atau kaum perempuan untuk menjaga kedua cucunya yang masih kanak-kanak, al-Hasan as dan al-Husain as. Bagi Nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik, termasuk ketika beliau sedang shalat.

Nabi saw pernah membawa al-Hasan as dan al-Husein as di kedua pundaknya, lalu bersabda, “sebaik-baiknya pengendara ialah keduanya, namun ayah keduanya lebih baik daripada keduanya.” [Mu’jamul Kabir, ath-Thabrani : 2677].

Suatu ketika Nabi saww berkhotbah, tiba-tiba datanglah al-Hasan dan al-Husein yang keduanya memakai gamis dan berjalan tertatih-tatih. Nabi saw pun langsung turun dari mimbarnya lalu menggendong dan meletakkan keduanya di hadapannya. [Shahih at-Tirmidzi, al-Albani, Kitabul Manaqib 4774].

Nabi saw pernah berbaring lalu tiba-tiba al-Hasan as dan al-Husein as datang dan bermain-main di atas perut beliau. Al-Hasan as dan al-Husein as pun sering menaiki punggung beliau saat beliau sujud dalam solatnya. Bila para sahabat hendak melarang keduanya, beliau memberi isyarat agar mereka membiarkan keduanya. [Shahih al-Jami’: 4797].

Selain itu, banyak sekali riwayat yang mengisyaratkan tanggung jawab pendidikan anak di pundak orang tua. “Didiklah anak-anak kalian dengan tiga hal; mencintai Nabi saw, mencintai Ahlulbait as, dan membaca Alquran.” [Muntakhab Mizanul Hikmah, hal. 614].

Riwayat lain menjelaskan, “Barangsiapa mempunyai anak, maka ia harus berperilaku seperti anak-anak.” [Muntakhab Mizanul Hikmah, hal. 614] Hadis ini terkait dengan salah satu cara mendidik anak, dengan bermain dan masuk ke dalam dunia mereka dan berprilaku seperti mereka. Dengan begitu, pesan-pesan pendidikan akan lebih mudah dicerna anak-anak.

Keterlibatan ayah dalam pendidikan anak memenuhi gambaran sejarah Islam. Dalam buku ‘al-Muhaddithat; The Women Scholars In Islam’, Mohammad Akram Nadwi memberikan banyak contoh bagaimana para ulama kita menyediakan waktu untuk pendidikan putri-putrinya sebagaimana mereka meluangkan waktu untuk tugas-tugas lainnya.

Abu Bakar Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syajarah al-Baghdadi (350H), misalnya, senantiasa memantau pendidikan putrinya, Amat as-Salam (Ummu al-Fath, 390 H) di tengah kesibukannya sebagai hakim. Diriwayatkan oleh al-‘Atiqi, hafalan hadits Amat as-Salam bahkan selalu dicatat oleh sang ayah.

Syaikhul Islam Abu Abbas Ahmad bin Abdillah al-Maghribi al-Fasi (560 H) juga tercatat mengajari putrinya cara baca al-Qur’an, serta buku-buku hadits meski beliau terlalu dengan dakwah, dan lainnya. Semua itu dilakukan karena mengikuti Nabi saw, sang teladan bagi umat manusia yang biasa menggendong cucunya bahkan ketika sedang shalat.

Dengan demikian, mendidik anak merupakan tanggung jawab pasangan suami istri. Penelitian juga membuktikan bahwa anak-anak yang mendapatkan pendidikan lengkap dari ayah dan ibu akan tumbuh menjadi anak yang cemerlang dalam akademik, sosial dan spiritual bahkan emosional dibanding anak yang hanya mendapat pendidikan dari salah satu saja, ibu saja atau ayah saja. Ketidakhadiran ayah atau ibu, baik secara fisik maupun emosinal, akan memberi dampak negatif pada kepribadian anak. Akan ada sisi dan dimensi kepribadian anak yang tidak terbentuk dengan sempurna. Hasilnya, anak bisa menjadi nakal, kurang percaya diri, kasar dan bahkan mudah condong pada kejahatan. Karena itu, pasangan suami istri hendaklah bekerjasama dalam mengasuh dan mendidik buah hati mereka guna membangun keluarga yang harmonis dan penuh cinta. Peran yang dilakukan orang tua akan memberikan dampak positif dalam perkembangan kepribadian anak.

Secara umum, peran ayah adalah menumbuhkan rasa percaya diri dan kompetensi anak lewat kegiatan bermain yang lebih melibatkan aktivitas fisik, baik di dalam maupun di luar ruangan, menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak kisah-kisah tentang cita-cita, mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki dan tentang perilaku seorang laki-laki sesuai ajaran agama.

Sementara peran Ibu secara umum menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi yang lebih melibatkan sentuhan lembut dan kasih sayang, menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak lewat bercerita dan mendongeng, dan aktifitas akrab dengan anak (seperti bicara dari hati ke hati), mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan dan tentang perilaku perempuan baik-baik sesuai ajaran agama. [Amazing Parenting, hal. 21-23].

Kerja sama yang baik antara suami dan istri dalam mendidik anak merupakan salah satu kunci keharmonisan keluarga. Dan ini akan tergambar dalam pertumbuham kepribadian anak-anak baik secara mental, spiritual, intelektuan dan sosial. Anak-anak yang berada dalam pengasuhan yang seimbang antara ayah dan bundanya, akan tumbuh dengan baik dalam segala aspek. Mereka tidak akan kekurangan vitamin ‘A’ atau kasih sayang ayah.

Juga, Rasulullah saw sendiri telah mencontohkan bagaimana peran beliau dalam pendidikan putri tercintanya, Sayidah Fathimah as. perlakuan-perlakuan beliau terhadap putrinya adalah contoh konkrit bagi para ayah tentang perannya dalam pendidikan anak. Karena itu, sesibuk apa pun aktifitas ayah di luar, jangan sampai melupakan tanggungjawab tentang perannya yang tidak dapat tergantikan. Jangan sampai sangat antusias mendidik orang lain di mana-mana, namun loyo dalam membimbing anak sendiri.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hak dan Kewajiban Suami-Istri, Antara Fikih dan Akhlak


Oleh: Euis Dayati MA

Rasulullah saww bersabda,“Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak-hak keluarganya maka terlaknatlah ia.” [Wasa’il asy-Syi’ah, jilid 7, hal 151].


Prolog

Ungkapan ‘di sumur, di dapur, dan di kasur’ ialah mitos yang masih beredar di masyarakat saat menggambarkan tugas dan kewajiban seorang istri. Seolah-olah ketiga kawasan domestik tersebut sudah menjadi tugas dan kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi, wajib dilakukan oleh seorang istri. Sumur gambaran dari tugas istri dalam bersih-bersih seperti cuci piring, cuci baju dan lainnya. Dapur gambaran dari tugas istri dalam bab masak-memasak yang wajib dilakukan bagi keluarganya. Sedangkan kasur gambaran dari tugas istri untuk melayani suami dalam kebutuhan seksual.

Yang menjadi pertanyaan ialah, bagaimana sebenarnya menurut Islam? Apakah area dapur, sumur dan kasur semuanya merupakan kewajiban istri? Dalam artikel ini kita akan mencoba kembali mengupas hal tersebut untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Kenapa? Karena Salah satu faktor penyebab terjadinya kezaliman adalah ketidaktahuan pelaku atas perbuatan tersebut. Dan, ini dapat terjadi dalam berbagai hal, termasuk dalam hukum agama. Kesalahan pemahaman dalam hukum agama akan menimbulkan sebuah problema. Bahkan, mungkin saja akan menyebabkan terjadinya sebuah kezaliman, meskipun hal itu mungkin saja dilakukan secara tidak disengaja. Salah satu kesalahan pemahaman adalah kesalahan dalam memahami antara hal-hal yang merupakan sebuah “kewajiban” dan “kebaikan” dalam hak-hak dan kewajiban suami-istri. Akan terjadi percampuradukan antara kewajiban dan kebaikan, yang pada akhirnya salah satu pihak obyek hukum akan terzalimi. Tidak hanya sampai di situ, bahkan hukum mungkin saja terputar balik, dengan menganggap anjuran sebagai kewajiban atau sebaliknya.

Hal ini, penting untuk ditelaah kembali agar kesalahan di masa lalu tidak terulang lagi, sekaligus menjawab berbagai serangan yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya pembela hak-hak kaum perempuan. Karena, memang obyek yang sering dirugikan dalam hal ini adalah kaum perempuan.

Saat kita membaca beberapa buku tentang pernikahan, dan kehidupan berkeluarga, yang sering ditekankan ialah bagaimana menjadi istri yang baik. Lebih tepatnya, yang menjadi sasaran ialah calon istri, jarang sekali buku yang memberikan tuntunan untuk menjadi suami yang baik.

Begitu juga, ketika masalah keluarga diajarkan di pesantren-pesantren atau di pusat-pusat pengajian, maka yang banyak menjadi sorotan adalah perempuan atau calon istri saja. Jarang sekali yang membahas kedua belah pihak sekaligus, calon suami dan istri. Dalam banyak ceramah dan pengajian yang telah kita dengar, para
ustadz lebih banyak membahas penekanan pada perempuan saja, seperti bagaimana menjadi istri yang baik, istri harus begini dan begitu, kalau tidak nanti akan menjadi istri nusyuz. Seolah-olah menjadi istri malah akan menjadi momok. Nusyuz adalah istilah fikih (hukum Islam) yang diambil dari bahasa Arab untuk seseorang yang tidak lagi mengindahkan kewajiban terhadap pasangannya.

Di sisi lain, dalam banyak kesempatan, jarang sekali disinggung atau dibawakan hadis-hadis yang membahas bagaimana semestinya perlakuan suami terhadap istri, perlakuan Nabi saww, para Imam as, dan orang besar terhadap istrinya.

Untungnya, alhamdulillah, sekarang ini telah muncul banyak buku tentang keluarga yang membahas kedua belah pihak, suami-istri, dalam upaya membangun sebuah keluarga yang harmonis. Semoga keberadaan buku-buku seperti ini mampu merubah secara bertahap cara berpikir kaum muslim terhadap tata cara membangun keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Di antara para ulama kontemporer yang membahas masalah tersebut adalah Ayatullah Ibrahim Amini, Ayatullah Madzahiri dan lain-lain. Semoga sumber-sumber tersebut banyak dibaca oleh para calon suami, juga para suami. Berharap tidak berhenti sampai di situ, namun dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ilmunya bukan teori semata, namun juga diaplikasikan.


Urgensi Mengetahui Hak-hak dan Kewajiban Suami–Istri

Dalam kehidupan sosial terdapat pembahasan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban. Dua hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena hubungan antara keduanya merupakan konsekwensi logis dan realistis, maka jika terdapat kewajiban di sampingnya pasti terdapat hak, atau sebaliknya. Kecuali hak-hak dan kewajiban Tuhan, yang mana keduanya dapat dipisahkan. Ha ini disebabkan kekuasaan-Nya dan keadilan-Nya yang berlaku bagi hamba-hamba-Nya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ali as dalam khutbah ke-216-nya.

Pemisahan antara hak dan kewajiban akan mengakibatkan rusaknya tatanan hidup bermasyarakat, karena hal itu merupakan satu bentuk kezaliman yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia manapun. Keluarga merupakan sebuah tatanan masyarakat terkecil yang dibangun oleh seorang wanita dan laki-laki melalui sebuah upacara sakral yang bernama pernikahan. Setelah berlangsungnya akad nikah, kedua mempelai tersebut menjadi “halal” antara satu dengan yang lainnya, dan dinamailah hubungan mereka dengan suami-istri.

Setelah mereka menjadi pasangan suami-istri, maka terdapat hak-hak dan kewajiban masing-masing yang harus dihormati dan dilaksanakan. Sebagaimana seorang istri mempunyai hak dan kewajiban, begitu pula seorang suami. Jika pihak suami ataupun istri melalaikan kewajiban tersebut, maka dalam bahasa fikih dan al-Quran dianggap istri atau suami nusyuzd. Walaupun penerapan kata ini sering digunakan untuk pihak perempuan, akan tetapi juga dapat dipraktekkan untuk pihak lelaki. Dalam al-Qur’an dengan jelas menyebutkan bahwa istilah ini juga digunakan untuk kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Hanya perbedaan terdapat dalam menangani pihak yang berbuat nusyuzd, antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan. [QS an-Nisa ayat 24 dan ayat 128].


Efek dari Pembahasan Hak dan Kewajiban Suami–Istri

Sebagian merasa khawatir jika pembahasan hak dan kewajiban suami-istri dimunculkan, hal tersebut akan merusak tatanan sebuah keluarga. Dengan mengetahui hak dan kewajibannya, seorang istri akan banyak menuntut dan bermalasan-malasan dengan alasan bukan kewajibannya. Akan muncul para istri yang egois dan sok pintar, para istri yang tidak mematuhi suami dan lain sebagainya. Apakah dampaknya bisa seperti itu?

Di sisi lain, jika tidak dijelaskan, maka yang akan terjadi adalah percampuradukan antara kebaikan dan kewajiban. Karena ketidaktahuan, kewajiban yang seharusnya dilaksanakan malah ditinggalkan. Padahal kewajiban harus lebih diutamakan di atas segalanya. Atau, terjadi penyelewengan terhadap hukum Islam dengan melegimitasi perbuatannya dengan hukum Islam. Walau demikian, kita tidak mengatakan bahwa karena suatu hal bukanlah sebuah kewajiban, lantas kita tidak perlu melakukannya. Contoh kongkritnya ialah masalah izin suami.

Secara hukum fikih, istri wajib meminta izin suami ketika hendak keluar rumah. Walaupun dalam masalah izin suami, terdapat beberapa pengecualian. Namun yang perlu diketahui adalah, sampai di mana masalah izin dapat diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat kita, terutama para istrinya? Karena itu tidak perlu resah atas dampak yang akan muncul dari pembahasan masalah ini. Karena pembahasan ini dapat dijadikan sebagai sebuah wacana yang akan menambah wawasan dan membuka cakrawala alam pemikiran kita.


Definisi Hak

Dalam teks-teks ilmu ushul dan fikih, terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan kata “hak”. Ada yang mengartikan hak sebagai sebuah kepemilikan (milkiyah), kepenguasaan (sulthaniyah), sesuatu yang bersifat abstrak, dan sebagian lainnya mengartikan sebagai kebebasan (ikhtiyar) dalam bertindak. Namun, dapat dikatakan definisi hak yang terbaik adalah bahwa hak merupakan sebuah penguasaan (sulthaniyah), bukan suatu kepemilikan (milkiyah). Kita dapat mencermati hal ini dari definisi hak yang terdapat dalam fikih yang memiliki makna kepenguasaan, ”Hak adalah penguasaan realistis yang kedua sisinya tidak dapat diterima jika terdapat dalam satu pribadi. Tidak akan terlaksana pada satu pribadi, kecuali telah dilaksanakan atasnya. Dan tidak akan dilaksanakan atasnya, kecuali telah terlaksana baginya.” (Alhaqqu sulthanatun fi’liyatun la yu’qal tharafaiha bi asy-syakhsyin wahidin ,la yajra li ahadin illa jaraa alaihi wa la yajraa alaihi illa jaraa lahu).

Karena itu, hak merupakan kekuasaan atas sesuatu yang tidak mungkin dapat diterapkan kedua sisinya pada satu orang. Akan tetapi, ia harus berdiri tegak pada dua orang: orang pertama sebagai pemilik hak yang dapat mengambil manfaat, dan orang kedua sebagai pemenuh hak orang lain. Oleh karena itu, secara fikih, hak tidak bisa dimasukkan pada kategori kepemilikan. Karena ada tiga perbedaan mendasar antara hak dan kepemilikan. Pertama, selain pemilik hak dapat memakai dan meninggalkan haknya tersebut, ia pun dapat pula menggugurkan haknya tersebut. Atas dasar tersebut, maka dikatakan, “setiap pemilik hak dapat menggugurkan haknya.”(li kulli dzi haqqin an yusqoth haqqahu).

Perbedaan kedua, obyek hak selalu berupa pekerjaan, sedang kepemilikan bisa juga berbentuk selain pekerjaan, termasuk kepemilikan atas benda. Perbedaan ketiga adalah, kepemilikan masuk dalam kategori kekuasaan secara penuh dan bersifat kuat, tidak seperti hak. Maksudnya, pemilik sesuatu dapat membelanjakan apapun yang dimilikinya selama tidak bertentangan dengan syariat, sedang hak hanya dapat dilaksanakan pada hal-hal tertentu yang berkaitan dengannya saja. [ Jawadi Amuli, Hak wa Taklif dar Islam, hal: 24-25].


Hak-Hak dan Kewajiban Suami–Istri dalam Perspektif Hukum Fikih

Dalam pembahasan ini, kita tidak dalam rangka membahas kewajiban dan hak-hak suami-istri berdasarkan fikih argumentatif, namun akan membawakan bahasan fikih praktis dari salah satu marja.

Sebagaimana kita ketahui, dalam madzhab Syi’ah terdapat konsep taqlid. Berdasarkan konsep tersebut, orang-orang yang belum mencapai derajat ijtihad, harus merujuk kepada ijtihad salah satu marja yang telah memenuhi semua syarat yang telah ditentukan dalam praktek dan pelaksanaan hukum kesehariannya (Jami’ li as-Syara’ith).

Dengan berbagai alasan, dalam tulisan ini kita hanya akan membawakan pendapat Imam Khomaeni dalam masalah ini yang terdapat dalam kitab Tahrir Wasilah, bab Nikah. Pertama, karena beliau adalah pencetus Revolusi Islam Iran yang nota bene Syiah. Kedua, beliau merupakan sosok yang cukup dikenal di dunia.


Kewajiban-Kewajiban Suami

Di mana ada hak, di situ ada kewajiban. Berikut ini adalah kewajiban-kewajiban suami yang merupakan hak-hak istri untuk di dapatkan dari suaminya yang telah dijelaskan oleh Imam Khomaeni dalam kitab Tahrir Wasilah.

1. Memberi nafkah

Suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Berkaitan dengan nafkah, dan apa saja yang dimaksud dengan nafkah, Imam Khomaeni telah menjelaskannya secara detail yang mencakup;
Pangan (makan).

Kaitannya dengan kewajiban suami untuk memberi makan kepada istri, Imam Khomaeni dalam hal ini menjelaskan, “Ukuran makan, adalah dapat mengenyangkan. Adapun jenisnya adalah merujuk pada pandangan umum (urf) masyarakat untuk orang sepertinya.”

Imam Khomaeni juga menjelaskan, “Jika seorang istri terbiasa memakan jenis makanan tertentu dan meninggalkan jenis makanan tersebut akan membahayakannya, maka wajib atas suami untuk menyediakan jenis makanan tersebut.”

“Wajib atas suami untuk menyediakan sesuatu selain makanan yang sudah biasa dikonsumsi istri, seperti teh, kopi, dan lainnya, di mana jika istri meninggalkan kebiasaan tersebut akan membahayakannya.”

“Istri tidak berhak memaksa suami untuk memberi uang sebagai ganti makanan. Tapi, jika hal tersebut berdasarkan kesepakatan bersama, maka istri dapat meminta uang kepada suami sebagai ganti makanan, dan uang tersebut pun menjadi miliknya, dan suami telah terlepas dari kewajibannya.”
Sandang (pakaian).

Nafkah berikutnya yang menjadi kewajiban suami untuk memenuhinya ialah sandang atau pakaian. Berkaitan dengan hal ini, Imam Khomaeni menjelaskan,

“Wajib atas suami menyediakan pakaian untuk istrinya, sedang tolok ukur dan jenisnya harus sesuai dengan status sosialnya (Sya’niat). Begitu pula, wajib atas suami menyediakan pakaian untuk berbagai musim. Bahkan jika istrinya merupakan orang yang suka berganti penampilan (tajammul), maka wajib atas suami untuk menyediakan pakaian yang sesuai dengan pandangan masyarakat (urf) untuk orang sepertinya.” Dalam catatannya Imam Khomaeni menjelaskan bahwa suami harus menyediakan pakaian yang sesuai dengan status istrinya dalam pandangan (urf) masyarakat, dengan syarat hal tersebut tidak menyebabkan perbuatan haram, misalnya pakaian untuk diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan mahram. Atau, menyebabkan berlebih-lebihan dan pemborosan (mubadzir), misal setiap ada undangan harus memakai baju baru, maka dalam ini suami tidak wajib untuk menyediakannya.”

Papan (tempat tinggal).

Bagaimana dengan tempat nafkah papan atau tempat tinggal? Lebih detailnya Imam Khomaeni menjelaskan, “Wajib atas suami menyediakan rumah yang layak untuk istri. Baik rumah milik sendiri, menyewa, atau dengan cara lainnya. Begitupula istri dapat memohon kepada suami agar tidak ada yang tinggal di rumahnya, kecuali ia dan suaminya”.

”Menyediakan perkakas rumah yang diperlukan istri adalah kewajiban suami…”

”Menyediakan obat-obatan untuk istri yang sesuai dengan kebutuhan yang wajar…”

“Menyediakan pelayan, jika istrinya orang yang terhormat dan sebelumnya terbiasa memiliki pelayan…”

“Diwajibkan atas suami untuk memberikan nafkah kepada kepada istrinya, baik istrinya membutuhkan maupun tidak. Walaupun istrinya merupakan orang yang terkaya.”

Dalam lanjutannya Imam Khomaeni menjelaskan bahwa sebaiknya yang menjadi tolok ukur dalam penentuan semua nafkah yang telah disebutkan adalah merujuk kepada kebiasaan dan pandangan masyarakat umum (urf) tempat tingga l(kota) istri yang ia tinggali sekarang…”


2. Memaafkan Kesalahan Istri

Suami wajib memaafkan kesalahan istri jika istri melakukan kesalahan tersebut karena ketidaktahuan. Dalam hal ini Imam Khomaeni menyatakan, “Memaafkan kesalahan Istri, jika kesalahan tersebut dilakukan karena ketidaktahuan (jahl)”.

Adapun kesalahan yang dilakukan atas dasar kesengajaan dalam hal ini merupakan kebaikan suami jika memaafkannya, bukan kewajiban.


3. Berlaku Baik terhadap Istri

“Diwajibkan atas suami untuk berlaku baik terhadap istrinya, dan bertutur sapa dengan baik sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis…”


4. Tidak Memaksa Istri untuk Melakukan Pekerjaan Rumah

Dalam budaya kita tugas istri itu ada di wilayah sumur, dapur, dan kasur sehingga ada mitos seperti itu. Namun dalam hukum fikih ternyata wilayah sumur dan dapur bukan merupakan kewajiban dan tugas istri untuk melakukannya. Bahkan, dalam kitab Tahrir Wasilah Imam Khomaeni menyatakan dengan tegas bahwa seorang suami tidak berhak memaksa istrinya untuk melakukan pekerjaan rumah. Dalam Kitab Resoleye Tauzihul Masail Imam Khomaeni menjelaskan,

“Suami tidak berhak memaksa istrinya, untuk melakukan pekerjaan rumah”. [Resoleye Taudzih al-Masail, masalah ke-2411].


5. Memberikan Nafkah Batin (Kebutuhan Seksual)

Kebutuhan seksual termasuk hal yang diperhatikan dalam ajaran Islam. Kebutuhan ini harus dilakukan dalam sebuah hubungan yang sehat dan halal. Karena begitu pentingnya masalah ini, Islam memberikan perhatian yang khusus agar tidak terjadi penyimpangan. Dalam fikih praktis pemenuhan kebutuhan seksual merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang suami. Berkaitan dengan hal ini, dalam kitab Tahrir Wasilah Imam Khomaeni menjelaskan, “Seorang suami tidak boleh meninggalkan hubungan biologis dengan istrinya lebih dari empat bulan, bahkan untuk nikah mut’ah sekalipun. Kecuali istrinya merelakannya, atau karena terdapat halangan (udzur) yang dapat membahayakan suami atau istri. Salah satu halangannya (udzur) adalah suami tidak dapat berhubungan karena terdapat gangguan dalam alat kelamin. Jika meninggalkan hubungan biologis karena tidak ada halangan (uzur) seperti hal-hal yang disebutkan di atas, maka bagi seseorang yang tidak bepergian (musafir) wajib untuk melaksanakannya. Adapun bagi orang yang musafir, selama kepergian adalah untuk keperluan darurat menurut pandangan umum (urf), seperti untuk berdagang, berziarah, belajar dan sebagainya, maka ia dapat meninggalkan kewajibannya tersebut. Tetapi, jika kepergiannya bukan karena urusan darurat, seperti untuk berrekreasi dan bersenang-senang, maka ia harus melakukan kewajiban tersebut.”

“Seorang suami tidak dapat membiarkan istrinya seperti seorang perempuan yang tidak bersuami, juga tidak dapat dikatakan istri yang bersuami. Namun, meski demikian, tidak harus tinggal bersama istrinya sekali dalam empat malam.”

“Jika istrinya seorang gadis, maka pada tujuh hari pertama pernikahannya, suami harus tidur bersama istrinya. Namun, jika istrinya seorang janda, maka hanya pada tiga hari pertama saja, kecuali istrinya merelakannya hak-haknya.”


Kewajiban-Kewajiban Istri

Sebelumnya kita telah menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban suami yang merupakan hak-hak istri. Sementara sekarang ini kita akan mengupas tentang kewajiban-kewajiban istri yang merupakan hak-hak suami. Istri harus melakukan tugas dan kewajibannya berikut ini;

1. Pergi Keluar Rumah dengan Seizin Suami

Setelah menikah dan menjadi istri dari seseorang, seorang istri tidak dapat keluar rumah begitu saja tanpa ijin suaminya. Namun, bukan berarti setiap keluar rumah meski ke warung dekat untuk beli garam pun harus ijin suami. Jika ia mengetahui suaminya akan mengijinkannya maka bisa keluar tanpa ijinnya.

“Seorang istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suaminya, walaupun hal tersebut berkaitan dengan keluarga istri, ataupun untuk menjenguk orang tuanya, atau untuk menghadiri hari kesedihan keluarganya.”

Dalam kitab Istifta Imam Khomaeni menyebutkan, “Jika istri merasa yakin bahwa suaminya akan mengizinkannya, maka hukumnya tidak apa-apa keluar rumah tanpa meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu.”


2. Memenuhi Kebutuhan Seksual Suami

Pemenuhan kebutuhan seksual suami oleh istri lebih ditekankan lagi dibandingkan pemenuhan kebutuhan seksual istri oleh suami. Hal ini mungkin kembali pada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal seksual.

“Seorang istri harus menyerahkan dirinya untuk kenikmatan suaminya, dan tidak boleh menolak ajakan suaminya untuk berhubungan seksual, jika tidak ada halangan (uzur).”


3. Bernazar dan Bersumpah dengan Izin Suami

“Tidah sah hukumnya nazar seorang istri, jika nazar tersebut dilakukan tanpa seizin suami, meskipun nazar tersebut dari harta benda miliknya sendiri.”

“Jika dengan melaksanakan puasa sunnah, akan menyebabkan hilangnya hak suami atau suami melarang istri untuk melakukan puasa sunnah, maka ihtiyatnya ia tidak boleh berpuasa”.

“Jika suami tidak mengizinkan istrinya untuk bersumpah, maka sumpahnya tidak sah.”

Jika dalam hal-hal Sunnah seperti puasa dan sedekah dengan harta suami maka harus seijin suami. Namun berkaitan dengan kewajiban-kewajiban istri seperti haji, zakat maka tidak memerlukan ijin suami.

“Disebutkan bahwa istri tidak memiliki wewenang dalam urusan, dalam perkara-perkara seperti sedekah, pemberian (hibah) dan nazar dengan harta, istri harus meminta izin suami.Kecuali dalam perkara-perkara seperti: haji, zakat, berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung silaturahmi dengan kerabat istri. Perincian masalah tersebut akan dijelaskan pada pembahasan sendiri…”


4. Menjaga Penampilan di Hadapan Suami

Biasanya perempuan akan berusaha tampil cantik dan sempurna saat mau hadir ke acara-acara seperti kondangan, arisan pengajian, pesta dan lainnya. Namun, tidak mempedulikan penampilannya saat di rumah di hadapan suaminya. Bahkan kadang suami disuguhi daster butut, bau keringat dan lainnya hingga suaminya merasa risih dan malas melihatnya. Padahal berdasarkan hukum fikih menjaga penampilan di hadapan suami itu merupakan kewajiban seorang istri. Dalam Tahrir Wasilah disebutkan,

“Istri harus menjauhkan dirinya dari hal-hal yang menyebabkan suaminya tidak bergairah kepadanya.”

“Seorang istri, harus membersihkan dirinya dan berhias jika suaminya menghendakinya.”

Itulah kewajiban-kewajiban suami-istri dalam berumah tangga, yang jika mereka tidak melakukan hal-hal tersebut maka dianggap suami-istri yang nusyuz. Nusyuz ialah istilah hukum yang diberikan kepada suami-istri yang tidak melakukan kewajiban-kewajibannya. Terdapat cara-cara yang telah dijelaskan dalam hukum fikih dalam menangani suami-istri yang nusyuz.


Fikih dan Akhlak, Pondasi dalam Kehidupan Rumah Tangga

Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa berdasarkan hukum fikih, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah bukan merupakan kewajiban istri. Artinya, jika istri tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut, ia tidaklah berdosa.

Itu jika kita bicara secara hukum fikih. Namun, di sisi lain, kehidupan rumah tangga tidaklah dapat hanya berlandaskan pada hukum-hukum fikih saja, tapi juga harus berlandaskan kepada akhlak. Kenapa? Karena jika kehidupan rumah tangga hanya berlandaskan hukum fikih saja, maka akan kering, jauh dari kehangatan dan menjadi ajang untuk saling menuntut hak-hak dan kewajibannya antara suami-istri. Tentu, itu bukanlah tujuan dari sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, sebagaimana yag telah disinyalir dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 21.

Dari sini kita faham bahwa dalam menjalankan kehidupan rumah tangga, antara fikih dan akhlak harus seiring. Tidak hanya berlandaskan pada fikih saja, atau sebaliknya hanya berlandaskan pada akhlak saja. Pekerjaan-pekerjaan rumah bukanlah kewajiban istri yang telah ditetapkan dalam fikih, namun merupakan anjuran agama yang bersifat kebaikan dan prilaku akhlaki.

Di saat pasangan suami-istri memahami dengan benar antara kewajiban-kewajibannya secara fikih, dan kebaikan-kebaikannya secara akhlaki, maka rumah tangga akan berpondasikan keikhlasan dan cinta Allah Swt. Suami tidak akan semena-mena memperlakukan istri dengan menganggapnya bahwa hal-hal tersebut sebagai kewajiban-kewajiban istri. Demikian istri juga, tidak mentang-mentang karena merasa bukan kewajibannya, bertindak semaunya. Suami maupun istri jika berperilaku sesuai tuntunan fikih dan akhlak keluarga maka, mereka akan saling melayani satu dengan yang lainnya dengan ikhlas dan karena Allah. Mereka akan melihat pengabdian kepada pasangan merupakan sebuah nikmat dan ibadah guna mencari keridhoan Allah Swt. Keikhlasan ini akan menghilangkan rasa lelah dan penat karena melayani pasagannya, dan selalu berusaha melakukannya dengan senang hati.


Balasan Pelayanan (khidmat) atau Kebaikan Istri terhadap Suami

Meskipun melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah bukanlah kewajiban istri, namun ternyata pahalanya sangat luar biasa. Apalagi yang kita cari dalam kehidupan ini selain ibadah dan mencari pahala. Di dalam rumah dengan melayani suami dan anak-anaknya, ternyata seorang istri bisa mengumpulkan pundi-pundi pahala. Seorang istri akan dekat dengan Allah Swt saat itu, jika ia lakukan dengan ikhlas. Di samping itu, istri pun akan semakin dicintai dan disayangi oleh suami dan anak-anaknya.

Berikut ini hadis-hadis yang menyebutkan tentang balasan dan pahala pelayanan dan kebaikan istri terhadap suaminya. Semoga dengan membaca hadis-hadis ini para istri makin termotivasi untuk menjalankannya dengan ikhlas karena Allah.
1. Rasul saww bersabda, “Setiap perempuan yang berkhidmat kepada suaminya selama tujuh hari, maka Allah swt akan menutup tujuh pintu neraka dan membuka tujuh pintu surga baginya. Sehingga ia dapat memasuki surga dari setiap pintu yang ia kehendaki”.[Irsyadul Qulub, hal 15].
2. Rasul saww bersabda , “Allah swt tidak akan memberikan balasan kepada perempuan yang membawakan seteguk air untuk suami, melainkan pahala perbuatan tersebut lebih baik dari ibadah setahun, yang siang harinya diisi dengan berpuasa, sementara malam harinya dipenuhi dengan shalat.”[Irsyadul Qulub, hal 15].
3. Imam Shadiq as berkata, “Ummu Salamah telah bertanya kepada Rasulullah tentang keutamaan istri yang mengabdi kepada suaminya. Rasul saww menjawab, “Allah swt akan memandang (memberikan perhatian khusus) pada setiap wanita yang mengangkat sesuatu di rumah suaminya, lantas memindahkannya dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tujuan untuk penataan. Barang siapa yang dipandang Allah swt, maka akan aman dari siksa-Nya.”[Biharul Anwar, jil 103, hal 251].
4. Imam Kadzim as berkata, “Jihad seorang perempuan adalah dengan berbuat baik terhadap suaminya.”[al-Kafi, jil 5, hal 507].
5. Rasul saww bersabda, “Sebaik-baiknya perempuan ialah perempuan yang selalu berhias untuk suaminya, namun tidak menampakkannya kepada laki-laki asing (bukan muhrim).”
6. Imam Shadiq as berkata, “Sebaik-baiknya perempuan ialah perempuan yang berterima kasih kepada suaminya, ketika suami memberikan sesuatu kepadanya. Dan rela disaat suami tidak memberikan sesuatu kepadanya.”
7. Imam Baqir as berkata, “Tidak ada syafa’at yang bermanfaat bagi istri di sisi Allah swt, melainkan kerelaan suami.”
8. Rasul saww bersabda, “Tidak selayaknya istri memaksakan sesuatu yang di luar kemampuan suaminya.”
9. Rasul saww bersabda, “Allah akan memberikan pahala kepada seorang istri yang membantu suaminya dalam berhaji, jihad dan menuntut ilmu, seperti pahala yang telah diberikan kepada istri nabi Ayub as.”
10. Rasul saww bersabda, “Allah akan memberikan pahala kepada seorang istri yang sabar terhadap prilaku buruk suaminya, seperti pahala yang telah diberikan kepada istri Fir’aun Asiyah binti Muzahim”.[Biharul Anwar, jil 103, hal 247].
11. Bahkan, dalam sebuah hadis pun dijelaskan bahwa salah satu asisten Allah swt di muka bumi, ialah seorang wanita yang selalu menyambut suaminya ketika datang, menghantarkannya ketika hendak pergi, dan menghiburnya ketika sedih.”
12. Seseorang telah mendatangi Rasulullah saww seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang istri yang selalu menghantarkanku ketika hendak bepergian dan menyambutku ketika aku datang. Dan ketika melihatku sedih ia berkata, ‘Jika engkau bersedih karena memikirkan kebutuhan hidup, maka ketahuilah Allah swt telah mengatur semuanya. Dan jika engkau bersedih karena urusan akhirat, maka semoga Allah Swt menambah kesedihanmu untuk urusan akhirat.’ Rasulullah bersabda, ‘Ketahuilah bahwa Allah Swt memiliki asisten di muka bumi. Wanita ini adalah salah satu asisten-Nya. Bahkan ia mendapatkan setengah pahala orang yang syahid di jalan Allah.” (Wasail Asy-Syi’ah jilid 14, hal. 11).


Balasan Pelayanan (Khidmat) dan Kebaikan Suami terhadap Istri

Islam sangat adil, telah memberikan tuntunan yang serupa kepada seorang suami agar dapat mengumpulkan pundi-pundi pahala juga. Bukan seorang istri saja yang diperintahkan untuk mengabdi dan berbuat kebaikan kepada pasangan dan keluarga, seorang suami pun diperintahkan untuk mengabdi kepada pasangan dan keluarganya.

Karena itu, suami-istri yang mengetahui anjuran-anjuran dan kebaikan-kebaikan ini semua, pasti akan menjadikan kehidupan rumah tangga sebagai ajang untuk mengumpulkan pahala. Pasangan suami-istri ini akan berlomba dalam melakukan kebaikan-kebaikan tersebut dalam rumah tangga.

Berikut ini hadis-hadis yang menyebutkan tentang pahala pelayanan dan kebaikan suami terhadap istri;
1. Hasan bin Jaham berkata, “Imam Kazhim as telah mewarnai rambutnya (dengan pacar) dan merias (menyisir dan merapikan penampilan) dirinya. Lantas aku berkata, ‘Wahai yang jiwaku sebagai tebusannya, apakah Tuan juga mewarnai rambut (dengan pacar)?” Beliau menjawab, ‘Ya, karena penampilan menarik suami akan menyebabkan kehormatan dan keterjagaan (iffah) para istri. Ketidakterjagaan (perselingkuhan) para istri dikarenakan penampilan yang tidak terawat para suami.” Imam melanjutkan, “Apakah engkau senang melihat istrimu tampil tidak rapih dan tidak menarik?” Aku menjawab, “Tidak, Wahai J” Imam as kembali berkata, “Istrimu juga seperti itu, tidak senang melihatmu dalam keadaan tidak menarik.” (Wasa’il Asy-Syi’ah, jil 1, hal 183).
2. Imam Shadiq as berkata, “Sebagaimana para suami akan merasa senang di saat melihat para istrinya tampil cantik dan rapi, para istri pun akan merasa senang sewaktu melihat para suaminya tampil rapi dan menarik.” (Makarim-Akhlak, hal 80).
3. Nabi saww bersabda,”Apabila seseorang bepergian, maka pada saat kembali hendaklah ia membawa hadiah atau oleh-oleh untuk keluarganya…” [Wasail, jil 8, hal 337].
4. Nabi saww pun memberikan teladan tentang cara memberi oleh-oleh, ”Seorang lelaki yang memasuki pasar kemudian membeli buah-buahan, dan setelah itu membawanya ke rumah untuk diberikan kepada keluarganya, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang bersedekah kepada fakir miskin. Dan hendaknya ia berikan oleh-olehnya kepada anak perempuan terlebih dahulu, baru kemudian diberikan kepada anak laki-lakinya.” [Wasail asy-Syiah, jil 8, hal 338].
5. Rasul saww bersabda, “Setiap kali suami memberikan air minum kepada istrinya, maka Allah swt akan memberikan balasan kepadanya”.[Kanzul Ummal, hadis ke-44771; Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 254].
6. Rasul saww bersabda, “Duduk seorang laki-laki di samping anak dan istrinya, lebih dicintai Allah swt dari i’tikaf di masjid”.[ Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 254].
7. Rasul saww bersabda, “Sesungguhnya seorang laki-laki akan mendapat pahala di saat ia menyuapi istrinya”.[ Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 254].
8. Rasul saww bersabda, “Ungkapan “aku cinta kamu” yang diucapkan suami kepada istrinya tidak akan pernah sirna dari hati istrinya”.[al-Kafi, jil 5, hal 569].
9. Rasul saww bersabda, “Barang siapa yang bersabar atas prilaku buruk istrinya, dan melimpahkannya kepada Allah swt, maka Allah akan memberikan balasan untuk siang dan malam harinya, seperti balasan yang telah diberikan kepada Nabi Ayub as dalam menghadapi segala ujian Allah swt. Sementara, dosa-dosa istrinya untuk siang dan malam harinya seperti kerikil-kerikil yang terdapat di tempat yang penuh kerikil”.[Tsawabul ‘Amal, jil 1 hal 339; Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 254].
10. Rasul saw bersabda, “Saya merasa heran terhadap suami yang memukul istrinya, padahal ia lebih layak untuk dipukul”.
11. Imam Ali as berkata, “Istri merupakan amanat Ilahi yang ada di tanganmu, oleh karenanya, jangan menyakitinya dan mempersulitkannya”.
12. Imam Shadiq as berkata, “Imam Ali as memotong-motong kayu, mengambil air dan menyapu. Sementara Sayyidah Fathimah Zahra as membuat tepung, mengadoninya dan membuat roti”.[Biharul Anwar, jil 43, hal 15].
13. Suatu hari Rasul saww memasuki rumah Imam Ali as. Beliau melihat Sayyidah Fathimah as sedang membuat tepung yang dibantu oleh Imam Ali as. Kemudian Rasul saw berkata, “Siapa di antara kalian yang sudah lelah? Imam Ali as menjawab : “Fathimah sudah lelah, wahai Rasulullah”. Lantas Rasul saww berkata, “Bangkitlah wahai putriku! Kemudian Sayyidah Fathimah bangkit, dan Rasulullah datang menggantikan beliau untuk membantu Imam Ali as membuat tepung”. [Biharul Anwar, jil 43, hal 15].

Dan masih banyak lagi hadis dan riwayat lainnya yang tidak mungkin dapat dinukil semuanya di sini.


Konklusi

Dari semua ulasan yang kita kaji, sekarang kita dapat membedakan mana hak dan mana kewajiban? Kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang sudah ditetapkan oleh hukum fikih kepada suami-istri. Kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan dan diatur oleh hukum fikih ialah hal-hal yang wajib dilakukan oleh suami-istri, dan jika melanggarnya maka mereka akan berdosa.

Sedangkan hal-hal selainnya yang berupa anjuran-anjuran yang telah disampaikan dalam hadis-hadis, seperti melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah bagi istri, merupakan kebaikan dan anjuran akhlaki saja. Namun demikian, dalam prakteknya, dalam kehidupan rumah tangga harus selaras antara fikih dan akhlak. Perintah-perintah fikih bersifat kewajiban, sedangkan perintah-perintah akhlak bersifat kebaikan, antara keduanya saling menunjang dalam membangun sebuah keluarga sakinah mawaddah warahmah, insyaallah.


Catatan Kaki:

(1) Muhammad bin Husain al-Hurr al-Amili, Wasa’il asy-Syi’ah, Omuli, Jawadi, Hak wa Taklif dar Islam, 1384.
(2) Khomaeni, Ruhullah, Tahrir al-Wasilah, cetakan pertama, 1421 QH.
(3) Maksumi, Mas’ud, Ahkam-e Rawabet-e Zan wa Syuhar (dalam pandangan beberapa marja), cetakan ke-7, 1380 QS.
(4) Khomaeni, Ruhullah, Resoley-e Taudzih al-Masail, 1381 HS, Teheran, Kanun Intiysorot-e Payom-e Adolat.
(5) Syeikh Thabarsi, Majmaul Bahrain, jilid 3, hal 159.
(6) Kitab-e Naqd Huquq-e Zan, volume 12, 1378 QS.

Sumber: Jurnal Bayan Vol. V1

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: