Oleh: Euis Daryati MA
Sepasang suami istri, sebut saja Sahil dan Hanna, sudah membangun rumah tangga cukup lama dan dikaruniai beberapa anak. Hanna termasuk tipe istri yang penurut, tidak banyak menuntut dan sangat patuh pada suami. Ia mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai mengasuh anak, membersihkan rumah, memasak dan menyiapkan keperluan suami.
Sebaliknya, saat berada di rumah, Sahil hanya istirahat dan tidak mau membantu mengasuh anak, atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Alasannya, itu semua adalah tugas istri.
Suatu hari Hanna dipanggil ke sekolah karena nilai akademis anaknya merosot tajam.di sekolah dia cenderung tertutup. Sedangkan anak satunya lagi itu sangat nakal di sekolah. Alih-alih menghibur dan mencarikan solusi, suaminya justru menyalahkan Hanna, “Kenapa anak-anak jadi seperti itu? Kamu ini ibu mereka, sudah tugasmu mendidik dan memperhatikan anak-anak. Aku sudah sibuk bekerja, jadi sudah capek untuk mengurusi itu.”
Ya, sayang sekali masih banyak yang beranggapan bahwa mengasuh dan mendidik anak adalah tugas istri semata. Anggapan yang mengatakan “Suami mencari nafkah, istri mengasuh anak” seolah menjadi pakem dalam kehidupan sehari-hari. Tugas mendidik anak hanya dibebankan pada istri. Dan sering kali, saat anak-anak berperilaku menyimpang, maka istrilah yang pertama kali disalahkan karena dianggap tidak becus mendidik anak.
Padahal, ayah dan ibu, kedua-duanya memiliki peran penting dalam mendidik anak, dan dalam membentuk generasi yang baik, sehingga dibutuhkan interaksi dan kerjasama yang baik di antara mereka.
Fenomena Father Hunger
Indonesia saat ini disebut sebagai Fatherless Country, banyak anak yang berayah namun serasa yatim karena kurangnya ikatan antara ayah dengan anak. akibatnya terjadi kerusakan psikologis yang diderita anak-anak karena kehilangan sosok ayah.
Padahal, anak yang dekat dengan ayahnya akan menjadi pribadi yang percaya diri dan mudah beradaptasi dengan lingkungan luar. Karena bagi anak-anak, ayah adalah sosok misterius karena jarang pulang. Namun, ketika seorang ayah bisa menjalankan perannya, maka anak akan menyimpulkan bahwa dunia luar aman baginya.
Stimulus pagi hari, anak akan menjadi lebih termotivasi dengan melihat sosok orang yang membangunkannya. Anak akan merasa lebih bahagia saat ayahnya pun ikut peduli untuk membangunkannya dan mengajaknya shalat bersama.
Tentu, banyak efek negatif dari father hunger’ bila hal itu terjadi, di antaranya; kurang dapat beradaptasi dengan lingkungan luar, kurang percaya diri, mudah tersinggung dan susah dalam mengambil keputusan. Bagi anak perempuan yang kurang kasih sayang dan jauh dai sentuhan pendidikan sosok ayah, ketika beranjak dewasa sangat mudah jatuh cinta dan dirayu oleh laki-laki. Akibatnya dengan mudah akan jatuh ke pelukan laki-laki, menyerahkan diri dan kehormatannya.
Dan jika ia telah menikah, dalam menghadapi masalah rumah tangganya, akan mudah give up, menuntut cerai dengan suami, dan dengan mudah menyimpulkan bahwa semua laki-laki itu tidak baik.
Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Versi Alquran
Bila kita menilik ayat-ayat yang bercerita tentang para orang tua yang sedang mendidik anak-anaknya, maka kebanyakan bercerita tentang peran para ayah. Dalam Alquran ada tujuh belas dialog tentang anak, empat belas di antaranya tentang ayah dengan anak. Luqman dan anaknya, Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ismail as, Nabi Ibrahim as dengan Nabi Ishak as, Nabi Syuaib as dan anaknya, dan lainnya. Hanya dua dialog dalam Alquran yang bercerita tentang dialog ibu dan anak, saudara Nabi Musa as dan Maryam as dengan Nabi Isa as. Hal tersebut dapat kita lihat seperti dalam surah Lukman, surah Maryam, surah al-Qashash, surah al-Baqarah ayat 132, dan surah Yusuf ayat 67. Ternyata, proses pendidikan dalam keluarga, yang digambarkan melalui Alqur’an dilakukan oleh para ayah. Tidak ada satu ayat pun yang memotret momen pendidikan dari para ibu, kecuali adanya perintah menyusui. Tentu, hal itu tanpa menafikan tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang sifatnya umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Dalam surah at-Tahrim ayat 6 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, selamatkan diri dan keluarga kalian dari api neraka.” Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ali as mengatakan, “Didiklah dan ajarilah mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir].
Mengajar, mengarahkan, dan mendidik anak tak ubahnya usaha untuk mendapatkan surga. Dan, mengabaikan pendidikan anak-anak sama artinya dengan menyebabkan mereka masuk neraka. Dalam ayat tersebut pun seorang suami (ayah) yang diperintahkan untuk menjaga keluarganya (anak dan istrinya) dari api neraka dengan mendidik anak dan istrinya.
Surah Thaha ayat 132 juga menugaskan orang tua, dalam hal ini, ayah untuk memerintahkan anggota keluarga menunaikan shalat. Ayat ini menggunakan kata ganti untuk seorang laki-laki (dzamir mufrad mudzakar), “Perintahkan kepada keluargamu untuk mendirikan solat dan bersabar dalam mengerjakannya.” Ayat ini juga meminta kesabaran orang tua karena dalam pendidikan dan pengasuhan mutlak diperlukan kesabaran dan ketelatenan. Sejarah mencatat, setelah ayat ini turun, Rasulullah saw selalu mendatangi rumah Sayyidah Fathimah as dan Imam Ali as lalu bersabda, “Shalatlah.”
Kisah Lukmanul Hakim juga menunjukkan bahwa seorang ayah bertanggung jawab mengajari anaknya tentang akidah, fikih, dan akhlak. Alquran mengabadikan kisahnya agar bisa diteladani oleh para ayah lainnya.
Lukman memberikan contoh kepada para ayah tentang materi-materi yang harus diajarkan kepada anak-anak, namun ia juga mengajarkan metode dan pola didik yang benar.
Dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu adalah benar-benar kezaliman yang besar… Wahai anakku! Sungguh jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau langit, atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahalembut, Mahateliti [QS Lukman:13,16].
Ayat tersebut berkaitan dengan akidah dan keyakinan, yaitu tentang keesaan Allah dan larangan menyekutukan-Nya.
Wahai anakku, dirikanlah solat, perintahkan (manusia) kepada yang ma’ruf dan mencegah (mereka) dari yang mungkar, bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.[QS Lukman:17].
Ayat ini menjelaskan tentang pendidikan fikih dan hukum seperti solat dan amar ma’ruh dan nahi munkar.
Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara keledai.” [QS Lukman:18, 19].
Ayat-ayat berikut menyinggung tentang pendidikan akhlak dan etika, yaitu larangan bersikap sombong.
Ungkapan ya bunayya yang diucapkan Lukman dalam memanggil putranya saat mengajari dan mendidiknya, telah mengajarkan kepada para ayah tentang pola ajar dan pola didik yang benar. Ungkapan ya bunayya atau ‘wahai anakku sayang’, mengajarkan bahwa dalam mendidik anak kita harus lakukan dengan penuh kasih sayang dan jauh dari kekerasan. Ajarkan dan didik anak-anak tentang kebaikan dengan cara yang baik. Kenalkan anak-anak tentang keindahan Islam dengan cara yang indah. Artinya, tahap pertama pola asuh dan didik anak ialah dengan kelembutan dan kasih sayang. Adapun hukuman dan lainnya itu adalah solusi terakhir, yang itu pun tetap dilakukan dengan cara yang baik dan cantik.
Di samping itu, hak asuh yang diberikan pada ayah saat suami istri bercerai juga mengisyaratkan pentingnya peranan ayah dalam penddikan anak.
Peran Ayah dalam Pendidikan Anak dalam Riwayat
Dalam riwayat-riwayat pun kita dapat lihat yang menggambarkan tentang peran penting ayah dalam pendidikan anak.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw pernah bersabda, “Seorang ayah yang mendidik anak-anaknya adalah lebih baik daripada bersedekah sebesar 1 sa’ di jalan Allah.”
Nabi saw pun mencontohkan, bahkan ketika beliau tengah shalat, beliau tidak menyuruh orang lain, atau kaum perempuan untuk menjaga kedua cucunya yang masih kanak-kanak, al-Hasan as dan al-Husain as. Bagi Nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik, termasuk ketika beliau sedang shalat.
Nabi saw pernah membawa al-Hasan as dan al-Husein as di kedua pundaknya, lalu bersabda, “sebaik-baiknya pengendara ialah keduanya, namun ayah keduanya lebih baik daripada keduanya.” [Mu’jamul Kabir, ath-Thabrani : 2677].
Suatu ketika Nabi saww berkhotbah, tiba-tiba datanglah al-Hasan dan al-Husein yang keduanya memakai gamis dan berjalan tertatih-tatih. Nabi saw pun langsung turun dari mimbarnya lalu menggendong dan meletakkan keduanya di hadapannya. [Shahih at-Tirmidzi, al-Albani, Kitabul Manaqib 4774].
Nabi saw pernah berbaring lalu tiba-tiba al-Hasan as dan al-Husein as datang dan bermain-main di atas perut beliau. Al-Hasan as dan al-Husein as pun sering menaiki punggung beliau saat beliau sujud dalam solatnya. Bila para sahabat hendak melarang keduanya, beliau memberi isyarat agar mereka membiarkan keduanya. [Shahih al-Jami’: 4797].
Selain itu, banyak sekali riwayat yang mengisyaratkan tanggung jawab pendidikan anak di pundak orang tua. “Didiklah anak-anak kalian dengan tiga hal; mencintai Nabi saw, mencintai Ahlulbait as, dan membaca Alquran.” [Muntakhab Mizanul Hikmah, hal. 614].
Riwayat lain menjelaskan, “Barangsiapa mempunyai anak, maka ia harus berperilaku seperti anak-anak.” [Muntakhab Mizanul Hikmah, hal. 614] Hadis ini terkait dengan salah satu cara mendidik anak, dengan bermain dan masuk ke dalam dunia mereka dan berprilaku seperti mereka. Dengan begitu, pesan-pesan pendidikan akan lebih mudah dicerna anak-anak.
Keterlibatan ayah dalam pendidikan anak memenuhi gambaran sejarah Islam. Dalam buku ‘al-Muhaddithat; The Women Scholars In Islam’, Mohammad Akram Nadwi memberikan banyak contoh bagaimana para ulama kita menyediakan waktu untuk pendidikan putri-putrinya sebagaimana mereka meluangkan waktu untuk tugas-tugas lainnya.
Abu Bakar Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syajarah al-Baghdadi (350H), misalnya, senantiasa memantau pendidikan putrinya, Amat as-Salam (Ummu al-Fath, 390 H) di tengah kesibukannya sebagai hakim. Diriwayatkan oleh al-‘Atiqi, hafalan hadits Amat as-Salam bahkan selalu dicatat oleh sang ayah.
Syaikhul Islam Abu Abbas Ahmad bin Abdillah al-Maghribi al-Fasi (560 H) juga tercatat mengajari putrinya cara baca al-Qur’an, serta buku-buku hadits meski beliau terlalu dengan dakwah, dan lainnya. Semua itu dilakukan karena mengikuti Nabi saw, sang teladan bagi umat manusia yang biasa menggendong cucunya bahkan ketika sedang shalat.
Dengan demikian, mendidik anak merupakan tanggung jawab pasangan suami istri. Penelitian juga membuktikan bahwa anak-anak yang mendapatkan pendidikan lengkap dari ayah dan ibu akan tumbuh menjadi anak yang cemerlang dalam akademik, sosial dan spiritual bahkan emosional dibanding anak yang hanya mendapat pendidikan dari salah satu saja, ibu saja atau ayah saja. Ketidakhadiran ayah atau ibu, baik secara fisik maupun emosinal, akan memberi dampak negatif pada kepribadian anak. Akan ada sisi dan dimensi kepribadian anak yang tidak terbentuk dengan sempurna. Hasilnya, anak bisa menjadi nakal, kurang percaya diri, kasar dan bahkan mudah condong pada kejahatan. Karena itu, pasangan suami istri hendaklah bekerjasama dalam mengasuh dan mendidik buah hati mereka guna membangun keluarga yang harmonis dan penuh cinta. Peran yang dilakukan orang tua akan memberikan dampak positif dalam perkembangan kepribadian anak.
Secara umum, peran ayah adalah menumbuhkan rasa percaya diri dan kompetensi anak lewat kegiatan bermain yang lebih melibatkan aktivitas fisik, baik di dalam maupun di luar ruangan, menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak kisah-kisah tentang cita-cita, mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki dan tentang perilaku seorang laki-laki sesuai ajaran agama.
Sementara peran Ibu secara umum menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi yang lebih melibatkan sentuhan lembut dan kasih sayang, menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak lewat bercerita dan mendongeng, dan aktifitas akrab dengan anak (seperti bicara dari hati ke hati), mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan dan tentang perilaku perempuan baik-baik sesuai ajaran agama. [Amazing Parenting, hal. 21-23].
Kerja sama yang baik antara suami dan istri dalam mendidik anak merupakan salah satu kunci keharmonisan keluarga. Dan ini akan tergambar dalam pertumbuham kepribadian anak-anak baik secara mental, spiritual, intelektuan dan sosial. Anak-anak yang berada dalam pengasuhan yang seimbang antara ayah dan bundanya, akan tumbuh dengan baik dalam segala aspek. Mereka tidak akan kekurangan vitamin ‘A’ atau kasih sayang ayah.
Juga, Rasulullah saw sendiri telah mencontohkan bagaimana peran beliau dalam pendidikan putri tercintanya, Sayidah Fathimah as. perlakuan-perlakuan beliau terhadap putrinya adalah contoh konkrit bagi para ayah tentang perannya dalam pendidikan anak. Karena itu, sesibuk apa pun aktifitas ayah di luar, jangan sampai melupakan tanggungjawab tentang perannya yang tidak dapat tergantikan. Jangan sampai sangat antusias mendidik orang lain di mana-mana, namun loyo dalam membimbing anak sendiri.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar