Dalam tragedi Asyuro banyak perempuan yang telah dibawa Imam Husein as ke Karbala. Tentu terdapat filosofi penting yang menyebabkan beliau membawa para perempuan tersebut yang akan menyempurnakan misi beliau setelahnya. Dengan tanpa mengecilkan peranan para perempuan lainnya, dalam artikel ini hanya akan menapaki kehidupan srikandi Karbala, Zainab al-Kubro as yang memiliki peranan yang paling menonjol dalam dalam tragedi tersebut.
1. Nama dan Kelahiran
Zainab al-Kubro adalah putri dan anak ketiga dari pasangan manusia suci lagi agung, Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Beliau besar di bawah naungan pancaran wahyu Ilahi.
Berdasarkan pendapat termasyhur, beliau lahir di Madinah pada tanggal 5 Jumadil Awal tahun 6 Hijrah. Ketika berita kelahiran Zainab al-Kubro sampai kepada Rasulullah saw, beliau langsung menuju rumah Fathimah as. Saat tiba di rumahnya, beliau berkata, “Wahai putriku, bawalah kemari cucuku.”
Beliau meletakkan bayi itu di pangkuannya. Lalu, memeluk dan meletakkan pipi Zainab di pipinya. Tak lama kemudian beliau pun menangis dengan sangat keras hingga air matanya bercucuran membasahi pipinya. Fathimah as keheranan melihat sikap ayahandanya hingga beliau bertanya, “Wahai ayahku, semoga Allah Swt tidak membuat matamu menangis, kenapa engkau menangis?” “Wahai putriku, wahai Fathimah, ketahuilah, bayi ini akan ditimpa berbagai musibah dan akan menghadapi berbagai cobaan. Wahai putriku, wahai belahan jiwaku dan cahaya mataku, ketahuilah, barang siapa yang menangis untuknya karena segala musibah yang menimpanya, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang menangis untuk kedua saudaranya,” jawab Rasulullah saw. Setelah itu kemudian Nabi Muhammad saw memberi nama bayi tersebut Zainab.
Terdapat versi lain tentang penamaan Zainab al-Kubro yang disebutkan dalam kitab Nasikh at-Tawarikh, disebutkan bahwa penamaan Zainab al-Kubro atas perintah Allah Swt. Setelah kelahirannya Imam Ali as tidak langsung memberikan nama kepadanya, hingga Fathimah as menanyakan sebab kepadanya. Imam Ali as menjawab, “Kita tunggu saja sampai Rasulullah saw sendiri yang memberikan nama kepadanya.” Mendengar hal itu, lalu Sayidah Fathimah as menggendong bayinya pergi menuju rumah Rasulullah saw untuk menyampaikan hal tersebut. Pada saat itu, turunlah Malaikat Jibril as dan berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai utusan Allah, Allah swt telah mengirim salam untukmu dan Dia berfirman, “Namakan ia Zainab.”
Setelah menyampaikan pesannya, tiba-tiba malaikat Jibril as menangis hingga membuat Rasulullah saw keheranan. Kemudian beliau menanyakan sebabnya. Malaikat Jibril as menjawab, “Dari awal hingga akhir, kehidupan bayi ini akan dipenuhi berbagai musibah dan cobaan.”
Inti dari kedua versi tersebut bahwa sejak kelahirannya beliau telah diketahui akan menghadapi musibah besar di kemudian hari, yaitu tragedi Asyuro. Sejak kelahirannya telah diberitahukan tentang kesedihan yang akan menimpanya di kemudian hari.
Terdapat beberapa versi tentang akar kata nama Zainab as. Sebagian mengatakan nama beliau hanya terdiri dari satu suku kata yang berarti nama salah satu pohon yang cantik dan harum baunya, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Mandzur. Versi lain mengatakan bahwa nama beliau terdiri dari dua suku kata yaitu ‘zain‘ dan ‘abun’ yang artinya ‘hiasan ayah’.
Sebagaimana ibundanya, Sayidah Fathimah as, memiliki gelar ‘Ummu Abiha’ (ibu ayahnya) yang mengisyaratkan hubungan yang amat dekat antara seorang anak perempuan dengan ayahnya, Zainab as juga memiliki gelar ‘zain abiiha’ (hiasan ayahnya). Untuk mempersingkat nama atau karena telah sering digunakan maka alifnya dibuang dan menjadi ‘Zainab’.
Yang pasti, baik nama Sayidah Zainab hanya terdiri dari satu suku kata, ataupun dua suku kata, kedua-duanya mengisyaratkan makna yang sangat dalam dan indah. Dan, saya kira kedua versi tersebut tidak saling bertentangan, yang ada bahkan saling menyempurnakan.
2. Masa Kanak-Kanak
Zainab al-Kubro as tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan; kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya.
Kakeknya Rasulullah saw yang merupakan manusia paling sempurna di alam semesta dan penghulu para nabi, cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadiannya. Nabi Muhammad saw senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayidah Fathimah as dengan sepenuh hati, dan sangat mengasihi mereka. Tidak ada seorang kakek pun yang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada cucunya, lebih dari yang telah dilakukan Rasulullah saw terhadap cucu-cucunya. Saat beliau melihat para cucunya, beliau akan mencium, memeluk, menempelkan pipinya yang suci ke pipi mereka. Bahkan, beliau tak segan untuk bermain kuda-kudaan bersama mereka. Mereka akan menunggangi punggung beliau dengan riang gembira.
Tentu saja, perilaku Rasulullah saw tersebut tidak hanya berdasarkan hubungan emosional antara seorang kakek dan cucu saja. Karena perbuatan beliau sebagai seorang nabi tidak dilakukan berdasarkan hawa nafsu, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Nabi Muhammad saw) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. [QS an-Najm:3-4]
Juga, segala prilaku beliau akan menjadi contoh dan teladan bagi umatnya dalam memperlakukan anak-anak, atau cucu.
Hanya sebentar Zainab as dapat merasakan kasih sayang kakeknya. Rasulullah saw wafat di saat beliau berusia lima tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Zainab as masih kanak-kanak, beliau bermimpi buruk. Lantas beliau menceritakan mimpi tersebut kepada kakeknya seraya berkata, “Wahai kakekku, semalam aku bermimpi buruk. Aku melihat angin topan sangat kencang dan langit menjadi gelap. Angin kencang telah membawaku ke berbagai arah. Tiba-tiba aku melihat sebuah pohon besar, lalu aku memegang pohon itu. Namun, angin kencang telah membuat pohon besar tersebut tumbang dan jatuh ke atas tanah. Kemudian aku memegang salah satu dahannya yang besar, namun angin kencang juga membuatnya patah. Setelah itu akupun memegang dahan lainnya, namun sama seperti sebelumnya, angin kencang mematahkan dahan tersebut. Lalu aku memegang dahan ketiga dan keempat, sampai akhirnya aku terbangun.”
Rasulullah saw menangis setelah mendengarkan ceritanya seraya bersabda, “Ketahuilah wahai cucuku, pohon besar itu adalah kakekmu. Sedangkan kedua dahan pohon besar tersebut ialah ayah dan ibumu. Sementara kedua dahan lainnya adalah kedua saudaramu Hasan dan Husain. Dengan ketiadaan mereka, dunia akan menjadi gelap gulita dan engkau akan memakai pakaian hitam sebagai lambang duka cita atas musibah yang menimpa mereka.”
Dari riwayat ini kita dapat memahami bahwa dari jauh-jauh hari, Zainab as telah dipersiapkan, baik mental maupun spritual untuk menghadapi berbagai peristiwa pedih sehingga beliau dapat melaksanakan tugas yang dipikulnya dengan baik. Salah satu peristiwa pedih itu adalah peristiwa Asyuro. Setelah kakeknya wafat, beliau menyaksikan berbagai penindasan yang menimpa ayah dan ibunya. Beliau menyaksikan bagaimana hak kekhalifahan ayahnya dirampas. Beliau juga menyaksikan bagaimana ibunya mendatangi satu persatu rumah para Muhajirin dan Anshar untuk mengingatkan baiat mereka kepada Imam Ali as di Ghadir Khum. Beliau menemani ibunya ketika menyampaikan khutbah di masjid. Beliau juga menyaksikan pembakaran dan pendobrakan rumahnya yang akhirnya menyebabkan ibu tercintanya sakit.
Musibah demi musibah telah menimpa putri mungil tersebut. Ibunya wafat saat usianya masih kecil, yang seharusnya masih memerlukan pelukan dan kasih sayang seorang ibu. Juga, kesedihan karena ketiadaan kakeknya pun belum sepenuhnya sirna. Bersama para saudaranya, beliau juga ikut menemani sang ayah menguburkan jenazah ibunya di kesunyian malam. Itulah, ketegaran Zainab al-Kubro as telah terlatih sejak belia.
3. Pernikahan dan Keluarga Zainab al-Kubro as
Sejarah tidak menjelaskan secara terperinci masa remaja Zainab as. Namun Thabari menukil ucapan beberapa orang yang melihat beliau, “Seakan-akan aku melihat seorang perempuan bagaikan mentari yang dengan cepat telah keluar dari dalam kemah.”
Bahkan, saat Zainab al-Kubro as hendak berangkat ke Mesir pasca tragedi Karbala, Abdullah bin Ayub Anshori berkata, “ Sumpah demi Allah Swt, aku tidak pernah melihat wajah sepertinya yang bagaikan rembulan.” Padahal waktu itu beliau sudah berumur sekitar lima puluh tahun dan telah mengalami tragedi Karbala yang sangat menyedihkan. Sedikit banyaknya, peristiwa itu pasti mempengaruhi kondisi jasmani dan psikologis beliau.
Tentu di masa remajanya, beliau kondisinya melebihi dari ungkapan-ungkapan yang telah diucapkan oleh orang-orang yang pernah melihat beliau. Ketika beliau telah mencapai usia pernikahan, banyak sekali orang yang datang menemui Imam Ali as untuk menyuntingnya. Namun Abdullah bin Jakfarlah yang beruntung dan paling cocok dari yang lainnya.
Abdullah bin Jakfar adalah putra dari Jakfar bin Abdul Muthalib yang syahid dalam perang Mu’tah dan mendapat gelar ‘dzul jinahain’ yang berarti memiliki dua sayap. Gelar ini diberikan kepada beliau karena kedua tangan beliau putus disabet pedang musuh dalam peperangan untuk mempertahankan panji perang yang ada di tangannya.
Adapun berkaitan dengan putra-putri Zainab as dari Abdullah bin Jakfar terdapat beberapa versi. Syeikh Thabarsi dalam kitabnya A’lamul War’a menyebutkan bahwa putra-putri beliau adalah Ali, Jakfar, Aun Akbar dan Ummu Kultsum. Sementara Sibthi ibnu Jauzi dalam kitab Tadzkiratul Khawash menyebutkan bahwa putra-putri beliau ialah Ali, Aun al-Akbar, Muhammad, Abbas dan Ummu Kultsum, dimana Muhammad dan Aun telah syahid di Karbala.
Zainab al-Kubro as merupakan manusia sempurna. Beliau memiliki berbagai keutamaan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Berbagai gelar yang disematkan kepada beliau juga telah menunjukkan keagungan dan keutamaannya;
Aqilah Bani Hasyim
Zainab as memiliki berbagai julukan, namun julukannya yang termasyhur ialah ‘Aqilah Bani Hasyim’. Banyak para perawi maupun sejarawan yang menulis nama beliau dengan julukannya tersebut. Abul Faraj Isfahani dalam Muqotil at-Tholibin ketika menjelaskan biografi Aun bin Abdullah, putra Zainab as menyatakan, “Ibunya adalah Zainab al-Aqiilah.”
Sahabat Rasulullah saw seperti Ibnu Abbas telah meriwayatkan khutbah Fadak Fathimah as dari Zainab as. Ibnu Abbas berkata,“Aqilah kami, Zainab binti Ali telah meriwayatkan kepada kami…”
Terdapat beberapa versi berkaitan dengan arti kata ‘aqilah’. Ibnu Duraid dalam Jamharotul Lughoh berkata, “Fulanah Aqilatul qaum, artinya perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya.” Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Zakaria dalam Mujmal Lughoh. Ini adalah pandangan beberapa sarjana bahasa.
Adapun versi lainnya adalah bahwa kata aqilah merupakan shighoh mubalaghah; bentuk kata dalam tata bahasa arab yang menunjukkan amat atau sangat. Ia memiliki akar kata ‘aql, yang artinya sangat berakal, atau dengan orang yang kapasitas dan kesempurnaan akalnya amat besar.
Julukan agung tersebut dapat lebih kita pahami jika kita menyimak dan menelaah secara seksama isi khutbah Fadak Fathimah az-Zahra as. Bagaimana tidak, khutbah Fathimah az-Zahra as yang amat panjang, sangat fasih dan sarat dengan pembahasan yang sangat tinggi telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Zainab as. Khutbah Fadak berisikan pembahasan tentang kenabian dan risalah Nabi saw, falsafah dan hikmah hukum-hukum Islam, penuntutan hak-haknya yang telah dirampas, penghakiman atas Abu Qohafah (Abu Bakar) dan kondisi umat setelah wafatnya Nabi saw dan lain sebagainya.
Padahal, saat Fathimah az-Zahra as menyampaikan khutbahnya, usia Zainab as kala itu lima tahun. Itu artinya sejak usia belia, kematangan dan kesempurnaan akal Zainab as sudah tak terbantahkan lagi.
Dalam sebuah riwayat juga telah disebutkan tentang kisah Zainab as yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akalnya.
Pada suatu hari, Zainab as yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali as menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak mncintaimu, kau adalah buah hatiku.” Lalu beliau berkata lagi, “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah Swt sementara kasih sayang untuk kita.”
Dalam riwayat lain juga telah dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali as mendudukkan putrinya, Zainab dipangkuannya. Kemudian beliau mengelus-ngelus kepalanya dan berkata, “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali as melanjutkan ucapannya, “Putriku sayang, katakan dua.” Namun Sayidah Zainab as diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali as mengulangi ucapannya sembari berkata, “Berkatalah wahai cahaya mataku.” Saat itu Sayidah Zainab as menjawab, “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar ucapannya itu lalu Imam Ali as memeluk dan menciumnya dengan penuh rasa haru.
Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Zainab as. Padahal kala itu beliau masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa saat telah mengatakan Tuhan itu Esa maka tidak mungkin dapat mengatakan Tuhan itu dua.
Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqilah yang disandang Zainab al-Kubro as berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi.
Berilmu tanpa ada yang Mengajari (‘Alimah Ghair Muta’allimah)
Keutamaan lain yang dimiliki Zainab as ialah beliau memiliki ilmu tanpa ada yang mengajari. Julukan kehormatan ini dianugrahkan oleh Imam Ali Zainal Abidin as kepada beliau. Jelas penganugrahan gelar tersebut bukan atas dasar nepotisme karena beliau adalah bibinya akan tetapi atas dasar kedudukan tinggi yang memang dimiliki oleh Zainab as. Imam Ali Zainal Abidin as mengetahui keutamaan, kedudukan dan kemuliaan yang dimiliki bibinya. Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Wahai bibiku…dan engkau, alhamdulillah, berilmu tanpa ada yang mengajarimu dan memahami sesuatu permasalahan tanpa ada yang memahamkannya.”
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al- Qur’an dan hadis, salah satu bentuk kesempurnaan manusia adalah derajat keilmuan yang dimilikinya. Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan manusia dan merupakan santapan ruh. Ilmu merupakan salah satu sumber kemulian dan keagungan manusia. al-Qur’an dengan jelas menerangkan tentang perbedaan kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu, “Adakah sama kedudukan orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan orang-orang yang tidak mengetahui (berilmu)?”
Ayat ini bukan berarti Allah bertanya kepada manusia apakah sama orang yang mengetahui dan tidak mengetahui. Akan tetapi pertanyaan merupakan sebuah pernyataan yang menjelaskan bahwa kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu tidaklah sama, dalm istilah tata bahasa Arab disebut dengan ‘istifham taqriri‘.
Sebagian riwayat juga menjelaskan tentang kewajiban mencari ilmu, sebagaimana sabda Rasulullah saw, ”Mencari ilmu adalah kewajiban seorang muslim dan muslimah.” Masih banyak riwayat lain yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu. Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan, kemuliaan, derajat tinggi bagi manusia sehingga Islam selalu memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Namun, Zainab as memiliki kesempurnaan tersebut tanpa ada yang mengajarinya sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ali Zainal Abidin as. Beliau berilmu tanpa belajar, apa itu bukan merupakan suatu kedudukan yang sangat agung? Karena tidak semua orang dapat mencapai maqam dan kedudukan tersebut. Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah saw yang berbunyi, “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah Swt pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya.”
Pada masa pemeritahan Imam Ali as, Zainab as bersama keluarganya tinggal di Kufah. Saat itu, penduduk Kufah mendatangi Imam Ali as dan memohon kepadanya agar Zainab as mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri dan anak-anak perempuan mereka. Imam Ali as menerima permohonan tersebut dan Zainab as pun mengajari mereka. Sejarah membuktikan dalam tempo empat tahun atau lebih, banyak para perempuan yang berguru dan belajar kepada beliau.
Suatu hari, Imam Ali as mendengar Zainab as mengajarkan tafsir huruf-huruf muqatta’ah (yang terpotong-potong) dari al-Qur’an. Khususnya tentang huruf permulaan surat Maryam, yaitu huruf ‘Kaaf, Haa, Yaa, Ain Shaad‘. Usai mengajar, Imam Ali as menghampirinya dan berkata, “Wahai cahaya mataku, tahukah bahwa huruf-huruf ini (Kaaf, Haa, Yaa, Ain, Shaad) merupakan kunci rahasia peristiwa yang akan menimpa engkau dan saudaramu, Husein di Karbala?”
Kemudian Imam Ali as menjelaskan kepadanya tentang tragedi Asyuro yang akan menimpanya.
Derajat keilmuan beliaupun telah terbukti ketika beliau berdebat dan berdialog dengan Ibnu Ziyad, Gubernur Kufah. Beliau menjawab dengan tangkas segala pernyataan Ibnu Ziyad. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad marah kepadanya, karena setiap ia berkata, Zainab as dengan tangkas telah mematahkan segala argumennya. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad tidak mampu lagi berdebat dengannya dan berkata, “Sumpah demi Tuhan, perempuan ini penyair dan pandai berbicara seperti ayahnya.” Begitu pula khutbah-khutbah beliau lainnya yang disampaikan di Kufah maupun di Syam.
Kekasih Allah (Waliyatullah)
Zainab al-Kubro as adalah wanita mulia yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga mulia, Ahlul Bait Nabi para kekasih Ilahi. Beliau besar dalam lingkungan para urafa’ utama yang menjadi kiblat semua urafa’ yang ada. Maka bukanlah suatu hal yang mengherankan jika beliau pun akhirnya menjadi seorang arifah tangguh yang memiliki makrifat yang begitu tinggi. Sebagaimana yang telah diketahui, tujuan utama irfan adalah menyatu (fana’) dengan Sang Kekasih Sejati, pencipta alam semesta. Itulah puncak irfan yang didamba oleh setiap manusia sempurna kekasih Ilahi.
Salah satu bukti tingkatan makrifat agung yang dimiliki oleh Zainab as adalah beliau selalu pasrah dan ikhlas terhadap apapun yang dikehendaki oleh Alloh Swt, Kekasih Sejatinya. Pecinta sejati adalah pribadi yang selalu ‘sehati’ dan ‘serasa’ dengan kekasihnya, meskipun apa yang dikehendaki oleh Sang Kekasih sekilas begitu pahit, namun seorang pecinta akan rela menerima kepahitan tersebut sebagai bukti cinta kasihnya terhadap Sang Kekasih Sejati. Inilah yang dilakukan Zainab as terhadap Kekasih Sejatinya dalam tragedi Karbala. Kendati beliau harus kehilangan imam yang dicintainya, anggota keluarga, sanak famili dan sahabat-sahabat setianya namun pada tragedi Karbala yang sangat memilukan hati itu, Zainab as berkata, “Ya Allah, hamba bersabar atas segala ketentuan-Mu.” Sayidah Zainab as menerima dengan penuh keikhlasan qadha dan qadar Allah Swt ini.
Berbekal makrifat yang begitu tinggi, Zainab as yakin bahwa Sang Kekasih adalah Dzat yang maha benar, bijak, indah dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Segala sesuatu yang dirasa dan dilihat oleh beliau di alam semesta merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan nama-nama Sang Kekasih. Semua tidak akan lepas dari Sang Kekasih karena Ia adalah maha pencipta.
Keberaturan alam yang kadang diwarnai dengan pahit dan getir kehidupan merupakan konsekuensi alam materi yang telah disifati dengan alam yang penuh gesekan (alam tazahum). Namun semua gesekan tadi meniscayakan keteraturan yang indah dan sesuai dengan hikmah Ilahi, Sang Kekasih Sejati. Oleh karena itu, ketika menyaksikan tragedi Karbala yang menyayat hati itu Zainab as masih sempat berkata, “Tidaklah aku lihat (semua musibah ini ) melainkan sesuatu yang indah.”
Kesyahidan Imam Husein as dengan cara yang sangat tragis itu adalah kehendak Ilahi yang selalu sesuai dengan hikmah Ilahi dan keteraturan alam semesta. Inilah perwujudan dari iman terhadap takdir Ilahi. Tentu keyakinan ini tidak akan menjerumuskan manusia kepada keyakinan determinisme (Jabriyah), sebagaimana yang telah banyak disinggung dalam kajian teology (kalam) Syiah Imamiyah. Makrifat Ilahi telah mampu menghantarkan beliau pada tingkatan manusia sempurna (insan kamil). Cinta Ilahi telah menggelora di dalam hati Zainab as. Cinta murni yang suci dan tulus itu mampu membakar segala cinta kasih terhadap selain-Nya. Kecintaan itu telah ditukar dengan berbagai kecintaan-kecintaan lainnya. Zainab as rela kehilangan saudara tercintanya (Abul Fadh Abbas), keponakan kesayangannya (Ali Akbar), sanak famili, kerabat dan sahabat lainnya demi keridhoaan Ilahi, Sang Kekasih Sejati.
Bukan hanya itu, beliaupun rela mengorbankan imam yang merupakan al-Quran berbicara (al-Quran an-Nathiq) dan sekutu al-Quran yang diam (al-Quran as-Shamith) yang keduanya sangat dicintai dan ditaati beliau sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan Ilahi di muka bumi. Itu semua direlakan oleh Zainab as demi keridhoan Sang Kekasih Ilahi. Oleh karena itu, setelah kesyahidan Imam Husein as beserta pasukannya yang berjumlah sangat sedikit itu dan rombongan tawanan akan diarak ke Kufah, beliau sempat berkata kepada Sang Kekasih sejatinya dengan ungkapan, “Ya Allah, terimalah persembahan ini dari kami.”
Ungkapan ini menunjukkan betapa tingginya makrifat Zainab as dan makrifat ini telah menghantarkan beliau kepada cinta Ilahi yang mampu menghilangkan ketergantungan kepada kecintaan manapun. Dengan bekal kecintaan sejati inilah akhirnya beliau sampai pada derajat fana’ (menyatu) dengan Allah. Menyatu dalam ridho dan cinta-Nya, sehingga akhirnya beliau mendapat gelar kekasih sejati Allah (waliyatullah).
Banyak Beribadah (‘Abiidah)
Maqam penghambaan merupakan salah satu kedudukan tertinggi seorang mukmin sejati. Al-Quran sendiri telah menjelaskan bahwa salah satu falsafah penciptaan manusia dan jin adalah agar manusia dan jin mencapai maqam ubudiyah, “Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku.”
Perwujudan penghambaan dan penyembahan Allah Swt ialah melalui ibadah, baik ibadah dalam makna khusus atau dalam makna umum. Ibadah dalam makna umum adalah melakukan segala perbuatan dengan niat karena Allah Swt. Sementara ibadah dalam arti khusus adalah melakukan ritual-ritual agama tertentu baik yang bersifat wajib maupun mustahab (sunah). Sejarah telah mencatat ibadah beliau lakukan, baik ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Bahkan pada malam Asyuro beliau menghabiskan waktunya dengan shalat malam dan bermunajat kepada Kekasih Sejatinya, Allah Swt.
Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Zainab as, Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti.”
Peristiwa ini terjadi ketika Zainab as berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.
Orator Ulung (kata-katanya sangat indah dan sesuai dengan kondisi audiens)
Hal ini dapat kita lihat dalam khutbah beliau baik yang disampaikan di Kufah maupun di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam. Ketika beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan penduduk Kufah, khutbah beliau mengingatkan orang-orang akan ayahnya, Imam Ali as. Mereka melihat seakan-akan Imam Ali as sendiri yang sedang berkhutbah. Kata-katanya yang indah dan isinya yang begitu mengena sehingga para pendengar menangis dan hanyut dalam kesedihan setelah mendengarnya. Lihatlah khutbah beliau yang disampaikan di hadapan masyarakat Kuffah saat para tawanan digiring dari Karbala menuju Kuffah. Begitupula khutbah beliau di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam yang mampu mengubah opini umum tentang Ahlul Bait as.
Para audiens terpesona dengan khutbah-khutbah yang disampaikan Zainab as, baik dari sisi tata bahasa maupun muatannya. Khutbah-khutbahnya sangat fasih dan baligh. Seorang yang ahli bahasa Arab yang menelaah khutbah-khutbah Zainab as pasti akan memahami dan menikmati keindahan bahasa beliau. Kelebihan beliau dalam kefasihan dan kebalighan ini diwarisi dari kedua orang tua beliau, Imam Ali as dan Sayidah Zahro as.
Itulah di antara keagungan-keagungan Srikandi Karbala, Zainab al-Kubro. Sebenarnya masih banyak hal yang dapat kita kaji tentang kehidupan beliau yang dapat menjadi teladan bagi kita kaum muslimah. Namun, kajian-kajian tersebut insyallah dapat menjadi pembuka bagi kita, untuk lebih mendalami sisi-sisi kehidupan perempuan agung dan tangguh ini, di masa yang akan datang. Dengan belajar pada kehidupan dan perjuangan Zainab al-Kubro, akan muncul srikandi-srikandi masa kini yang tak gentar dalam menyampaikan kebenaran, yang mampu memberikan peran besar terhadap perkembangan agama Islam.
Sumber: ‘Muslimah Idol’; Napak Tilas para Perempuan Teladan, Euis Daryati MA.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar