Oleh: Euis Dayati MA
Rasulullah saww bersabda,“Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak-hak keluarganya maka terlaknatlah ia.” [Wasa’il asy-Syi’ah, jilid 7, hal 151].
Prolog
Ungkapan ‘di sumur, di dapur, dan di kasur’ ialah mitos yang masih beredar di masyarakat saat menggambarkan tugas dan kewajiban seorang istri. Seolah-olah ketiga kawasan domestik tersebut sudah menjadi tugas dan kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi, wajib dilakukan oleh seorang istri. Sumur gambaran dari tugas istri dalam bersih-bersih seperti cuci piring, cuci baju dan lainnya. Dapur gambaran dari tugas istri dalam bab masak-memasak yang wajib dilakukan bagi keluarganya. Sedangkan kasur gambaran dari tugas istri untuk melayani suami dalam kebutuhan seksual.
Yang menjadi pertanyaan ialah, bagaimana sebenarnya menurut Islam? Apakah area dapur, sumur dan kasur semuanya merupakan kewajiban istri? Dalam artikel ini kita akan mencoba kembali mengupas hal tersebut untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
Kenapa? Karena Salah satu faktor penyebab terjadinya kezaliman adalah ketidaktahuan pelaku atas perbuatan tersebut. Dan, ini dapat terjadi dalam berbagai hal, termasuk dalam hukum agama. Kesalahan pemahaman dalam hukum agama akan menimbulkan sebuah problema. Bahkan, mungkin saja akan menyebabkan terjadinya sebuah kezaliman, meskipun hal itu mungkin saja dilakukan secara tidak disengaja. Salah satu kesalahan pemahaman adalah kesalahan dalam memahami antara hal-hal yang merupakan sebuah “kewajiban” dan “kebaikan” dalam hak-hak dan kewajiban suami-istri. Akan terjadi percampuradukan antara kewajiban dan kebaikan, yang pada akhirnya salah satu pihak obyek hukum akan terzalimi. Tidak hanya sampai di situ, bahkan hukum mungkin saja terputar balik, dengan menganggap anjuran sebagai kewajiban atau sebaliknya.
Hal ini, penting untuk ditelaah kembali agar kesalahan di masa lalu tidak terulang lagi, sekaligus menjawab berbagai serangan yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya pembela hak-hak kaum perempuan. Karena, memang obyek yang sering dirugikan dalam hal ini adalah kaum perempuan.
Saat kita membaca beberapa buku tentang pernikahan, dan kehidupan berkeluarga, yang sering ditekankan ialah bagaimana menjadi istri yang baik. Lebih tepatnya, yang menjadi sasaran ialah calon istri, jarang sekali buku yang memberikan tuntunan untuk menjadi suami yang baik.
Begitu juga, ketika masalah keluarga diajarkan di pesantren-pesantren atau di pusat-pusat pengajian, maka yang banyak menjadi sorotan adalah perempuan atau calon istri saja. Jarang sekali yang membahas kedua belah pihak sekaligus, calon suami dan istri. Dalam banyak ceramah dan pengajian yang telah kita dengar, para
ustadz lebih banyak membahas penekanan pada perempuan saja, seperti bagaimana menjadi istri yang baik, istri harus begini dan begitu, kalau tidak nanti akan menjadi istri nusyuz. Seolah-olah menjadi istri malah akan menjadi momok. Nusyuz adalah istilah fikih (hukum Islam) yang diambil dari bahasa Arab untuk seseorang yang tidak lagi mengindahkan kewajiban terhadap pasangannya.
Di sisi lain, dalam banyak kesempatan, jarang sekali disinggung atau dibawakan hadis-hadis yang membahas bagaimana semestinya perlakuan suami terhadap istri, perlakuan Nabi saww, para Imam as, dan orang besar terhadap istrinya.
Untungnya, alhamdulillah, sekarang ini telah muncul banyak buku tentang keluarga yang membahas kedua belah pihak, suami-istri, dalam upaya membangun sebuah keluarga yang harmonis. Semoga keberadaan buku-buku seperti ini mampu merubah secara bertahap cara berpikir kaum muslim terhadap tata cara membangun keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Di antara para ulama kontemporer yang membahas masalah tersebut adalah Ayatullah Ibrahim Amini, Ayatullah Madzahiri dan lain-lain. Semoga sumber-sumber tersebut banyak dibaca oleh para calon suami, juga para suami. Berharap tidak berhenti sampai di situ, namun dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ilmunya bukan teori semata, namun juga diaplikasikan.
Urgensi Mengetahui Hak-hak dan Kewajiban Suami–Istri
Dalam kehidupan sosial terdapat pembahasan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban. Dua hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena hubungan antara keduanya merupakan konsekwensi logis dan realistis, maka jika terdapat kewajiban di sampingnya pasti terdapat hak, atau sebaliknya. Kecuali hak-hak dan kewajiban Tuhan, yang mana keduanya dapat dipisahkan. Ha ini disebabkan kekuasaan-Nya dan keadilan-Nya yang berlaku bagi hamba-hamba-Nya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ali as dalam khutbah ke-216-nya.
Pemisahan antara hak dan kewajiban akan mengakibatkan rusaknya tatanan hidup bermasyarakat, karena hal itu merupakan satu bentuk kezaliman yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia manapun. Keluarga merupakan sebuah tatanan masyarakat terkecil yang dibangun oleh seorang wanita dan laki-laki melalui sebuah upacara sakral yang bernama pernikahan. Setelah berlangsungnya akad nikah, kedua mempelai tersebut menjadi “halal” antara satu dengan yang lainnya, dan dinamailah hubungan mereka dengan suami-istri.
Setelah mereka menjadi pasangan suami-istri, maka terdapat hak-hak dan kewajiban masing-masing yang harus dihormati dan dilaksanakan. Sebagaimana seorang istri mempunyai hak dan kewajiban, begitu pula seorang suami. Jika pihak suami ataupun istri melalaikan kewajiban tersebut, maka dalam bahasa fikih dan al-Quran dianggap istri atau suami nusyuzd. Walaupun penerapan kata ini sering digunakan untuk pihak perempuan, akan tetapi juga dapat dipraktekkan untuk pihak lelaki. Dalam al-Qur’an dengan jelas menyebutkan bahwa istilah ini juga digunakan untuk kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Hanya perbedaan terdapat dalam menangani pihak yang berbuat nusyuzd, antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan. [QS an-Nisa ayat 24 dan ayat 128].
Efek dari Pembahasan Hak dan Kewajiban Suami–Istri
Sebagian merasa khawatir jika pembahasan hak dan kewajiban suami-istri dimunculkan, hal tersebut akan merusak tatanan sebuah keluarga. Dengan mengetahui hak dan kewajibannya, seorang istri akan banyak menuntut dan bermalasan-malasan dengan alasan bukan kewajibannya. Akan muncul para istri yang egois dan sok pintar, para istri yang tidak mematuhi suami dan lain sebagainya. Apakah dampaknya bisa seperti itu?
Di sisi lain, jika tidak dijelaskan, maka yang akan terjadi adalah percampuradukan antara kebaikan dan kewajiban. Karena ketidaktahuan, kewajiban yang seharusnya dilaksanakan malah ditinggalkan. Padahal kewajiban harus lebih diutamakan di atas segalanya. Atau, terjadi penyelewengan terhadap hukum Islam dengan melegimitasi perbuatannya dengan hukum Islam. Walau demikian, kita tidak mengatakan bahwa karena suatu hal bukanlah sebuah kewajiban, lantas kita tidak perlu melakukannya. Contoh kongkritnya ialah masalah izin suami.
Secara hukum fikih, istri wajib meminta izin suami ketika hendak keluar rumah. Walaupun dalam masalah izin suami, terdapat beberapa pengecualian. Namun yang perlu diketahui adalah, sampai di mana masalah izin dapat diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat kita, terutama para istrinya? Karena itu tidak perlu resah atas dampak yang akan muncul dari pembahasan masalah ini. Karena pembahasan ini dapat dijadikan sebagai sebuah wacana yang akan menambah wawasan dan membuka cakrawala alam pemikiran kita.
Definisi Hak
Dalam teks-teks ilmu ushul dan fikih, terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan kata “hak”. Ada yang mengartikan hak sebagai sebuah kepemilikan (milkiyah), kepenguasaan (sulthaniyah), sesuatu yang bersifat abstrak, dan sebagian lainnya mengartikan sebagai kebebasan (ikhtiyar) dalam bertindak. Namun, dapat dikatakan definisi hak yang terbaik adalah bahwa hak merupakan sebuah penguasaan (sulthaniyah), bukan suatu kepemilikan (milkiyah). Kita dapat mencermati hal ini dari definisi hak yang terdapat dalam fikih yang memiliki makna kepenguasaan, ”Hak adalah penguasaan realistis yang kedua sisinya tidak dapat diterima jika terdapat dalam satu pribadi. Tidak akan terlaksana pada satu pribadi, kecuali telah dilaksanakan atasnya. Dan tidak akan dilaksanakan atasnya, kecuali telah terlaksana baginya.” (Alhaqqu sulthanatun fi’liyatun la yu’qal tharafaiha bi asy-syakhsyin wahidin ,la yajra li ahadin illa jaraa alaihi wa la yajraa alaihi illa jaraa lahu).
Karena itu, hak merupakan kekuasaan atas sesuatu yang tidak mungkin dapat diterapkan kedua sisinya pada satu orang. Akan tetapi, ia harus berdiri tegak pada dua orang: orang pertama sebagai pemilik hak yang dapat mengambil manfaat, dan orang kedua sebagai pemenuh hak orang lain. Oleh karena itu, secara fikih, hak tidak bisa dimasukkan pada kategori kepemilikan. Karena ada tiga perbedaan mendasar antara hak dan kepemilikan. Pertama, selain pemilik hak dapat memakai dan meninggalkan haknya tersebut, ia pun dapat pula menggugurkan haknya tersebut. Atas dasar tersebut, maka dikatakan, “setiap pemilik hak dapat menggugurkan haknya.”(li kulli dzi haqqin an yusqoth haqqahu).
Perbedaan kedua, obyek hak selalu berupa pekerjaan, sedang kepemilikan bisa juga berbentuk selain pekerjaan, termasuk kepemilikan atas benda. Perbedaan ketiga adalah, kepemilikan masuk dalam kategori kekuasaan secara penuh dan bersifat kuat, tidak seperti hak. Maksudnya, pemilik sesuatu dapat membelanjakan apapun yang dimilikinya selama tidak bertentangan dengan syariat, sedang hak hanya dapat dilaksanakan pada hal-hal tertentu yang berkaitan dengannya saja. [ Jawadi Amuli, Hak wa Taklif dar Islam, hal: 24-25].
Hak-Hak dan Kewajiban Suami–Istri dalam Perspektif Hukum Fikih
Dalam pembahasan ini, kita tidak dalam rangka membahas kewajiban dan hak-hak suami-istri berdasarkan fikih argumentatif, namun akan membawakan bahasan fikih praktis dari salah satu marja.
Sebagaimana kita ketahui, dalam madzhab Syi’ah terdapat konsep taqlid. Berdasarkan konsep tersebut, orang-orang yang belum mencapai derajat ijtihad, harus merujuk kepada ijtihad salah satu marja yang telah memenuhi semua syarat yang telah ditentukan dalam praktek dan pelaksanaan hukum kesehariannya (Jami’ li as-Syara’ith).
Dengan berbagai alasan, dalam tulisan ini kita hanya akan membawakan pendapat Imam Khomaeni dalam masalah ini yang terdapat dalam kitab Tahrir Wasilah, bab Nikah. Pertama, karena beliau adalah pencetus Revolusi Islam Iran yang nota bene Syiah. Kedua, beliau merupakan sosok yang cukup dikenal di dunia.
Kewajiban-Kewajiban Suami
Di mana ada hak, di situ ada kewajiban. Berikut ini adalah kewajiban-kewajiban suami yang merupakan hak-hak istri untuk di dapatkan dari suaminya yang telah dijelaskan oleh Imam Khomaeni dalam kitab Tahrir Wasilah.
1. Memberi nafkah
Suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Berkaitan dengan nafkah, dan apa saja yang dimaksud dengan nafkah, Imam Khomaeni telah menjelaskannya secara detail yang mencakup;
Pangan (makan).
Kaitannya dengan kewajiban suami untuk memberi makan kepada istri, Imam Khomaeni dalam hal ini menjelaskan, “Ukuran makan, adalah dapat mengenyangkan. Adapun jenisnya adalah merujuk pada pandangan umum (urf) masyarakat untuk orang sepertinya.”
Imam Khomaeni juga menjelaskan, “Jika seorang istri terbiasa memakan jenis makanan tertentu dan meninggalkan jenis makanan tersebut akan membahayakannya, maka wajib atas suami untuk menyediakan jenis makanan tersebut.”
“Wajib atas suami untuk menyediakan sesuatu selain makanan yang sudah biasa dikonsumsi istri, seperti teh, kopi, dan lainnya, di mana jika istri meninggalkan kebiasaan tersebut akan membahayakannya.”
“Istri tidak berhak memaksa suami untuk memberi uang sebagai ganti makanan. Tapi, jika hal tersebut berdasarkan kesepakatan bersama, maka istri dapat meminta uang kepada suami sebagai ganti makanan, dan uang tersebut pun menjadi miliknya, dan suami telah terlepas dari kewajibannya.”
Sandang (pakaian).
Nafkah berikutnya yang menjadi kewajiban suami untuk memenuhinya ialah sandang atau pakaian. Berkaitan dengan hal ini, Imam Khomaeni menjelaskan,
“Wajib atas suami menyediakan pakaian untuk istrinya, sedang tolok ukur dan jenisnya harus sesuai dengan status sosialnya (Sya’niat). Begitu pula, wajib atas suami menyediakan pakaian untuk berbagai musim. Bahkan jika istrinya merupakan orang yang suka berganti penampilan (tajammul), maka wajib atas suami untuk menyediakan pakaian yang sesuai dengan pandangan masyarakat (urf) untuk orang sepertinya.” Dalam catatannya Imam Khomaeni menjelaskan bahwa suami harus menyediakan pakaian yang sesuai dengan status istrinya dalam pandangan (urf) masyarakat, dengan syarat hal tersebut tidak menyebabkan perbuatan haram, misalnya pakaian untuk diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan mahram. Atau, menyebabkan berlebih-lebihan dan pemborosan (mubadzir), misal setiap ada undangan harus memakai baju baru, maka dalam ini suami tidak wajib untuk menyediakannya.”
Papan (tempat tinggal).
Bagaimana dengan tempat nafkah papan atau tempat tinggal? Lebih detailnya Imam Khomaeni menjelaskan, “Wajib atas suami menyediakan rumah yang layak untuk istri. Baik rumah milik sendiri, menyewa, atau dengan cara lainnya. Begitupula istri dapat memohon kepada suami agar tidak ada yang tinggal di rumahnya, kecuali ia dan suaminya”.
”Menyediakan perkakas rumah yang diperlukan istri adalah kewajiban suami…”
”Menyediakan obat-obatan untuk istri yang sesuai dengan kebutuhan yang wajar…”
“Menyediakan pelayan, jika istrinya orang yang terhormat dan sebelumnya terbiasa memiliki pelayan…”
“Diwajibkan atas suami untuk memberikan nafkah kepada kepada istrinya, baik istrinya membutuhkan maupun tidak. Walaupun istrinya merupakan orang yang terkaya.”
Dalam lanjutannya Imam Khomaeni menjelaskan bahwa sebaiknya yang menjadi tolok ukur dalam penentuan semua nafkah yang telah disebutkan adalah merujuk kepada kebiasaan dan pandangan masyarakat umum (urf) tempat tingga l(kota) istri yang ia tinggali sekarang…”
2. Memaafkan Kesalahan Istri
Suami wajib memaafkan kesalahan istri jika istri melakukan kesalahan tersebut karena ketidaktahuan. Dalam hal ini Imam Khomaeni menyatakan, “Memaafkan kesalahan Istri, jika kesalahan tersebut dilakukan karena ketidaktahuan (jahl)”.
Adapun kesalahan yang dilakukan atas dasar kesengajaan dalam hal ini merupakan kebaikan suami jika memaafkannya, bukan kewajiban.
3. Berlaku Baik terhadap Istri
“Diwajibkan atas suami untuk berlaku baik terhadap istrinya, dan bertutur sapa dengan baik sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis…”
4. Tidak Memaksa Istri untuk Melakukan Pekerjaan Rumah
Dalam budaya kita tugas istri itu ada di wilayah sumur, dapur, dan kasur sehingga ada mitos seperti itu. Namun dalam hukum fikih ternyata wilayah sumur dan dapur bukan merupakan kewajiban dan tugas istri untuk melakukannya. Bahkan, dalam kitab Tahrir Wasilah Imam Khomaeni menyatakan dengan tegas bahwa seorang suami tidak berhak memaksa istrinya untuk melakukan pekerjaan rumah. Dalam Kitab Resoleye Tauzihul Masail Imam Khomaeni menjelaskan,
“Suami tidak berhak memaksa istrinya, untuk melakukan pekerjaan rumah”. [Resoleye Taudzih al-Masail, masalah ke-2411].
5. Memberikan Nafkah Batin (Kebutuhan Seksual)
Kebutuhan seksual termasuk hal yang diperhatikan dalam ajaran Islam. Kebutuhan ini harus dilakukan dalam sebuah hubungan yang sehat dan halal. Karena begitu pentingnya masalah ini, Islam memberikan perhatian yang khusus agar tidak terjadi penyimpangan. Dalam fikih praktis pemenuhan kebutuhan seksual merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang suami. Berkaitan dengan hal ini, dalam kitab Tahrir Wasilah Imam Khomaeni menjelaskan, “Seorang suami tidak boleh meninggalkan hubungan biologis dengan istrinya lebih dari empat bulan, bahkan untuk nikah mut’ah sekalipun. Kecuali istrinya merelakannya, atau karena terdapat halangan (udzur) yang dapat membahayakan suami atau istri. Salah satu halangannya (udzur) adalah suami tidak dapat berhubungan karena terdapat gangguan dalam alat kelamin. Jika meninggalkan hubungan biologis karena tidak ada halangan (uzur) seperti hal-hal yang disebutkan di atas, maka bagi seseorang yang tidak bepergian (musafir) wajib untuk melaksanakannya. Adapun bagi orang yang musafir, selama kepergian adalah untuk keperluan darurat menurut pandangan umum (urf), seperti untuk berdagang, berziarah, belajar dan sebagainya, maka ia dapat meninggalkan kewajibannya tersebut. Tetapi, jika kepergiannya bukan karena urusan darurat, seperti untuk berrekreasi dan bersenang-senang, maka ia harus melakukan kewajiban tersebut.”
“Seorang suami tidak dapat membiarkan istrinya seperti seorang perempuan yang tidak bersuami, juga tidak dapat dikatakan istri yang bersuami. Namun, meski demikian, tidak harus tinggal bersama istrinya sekali dalam empat malam.”
“Jika istrinya seorang gadis, maka pada tujuh hari pertama pernikahannya, suami harus tidur bersama istrinya. Namun, jika istrinya seorang janda, maka hanya pada tiga hari pertama saja, kecuali istrinya merelakannya hak-haknya.”
Kewajiban-Kewajiban Istri
Sebelumnya kita telah menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban suami yang merupakan hak-hak istri. Sementara sekarang ini kita akan mengupas tentang kewajiban-kewajiban istri yang merupakan hak-hak suami. Istri harus melakukan tugas dan kewajibannya berikut ini;
1. Pergi Keluar Rumah dengan Seizin Suami
Setelah menikah dan menjadi istri dari seseorang, seorang istri tidak dapat keluar rumah begitu saja tanpa ijin suaminya. Namun, bukan berarti setiap keluar rumah meski ke warung dekat untuk beli garam pun harus ijin suami. Jika ia mengetahui suaminya akan mengijinkannya maka bisa keluar tanpa ijinnya.
“Seorang istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suaminya, walaupun hal tersebut berkaitan dengan keluarga istri, ataupun untuk menjenguk orang tuanya, atau untuk menghadiri hari kesedihan keluarganya.”
Dalam kitab Istifta Imam Khomaeni menyebutkan, “Jika istri merasa yakin bahwa suaminya akan mengizinkannya, maka hukumnya tidak apa-apa keluar rumah tanpa meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu.”
2. Memenuhi Kebutuhan Seksual Suami
Pemenuhan kebutuhan seksual suami oleh istri lebih ditekankan lagi dibandingkan pemenuhan kebutuhan seksual istri oleh suami. Hal ini mungkin kembali pada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal seksual.
“Seorang istri harus menyerahkan dirinya untuk kenikmatan suaminya, dan tidak boleh menolak ajakan suaminya untuk berhubungan seksual, jika tidak ada halangan (uzur).”
3. Bernazar dan Bersumpah dengan Izin Suami
“Tidah sah hukumnya nazar seorang istri, jika nazar tersebut dilakukan tanpa seizin suami, meskipun nazar tersebut dari harta benda miliknya sendiri.”
“Jika dengan melaksanakan puasa sunnah, akan menyebabkan hilangnya hak suami atau suami melarang istri untuk melakukan puasa sunnah, maka ihtiyatnya ia tidak boleh berpuasa”.
“Jika suami tidak mengizinkan istrinya untuk bersumpah, maka sumpahnya tidak sah.”
Jika dalam hal-hal Sunnah seperti puasa dan sedekah dengan harta suami maka harus seijin suami. Namun berkaitan dengan kewajiban-kewajiban istri seperti haji, zakat maka tidak memerlukan ijin suami.
“Disebutkan bahwa istri tidak memiliki wewenang dalam urusan, dalam perkara-perkara seperti sedekah, pemberian (hibah) dan nazar dengan harta, istri harus meminta izin suami.Kecuali dalam perkara-perkara seperti: haji, zakat, berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung silaturahmi dengan kerabat istri. Perincian masalah tersebut akan dijelaskan pada pembahasan sendiri…”
4. Menjaga Penampilan di Hadapan Suami
Biasanya perempuan akan berusaha tampil cantik dan sempurna saat mau hadir ke acara-acara seperti kondangan, arisan pengajian, pesta dan lainnya. Namun, tidak mempedulikan penampilannya saat di rumah di hadapan suaminya. Bahkan kadang suami disuguhi daster butut, bau keringat dan lainnya hingga suaminya merasa risih dan malas melihatnya. Padahal berdasarkan hukum fikih menjaga penampilan di hadapan suami itu merupakan kewajiban seorang istri. Dalam Tahrir Wasilah disebutkan,
“Istri harus menjauhkan dirinya dari hal-hal yang menyebabkan suaminya tidak bergairah kepadanya.”
“Seorang istri, harus membersihkan dirinya dan berhias jika suaminya menghendakinya.”
Itulah kewajiban-kewajiban suami-istri dalam berumah tangga, yang jika mereka tidak melakukan hal-hal tersebut maka dianggap suami-istri yang nusyuz. Nusyuz ialah istilah hukum yang diberikan kepada suami-istri yang tidak melakukan kewajiban-kewajibannya. Terdapat cara-cara yang telah dijelaskan dalam hukum fikih dalam menangani suami-istri yang nusyuz.
Fikih dan Akhlak, Pondasi dalam Kehidupan Rumah Tangga
Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa berdasarkan hukum fikih, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah bukan merupakan kewajiban istri. Artinya, jika istri tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut, ia tidaklah berdosa.
Itu jika kita bicara secara hukum fikih. Namun, di sisi lain, kehidupan rumah tangga tidaklah dapat hanya berlandaskan pada hukum-hukum fikih saja, tapi juga harus berlandaskan kepada akhlak. Kenapa? Karena jika kehidupan rumah tangga hanya berlandaskan hukum fikih saja, maka akan kering, jauh dari kehangatan dan menjadi ajang untuk saling menuntut hak-hak dan kewajibannya antara suami-istri. Tentu, itu bukanlah tujuan dari sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah, sebagaimana yag telah disinyalir dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 21.
Dari sini kita faham bahwa dalam menjalankan kehidupan rumah tangga, antara fikih dan akhlak harus seiring. Tidak hanya berlandaskan pada fikih saja, atau sebaliknya hanya berlandaskan pada akhlak saja. Pekerjaan-pekerjaan rumah bukanlah kewajiban istri yang telah ditetapkan dalam fikih, namun merupakan anjuran agama yang bersifat kebaikan dan prilaku akhlaki.
Di saat pasangan suami-istri memahami dengan benar antara kewajiban-kewajibannya secara fikih, dan kebaikan-kebaikannya secara akhlaki, maka rumah tangga akan berpondasikan keikhlasan dan cinta Allah Swt. Suami tidak akan semena-mena memperlakukan istri dengan menganggapnya bahwa hal-hal tersebut sebagai kewajiban-kewajiban istri. Demikian istri juga, tidak mentang-mentang karena merasa bukan kewajibannya, bertindak semaunya. Suami maupun istri jika berperilaku sesuai tuntunan fikih dan akhlak keluarga maka, mereka akan saling melayani satu dengan yang lainnya dengan ikhlas dan karena Allah. Mereka akan melihat pengabdian kepada pasangan merupakan sebuah nikmat dan ibadah guna mencari keridhoan Allah Swt. Keikhlasan ini akan menghilangkan rasa lelah dan penat karena melayani pasagannya, dan selalu berusaha melakukannya dengan senang hati.
Balasan Pelayanan (khidmat) atau Kebaikan Istri terhadap Suami
Meskipun melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah bukanlah kewajiban istri, namun ternyata pahalanya sangat luar biasa. Apalagi yang kita cari dalam kehidupan ini selain ibadah dan mencari pahala. Di dalam rumah dengan melayani suami dan anak-anaknya, ternyata seorang istri bisa mengumpulkan pundi-pundi pahala. Seorang istri akan dekat dengan Allah Swt saat itu, jika ia lakukan dengan ikhlas. Di samping itu, istri pun akan semakin dicintai dan disayangi oleh suami dan anak-anaknya.
Berikut ini hadis-hadis yang menyebutkan tentang balasan dan pahala pelayanan dan kebaikan istri terhadap suaminya. Semoga dengan membaca hadis-hadis ini para istri makin termotivasi untuk menjalankannya dengan ikhlas karena Allah.
1. Rasul saww bersabda, “Setiap perempuan yang berkhidmat kepada suaminya selama tujuh hari, maka Allah swt akan menutup tujuh pintu neraka dan membuka tujuh pintu surga baginya. Sehingga ia dapat memasuki surga dari setiap pintu yang ia kehendaki”.[Irsyadul Qulub, hal 15].
2. Rasul saww bersabda , “Allah swt tidak akan memberikan balasan kepada perempuan yang membawakan seteguk air untuk suami, melainkan pahala perbuatan tersebut lebih baik dari ibadah setahun, yang siang harinya diisi dengan berpuasa, sementara malam harinya dipenuhi dengan shalat.”[Irsyadul Qulub, hal 15].
3. Imam Shadiq as berkata, “Ummu Salamah telah bertanya kepada Rasulullah tentang keutamaan istri yang mengabdi kepada suaminya. Rasul saww menjawab, “Allah swt akan memandang (memberikan perhatian khusus) pada setiap wanita yang mengangkat sesuatu di rumah suaminya, lantas memindahkannya dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tujuan untuk penataan. Barang siapa yang dipandang Allah swt, maka akan aman dari siksa-Nya.”[Biharul Anwar, jil 103, hal 251].
4. Imam Kadzim as berkata, “Jihad seorang perempuan adalah dengan berbuat baik terhadap suaminya.”[al-Kafi, jil 5, hal 507].
5. Rasul saww bersabda, “Sebaik-baiknya perempuan ialah perempuan yang selalu berhias untuk suaminya, namun tidak menampakkannya kepada laki-laki asing (bukan muhrim).”
6. Imam Shadiq as berkata, “Sebaik-baiknya perempuan ialah perempuan yang berterima kasih kepada suaminya, ketika suami memberikan sesuatu kepadanya. Dan rela disaat suami tidak memberikan sesuatu kepadanya.”
7. Imam Baqir as berkata, “Tidak ada syafa’at yang bermanfaat bagi istri di sisi Allah swt, melainkan kerelaan suami.”
8. Rasul saww bersabda, “Tidak selayaknya istri memaksakan sesuatu yang di luar kemampuan suaminya.”
9. Rasul saww bersabda, “Allah akan memberikan pahala kepada seorang istri yang membantu suaminya dalam berhaji, jihad dan menuntut ilmu, seperti pahala yang telah diberikan kepada istri nabi Ayub as.”
10. Rasul saww bersabda, “Allah akan memberikan pahala kepada seorang istri yang sabar terhadap prilaku buruk suaminya, seperti pahala yang telah diberikan kepada istri Fir’aun Asiyah binti Muzahim”.[Biharul Anwar, jil 103, hal 247].
11. Bahkan, dalam sebuah hadis pun dijelaskan bahwa salah satu asisten Allah swt di muka bumi, ialah seorang wanita yang selalu menyambut suaminya ketika datang, menghantarkannya ketika hendak pergi, dan menghiburnya ketika sedih.”
12. Seseorang telah mendatangi Rasulullah saww seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki seorang istri yang selalu menghantarkanku ketika hendak bepergian dan menyambutku ketika aku datang. Dan ketika melihatku sedih ia berkata, ‘Jika engkau bersedih karena memikirkan kebutuhan hidup, maka ketahuilah Allah swt telah mengatur semuanya. Dan jika engkau bersedih karena urusan akhirat, maka semoga Allah Swt menambah kesedihanmu untuk urusan akhirat.’ Rasulullah bersabda, ‘Ketahuilah bahwa Allah Swt memiliki asisten di muka bumi. Wanita ini adalah salah satu asisten-Nya. Bahkan ia mendapatkan setengah pahala orang yang syahid di jalan Allah.” (Wasail Asy-Syi’ah jilid 14, hal. 11).
Balasan Pelayanan (Khidmat) dan Kebaikan Suami terhadap Istri
Islam sangat adil, telah memberikan tuntunan yang serupa kepada seorang suami agar dapat mengumpulkan pundi-pundi pahala juga. Bukan seorang istri saja yang diperintahkan untuk mengabdi dan berbuat kebaikan kepada pasangan dan keluarga, seorang suami pun diperintahkan untuk mengabdi kepada pasangan dan keluarganya.
Karena itu, suami-istri yang mengetahui anjuran-anjuran dan kebaikan-kebaikan ini semua, pasti akan menjadikan kehidupan rumah tangga sebagai ajang untuk mengumpulkan pahala. Pasangan suami-istri ini akan berlomba dalam melakukan kebaikan-kebaikan tersebut dalam rumah tangga.
Berikut ini hadis-hadis yang menyebutkan tentang pahala pelayanan dan kebaikan suami terhadap istri;
1. Hasan bin Jaham berkata, “Imam Kazhim as telah mewarnai rambutnya (dengan pacar) dan merias (menyisir dan merapikan penampilan) dirinya. Lantas aku berkata, ‘Wahai yang jiwaku sebagai tebusannya, apakah Tuan juga mewarnai rambut (dengan pacar)?” Beliau menjawab, ‘Ya, karena penampilan menarik suami akan menyebabkan kehormatan dan keterjagaan (iffah) para istri. Ketidakterjagaan (perselingkuhan) para istri dikarenakan penampilan yang tidak terawat para suami.” Imam melanjutkan, “Apakah engkau senang melihat istrimu tampil tidak rapih dan tidak menarik?” Aku menjawab, “Tidak, Wahai J” Imam as kembali berkata, “Istrimu juga seperti itu, tidak senang melihatmu dalam keadaan tidak menarik.” (Wasa’il Asy-Syi’ah, jil 1, hal 183).
2. Imam Shadiq as berkata, “Sebagaimana para suami akan merasa senang di saat melihat para istrinya tampil cantik dan rapi, para istri pun akan merasa senang sewaktu melihat para suaminya tampil rapi dan menarik.” (Makarim-Akhlak, hal 80).
3. Nabi saww bersabda,”Apabila seseorang bepergian, maka pada saat kembali hendaklah ia membawa hadiah atau oleh-oleh untuk keluarganya…” [Wasail, jil 8, hal 337].
4. Nabi saww pun memberikan teladan tentang cara memberi oleh-oleh, ”Seorang lelaki yang memasuki pasar kemudian membeli buah-buahan, dan setelah itu membawanya ke rumah untuk diberikan kepada keluarganya, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang bersedekah kepada fakir miskin. Dan hendaknya ia berikan oleh-olehnya kepada anak perempuan terlebih dahulu, baru kemudian diberikan kepada anak laki-lakinya.” [Wasail asy-Syiah, jil 8, hal 338].
5. Rasul saww bersabda, “Setiap kali suami memberikan air minum kepada istrinya, maka Allah swt akan memberikan balasan kepadanya”.[Kanzul Ummal, hadis ke-44771; Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 254].
6. Rasul saww bersabda, “Duduk seorang laki-laki di samping anak dan istrinya, lebih dicintai Allah swt dari i’tikaf di masjid”.[ Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 254].
7. Rasul saww bersabda, “Sesungguhnya seorang laki-laki akan mendapat pahala di saat ia menyuapi istrinya”.[ Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 254].
8. Rasul saww bersabda, “Ungkapan “aku cinta kamu” yang diucapkan suami kepada istrinya tidak akan pernah sirna dari hati istrinya”.[al-Kafi, jil 5, hal 569].
9. Rasul saww bersabda, “Barang siapa yang bersabar atas prilaku buruk istrinya, dan melimpahkannya kepada Allah swt, maka Allah akan memberikan balasan untuk siang dan malam harinya, seperti balasan yang telah diberikan kepada Nabi Ayub as dalam menghadapi segala ujian Allah swt. Sementara, dosa-dosa istrinya untuk siang dan malam harinya seperti kerikil-kerikil yang terdapat di tempat yang penuh kerikil”.[Tsawabul ‘Amal, jil 1 hal 339; Muntakhab Mizanul Hikmah, hal 254].
10. Rasul saw bersabda, “Saya merasa heran terhadap suami yang memukul istrinya, padahal ia lebih layak untuk dipukul”.
11. Imam Ali as berkata, “Istri merupakan amanat Ilahi yang ada di tanganmu, oleh karenanya, jangan menyakitinya dan mempersulitkannya”.
12. Imam Shadiq as berkata, “Imam Ali as memotong-motong kayu, mengambil air dan menyapu. Sementara Sayyidah Fathimah Zahra as membuat tepung, mengadoninya dan membuat roti”.[Biharul Anwar, jil 43, hal 15].
13. Suatu hari Rasul saww memasuki rumah Imam Ali as. Beliau melihat Sayyidah Fathimah as sedang membuat tepung yang dibantu oleh Imam Ali as. Kemudian Rasul saw berkata, “Siapa di antara kalian yang sudah lelah? Imam Ali as menjawab : “Fathimah sudah lelah, wahai Rasulullah”. Lantas Rasul saww berkata, “Bangkitlah wahai putriku! Kemudian Sayyidah Fathimah bangkit, dan Rasulullah datang menggantikan beliau untuk membantu Imam Ali as membuat tepung”. [Biharul Anwar, jil 43, hal 15].
Dan masih banyak lagi hadis dan riwayat lainnya yang tidak mungkin dapat dinukil semuanya di sini.
Konklusi
Dari semua ulasan yang kita kaji, sekarang kita dapat membedakan mana hak dan mana kewajiban? Kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang sudah ditetapkan oleh hukum fikih kepada suami-istri. Kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan dan diatur oleh hukum fikih ialah hal-hal yang wajib dilakukan oleh suami-istri, dan jika melanggarnya maka mereka akan berdosa.
Sedangkan hal-hal selainnya yang berupa anjuran-anjuran yang telah disampaikan dalam hadis-hadis, seperti melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah bagi istri, merupakan kebaikan dan anjuran akhlaki saja. Namun demikian, dalam prakteknya, dalam kehidupan rumah tangga harus selaras antara fikih dan akhlak. Perintah-perintah fikih bersifat kewajiban, sedangkan perintah-perintah akhlak bersifat kebaikan, antara keduanya saling menunjang dalam membangun sebuah keluarga sakinah mawaddah warahmah, insyaallah.
Catatan Kaki:
(1) Muhammad bin Husain al-Hurr al-Amili, Wasa’il asy-Syi’ah, Omuli, Jawadi, Hak wa Taklif dar Islam, 1384.
(2) Khomaeni, Ruhullah, Tahrir al-Wasilah, cetakan pertama, 1421 QH.
(3) Maksumi, Mas’ud, Ahkam-e Rawabet-e Zan wa Syuhar (dalam pandangan beberapa marja), cetakan ke-7, 1380 QS.
(4) Khomaeni, Ruhullah, Resoley-e Taudzih al-Masail, 1381 HS, Teheran, Kanun Intiysorot-e Payom-e Adolat.
(5) Syeikh Thabarsi, Majmaul Bahrain, jilid 3, hal 159.
(6) Kitab-e Naqd Huquq-e Zan, volume 12, 1378 QS.
Sumber: Jurnal Bayan Vol. V1
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar