Oleh: Euis Daryati MA
Rasulullah saww bersabda, “Empat wanita penghuni surga terbaik ialah; Khadijah binti Khuwailid Fathimah binti Muhamad, Maryam binti Imron, dan Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.”
Nasab dan Kemulian Khadijah as
Dari pihak ibu, maupun ayah, Khadijah as berasal dari keturunan Quraisy. Ayahnya bernama Khuwailid bin Asad Abdul ‘Uzza. Beliau berasal dari keturunan Qusay bin Kilab, kakek keempat Rasulullah saww. Ibunya bernama Fathimah binti Zaidah bin Asham. Kakek Khadijah as, Asad bin Abdul ‘Uzza merupakan salah satu anggota penggagas perjanjian Halful Fushul. Yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pembesar dan pembela keadilan yang telah sepakat berjanji untuk membela orang-orang yang tertindas dan bekerja keras untuk membantu kalangan kaum lemah.
Sementara itu, Khuwailid ayah Khadijah as juga ialah orang yang telah mengorbankan jiwanya pada peristiwa rencana pemindahan Hajar Aswad ke Yaman yang dilakukan oleh Raja Yaman. Untuk menjaga Hajar Aswad, ia tak gentar menghadapi musuh yang banyak jumlahnya. Karena usahanya, akhirnya Raja Yaman pun mengurungkan niatnya untuk memindahkan Hajar Aswad. Sedangkan pamannya, Waraqah bin Naufal ialah seorang pendeta yang untuk mencari kebenaran ia senantiasa sibuk meneliti sumber-sumber dan kitab-kitab Yahudi dan Nasrani.
Kemuliaan Khadijah as bukan hanya karena nasabnya saja, namun juga karena sifat-sifat terpujinya, dan itu dikenal sejak sebelum menikah dengan Rasulullah saw. Beliau digelari dengan berbagai julukan yang menunjukkan kemuliaannya seperti thahirah (perempuan suci), mubarakah (perempuan yang berkah), sayyidatu Quraisy (perempuan penghulu Quraiys), penghulu para perempuan Quraisy dan lainnya.
Pembela Kaum Lemah
Kepedulian Khadijah as terhadap orang-orang lemah sangat tinggi. Rumah beliau menjadi tempat bernaung dan tumpuan harapan para kaum lemah seperti orang miskin, anak-anak yatim dan para pengungsi. khadijah as akan menjadi tumpuan harapan dan tempat berlindung setiap anak yatim yang tak memiliki tempat bersandar dalam hidupnya. Beliau pun akan menjadi tumpuan harapan setiap ayah yang tak mampu memberi makan anak-anaknya, dan setiap janda yang terlunta-lunta karena ditinggal mati suaminya. Khadijah as akan memberikan perlindungan dan membantu mereka dengan hartanya. Karena perbuatan mulianya ini, mereka memberikan gelar ‘ibu para yatim’ kepadanya.
Tempat tinggal Khadijah as memiliki dua tanda; pertama, kubah hijau yang menghiasi atap rumahnya. Kedua, hilir-mudiknya orang-orang di sekitar rumahnya. Khadijah as sangat senang membantu kaum yang lemah dari fakir miskin. Beliau menyambut mereka siang maupun malam dengan kasih sayang, berbincang-bincang dengan mereka dan mendengarkan keluhan-keluhan mereka, membelai anak-anak dari mereka dengan lembut dan kasih sayang, juga mengusap air mata kesedihan para ibu. Setelah mendengarkan semua keluhan mereka, beliau akan memanggil Maisarah, pelayannya untuk memberikan bantuan kepada mereka sesuai kebutuhan masing-masing.
Kekayaan Khadijah as
Khadijah ialah seorang pebisnis dan saudagar kaya raya. Beliau merupakan salah satu perempuan terkaya di Mekah. Beliau memiliki kekayaan yang luar biasa banyak yang merupakan hasil dari perniagaannya. Unta dalam jumlah yang sangat banyak digunakan untuk berniaga di Mekah. Tempat tinggalnya merupakan salah satu gedung yang terbaik di Mekah yang bertingkat dua. Satu bagian rumahnya digunakan untuk tempat tinggalnya, dan bagian lainnya dimanfaatkan untuk menjamu para tamu dari semua kalangan. Kepada para pekerjanya, selain memberikan gaji untuk semua kebutuhan selama satu tahun, juga memberikan dua unta untuk tiap tahunnya.
Status Khadijah as Sebelum Menikah dengan Nabi Muhamad saw
Berdasarkan pendapat masyhur, Khadijah as adalah seorang janda sebelum menikah dengan Nabi Muhamad saw. Beliau telah menikah dua kali;
Pertama, beliau menikah dengan Abu Halah Tamimi. Dari pernikahan pertama memiliki anak yang bernama Halah dan Hind. Saat usia Hind masih berusia tiga tahun, Abu Halah pun meninggal dunia. Berkaitan dengan Hind putra Khadijah dari Abu Halah para perawi telah menukil sebuah riwayat dari Imam Hasan as bahwa Hind seperti ibunya, Khadijah telah mengorbankan jiwanya dalam semua peperangan dan dakwah bersama Rasulullah saw. Pasca wafat Rasulullah saw itu ia senantiasa berada bersama pasukan Imam Ali hingga ia syahid dalam perang Jamal.
Kedua, pasca wafat suaminya, Khadijah as menikah dengan Atiq bin A’id Mahzuni. Dari pernikahan dengannya, beliau memiliki seorang putri yang bernama Hind juga. Hind tinggal bersamanya, dan masuk Islam hingga ia termasuk sahabat Nabi saw yang besar dan ikhlas.
Terdapat pendapat lain berkaitan dengan status Khadijah as sebelum menikah dengan Nabi Muhamad saw, yang menjadi bahan renungan dan wawasan untuk kita. Seorang pakar sejarah Islam yang bernama Jakfar Murtadha dalam karyanya yang berjudul ‘Ash-shahih min Shirati an-Nabiyi’ menulis,
“Sebagian hadis menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menikah dengan seorang gadis pun kecuali Aisyah. Dalam beberapa riwayat lain menjelaskan bahwa Khadijah sebelum menikah dengan Nabi Muhamad saw telah menikah sebanyak dua kali. Namun kami meragukan keshahihan riwayat-riwayat tersebut. Karena pertama, Ibnu Syahr Asyub berkata, “Ahmad Biladzari, Abu al-Qasim Kufi, Sayyid Murtadha dalam Syafi dan Abu Jakfar dalam Talkhish meriwayatkan bahwa Nabi Muhamad saw telah menikah dengan Khadijah sementara beliau dalam keadaan gadis. Kedua, tidak jauh kemungkinan pada jangka lama ini beliau tidak menikah dengan siapapun, karena ayahnya telah meninggal di perang Fijar. Dan wali beliau tidak memiliki kekuasaan dalam memaksa beliau untuk menikah. Beliau telah menolak lamaran beberapa pembesar, sampai akhirnya beliau menemukan suami yang diidamkannya yang memiliki sifat-sifat mulia dan kepribadian yang agung. Khadijah as merupakan perempuan Quraisy terbaik, termulia, terkaya dan tercantik. Ia diberi gelar thahirah dan sayyidah (penghulu) Quraisy, semua para pembesar kabilah berkeinginan untuk menikah dengannya. Para pembesar Quraisy untuk melamarnya telah bersedia menyediakan harta yang banyak sebagai maharnya, namun Khadijah telah menolak semua lamaran mereka. Beliau menerima lamaran Nabi Muhamad saw karena keluhuran budi pekerti dan kemuliaan jiwa yang dimiliki oleh Nabi Muhamad saw.
Begitupula berkaitan dengan usia pernikahan Khadijah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Meskipun berdasarkan pendapat termasyhur menyatakan bahwa beliau menikah dengan Nabi Muhamad saw pada usia empat puluh tahun. Namun, sebagian mengatakan beliau menikah pada usia dua puluh lima, dua puluh delapan, tiga puluh, tiga puluh lima bahkan ada yang mengatakan pada usia empat puluh lima tahun…”
Perkenalan Sayidah Khadijah as dengan Nabi Muhamad saww
Dalam mengendalikan bisnisnya, Sayidah Khadijah akan mengirim rombongan yang telah dibayar dengan bayaran tertentu, untuk membawa barang dagangannya ke Syam dan tempat-tempat lainnya. Rombongan dagang inilah yang akan melakukan transaksi jual beli untuk semua barang dagangannya. Sebelum diangkat menjadi nabi pun, kejujuran, tanggungjawab, dan amanah Nabi Muhamad saww sudah menjadi bahan pembicaraan dan buah bibir masyarakat Mekah. Nabi Muhamad saww terkenal jujur dan dan dapat dipercaya hingga digelari ‘al-amin’. Karena itu, Sayidah Khadijah as tertarik untuk memintanya pergi bersama rombongan dagangnya ke Syam dan tempat-tempat lainnya. Karena kejujuran dan amanahnya ini pula Sayidah Khadijah mengusulkan upah lipat ganda kepada Nabi Muhamad saww.
Setelah mendengar tawaran tersebut, Nabi Muhamad saww pun bermusyawarah dengan pamannya, Abu Thalib, dan ia pun menyetujuinya. Setelah mengadakan perjanjian, Nabi Muhamad saww pun diberi tugas meminpin salah satu rombongan dagang milik Sayidah Khadijah as. Dan, Sayidah Khadijah pun mengirim budaknya, Maisaroh untuk mengurusi semua keperluan Nabi Muhamad saww selama perjalanannya.
Rombongan dagang pun sampai di kota Syam. Semua barang dagangan terjual habis laris manis. Dan, sebelum kembali, mereka membeli barang-barang dagangan lainnya dan siap-siap untuk kembali ke Mekah.
Untuk pertama kalinya, rombongan dagang milik Sayidah Khadijah pun mendapatkan keuntungan yang sangat besar, yang tidak pernah dialami sebelumnya. Nabi Muhamad saww bersama rombongan dagangnya pun sangat bahagia karena keuntungan yang diraih dari perniagaan tersebut.
Rombongan dagang pun tiba di Mekah. Dengan penuh semangat, Maisaroh menceritakan semua keajaiban yang telah disaksikannya selama menemani Nabi Muhamad saww, yang menunjukkan kedudukan agung yang dimiliki oleh beliau. Maisaroh juga menceritakan tentang pertemuannya dengan seorang pendeta, lalu menyampaikan pesan pendeta tentang Nabi Muhamad saww kepadanya.
Kemudian Nabi Muhamad saww pun pergi menghadap Sayidah Khadijah as dan melaporkan dan menyerahkan hasil perdagangannya. Sayidah Khadijah as mengucapkan selamat atas keberhasilannya dalam perniagaan, begitu juga pamannya, Abu Thalib.
Pernikahan Sayidah Khadijah as dan Nabi Muhamad saww
Setelah mengetahui keajaiban dan keistimewaan yang terjadi pada Nabi Muhamad saww, juga keberhasilan luar biasa yang telah dicapainya, dan keluhuran-keluhuran perilakunya selama perjalanan niaganya, tumbuhlah rasa cinta Sayidah Khadijah as terhadap Nabi Muhamad saww. Sayidah Khadijah as tertarik kepada Nabi Muhamad saww, menurutnya beliau bukanlah orang biasa, namun orang yang sangat mulia dan memiliki derajat yang agung. Terbesit pada diri Sayidah Khadijah ingin menikah dengan Nabi Muhamad saww.[1]
Karena itu, berdasarkan pendapat masyhur, sebab pernikahan Nabi Muhamad saww dengan Sayidah Khadijah as ialah karena keajaiban dan keistimewaan yang terjadi selama perjalanan niaganya serta keberhasilannya, juga semua keluhuran sifatnya yang menunjukkan keagungan pribadinya dan kemuliaan sifatnya.
Adapun terhubungnya Sayidah Khadijah kepada Nabi Muhamad saww untuk pernikahannya, terdapat beberapa pendapat dalam hal ini;
Sebagian sejarawan mengatakan melalui perantara Nafisah, teman dekat Sayidah Khadijah as. Suatu hari, Sayidah Khadijah as tengah termenung memikirkan tentang keajaiban dan keistimewaan yang terjadi pada Nabi Muhamad saww dan semua keagungannya. Ia tidak dapat menyembunyikan semua perasaan ketertarikan hatinya kepada Nabi Muhamad saww. Tiba-tiba masuklah Nafisah, teman dekatnya melihat kondisi Sayidah Khadijah as seperti itu. Sayidah Khadijah as berusaha menyembunyikan semua perasaannya, dan berusaha tampil wajar. Namun Nafisah tidak dapat dibohongi, ia sangat kenal betul Sayidah Khadijah as. Karena kedekatannya ia dapat memahami dan mengetahui semua perasaan sahabatnya itu. Nafisah terus berusaha mengorek rahasia sahabatnya yang senantiasa berusaha untuk menutupinya, sampai akhirnya dapat mengetahuinya.
“Wahai Khadijah, jangan engkau siksa dirimu karena kesedihanmu. Ini hal yang mudah, aku berjanji padamu akan berbicara dengannya tentang cinta tulusmu ini. Yakinlah, aku akan berusaha membantumu semampuku.”[2]
Nabi Muhamad saww dalam kesendiriannya senantiasa bertafakur merenungkan tetang Allah Swt, manusia dan alam semesta. Paman tercintanya, Abu Thalib yang senantiasa menemaninya dengan penuh kasih sayang, baik dalam keadaan sedih maupun senang.
Suatu hari, Nafisah menemui beliau dalam kondisi beliau sedang bertafakur. Nafisah mengucapkan salam kepada Nabi Muhamad swaw, dan memulai pembicaraannya.
“Wahai Muhamad, usiamu sudah melampaui dua puluh tahun dan engkau masih sendiri, kenapa engkau tidak berniat untuk menikah?”
Nabi Muhamad saww terdiam tidak menjawab. Beliau menundukkan kepalanya dan kembali merenung. Nafisah tidak diam begitu saja saat melihatnya seperti itu. Ia terus melanjutkan pembicaraannya hingga akhirnya Nabi Muhamad saw menjawab dengan tersenyum malu.
“Aku tidak memiliki harta yang cukup untuk melakukan ini…”
Kesempatan ini diambil Nafisah untuk menyampaikan tujuan kedatangannya dan mengenalkan Sayidah Khadijah untuk dinikahinya.
“Apa yang dapat aku sampaikan, bagaimana jika aku kenalkan seorang perempuan baik dan terhormat kepadamu untuk menjadi istrimu? Dia adalah Khadijah, perempuan Quraisy, tidak ada seorang perempuan Quraisy dan Mekah pun yang menyamainya.”
Nabi Muhamad saww menyetujui usulan Nafisah, kemudian beliau menyampaikan hal tersebut ke Abu Thalib, pamannya.[3]
Abu Thalib senantiasa memikirkan kebahagiaan keponakannya. Beliau juga meyakini akan masa depan keponakannya yang akan menjadikan manusia agung. Karena itu, beliau menyetujui pernikahannya dengan Sayidah Khadijah as. Di kesempatan lain, Abu Thalib bersama Hamzah dan Nabi Muhamad saww pergi menuju rumah Sayidah Khadijah as untuk membicarakan tentang persiapan pernikahan Nabi Muhamad saww dengan Sayidah Khadijah as.
Setelah semua persiapan selesai, Sayidah Khadijah as pun dilamar Nabi Muhamad saww, dan dinikahinya. Abu Thalib membacakan khutbah nikah mereka. Nabi Muhamad saww dan Sayidah Khadijah pun resmi menjadi suami-istri. Allah swt berkehendak mereka hidup berdampingan. Disebutkan dalam riwayat bahwa setelah selesai acara Nabi Muhamad hendak pergi bersama Abu Thalib. Saat itu Sayidah Khadijah as dengan penuh sopan santun mengatakan, “Selamat datang di rumahmu. Ini adalah rumahmu, dan sekarang aku juga adalah pelayanmu.”[4]
Sebagian ada yang berpendapat bahwa sebab pernikahan Nabi Muhamad saww dengan Sayidah Khadijah as bukanlah perjalanan perniagaan Nabi Muhamad saww, juga bukan karena perantara Nafisah. Tapi yang menjadi perantara ialah Halal, bibinya Sayidah Khadijah as, atas permintaan Sayidah Khadijah as sendiri. Telah dinukil dari Amar bin Yasir yang mengatakan, “Aku yang lebih tahu dari yang lainnya tentang pernikahan Nabi Muhamad saww dan Sayidah Khadijah, karena aku sangat dekat dengan beliau. Suatu hati aku bersama Nabi Muhamad saww mengitari ke Shafa dan Marwa. Tiba-tiba kami bertemu Khadijah bersama Halah, saudarinya. Saat melihat kami, Halah pun datang mendekatiku. Ia menanyakan kepadaku pendapat Nabi Muhamad saww tentang pernikahannya Khadijah. Kemudian aku pun menyampaikan hal tersebut kepada Nabi Muhamad saww. Beliau meminta waktu khusus untuk membicarakan masalah tersebut.
Karena waktu yang ditentukan tiba, Sayidah Khadijah as pun mengirim orang untuk menjemput pamannya, Amru bin Asad. Saat tiba di rumahnya, ia pun disambutnya dengan hormat dan dikenakan gaun yang istimewa. Tak lama kemudian, Nabi Muhamad saww pun datang bersama beberapa pamannya termasuk Abu Thalib. Acara pernikahan pun dimulai, Abu Thalib membacakan khutbah nikah untuk mereka dan akad nikah pun dilaksanakan.”
Amar bin Yasir melanjutkan, “Sebelum pernikahan ini, Khadijah tidak pernah mempekerjakan Nabi Muhamad saw, juga Nabi Muhamad saww tidak pernah disewa orang untuk dipekerjakan.[5]
Sebagian lagi berpendapat bahwa sekembalinya Nabi Muhamad saww dari perniagaan ke Syam, dan cerita-cerita Maisaroh tentang semua peristiwa menakjubkan yang terjadi pada Nabi Muhamad saww perjalanan tersebut, Sayidah Khadijah as pun langsung menyampaikan keinginannya untuk dinikahinya. Di antara faktor tersebut adalah; kabar tentang kemunculan Nabi terakhir di kalangan orang-orang Quraiys melalui pembesar-pembesar Yahudi dan Nasrani, mimpi Sayidah Khadijah as dan takbirnya melaui anak pamannya, mukjizat-mukjizat Nabi Muhamad selama perjalanan niaga ke Syam. Ternyata Nabi Muhamad saww pun menyetujuinya, dan tidak lama setelah itu beliau berdua pun menikah[6]
Sayidah Khadijah as dan Kenabian Nabi Muhamad saw
Setelah pernikahan Sayidah Khadijah as dan Nabi Muhamad saw memulai kehidupan rumah tangga yang sakinah. Sayidah Khadijah as sangat memahami kedudukan seorang istri bagi seorang suami. Beliau tidak pernah menghalangi aktifitas Nabi Muhamad saw, bahkan mendukungnya dengan sepenuh hati. Dengan berlalunya waktu, kebesaran Nabi Muhamad saw pun bergaung di seluruh penjuru Mekah. Beliau terkenal karena kedermawanannya, keluhuran prilakunya, kepeduliannya kepada sesama, kejujurannya yang membuat khalayak banyak yang simpati padanya.
Sayidah Khadijah as senantiasa mendapatkan suaminya sibuk beribadah. Bahkan, terkadang saat tiap ada kesempatan Sayidah Khadijah as melihat suaminya pergi ke goa Hira untuk berkhalwat dan beribadah. Juga, Nabi Muhamad saw pun mencela kaumya yang memiliki pemikiran menyeleweng dan tradisi-tradisi khurafat dan jahiliyah yang telah menyembah berhala dan memberikan kurban untuk berhala. Nabi Muhamad saw merasakan bahwa pesan-pesan Ilahi semakin dekat kepadanya, karena itu beliau sering meninggalkan istrinya untuk berkhalwat di goa Hira.
Sayidah Khadijah as, sangat memahami semua tindakan suaminya. Beliau bukan saja tidak melarangnya, namun juga senantiasa mendukungnya. Beliau juga tidak protes karena sering ditinggalkan. Beliau tetap menjalankan fungsinya sebagai istri untuk senantiasa memberikan ketenangan dan kenyamanan kepada suaminya. Saat di rumah beliau akan menjadi tempat nyaman bagi suaminya. Dan, saat suaminya hendak ke goa Hira, beliau pun akan mengirim orang untuk menjaganya dan memantaunya dari kejauhan agar suaminya terjaga dari gangguan orang-orang jahat, juga mendoakannya.
Janji Allah Swt telah tiba, Allah telah mengutus Jibril as untuk menyampaikan risalah kepadanya. Tepat pada usia empat puluh tahun, Nabi Muhamad saw diangkat menjadi seorang nabi. Saat pertama kali Nabi Muhamad saw mendapatkan wahyu, beliau merasakan badannya berat karena dampak dari beban yang beliau dapatkan setelah mendapatkan wahyu. Tubuhnya tampak gemetar terlihat khawatir dan cemas. Dalam kondisi seperti itu beliau langsung pergi menuju rumahnya untuk menemui istri tercintanya, Sayidah Khadijah as. Beliau tahu bahwa istrinya senantiasa membuatnya nyaman dalam semua kondisi. Karena itu beliau masuk ke kamar istrinya, setelah duduk di sampingnya beliau menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya di goa Hira, juga beban berat yang terasa pada jiwa dan raganya karena peristiwa tersebut. Dengan seksama dan penuh perhatian Sayidah Khadijah as pun mendengarkan cerita Nabi Muhamad saw seraya berkata, “Wahai putra pamanku, berbahagialah. Yakinlah bahwa Tuhan tidak akan pernah menghinakanmu dan membiarkanmu. Engkau orang yang sangat agung yang senantiasa menyambung tali silaturahmi, senantiasa berkata jujur, sabar dalam menghadapi kesulitan, suka menghormati tamu, engkau juga penolong masyarakat dalam kesulitan dan masalah. Ketahuilah, aku juga telah mengimani kenabianmu sejak sebelum-sebelumnya.”[7]
Ayatullah Jakfar Subhani telah memberikan penjelasan tentang kondisi Nabi Muhamad saw pasca menerima wahyu pertama. Beliau mengatakan bahwa kondisi khawatir, cemas dan gemetar seperti itu selama masih pada batasnya, itu wajar dan tidak bertentangan dengan tingkat keyakinan Nabi Muhamad saw atas kebenaran yang telah disampaikan kepadanya. Karena meski kapasitas ruhani sangat tinggi dan kuat pun, di awal-awal tugasnya pasti akan mengalami kekhawatiran dan kecemasan seperti itu, karena itu setelahnya semua kecemasan dan kekhawatiran itu pun hilang.[8]
Setelah Nabi Muhamad saw tertidur, Sayidah Khadijah as keluar rumah pergi menuju rumah anak pamannya, Waraqah bin Naufal. Kemudian beliau menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi kepada Nabi Muhamad saw di goa Hira. Setelah mendengarnya, sambil berteriak Waraqah bin Naufal pun berkata, “Sumpah demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, Khadijah, andaikan semua yang engkau katakan itu benar, sosok yang mendatanginya adalah sosok yang telah mendatangi Nabi Musa dan Nabi Isa. Dia itu seorang nabi. Sampaikan padanya, kokohkanlah langkahnya, dan yakinlah pada kenabian dirinya.”
Mendengar hal itu, Sayidah Khadijah as pun langsung berpamitan pergi meninggalkan rumah Waraqah bin Naufal. Beliau pergi menuju rumahnya dengan tergesa-gesa ingin segera menyampaikan pesan Waraqah kepada suaminya. Ingin menyampaikan kabar gembira bahwa suaminya telah menjadi seorang nabi. Beliau telah membawa bendera risalah, risalah yang tengah ditunggu-tunggu oleh orang-orang seperti Waraqah bin Naufal, para pembesar agama Yahudi dan Nasrani jazirah Arab dan para pengikut tauhid.[9]
Saat tiba di rumah, Sayidah Khadijah as mendapati suaminya tertidur. Beliau terus menatap wajah suaminya yang bercahaya dan penuh kewibawaan. Beliau juga tengah memikirkan masa depan suaminya. Tiba-tiba beliau mendapati tubuh Nabi Muhamad saw demam, tubuhnya gemetar, nafasnya tersengal-sengal, keringat bening bercucuran dari dahinya. Untuk beberapa saat Nabi Muhamad saw dalam kondisi seperti itu seperti tengah mendengarkan suara. Kemudian Nabi Muhamad saw tenang dan mulai membacakan surat al-Mudatstsir ayat 1-7.
Setelah itu, kemudian Nabi Muhamad saw melihat sekitar ruangan dan melihat istri tercintanya duduk dekat di sampingnya. Beliau menatapnya dengan penuh rasa kasih dan cinta.
Sementara itu Sayidah Khadijah as mengkhawatirkan keadaan suaminya, bersikeras memohon kepadanya agar tetap istirahat. Namun Nabi Muhamad saw bersabda, “Istriku, waktu tidur dan tenang sudah berakhir. Jibril pembawa wahyu telah memerintahkanku untuk mengingatkan orang-orang akan akibat perbuatan buruk, dan menyeru mereka untuk menyembah Allah Swt. Maka siapakah orang yang harus aku seru dan siapakah juga yang akan menerima seruanku.”
Keesokan harinya, Waraqah bin Naufal melihat Nabi Muhamad saw di dalam Masjidil Haram. Saat melihatnya langsung ia berteriak, “Sumpah demi Tuhan yang jiwaku berada di bawah kekuasaanNya, engkau adalah seorang nabi umat ini. Kaum jahiliyah ini akan mendustakanmu, akan mengganggumu, akan mengusirmu dari kota ini, dan akan memerangimu. Jika saat itu aku masih ada, aku akan membela agama Tuhan dengan membelamu. Kemudian ia mendekati Nabi Muhamad saw seraya mencium tubuh mulianya.
Nabi Muhamad saw berkata, “Apakah mereka akan mengusirku dari tanah kelahiranku?”
“Iya, andaikan aku masih muda …, andaikan aku sampai saat itu masih hidup …,”[10]
Masuk Islam dan Keagungan Sayidah Khadijah as
Tidak ada seorang pun yang meragukan tentang masuk Islamya Sayidah Khadijah as. Bahkan, beliau pun tercatat dalam sejarah merupakan perempuan pertama yang masuk Islam dan mengimani agama yang dibawa oleh Nabi Muhamad saww. Saat orang-orang menolak seruan Rasulullah untuk menerima kebenaran agama Islam, Khadijah perempuan pertama yang mengimaninya dan senatiasa membelanya.
Setelah mendapatkan wahyu pertama, Nabi Muhamad saww memulai perjuangannya dalam berdakwah dan menyeru orang-oarng untuk menyembah Allah Swt. Dengan kondisi masyarakat jahiliyah seperti itu yang penuh kebodohan dan khurafat, tentu mengajak mereka untuk meninggalkan perbuatan seperti itu sangatlah sulit. Berbagai tantangan dan rintangan mulai menghadang tugas suci Nabi Muhamad saww. Pada saat itu, Sayidah Khadijah as senantiasa mendampinginya dan mendukung dakwah suaminya dengan jiwa, raga dan hartanya. Tidak diragukan lagi tentang peran penting Sayidah Khadijah as dalam dakwah Islam. Sehingga ada istilah yang mengatakan Islam terjaga dengan pedangnya Ali dan tersebar dengan hartanya Khadijah. Sayidah Khadijah seorang perempuan yang sangat kaya raya, beliau telah menggunakan semua hartanya demi dakwah Islam.
Dengan kondisi masyarakat Arab Jahiliyah seperti itu, menjadi orang-orang yang pertama masuk Islam itu merupakan suatu kebanggaan. Beberapa waktu setelah memulai dakwahnya, Nabi Muhamad saww, Sayidah Khadijah as dan Imam Ali as adalah tiga orang pertama yang beribadah dan solat di Ka’bah.
Berkaitan dengan ini Imam Ali as berkata, “Rumah yang berpusatkan Islam saat itu hanya rumah Nabi Muhamad saww dan Khadijah as, dan aku merupakan orang ketiganya.” [11]
Kebanggaan ini hanya diraih Sayidah Khadijah as, beliau merupakan perempuan pertama yang masuk Islam dan menerima seruan dakwah Nabi Muhamad saww.
Keagungan Sayidah Khadijah as di sisi Allah Swt dan alam semesta begitu tinggi sehingga pada Mi’raj pertama Nabi Muhamad saww, Allah Swt memberikan salam kepadanya. Dalam sebuah riwayat Nabi Muhamad saww bersabda, “Pada saat Mi’raj, saat kembali dari perjalanan langit, aku berkata kepada Jibril as, “Apakah engkau ada hajat dan keperluan?” “Iya, hajatku adalah sampaikan salam kepada Khadijah dari Allah Swt dan dariku.”
Saat Nabi Muhamad saww menyampaikan kepada Sayidah Khadijah as, beliau berkata, “Allah Swt, adalah salam atau keselamatan. Salam atau keselamatan berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Dan, juga salam dan keselamatan untuk Jibril.”[12]
Pada saat Aisyah protes karena Nabi Muhamad saww sering mengingat dan memuji istri pertamanya, Khadijah yang mengatakan, “Kenapa engkau terus mengingat perempuan tua itu? Allah telah memberikan pengganti yang lebih baik darinya…”
Saat mendengar ucapan Aisyah tersebut Nabi Muhamad saww langsung menjawab, “Tidak akan pernah ada yang dapat menggantikannya. Tidak ada yang lebih baik darinya, ia beriman kepadaku saat orang-orang mengingkariku…”
Pengorbanan Sayidah Khadijah as dalam Boikot Syi’b Abu Thalib
Berdasarkan perintah Allah Swt, Nabi Muhamad saww telah berdakwah menyampaikan ajaran Islam dalam beberapa fase; sembunyi-sembunyi, kerabat terdekat dan terang-terangan. Setelah tiga tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhamad saww untuk berdakwah secara terang-terang dan lebih meluas. Tentu, dakwah Nabi Muhamad saww tersebut banyak menghadapi berbagai tantangan dan rintangan yang lebih dahsyat dari para musuh Islam. Berbagai tuduhan-tuduhan pun dilontarkan kepada Nabi Muhamad saww dan para pengikutnya, mulai dari mengejek, menuduhnya sebagai tukang sihir hingga gila. Mulai dari memberikan berbagai ancaman dan siksaan, dan berbagai trik-trik lainnya yang ditujukan kepada Nabi Muhamad saww. Namun, semua rintangan itu tidak mampu melemahkan semangat Nabi Muhamad saww untuk berdakwah dan menyeru mereka untuk masuk Islam. Bahkan beliau dengan lantang mengatakan, “Andaikan matahari diletakan di satu tanganku dan bulan di tangan yang lainnya, maka aku tidak akan berhenti untuk melakukan ini.”
Hingga akhirnya, orang-orang kafir Quraisy, khususnya para pembesarnya sangat kesal menghadapi Nabi Muhamad saww dan para pengikutnya, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk mengusir Nabi Muhamad saww dan kaum muslimin dari Mekah dan menempatkan mereka di sebuah lembah yang dinisbatkan kepada Abu Thalib. Nabi Muhamad saw dan kaum muslimin diboikot di Syi’b Abu Thalib.
Pada semua fase dakwah Nabi Muhamad saww, Sayidah Khadijah as senantiasa berada di garis terdepan untuk membantu dakwah Islam. Selain mendampingi Nabi Muhamad saww, juga menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk itu, tak terkecuali pada masa pemboikotan di Syi’b Abu Thalib. Pada usianya yang sudah tidak muda lagi, beliau meninggalkan semua kehidupan yang nyaman dan pergi ke Syi’b Abu Thalib bersama Nabi Muhamad saww.
Hubungan Sayidah Khadijah as dengan Sayidah Fathimah as
Sejak masih dalam kandungan Sayidah Khadijah as, Sayidah Fathimah as senantiasa menjadi teman dan menjadi penenang bagi ibundanya. Seringkali Rasulullah saww mendengar Sayidah Khadijah as berbicara sendiri. Saat ditanya Rasulullah saw, Sayidah Khadijah as menjawab bahwa beliau tengah berbicara dengan janin yang ada di dalam perutnya. Begitupula saat para perempuan Quraisy meninggalkan Sayidah Khadijah as karena menikah dengan Nabi Muhamad saww, Sayidah Fathimah as yang masih dalam kandungan ibundanya menasehatinya agar senantiasa bersabar.[13]
Saat Sayidah Khadijah as wafat, saat itu Sayidah Fathimah as masih kecil. Beliau memegangi ayahandanya dan berkata, “Ayahku, kemana ibunda?” Rasulullah saww tidak tega melihat putri kecilnya bertanya seperti itu. Saat itu turunlah Malaikat Jibril as dan berkata, “Sampaikan salam dari Allah untuk Fathimah, dan katakana pada Fathimah bahwa ibundanya tinggal di sebuah istana di surga yang semua pondasinya terbuat dari emas, dan tiang-tiangnya terbuat dari batu Yakut merah. Dia duduk di antara Asiyah dan Maryam.” Setelah mendengar ucapan Malaikat Jibril as, Sayidah Fathimah as pun tenang.[14]
Tahun Duka dan Kesedihan Nabi Muhamad saw
Setelah berlalu beberapa tahun dari dakwah Nabi Muhamad saww, dengan segala kesulitan dan rintangan yang dihadapinya, ujian datang menimpa Nabi Muhamad saww. Pembela paling gigih dakwah Nabi Muhamad saww yang mampu menghadang gangguan-gangguan para pembesar kaum Quraisy telah meninggal dunia. Abu Thalib ialah paman Nabi Muhamad saww ialah orang yang sangat membela dan mendukung dakwahnya. Selama Abu Thalib masih hidup, para pembesar Quraisy tidak berani mengganggu Nabi Muhamad saww. Nabi Muhamad saww sangat bersedih atas meninggalnya Abu Thalib.
Beberapa bulan setelah itu, seorang lagi dari pembela dan pendukung paling gigih dakwah Nabi Muhamad saww pun meninggal dunia. Beliau ialah Sayidah Khadijah as, istri tercinta dan termulia Nabi Muhamad saww. Istri yang telah mengorbankan jiwa raga dan hartanya demi dakwah Islam. Semua harta kekayaannya digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Nabi Muhamad saww sangat terpukul atas meninggalnya istri tercintanya. Istri yang senantiasa memberikan kenyamanan dan mendampinginya dalam keadaan sedih maupun senang. Karena begitu dalam duka yang dirasakan oleh Nabi Muhamad saww, maka tahun itu dinamakan ‘’Ammul Huzn atau Tahun Kesedihan’.
Sayidah Khadijah as tutup usia pada tanggal sepuluh Ramadan tahun sepuluh Bi’tsat saat itu beliau berusia 65 tahun. Beliau hidup bersama Nabi Muhamad saww, dan mendampinginya di saat sulit dan senang selama 25 tahun.
Kedudukan Sayidah Khadijah as di Mata Nabi Muhamad saww
Beberapa tahun setelah wafat Sayidah Khadijah as, Nabi Muhamad saww menikah dengan beberapa perempuan. Namun, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, tidak ada seorang istri pun yang dapat menyamai kedudukan Sayidah Khadijah as di mata Nabi Muhamad saww, juga sangat dicintai sepertinya. Rasa kehilangan Nabi Muhamad saww sangat dalam setelah kepergian Sayidah Khadijah as dari dunia ini. Meski bertahun-tahun lamanya setelah kepergian Sayidah Khadijah as, Nabi Muhamad sawww senantiasa mengingat-ngingatnya, memuliakan saudara-saudaranya dan teman-temannya. Suatu hari, beberapa tahun setelah wafatnya Sayidah Khadijah as, Halah saudari Sayidah Khadijah as datang ke Madinah. Nabi Muhamad saw dengan sangat antusias menyambut kedatangannya, dengan semangat beliau kembali mengingat Sayidah Khadijah as, “Selamat datang, wahai Halah!”
Aisyah istri beliau tidak begitu senang menyaksikan kondisi seperti itu seraya berkata, “Kenapa selalu mengingat-ngingat dengan sedih perempuan Quraisy tua itu… padahal bertahun-tahun dia telah meninggal dunia, dan Allah pun telah memberikan pengganti yang lebih baik.”
Nabi Muhamad saww tampak murka mendengar ucapannya seraya berkata, “Demi Allah, tidak pernah aku mendapatkan yang lebih baik darinya. Dia beriman kepadaku saat orang-orang mengkafirkanku, dia membenarkanku di saat orang-orang mendustakanku, dia membantuku dengan hartanya di saat orang-orang membuatku menderita. Dan, Allah Swt telah menganugrahkan kepadaku anak-anak melaluinya bukan istri lainnya.”
Mendengar hal itu Aisyah pun terdiam dan berkata, “Sumpah demi Allah, setelah ini aku tidak akan membicarakannya lagi.”[15]
Tiap kali Nabi Muhamad saww menyembelih kambing, beliau pun akan menyuruhnya memberikan ke teman-teman Sayidah Khadijah as, “Beritahukan kepada teman-teman Khadijah, agar mereka dikirimi daging ini.” Aisyah sempat memprotes perilaku Nabi Muhamad saww ini, namun beliau menjawab, “… aku menyukai yang disukai Khadijah.”
Beliau pun terkadang mengirim hadiah untuk teman-teman Sayidah Khadijah as, “Berikan hadiah ini kepada Fulanah, karena ia teman dan pecinta Khadijah.”
Aisyah istri Nabi Muhamad saww sering merasa cemburu atas perlakuan Nabi Muhamad saww terhadap Sayidah Khadijah. Kecintaan Nabi Muhamad saww kepada Sayidah Khadijah as sangat dalam, dan penghormatannya kepadanya sangat tinggi. Ini semua dikarenakan kemuliaan kepribadian Sayidah Khadijah as dan pengorbanan yang sangat total terhadap dakwah risalah Nabi Muhamad saww.
Catatan Kaki:
– Naishaburi, Mustadrak ash-Shahihain, jil 2, hal 497; dinukil dari Fadhail Khamsah.
– Riyahin asy-Syari’ah.
– Jam’i az Muallifan Pazuheshkade Baqirululum, Banwane Nemune, hal 334-335.
– Shiratul Aimah Itsna Asyar, jil 1, hal 47, ‘Alamun Nisa al-Mukminat, hal 317 dinukil dari Banwane Nemune, hal 335-336.
– Safinatul Bihar, jil 1, hal 380 dinukil dari Banwane Nemune, hal 336.
– Ash-shahih min Shirati an-Nabiyil A’dham.
Referensi:
[1] Riyahan asy-Syariah, jil 2, hal 219-230; Biharul-Anwar, jil 16, hal 30-52.
[2] Shiratul Aimatul Itsna Asyar, jil 1, hal 49; Siroh Ibnu Hisyam, jil 1, hal 201.
[3] Nisaun Nabi, hal 35; ‘Alamun Nisail Mukminat, hal 318 dinukil dari Jam’i az Muallifan Pazuheshkade Baqirululum, Banwane Nemune, hal 337-338.
[4] Biharul Anwar, jil 16, hal 4.
[5] Tarikh Ya’kubi, jil 2, hal 16.
[6] Riyahan asy-Syariah, jil 2, hal 207-211.
[7] Riyahan asy-Syariah, jil 2, hal 250-251.
[8] Furug Abadiyat, jil 1, hal 185-186 dinukil dari Jam’i az Muallifan Pazuheshkade Baqirululum, Banwane Nemune, hal 342.
[9] Biharul Anwar, jil 16, hal 20-23.
[10] Sirah Ibnu Hisyam, jil 1, hal 253-254; Riyahan asy-Syariah, jil 2, hal 252.
[11] Nahjul Balghah, khutbah ke-192 .
[12] Majlisi, Biharul Anwar, jil 16, hal 7-11.
[13] Majlisi, Biharul Anwar, jil 43, hal 2.
[14] Riyahan asy-Syariah jil 2, hal 203 dinukil dari Cesyme dar Bastar, Pur Sayid Aghai, hal 257.
[15] Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, jil 4, hal 1824; ‘Alamun Nisail Mukminat, hal 321-324.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar