Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS HIKMAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS HIKMAH. Tampilkan semua postingan

Kesyahidan Imam Husein as Adalah Bara Yang Membakar di Dalam Hati Kaum Mukminin Yang Tidak Akan Padam Selamanya


Rasulullah saw bersabda:
Kesyahidan Imam Husein as adalah bara yang membakar di dalam hati kaum Mukminin yang tidak akan padam selamanya (tidak akan sirna).

(Mustadrak al-Wasail, jld.10, hlm.318).

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keutamaan Surah Musabbahat


فضيلة سور المسبّحات

ونذكر في هذا الباب فضيلة سور المسبّحات .

عن جابر قال : سمعت أباجعفر عليه السلام يقول :

من قرأ المسبّحات كلّها قبل أن ينام ، لم يمت حتّى يدرك القائم (صلوات اللَّه عليه) ، وإن مات كان في جوار النبيّ ‏صلى الله عليه وآله وسلم .(1)

أقول : ولآية الكرسي وآية شريفة «النور» وآية «رَبِّ أَدْخِلْني » وآيات اُخرى ختومات متعدّدة لها مناسبة لمطالب الكتاب انصرفت عن‏ نقلها .

ولابدّ أن نتوجّه أنّ أفضل الطرق لمن أراد الفوز بلقاء مولانا بقيّة اللَّه الأعظم أرواحنا فداه هو جلب توجّهه ورضايته الكاملة .

ـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ

1) ثواب الأعمال : 118 .

Diriwayatkan dari Jabir, Imam Baqir as. Bersabda:

Barang siapa saja yang membaca surah-surah Musabbahat (surah-surah tasbih) sebelum tidur, maka sebelum mati, akan berjumpa dengan Imam Mahdi as. Apabila meninggal, ia akan menjadi orang dekat dengan Rasulullah saw.[1]

Ayat Kursi, ayat Nur, dan ayat Rabbi adkhilni, serta ayat-ayat lainnya yang terdapat dalam riwayat, memiliki banyak keutamaan yang berkaitan dengan pembahasan dalam buku ini, tetapi kami cukupkan untuk tidak menukil dan menjelaskannya di sini.

Bagaimanapun jalan yang paling mulia untuk berjumpa dengan Imam Mahdi as. adalah menggembirakan hatinya dengan berpegang teguh kepada ajaran Ahlul bait as.


ـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ

[1] Tsawab al-A’mal hal. 118.

(Dokumentasi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Keutamaan Membaca Surat Al-Isra

فضيلة قرائة سورة الإسراء

في كلّ ليلة جمعة

ونذكر في هذا الباب ما رواه في «تفسير البرهان» عن العيّاشي والصدوق في‏ كتابيهما، بإسنادهما عن الصادق ‏عليه السلام قال:

من قرأ سورة بني إسرائيل في كلّ ليلة جمعة لم يمت حتّى يدرك القائم، ويكون من أصحابه.(1)

ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ

1) مكيال المكارم: 378/2، المصباح: 585، ثواب الأعمال: 107
.

Pada akhir pembahasan ini akan kita nukilkan satu riwayat yang terdapat pada “Tafsir al-Burhan“ dari kitab “Tafsir ‘Ayasyi “ dan “Tsawab al-A’mal“ di nukil dari Imam Shadiq as, beliau bersabda:

Barang siapa yang membaca surat al-Isra pada malam Jum’at, maka ia tidak akan meninggal sebelum bertemu dengan Imam Qaim (Imam Mahdi as.) dan akan menjadi salah seorang sahabat beliau.[1]


ـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
[1] Mikyal Al-Makarim jilid 2 hal.378 , al-Misbah hal.585 dan Tsawab al-A’mal hal.107.

(Dokumentasi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ada Tuhan di Karbala: Pertarungan Antara Akal dan Cinta


Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabataba’i mengatakan: Imam Husein memberikan perhatian khusus pada penempuh jalan spiritual.

Sesuatu yang jarang dilakukan oleh peneliti dan pembaca sejarah Asyura adalah meneliti dan mengkaji peristiwa ini dari sudut pandang ‘irfan atau tasawuf, padahal peristiwa ini di samping memberikan banyak pelajaran pelajaran kehidupan juga mengisyaratkan pelajaran-pelajaran sufistik yang luar biasa, bahkan setiap dimensi kejadian Karbala mengandung nilai dan pelajaran ‘irfan .

Imam Hussein adalah ‘asik (pencinta) dan sekaligus ‘arif (pejalan spiritual) dan peristiwa Karbala merupakan penampakan sempurna dari perjalanan cinta hakiki menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Jadi, Karbala mengandung pelajaran ‘irfan (aspek spiritual), bahkan penampakan ‘irfan yang paling tinggi dapat dengan baik kita saksikan di Padang Karbala.

Ada beberapa alasan untuk menyatakan bahwa Karbala adalah manifestasi ‘irfan. Pertama, Karbala adalah medan pertarungan antara akal dan cinta. Dalam akhlak biasanya terjadi pertarungan antara akal dan kebodohan sedangkan dalam ‘irfan yang terjadi adalah pertempuran antara akal dan cinta.

Beberapa pengikut Imam Husein berulangkali berkata Kepada beliau bahwa peperangan ini pasti membawa kekalahan mutlak bagi Imam Husein dan para pengikutnya dan peperangan ini sangat tidak masuk akal (sulit diterima secara rasional).

Karena pertempuran ini berlandaskan cinta maka akal terasa tumpul dan tidak mampu menangkap hakikat dan manfaat di balik peperangan yang tidak seimbang ini.

Kedua, banyak catatan sejarah yang mengungkap kronologi peristiwa Asyura menceritakan bahwa semakin mendekati waktu syahadah (gugur sebagai syahid) dan semakin banyak luka yang diderita Imam Hussein dalam pertempuran maka wajah beliau semakin cerah dan semakin senang. Ini menandakan bahwa peperangan adalah peperangan suci dari hati yang yakin akan kebenaran dan tujuannya untuk mendapatkan ridha Ilahi. Imam Hussein adalah hamba sejati Allah yang hanya tunduk dan patuh pada ketentuan-Nya dan yang diinginkannya hanyalah mencapai ridha-Nya.

Ketiga, totalitas dalam ibadah kepada Allah. Dari awal pergerakannya dimulai dari Madinah sampai ke Irak, semua detik gerakan Imam Hussein adalah perwujudan dari penghambaan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ketika ribuan surat dari penduduk Kufah dan Irak, Imam Hussein tidak menunjukkan kesombongan sedikitpun dan hampir dalam setiap orasinya beliau bicara tentang kematian dan nilai syahid di jalan Allah. Dan saat Imam Hussein terkepung oleh ribuan tentara dan pengikut beliau di Padang Karbala hanya puluhan orang, beliau sama sekali tidak merasa takut dan gentar. Ini menandakan bahwa cucu Nabi saw ini memiliki hubungan yang kuat dan harmonis dengan Zat yang Maha Kuat dan dan hatinya dipenuhi dengan cinta Ilahi.

Keempat, ridha dan sabar. Karbala menceritakan bahwa dengan berbagai musibah dan penderitaan yang luar biasa yang dialami oleh Imam Hussein, tidak ditemukan sedikitpun keluh kesah dan penyesalan serta ketidaksabaran dari Imam Hussein. Perawi mengatakan bahwa di tengah berbagai penderitaan dan kesulitan, Imam Hussein justru tampak bahagia dan yakin serta tawakal yang luar biasa kepada Allah. Semua ini membuktikan bukti ketangguhan iman dan keyakinan beliau yang cukup kuat terhadap janji Ilahi. Dan kalimat terakhir yang diucapkan Imam Hussein ialah: Ya Allah, aku ridha dengan ketentuan-Mu

الهی رضا برضائک

Dari apa yang disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka yang belum menyentuh aspek batin dan ‘irfan Asyura tentu akan cenderung menyepelekan manfaat jihad Imam Hussein dan bahkan mungkin malah menyalahkan beliau dan menganggap jihad Asyura adalah kecerobohan dan ketidakmatangan pikiran yang mestinya bisa dihindari mudharatnya andaikan Imam Hussein mengurungkan niat jihadnya.

Mereka tidak paham bahwa Imam Hussein sedang melakukan perjalanan cinta dan pejalan tidak akan terobati kecuali setelah bertemu dengan Sang Kekasih Oleh karena itu, pencinta tidak memperdulikan kesulitan-kesulitan dan penderitaan-penderitaan selama dalam perjalanan ini. Pencinta tidak peduli berapa banyak harta, keluarga, nyawa dan apapun yang dimilikinya yang dikorbankan di jalan cinta suci ini. Dan semua itu tampak ringan karena semua dilakukan atas asas cinta. Inilah cinta Ilahiah yang tidak bisa dipahami oleh orang awam atau oleh para pakar yang tidak pernah memahami dimensi ‘irfani peristiwa Asyura.

Asyura adalah pertempuran hak dan batil. Imam Hussein dan para sahabatnya berada dalam laskar hak dan Yazid dan para pendukungnya (Ibn Ziyad dan Umar bin Sa’ad) berada dalam barisan laskar batil. Imam Hussein adalah manifestasi hak dan keadilan, sedangkan Yazid adalah penampakan kebatilan dan kezaliman.

Imam Hussein berperang min al hub (dari cinta) fi alhubb (di dalam cinta) ilal hub (kepada cinta) wa lil hub (demi cinta), sedangkan Yazid bin Muawiyah berperang min al bughd (dari benci) fi bughd (di dalam benci) ilal bughd (kepada benci) wa lil bughd (demi benci).

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-lain/ABNS)

Perempuan Yang Tak Pernah Menyesali Keikutsertaannya di Karbala


Dalam peristiwa Karbala ada sosok perempuan yang tidak bisa dilupakan dan dihapus dari barisan perempuan hebat di sekitar Imam Husein, yaitu Zainab binti Ali bin Abi Thalib. Ibunya adalah Fatimah az-Zahra yang merupakan putri Nabi Muhammad s a w. Tidak banyak orang yang mengenal dan meneladani kehidupan putri Fatimah Zahra ini.

Mereka yang menelaah peristiwa Karbala tidak mungkin melewatkan peranan Zainab al-Kubra yang bergelar Aqilah Bani Hasyim. Di saat banyak orang di zaman Imam Husein yang mencoba melarang beliau untuk berangkat ke Karbala dan menghindari bentrokan dan peperangan dengan tentara Yazid bin Muawiyah, Zainab justru mendukung 100% jihad Imam Husein dan tidak pernah menyatakan keberatan dan penolakan ketika diajak untuk menyertai perjalanan panjang ke Karbala.

Mereka yang sok pinter dengan mengkritik langkah Imam Husein ke Karbala yang menyertakan anak-anak dan kaum hawa mungkin lupa atau tidak tahu bahwa tak satupun dari keluarga yang di bawahnya, khususnya kaum perempuan menyesal dan tidak setuju diikutsertakan dalam jihad ini. Zainab paham benar bahwa tindakan dan keputusan Imam Husein tidak mungkin berdasarkan emosi dan urusan pribadi. Sebab Imam Husein adalah satu-satunya orang di zamannya yang masih hidup yang menjadi saksi sebab turunnya surat al-Ahzab ayat 33 yang beliau termasuk salah satu orang yang dimaksud di dalamnya.

Surat tersebut menegaskan bahwa Imam Husein disucikan dari dosa lahir dan batin sehingga tindakan dan keputusannya tidak mungkin serampangan dan asal-asalan. Sebab beliau bukan lelaki biasa tetapi keturunan Nabi s a w dan dididik oleh Rasul saw dan mendapatkan keberkahan, doa khusus serta perhatian Kanjeng Rasulullah saw. Disamping itu, Imam Husein juga dididik oleh ayahnya Imam Ali bin Abi Thalib yang merupakan pintu dari kota ilmu Rasulullah saw. Tidak cukup di situ, bahkan beliau juga mendapatkan pendidikan dan pengarahan dari ibunya, yaitu Fatimah Zahra yang merupakan anak kesayangan Nabi saw. Dan tentu Imam Husein juga mendapatkan pengalaman hidup dari abangnya, Sayyidina Hasan yang merupakan pemuda penghulu surga

Jadi, dengan jejak rekam seperti itu apakah mungkin Imam Husein melakukan kecerobohan dan kebodohan serta ketidakmatangan pikiran dengan menuruti emosinya dan berjihad melawan tentara kuat Yazid dan kemudian jihadnya dianggap sia-sia dan tidak memberikan dampak signifikan bagi kemajuan dan kelestarian ajaran datuknya Rasulullah saw?! Tentu mereka yang berfikir demikian harus banyak menelaaah kembali aspek-aspek terjadinya Karbala dan harus sering menggali lagi secara jernih dan objektif kenapa peristiwa in terjadi; hal-hal apa saja yang menyebabkan potensi terjadinya peristiwa ini; berapa banyak pendukung Ahlul Bait; berapa banyak pendukung Yazid dan Bani Umayyah; bagaimana kondisi sosial politik di zaman Imam Husein dan Yazid Bin Muawiyah; bagaimana perilaku dan biografi Yazid bin Muawiyah yang dianggap oleh banyak orang di zamannya sebagai Khalifah Muslimin; siapa orang-orang yang berperang sampai penghabisan darah terakhir bersama Imam Husein; berapa jumlah mereka dan bagaimana latar belakang mereka?! Hal-hal ini harus dicari sumber informasinya secara benar sehingga peneliti mampu mendapatkan kesimpulan yang objektif tentang peristiwa Karbala dan hal-hal yang melatarbelakanginya.

Kembali kepada pembahasan utama bahwa peristiwa Karbala tampak tidak bisa dipisahkan dari sosok Srikandi Karbala, yaitu Zainab Aqilah Bani Hasyim. Imam Husein merasa mendapatkan penguatan dan dukungan moril yang luar biasa dari sosok Zainab. Zainab berhasil meneguhkan tekad Imam Husein untuk memerangi kemungkaran Yazid bin Muawiyah. Zainab juga membongkar “borok-borok dan virus-virus” dari keluarga bani Umayyah dengan pidatonya yang tersohor dan ditulis dalam buku buku sejarah di hadapan Yazid di istananya yang megah dan gemerlap.

Zainab juga berperan sebagai sebagai media untuk menyebarkan pesan-pesan Asyura. Di sepanjang perjalanan dari Irak menuju Syam yang hari ini dikenal sebagai negara Suriah, Zainab memperkenalkan siapa Ahlul Bait karena banyak orang yang menonton mereka sebagai tawanan perang menganggap bahwa ini adalah tawanan perang orang-orang kafir dan munafik. Zainab menunjukkan bahwa hakikat keislaman, kebenaran, dan kebaikan serta keindahan Islam itu ada pada Ahlul Bait yang terzalimi dan terpinggirkan. Dan musibah besar di tengah umat Islam terjadi ketika seorang sebiadab dan sejahat Yazid bin Muawiyah memimpin umat Islam.

Zainab memiliki kesabaran, ketegaran dan keteguhan yang luar biasa. Setelah peristiwa Karbala, beliau tidak merobek-robek bajunya, menjambak rambutnya dan berkeluh kesah. Zainab mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil mengatakan: Ya Allah terimalah kurban dan persembahan kami ini. Semua ini terjadi dengan kesaksian-Mu dan ridha-Mu. Kami tidak pernah menyesal dan menerima ini eerta bersyukur telah Engkau jadikan kami sebagai orang-orang yang terdepan dalam membela ajaran Rasulullah. Demikian kira-kira panjatan doa dan munajat Zainab.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Hussein Sang Pemersatu: Upaya Mencari Format Asyura Universal


Salah satu yang paling berat dilakukan oleh umat adalah mencintai keluarga Nabi saw. Rasulullah dalam Hadis Tsaqalain mewasiatkan kepada umat supaya mereka mencintai dan mengikuti Ahlul Baitnya. Beliau menegaskan bahwa siapapun yang menaiki bahtera Ahlul Baitnya maka dia akan selamat sebaliknya siapapun yang enggan untuk mengarungi perahu Ahlul Bait maka dia akan tenggelam dan tersesat Oleh karena itu, setiap mazhab apapun namanya pasti menyatakan persetujuannya untuk mencintai Ahlul Bait, hanya saja cara dan bentuknya berbeda-beda, sesuai dengan tingkat pemahaman, penghayatan dan pengamalan masing-masing pengikut mazhab terhadap ajaran Islam yang dianutnya.

Bulan Muharram dikaitkan dengan Imam Husein karena di bulan ini, tepatnya tanggal 10 Muharram atau yang lebih dikenal dengan Asyura dikenang sebagai haul atau peringatan tahunan syahidnya Sayyidina Husein di Karbala. Sayidina Hussein mendapat tempat yang istimewa di kalangan Muslimin dan karena itu siap Muslim pasti menghormati beliau dan dan tentu setiap Muslim berusaha untuk meneladani dan mengikuti beliau.

Hadis ”Husain adalah penghulu pemuda surga” adalah hadis popular dan mutawatir (banyak perawi hadis yang meriwayatkan) sehingga tidak terdengar ada seseorang pakar hadis yang meragukan kesahihannya. Oleh karena itu, tidak ada seorang Muslim pun yang mau disebut dirinya sebagai pembenci Husein bin Ali bin Abi Thalib, karena semua paham jejak rekam Sayyidina Husein dan asal-usul keluarganya. Beliau adalah salah satu dari Ahlul Bait yang sesuai dengan kesaksian surat al-Ahzab ayat ke-33 bahwa beliau adalah orang yang disucikan dari rijs atau dosa lahir dan batin. Meskipun semua tidak sepakat soal kemutlakan kemaksumannya (tingkat ‘ishmah) tapi semua sepakat bahwa beliau adalah sahabat besar yang adil dan bertakwa.

Setiap Muslim pasti bangga disebut dirinya sebagai pencinta al-Husein tapi kenyataannya memang tidak mudah menjadi pencinta Hakiki Sayyidina Husein. Sehingga klaim “kami juga cinta Husein” itu wajar wajar-wajar saja, meskipun perlu bukti dan tolak ukur untuk mengetahui apakah seseorang itu pencinta sesungguhnya atau tidak.

Salah satu tolok ukur cinta itu adalah berusaha meneladani dan mengikuti dan ciri cinta yang lain adalah sering menyebutnya. Misalnya mengabdikan nama Husein pada anak kita adalah bentuk kecintaan kita kepada Sayyidina Husein. Contoh yang sederhana lainnya adalah mengirim al-Fatihah kepada Sayyidina Husein. Begitu juga cinta kepada orang yang mencintai Husein adalah adalah tanda cinta yang kuat kepada keluarga Nabi saw.

Kalau kita sungguh-sungguh mencintai Allah SWT maka apapun yang terkait dengan-Nya pasti kita akan cintai. Semua alam dan makhluk adalah penampakan dan cermin dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena itu semuanya pasti kita cintai, baik kita suka pada mereka maupun tidak. Demikian juga kalau kita benar-benar mencintai Rasulullah saw maka apapun dan siapapun yang terkait dan dekat dengan beliau mestinya kita cintai juga. Ini baru totalitas dalam cinta kepada Nabi saw.

Antara kita dan mereka yang kita anggap mengkultuskan Hussein dan berlebihan dalam cintanya itu terdapat persamaan, yaitu sama-sama menjadikan Sayyidina Husein sebagai objek cinta. Yang membedakan kita hanya cara mencintainya. Mungkin kita menganggap mereka yang sok mencintai al-Hussein itu melampai batas dalam mengekspresikan cintanya (tafrith fil hub ). Di sini perlu kita adakan dialog dan perlu kita bangun opini yang sehat, wacana yang cerdas bagaimana sebaiknya mencintai Sayyidina Husein itu, sehingga kita sepakat kepada koridor dan bingkai cinta yang bersifat universal, proporsional, elegan, rasional serta efektif yang diterima oleh semua kalangan dan tidak menimbulkan polemik. Di sinilah perlunya antara para pencinta Imam Husain untuk mengadakan forum cinta yang seluruh pencinta al-Husain dari berbagai kalangan hadir dan merumuskan sebuah metode dan cara yang paten/baku yang bisa diterima oleh semua. Misalnya didiskusikan bersama di forum ini bagaimana sih sebaiknya acara Asyura itu dilakukan; masing-masing silakan menyampaikan usulannya dan masukannya; hal-hal apa yang mesti ada dan yang tidak perlu diadakan.

Hasil dari forum bersama itu bisa saja mengahasilkan semacam pawai budaya dan refleksi Asyura bersama yang masing-masing umat Islam dari kalangan mana pun bisa memberikan sumbangsihnya dalam bentuk misalnya, pemikiran, syair, puisi, musik, orasi, kasidah dan lain sebagainya.

Kalau ini dilakukan bisa saja menurut hemat kami akan menghasilkan peringatan Asyura universal yang konten dan bentuk acaranya bisa diterima oleh semua kalangan dan tidak terkesan eksklusif. Sehingga dengan demikian Sayidina Hussein bisa menjadi pemersatu umat Islam dan inspirasi perjuangan mereka.

Semua sadar bahwa Husen bin Ali adalah inspirasi umat Islam. Terlalu sayang dan terlalu banyak pelajaran pada peristiwa Karbala kalau kita biarkan menguap begitu saja tanpa kita berupaya menggali pelajaran berharga darinya. Kita sepakat bahwa aspek hitam atau kesedihan dan eksploitasi tangisan, ratapan dan emosi tidak perlu kita nomersatukan tapi aspek putihnya, yaitu spirit al-Husain dan bagaimana menemukan benang merah dan pelajaran Asyura yang bisa kita terapkan dalam kontek kekinian dan kedisinian itu yang perlu dikedepankan. Sehingga setiap Muslim, apapun mazhabnya merasa memiliki Imam Husain dan mengambil manfaat dari perjuangannya dalam kehidupan nyata.

Mestinya Husain bin Ali bin Abi Thalib itu menjadi pemersatu kita, bukan pemicu perselisihan kita dan andaikan kita hidup di zamannya pasti kita akan memilih berperang bersamanya daripada bergabung dengan tentara si fasik Yazid bin Muawiyah. Atau minimal kita tidak akan menyalahkannya dan memusuhi pengikutnya karena bagaimanapun Hussein bin Ali bin Abi Thalib adalah cucu Rasulullah saw yang notabene sahabat besar yang dalam perang melawan Yazid tak satu orang alim pun mengatakan bahwa beliau ragu dalam memerangi Yazid karena bagi beliau Islam akan gulung tikar kalau dikuasai oleh pemimpin sefasik Yazid.

Wallahu a’lam!

(Ikmal/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Wanita Yang Menjadi Al-Husain Kedua, Dialah Zainab Binti Ali Bin Abi Thalib


Sesudah Sayidah Fatimah binti Muhammad Rasulullah saw, di antara semua ibu, putri dan saudari kandung para imam Ahlulbait, siapakah wanita yang menyamai Zainab binti Ali Amirul mu`minin?

Bisa dikatakan bahwa keagungan Sayidah Zainab al-Kubra bukan dikarenakan ia adalah putri Imam Ali atau saudari Imam Husain. Tetapi dikarenakan gerakan insani dan islami dia berdasarkan taklif (tugas) ilahiah, yang diembannya.

Gerak langkah, ketegaran dan keteguhan hatinya lah yang membawa keagungan bagi dirinya. Siapapun yang berlaku demikian, kendati bukan putri Ali bin Abi Thalib, akan mencapai keagungan dalam Islam.


Keagungan Sayidah Zainab didasari oleh:

Pertama, pengetahuan posisi pada saat sebelum, ketika dan sesudah Imam Husain di Karbala.

Kedua, pilihan dia atas pengetahuan itu bagi masing-masing posisi tersebut, membentuk pribadi agung Zainab al-Kubra.

Uraian ringkasnya mengenai tiga posisi tersebut:
1. Sejarah menunjukkan bahwa para pemuka di masa itu sebelum keberangkatan Imam Husain ke Karbala, sebut saja Ibnu Abbas dan lainnya yang dikenal dengan kefakihan, kebesaran dan sebagainya, tak tahu apa yang harus diperbuat (atau mereka memilih aman, tidak ikut-ikutan dalam kebangkitan al-Husain). Sedangkan Sayidah Zainab mengetahui –tanpa keraguan- jalan yang harus ditempuh, dan pilihannya ialah takkan meninggalkan imamnya sendirian.

Selain lebih peka, ia sadar bahwa itu jalan yang sulit. Kosekuensinya ialah harus berpisah dari suami dan keluarganya, demi tugas yang agung itu. Ia pun membawa serta anak-anak kecil -yang harus ia jaga- bersamanya. Termasuk dua putranya; ‘Aun dan Muhammad, yang kemudian syahid membela Imam Husain.

Apa yang akan terjadi, Sayidah Zainab tak hanya siap menanggung resiko yang besar. Tetapi juga mengerti apa yang harus dia perbuat pada saat kekacauan terjadi yang orang lain tak tahu apa yang harus diperbuat. Ia siap mati dalam membela imamnya.

2. Dunia menjadi kelam setelah Imam Husain terbunuh. Alam, hati dan jiwa orang-orang menjadi gelap. Namun wanita agung ini justru terbit sebagai cahaya yang terang. Ia mencapai kedudukan yang hanya bisa dicapai oleh manusia-manusia besar seperti para nabi.

Pada hakikatnya, tiada Karbala tanpa Zainab, dan Asyura takkan mengekal tanpa dia. Betapa wanita pribadi agung ini menonjol dan unggul dalam peristiwa akbar itu dari awal sampai akhir dalam sejarah. Bisa dikatakan, Sayidah Zainab adalah “Husain” kedua dalam bingkai seorang wanita putri Imam Ali. Salah satu peran pentingnya, ialah bahwa andai ia tak hadir (atau tak tahu apa yang harus diperbuat), mungkin setelah peristiwa Asyura Imam Ali Zainul Abidin terbunuh. Selain itu, pesan Imam Husain pun tak sampai.

3. Imam Husain sebelum kesyahidannya, Sayidah Zainab menjadi tempat curahan hati beliau. Kehadirannya menemani al-Husain dalam kesepian dan keterasingan. Peran ini terlihat jelas pada diri Sayidah Zainab melalui kalimat-kalimat dan tindakan-tindakannya.


Keguncangan Batin Ditaklukkan Zainab

Grand Ayatollah Khamenei menyebutkan dua kali Sayidah Zainab tampak terguncang batinnya, yang dia ungkapkan kepada Imam Husain:

Yang pertama, ketika mendengar kabar kesyahidan Muslim bin Aqil, dan Imam Husain menceritakan apa yang terjadi pada Muslim, kepadanya. Namun kelembutan perasaan seorang wanita terhadap keluarganya dan ketegaran atau keperkasaan jiwa terhadap segala musibah, menyatu dalam diri Sayidah Zainab.

Di tengah perjalanan saat singgah di satu tempat, Zainab berkata kepada Imam Husain: “Kakakku, aku merasa dalam bahaya..” Ia mengetahui masalah yang akan dihadapinya; kesyahidan dan menjadi tawanan. Namun ia mampu menundukkan masalah itu. Apa yang Imam katakan kepadanya?

“Apapun yang Allah kehendaki akan terjadi”, ucap beliau singkat.

Yang kedua, di malam Asyura ia juga yang merawat dan mendampingi keponakannya, Ali bin Husain as-Sajjad, yang terbaring di dalam kemah karena sakit keras. Malam itu, Ali as-Sajjad mendengar ayahnya melantunkan syair yang mengisyaratkan bahwa waktu perpisahan dan ajal Imam Husain sudah dekat. Ia berkata: “Tiba-tiba aku melihat bibi Zainab sedih sekali dan bangkit menuju kemah al-Husain. Lalu berkata kepadanya, “Engkau mengabarkan kematianmu! Ketika ayah pergi, masih ada saudara-saudara kami. Ketika Imam Hasan syahid, ada engkau bagiku. Dalam sekian lama kami merasa tenang denganmu. Kini aku merasa engkau pun akan pergi..”

Keadaan Zainab begitu sulit dan luar biasa beratnya, sampai pada hari Asyura ketika semua yang laki telah syahid, dan tak ada seorang laki pun di dalam semua kemah, kecuali Imam Sajjad. Di dalam kemah delapan puluh lebih wanita terkepung di tengah lautan musuh. Mereka menjerit haus dan lapar serta dalam ketakutan. Di saat kondisi yang sangat-sangat mencekam itu, seseorang harus menghimpun mereka yang dalam kekacauan. Dia lah Zainab binti Ali bin Abi Thalib.


Referensi:

Insan 250 Saleh/Imam Khamebei.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kronologi Asyura


Hari Asyura, Tragedi Pembantaian Imam Husein as


Setelah menunaikan shalat Subuh bersama para sahabatnya, Imam Husein as berkata, " ... Allah telah memerintahkan pada kesyahidanku dan kesyahidan kalian. Selamat atas kalian yang memilih kesabaran."
Imam Husein as memerintahkan Zuhair bin Qain untuk memegang komando pasukan sebelah kanan, dan Habib bin Mazhahir, pasukan sebelah kiri. Sementara bendera berada di tangan saudaranya, Abbas.

Kendati pasukan musuh telah mendekati perkemahan, namun Imam Husein as belum memerintahkan untuk melemparkan anak panah. Beliau berkata, "Aku tidak ingin memulai perang dengan pasukan ini."
Umar bin Saad meletakkan anak panah di panahnya dan melontarkannya ke arah para sahabat Imam Husein seraya berkata, "Saksikanlah bahwa akulah orang pertama yang melemparkan anak panah ke arah pasukan Husein." Kemudian tindakan ini diikuti oleh para pasukan Umar bin Saad. Mereka membidik para sahabat Imam Husein as dari segala arah.

Imam Husein as berkata, "Bangkitlah wahai para sahabatku, dan bergegaslah menuju kesyahidan! Allah akan mengampuni kalian."

Pada serangan pertama, lebih dari empat puluh sahabat Imam Husein as gugur syahid. Selebihnya, secara bergilir satu persatu dari mereka maju ke medan pertempuran untuk bergegas menyambut kesyahidan. Ketika seluruh sahabat telah gugur, tibalah giliran keturunan Bani Hasyim untuk maju ke medan laga. Namun mereka pun mereguk madu kesyahidan, tanpa tersisa.

Kini Imam Husein as sendirian, tak berteman. Dengan pandangan penuh haru,beliau memandang ke arah jasad-jasad suci para sahabatnya dan memanggil mereka satu persatu, kemudian bergerak ke arah perkemahan untuk mengucapkan perpisahan terakhir. Setelah itu, beliau lantas mengeluarkan pedang dari sarungnya, berdiri berhadapan dengan musuh, dan memulai peperangan yang tak seimbang.

Musuh segera mengepungnya dari segala arah. Tiba-tiba, sebuah anak panah bercabang tiga mengenai dada sebelah kirinya, menancap tepat di jantungnya, sementara tubuh sucinya dipenuhi oleh anak-anak panah yang menancap. Imam Husein as tersungkur jatuh, gugur syahid. Ruhnya yang mulia bergabung ke alam malakut yang tinggi. Jeritan para wanita dan anak-anak, bahkan para malaikat membahana, mengharu biru dan memenuhi belantara langit.


Tragedi Petang Hari Asyura

Sore hari kesepuluh, setelah kesyahidan Imam Husein as,Umar bin Saad memerintahkan laskarnya untuk merampas, menjarah, membakar perkemahan dan menyiksa para keluarga kenabian. Dengan membabi buta mereka segera menaati perintah ini. Mereka menyerbu ke arah perkemahan Imam Husein as, menjarah peralatan, pakaian dan unta-unta, dan kadang kala tanpa malu terlihat tengah merebut dan mengambil paksa pakaian dari tangan seorang wanita Ahlul Bait as. Putri-putri Rasulullah Saw dan keluarga Imam Husein as keluar dari perkemahan, menangis dan menjerit karena kehilangan para pelindung dan orang-orang yang mereka kasihi.

Setelah itu, dengan kepala terbuka, kaki telanjang dan pakaian-pakaian yang telah terjarah, keluarga ini menjadi tawanan Umar bin Saad. Perempuan-perempuan agung ini berkata, "Lewatkanlah kami dari tempat terbunuhnya Imam Husein as."Saat pandangan mereka jatuh ke jasad para syuhada, kembali terdengar jeritan dan raungan yang membahana.

Setelah peristiwa ini, Umar bin Saad yang terlaknat, mengumumkan pada laskarnya, "Siapakah diantara kalian yang bersedia menginjak-injak punggung dan dada Husein dengan kuda?!" Sepuluh orang bangkit menyatakan kesediaannya, dan mulai mengarahkan kuda-kudanya untuk menginjak-injak tubuh mulia Imam Husein as.

Sore itu juga, Umar bin Saad memerintah pasukan Khuli bin Yazid Ashbahi dan Hamid bin Muslim Azdi untuk mengirimkan kepala mulia Imam Husein as ke Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Sementara yang lainnya mengumpulkan kepala-kepala para sahabat dan keluarga beliau yang berjumlah tujuh puluh dua kepala, kemudian mengirimkan seluruh kepala ini ke Kufah bersama Syimr bin Dzil Jausyan dan Qais bin Asy'ats. Setelah itu, mereka mulai mencaripasukannyayang terbunuh lalu menguburkannya. Namun jenazah Imam Husein dan para sahabatnya yang tak berkepala tetap dalam keadaan telanjang di sahara Karbala sampai hari kedua belas Muharam, hingga akhirnya kabilah Bani Asad menguburkan mereka atas arahan Imam Sajjad as.


Ubaidillah bin Ziyad Tewas di Tangan Pasukan Mukhtar Tsaqafi

Pada hari Asyura tahun 67 Hq, enam tahun setelah peristiwa Karbala, tepat hari dimana pasukan Yazid di bawah komando Ubaidillah bin Ziyad menciptakan tragedi kemanusiaan dan Imam Husein as bersama para sahabatnya gugur syahid.

Waktu itu pasukan Abdul Malik bin Marwan yang dipimpin oleh Ubaidillah bin Ziyad berhadap-hadapan dengan laskar Mukhtar bin Abi Ubaidah Tsaqafi yang dipimpin oleh Ibrahim bin Malik al-Asytar di tepi sungai Khadzir, yang jaraknya 4 farsakh dari kota Mosul. Dua pasukan berperang dan menyebabkan banyak yang terbunuh.

Pasukan Syam yang kehilangan 70 ribu tentara mulai terlihat tanda-tanda kekalahannya dan akhirnya menerima kekalahan. Peristiwa paling penting dari perang ini adalah tewasnya Ubaidillah bin Ziyas, Komandan Laskar Syam di tangan Ibrahim bin Malik al-Asytar. Waktu itu Ibrahim Malik al-Asytar menebaskan pedangnya sekali dengan sekuat tenaga sehingga, tubuh Ubaidillah bin Ziyad terpisah menjadi dua di bagian pinggang dan tewas seketika.

Dalam perang ini juga Syimr bin Dziljausyah tewas di tangan pasukan Ibrahim Malik al-Asytar.


Asyura, Tragedi Kemanusian yang Terlupakan


Empat belas abad yang silam menjadi saksi sejarah, sebuah tragedi kemanusiaan yang tidak saja menyedihkan tapi sekaligus memilukan. betapa tidak.
Cucu Rasulullah Imam Husein yang menjadi belaian kasih sayang Nabi SAW dibantai secara tragis di Padang Karbala.

Leher imam Husein yang sering dicium oleh kakeknya, harus dipenggal oleh pasukan bengis yang dipimpin oleh Umar bin Saad, yang kemudian dipersembahkan kepada penguasa yang zalim, Yazid bin Muawiah ketika itu. Membuka kembali lembaran sejarah peristiwa Karbala tidak hanya untuk membacanya lalu bersama-sama menguraikan air mata.

Ada pelajaran penting di sana. Sebuah misi yang membuat setiap pribadi yang ikut di dalamnya mengambil sebuah adegan yang saling mendukung melanjutkan misi Imam Husein. Beliau keluar untuk melakukan revolusi setelah melihat perilaku Yazid bin Muawiyah yang sewenang-wenang.

Tragedi Karbala adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa, dan melihat fakta bahwa keagungannya unik dan tak tertandingi, konsekuensinya juga luar biasa. Yang mendorong Imam Husain untuk bangkit memberontak adalah untuk menghentikan penyimpangan dan bid`ah yang terjadi di area politik Islam saat itu.

Penyimpangan itu adalah penentangan terhadap eksistensi sistem Islami dengan meletakkan kekuasaan di tangan orang-orang yang tidak qualified. Setelah Nabi saw wafat berbagai peristiwa berjalan sedemikian rupa sehingga akhirnya mengubah Khilafah menjadi sebuah jabatan yang didasarkan pada cinta dunia yang diwujudkan dalam cinta kekuasaan, kesewenang-wenangan, egoisme dan keserakahan.

Imam Husain berjuang melawan penyimpangan ini. Sejarah manusia menunjukkan secara jelas bahwa pemimpin zalim hanya berpikir untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun juga, termasuk dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dan menguasainya secara personal.

Di antara cara mempertahankan kekuasaan pemimpin zalim ialah dengan menyebarkan nilai-nilai kezaliman di kalangan para pejabat pemerintahannya bahkan di tengah masyarakat luas. Untuk itulah pemimpin zalim tidak akan pernah menyukai orang-orang saleh, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan, bahkan menganggapnya sebagai sumber ancaman terhadap eksistensi kekuasaannya.

Sejarah juga membuktikan bahwa Muawiyah dan anaknya Yazid, serta mayoritas para penguasa Bani Umayyah adalah jenis pemimpin yang zalim. Akibatnya dapat kita lihat dengan menyebarnya dekadensi moral di sebagian besar lapisan masyarakat, terutama di kalangan para pejabat Negara ketika itu.

Ketidakadilan, kesemena-menaan, kejahatan dan ketidakamanan menyebar ke mana-mana. Di antara yang paling parah ialah munculnya diskriminasi rasial di kalangan masyarakat muslim, dan meluasnya ideologi-ideologi sesat yang merusak akidah dan keyakinan Islam.

Semua itu benar-benar merupakan ancaman serius bagi kemurnian ajaran Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi SAW. Melihat kondisi buruk itu, yang mencapai puncaknya di zaman Yazid bin Muawiyah, maka sejumlah tokoh Kufah, Irak, yang dulu merupakan pengikut Imam Ali, menulis surat kepada Imam Husein agar datang ke Kufah untuk memimpin masyarakat Kufah memerangi Yazid.

Imam Husein yang merasa terpanggil untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memenuhi panggilan masyarakat Kufah ini dan berangkat menuju ke kota bekas pusat pemerintahan ayahanda beliau itu. Akan tetapi, pihak penguasa, yaitu Yazid yang mencium gerak-gerik penduduk Kufah ini, segera mengirim pasukan militer ke kota ini dan membasmi gerakan tersebut dengan menangkapi, memenjarakan dan membunuhi para tokohnya.

Dengan demikian, jadilah Imam Husein kehilangan pendukung besarnya. Akan tetapi, beliau tetap berniat datang ke Kufah. Yazid yang mengetahui bahwa Imam Husein tetap bergerak menuju ke Kufah, mengirim bala tentara lengkap untuk mencegah kedatangan beliau ke kota ini. Terhalang untuk masuk ke kota Kufah, akhirnya rombongan Imam Husein yang berjumlah 72 orang kemudian digiring hingga tiba di sebuah padang pasir bernama Karbala.

Ketika datang perintah dari Yazid di Syam, agar Imam Husein beserta rombongannya dibantai, maka terjadilah pertempuran yang sangat tak seimbang, 72 orang rombongan imam Husein yang terdiri dari keluarga dan sahabatnya harus bertarung melawan tentara Yazid yang berjumlah kurang lebih 20.000 pasukan, yang kemudian dikenal di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah sebagai tragedi Karbala.

Peristiwa tragis itu terjadi tepatnya 10 Muharram 61 H, dimana pasukan Yazid yang dimotori oleh Ibnu Ziyad mulai melakukan serangan pada rombongan Imam Husein yang dalam keadaan haus dan lapar. Salah seorang pasukan melancarkan anak panah pada leher anak Imam Husein yang masih bayi dan berada dalam pangkuan ibunya, sehingga mengalirlah darah dari lehernya dan meninggallah bayi yang tak berdosa itu.

Pada sore hari 10 Muharram 61 H, pasukan Imam Husein banyak yang berguguran. Sehingga Imam Husein tinggallah seorang diri dan beberapa anak-anak dan wanita. Dalam keadaan haus dan lapar di depan pasukan Ibnu Ziyad , Imam Husein berkata: “Bukalah hati nurani kalian, bukankah aku adalah putera Fatimah dan cucu Rasulullah saw.

Pandanglah aku baik-baik, bukankah baju yang aku pakai adalah baju Rasululah saw.”Tapi sayang seribu sayang karena iming-iming hadiah jabatan dan materi dari Ibnu Ziyad dan Yazid bin Muawiyah, mereka menyerang Imam Husein yang tinggal seorang diri. Serangan itu disaksikan oleh Zainab (adiknya), Syaherbanu (isterinya), Ali bin Husein (puteranya), dan rombongan yang masih hidup yang terdiri dari wanita dan anak-anak.

Pasukan Ibnu Ziyad melancarkan anak-anak panah pada tubuh Imam Husein, dan darah mengalir dari tubuhnya yang sudah lemah. Akhirnya Imam Husein terjatuh di tengah-tengah mayat para syuhada’ dari pasukannya. Melihat Imam Husein terjatuh dan tak berdaya, Syimir dari pasukan Ibnu Ziyad turun dari kudanya, menginjak-injakkan kakinya ke dada Imam Husein, lalu menduduki dadanya dan menghunus pedang, kemudian menyembelih leher Imam Husein yang dalam kehausan, sehingga terputuslah lehernya dari tubuhnya.

Menyaksikan peristiwa yang tragis ini Zainab dan isterinya serta anak-anak kecil menangis dan menjerit tragis. Tidak hanya itu kekejaman Syimir, ia melemparkan kepala Imam Husein yang berlumuran darah ke kemah Zainab. Semakin histeris tangisan Zainab dan isterinya menyaksikan kepala Imam Husein yang berlumuran darah berada di dekatnya. Zainab menangis dan menjerit, jeritannya memecah suasana duka.

Ia merintih sambil berkata: Oh… Husein, dahulu aku menyaksikan kakakku Al-Hasan meninggal diracun oleh orang terdekatnya, dan kini aku harus menyaksikan kepergianmu dibantai dan disembelih dalam keadaan haus dan lapar. Ya Allah, ya Rasullallah, saksikan semua ini.

Imam Husein telah meninggalkan kami dibantai di Karbala dalam keadaan haus dan lapar. Dibantai oleh ummatmu yang mengharapkan syafaatmu. Ya Allah, ya Rasulallah Akankah mereka memperoleh syafaatmu sementara mereka menghinakan keluargamu, dan membantai Imam Husein yang paling engkau cintai? 10 Muharram 61 H, bersamaan akan tenggelamnya matahari, mega merah pun mewarnai kemerahan ufuk barat, saat itulah tanah Karbala memerah, dibanjiri darah Imam Husein dan para syuhada’ Karbala.

Bumi menangis, langit dan penghuninya berduka atas kepergian Imam Husein sang pejuang kebenaran dan keadilan. Nah mengapa tragedi karbala, yang merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa justru terlupakan oleh sebahagian besar ummat Islam saat ini ??? Bahkan bukan hanya terlupakan, justru memang tidak pernah disampaikan kepada generasi Islam??? Yang cukup mengherankan juga adalah bahwa bulan Muharram yang menjadi bulan duka cita dan nestapa keluarga Rasul yang suci justru menjadi bulan kegembiraan pada sebagian ummat Islam lainnya.

Di masyarakat kita 10 Muharram atau Asyura disambut dengan gembira, misalnya dengan membeli alat-alat rumah tangga, syukuran dengan membuat bubur 7 macam, dsb. Tidak cukup dengan itu kemudian juga dilanjutkan dengan dengan puasa Muharram sebagai simbol kesyukuran dan kegembiraan.

Ada banyak riwayat yang dibuat-buat oleh penguasa saat itu hanya untuk menutupi spirit perjuangan Imam Husein dalam menentang penguasa yang zalim. Dibuatlah cerita atau riwayat bahwa Ketika Nabi saw. hijrah ke kota Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyûrâ’ yaitu hari kesepuluh bulan Muharram, lalu beliau bertanya kepada mereka, mengapa mereka berpuasa, maka mereka menjawab, “Ini adalah hari agung, Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya.”

Maka Nabi saw. bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa dan lebih berhak untuk berpuasa di banding kalian.” Lalu beliau memerintahkan umat Islam agar berpuasa untuk hari itu. Demikian dalam kitab Bukhari dan Muslim. Kalau kita mencoba menelaah lebih dalam riwayat di atas maka akan kelihatan ketidakbenarannya.

Riwayat di atas mengatakan kepada kita bahwa Nabi mulia saw. tidak mengetahui sunnah saudara beliau; Nabi Musa as. dan beliau baru mengetahuinya dari orang-orang Yahudi dan setelahnya beliau bertaqlid kepada mereka! Padahal Nabi sangat melarang kita untuk mengikuti kebiasaan ummat lainnya, Yahudi maupun Nasrani. Sangatlah kontradiktif.

Yang lucunya justru riwayat itu memerintahkan kita untuk mengikutinya. Dimana logisnya? Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa 10 Muharram adalah bebasnya keluarrnya Nabi Yunus dari perut ikan, bebasnya Nabi Ibrahim dari Raja Namrud, selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun dsb.

Mestinya juga diteruskan bahwa 10 Muharram juga adalah menangnya pasukan Yazid dalam dalam memenggal kepala cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husein. Kita semua adalah korban sejarah. Yakni sejarah yang sengaja dibuat oleh penguasa zalim hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan keserakahannya. Sudah waktunya buat kita untuk mengkritisi setiap riwayat yang ada.

Padahal jauh sebelumnya ketika Husein lahir, Rasulullah bersedih dan menetaskan air mata ketika jibril mengatakan bahwa cucumu yang baru lahir ini akan syahid di padang karbala oleh ummat yang mengaku sebagai pengikutmu. Jadi Rasulullah jauh sebelum peristiwa itu telah memperingati Asyura dengan kesedihan. Nah masihkah kita ingin memperingati Asyura dengan kegembiraan??

Apapun alasannya yang jelas bahwa dalam tragedi Karbala atau Asyura banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dan sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya kejadian di padang Karbala, merupakan refleksi kehidupan manusia, karena salah satu peran yang ditampilkan disana adalah pengorbanan sejumlah manusia untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi dan suci, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kezaliman.

Peringatan tragedi ini merupakan sumber inspirasi bagi para pencari kebenaran dan keadilan di seluruh dunia. Mahatma Gandhi sendiri pernah berujar “I learned from Hussain, how to achieve victory while being oppressed. ”“Aku belajar dari Husain bagaimana cara meraih kemenangan ketika dalam kondisi tertindas.

Di era ini dimana sekularisme, hedonisme, kapitalisme telah menjadi ideologi bagi umumnya para pemimpin atau penguasa maka mengenang kembali peristiwa Karbala bisa menjadi momentum untuk membangkitkan spirit kita untuk menentang setiap penindasan, kesewenang-wenangan dan kezaliman sembari menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah ummat.

Peristiwa Asyura sesungguhnya mengajarakan kaum muslim untuk tidak berkompromi dengan para penguasa zalim kapan dan dimanapun dengan semangat pengorbanan. Bila mengenang tragedi Karbala memiliki peran dan arti yang sebegitu penting dalam kehidupan, maka merugilah orang yang melupakan peristiwa bersejarah ini.


Rahasia Keabadian Asyura


Peristiwa Karbala adalah satu dari sekian momentum historis yang memiliki kedudukan khusus. Meskipun terjadi tahun 61 Hijriah, tapi kejadian penting ini tidak lekang oleh zaman, dan terus hidup hingga kini. Padahal Khalifah Bani Umayah dan penerusnya telah melakukan berbagai cara untuk memberangus peristiwa agung ini dari memori umat Islam. Salah satu yang mereka lakukan adalah menjadikan hari Asyura sebagai kemenangannya yang dirayakan secara meriah dan suka cita. Ketika kebohongannya terungkap, mereka melakukan berbagai cara untuk menjustifikasi kezaliman Yazid yang dilawan dengan kesyahidan Imam Husein. Hingga kini, para pendukung Yazid berupaya menyimpangkan tujuan kebangkitan Imam Husein, dan menimbulkan masalah bagi para peziarah beliau, dan orang-orang yang mengenang perjuangannya.

Setelah tumbangnya Dinasti Umayah, Dinasti Bani Abbasiyah selama tujuh ratus tahun berupaya menyelewengkan peristiwa Asyura. Dan kini cara-cara tersebut dilanjutkan oleh para penerus mereka.Tapi, semakin keras orang-orang zalim merusak dan menyelewengkan kebenaran peristiwa Asyura, peristiwa besar ini terus hidup dan tetap abadi hingga kini, dan pengaruhnya semakin besar dari sebelumnya.Oleh karena itu, muncul pertanyaan besar apa rahasia keabadian gerakan Asyura? Mengapa peristiwa yang terjadi lebih dari seribu tahun itu tetap abadi di tengah gencarnya upaya merusak dan menyelewengkan peristiwa besar tersebut?

Tidak diragukan lagi faktor keabadian gerakan Asyura adalah pertolongan Allah swt. Dalam al-Quran surat as-Saff ayat 8, Allah swt berfirman,“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya”. Gerakan Asyura yang dikibarkan Imam Husein di padang Karbala demi menjaga dan menyebarkan ajaran agama Allah yang dimaksud di ayat tersebut. Oleh karena itu, Allah swt berfirman bahwa cahaya itu tidak akan padam, tapi justru dengan berlalunya waktu semakin benderang. Oleh karena itulah, Nabi Muhammad Saw bersabda,”Sesungguhnya kesyahidan Imam Husein menjadi api yang berkobar di hati orang-orang mukmin yang tidak akan pernah padam”.

Faktor lain dari keabadian gerakan agung Asyura adalah perkataan dan sirah Nabi Muhammad Saw mengenai Imam Husein dan Karbala. Sepanjang sejarah, umat Islam sangat menghormati Nabi Muhammad Saw. Berdasarkan fatwa ulama Sunni dan Syiah, mengikuti sunnah Rasulullah Saw wajib hukumnya, dan dilarang untuk menentangnya. Sebab dalam al-Quran surat An-Nisa ayat 80, Allah swt berfirman, “Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. Di bagian lain, surat an-Najm ayat 3 dan 4, Allah swt berfirman, “Dan tiadalah yang diucapkan Rasulullah, (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang disampaikan kepadanya.”

Perintah ilahi ini bukan hanya ditujukan kepada umat Nabi Muhammad Saw saja, tapi juga bagi Rasulullah sendiri yang mengingatkan umat tentang Ahlul Baitnya.Terkait hal ini, Salman Farsi, salah seorang sahabat Rasulullah Saw bertutur, “Aku melihat Husein berada di pangkuan Rasulullah, lalu beliau bersabda ke arah cucunya itu, ‘Engkau adalah pemimpin, engkau anak dan ayah pemimpin, engkau Imam, putra Imam dan ayah para pemimpin. Engkau hujah, putra hujah dan ayah Imam kesembilan, yang kesembilannya adalah Imam Mahdi’,”. Selain menjelaskan mengenai keutamaan Imam Husein, Rasulullah Saw mengungkapkan tentang kesyahidan Imam Husein di hadapan sejumlah sahabatnya di Madinah.

Ibnu Atsir, ahli hadis Sunni menulis, “Asyats bin Sahim meriwayatkan dari ayahnya yang mendengar langsung Rasulullah Saw bersabda, “Putraku Husein akan syahid di sebuah tempat di Irak. Barang siapa yang sezaman dengan Husein, maka ia harus menolongnya.”Aisyah, Istri Rasulullah Saw menceritakan suatu hari melihat Imam Husein yang masih bayi dibawa menghadap Nabi Muhammad Saw. Beliau menciumnya, seraya berkata,”Siapapun yang menziarahi makamnya akan mendapatkan pahala seperti haji”.

Faktor lain keabadian Asyura adalah konsistensi Ahlul Bait dalam mendirikan majelis duka Syuhada Karbala. Ahlul Bait Rasulullah Saw sangat mementingkan acara mengenang perjuangan Asyura. Mereka menjelaskan tujuan perjuangan Imam Husein, upaya mencegah terjadinya penyimpangan Asyura, mengungkap kejahatan Bani Umayah, keutamaan memperingati Asyura dan rahasia keabadian Asyura.

Perjuangan yang disuarakan Sayidah Zainab dari Karbala hingga masuknya para tawanan Asyura menuju Kufah dan Syam, serta Khutbah pencerahan yang beliau sampaikan dengan gagah berani di tengah masyarakat memainkan peran penting dalam memjelaskan kebenaran peristiwa Asyura. Tangisan panjang Imam Sajjad meratapi peristiwa Asyura membangkitkan kesadaran penduduk Madinah. Imam Baqir dan Imam Shadiq mewasiatkan selama 10 tahun untuk mendirikan Majelis duka ketika menjalankan ibadah haji di Mina, dan menjelaskan peristiwa Karbala. Imam Ridha juga mendirikan majelis duka mengenang perjuangan Asyura.

Berbagai faktor tersebut menyebabkan spirit Asyura tetap abadi hingga kini. Salah satu rahasia keabadian Asyura lainnya adalah metode dan tujuan perjuangan Imam Husein. Beliau dengan tegas memperkenalkan jalan perjuangannya secara terang benderang. Imam Husein berkata, “Aku bangkit melawan [penguasa lalim] demi memperbaiki umat kakekku, dan menegakkan Amr Maruf dan Nahi Munkar, sebab Allah swt dalam al-Quran berfirman,“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(Ali-Imran:104).

Salah satu bentuk dasar Amr Maruf dan Nahi Munkar adalah menasehati orang yang berbuat lalim supaya melakukan kebaikan dan menghentikkan kemunkarannya.Ketika penguasa lalim menimbulkan ancaman bagi prinsip-prinsip Islam harus ada orang yang menegakkan kebaikan dan melawan kezaliman demi tegaknya nilai-nilai Islam. Yazid yang zalim, menjadi Khalifah yang diwarisi dari ayahnya Muawiyah, dan Imam Husein bangkit melawan dan tidak berbaiat kepadanya. Dalam menjalankan tugasnya, Imam Husein memberikan pencerahan kepada masyarakat. Beliau berkata, “Wahai manusia ! Rasulullah Saw bersabda, jika di antara kalian menyaksikan penguasa lalim yang menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah, tidak menepati janjinya, dan menentang sunah Rasulullah dan berperilaku zalim dan dosa di tengah masyarakat… dan kemudian tidak mengubah perbuatannya dengan perkataan dan perbuatan, maka Allah swt menempatkan mereka termasuk orang-orang yang zalim.”

Untuk menyadarkan masyarakat, Imam Husein berkata,”Sadarlah! Ketika suatu kaum telah mentaati setan dan meninggalkan ketaatan terhadap Allah swt, melakukan kerusakan secara terang-terangan dan menghentikan hukum Allah, menjadikan Baitul Mal sebagai kas pribadi dan menghalalkan yang telah diharamkan oleh Allah, maka aku datang untuk mengubah keadaan ini !”

Imam Husein di bagian lain mengungkapkan masalah kehormatan dan maknanya yang tinggi dalam diri seorang mukmin. Beliau berkata, “Sadarlah, mereka yang memberiku dua pilihan, pedang dan kehinaan! Kami memilih syahid, bukan kehinaan. Sebab Allah swt dan Rasul-Nya menghendaki demikian.”Jika dikaji lebih dalam, perkataan ini disampaikan ketika Imam Husein sudah tahu usianya tidak akan lama, dan beliau akan mencapai kesyahidan.Tapi pernyataan ini disampaikan sebagai pelajaran penting bagi umat Islam tentang betapa berharganya kehormatan manusia, meski harus ditebus dengan nyawa sekalipun. Seruan Imam Husein ini sepanjang sejarah menjadi inspirasi tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga bagi pejuang penegak keadilan di seluruh penjuru dunia.

Revolusi Imam Husein meskipun tidak mencapai kemenangan secara militer, dan dari luar tampak kalah dibantai oleh pasukan Yazid, tapi perjuangan beliau telah mengubah masyarakat Muslim. Sejatinya, gerakan Asyura adalah garis utama yang melanjutkan kehidupan Islam. Kebangkitan Imam Husein menjadi gerakan sosial yang menunjukkan bahwa reformasi masyarakat Islam berada dalam tanggungjawab setiap Muslim. Dan setiap orang harus mengerahkan seluruh potensinya untuk menyelamatkan ajaran Islam ketika diselewengkan oleh penguasa lalim seperti Bani Umayah. Inilah rahasia penting keabadian Asyura.

(IRIB/Astan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Imam Husein, Simbol Keberanian dan Pengorbanan

Imam Husein as

Pada 3 Sya'ban tahun keempat Hijriah, rumah Ali as dan Fatimah as diterangi cahaya dan hati Rasulullah Saw diliputi kegembiraan dan kesenangan. Pada hari itu, Husein bin Ali as dilahirkan ke dunia untuk melanjutkan jalan yang sudah dirintis oleh kakeknya.

Sebuah hadis Qudsi berkata, "Ketika Husein lahir, Allah berfirman kepada Rasulullah, 'Selamat atas kelahiran di mana shalawat dan rahmat-Ku menyertainya, selamat atas engkau dan seluruh kaum Muslim karena hari besar ini, hari ketika Husein dilahirkan dan ia membawa bersamanya kebebasan, kecintaan, dan pengorbanan.'"

Hari ini, para pecinta Ahlul Bait as di seluruh dunia bersuka cita atas kelahiran Husein as, karena mereka memperoleh pelajaran berharga dari kehidupan, pemikiran, dan kebangkitannya; sebuah kehidupan yang sarat dengan makrifat dan kesempurnaan.

Nilai hakiki setiap insan bergantung pada ilmu pengetahuan, kesempurnaan, keutamaan, dan sifat-sifat moral. Manusia memiliki perbedaan satu sama lain dari segi fisik, tapi perbedaan ini tidak membuat mereka lebih utama dari yang lain. Hal yang membuat mereka istimewa adalah ilmu, keutamaan, dan akhlak mulia, dan Husein as memiliki semua sifat ini secara utuh.

Imam Husein adalah salah satu insan teladan dalam sejarah umat manusia. Pengorbanan luar biasa, ketahanan, tawakkal, tekad yang kuat, kesabaran, dan keberaniannya di Karbala, hanya memperlihatkan sebagian dari kepribadian mulia Husein dan sifat-sifat ini membuat semua hati bergerak ke arahnya.

Faktanya, sifat berani dan tangguh tidak akan muncul pada setiap individu, kecuali ia juga menyandang sifat-sifat moral lainnya secara utuh. Sosok seperti ini harus memiliki kesempurnaan iman, makrifat, keyakinan, dan tawakkal sehingga dapat menjadi salah satu dari menifestasi kebesaran Tuhan.

Banyak tokoh besar telah lahir dari rahim sejarah dan masing-masing dari ketokohan mereka dikenal karena keberanian, kepahlawanan, kezuhudan, pemaaf, dan siap berkorban. Akan tetapi, kebesaran dan keutamaan kemanusiaan yang dimiliki oleh Imam Husein as benar-benar sulit ditemukan padanannya dalam sejarah.

Setelah Imam Husein as gugur syahid, Bani Umayyah melaknat Husein dan ayahnya, Imam Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar selama 60 tahun atas tuduhan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Meski demikian, tidak satu orang pun dari penguasa mampu merusak nama harum mereka sebagai teladan ketakwaan dan kemuliaan.

Mengenai kepribadian luhur Imam Husein as, seorang ulama Sunni Lebanon, Syeikh Abdullah al-'Alayili berkata, "Apa yang ada dalam riwayat dan sejarah Husein di tangan kami, kami menemukan bahwa Husein memiliki kesempurnaan takwa yang diteladani dari kakeknya dan ia adalah teladan sempurna dari sosok Rasulullah dari segala sisi. Dalam jihad, ia mengayunkan pedang dengan penuh pengorbanan dan tidak ada pekerjaan yang mencegahnya untuk melakukan tugas lain."

Bagi para reformis dan pemuka agama, yakin akan tujuan merupakan faktor penentu untuk mencapai kemajuan. Pemimpin yang yakin akan tujuannya akan melangkah dengan optimis untuk meraih tujuan, ia tidak akan goyah dan keyakinan ini membuatnya kuat. Seperti yang disinggung dalam surat al-Anfal ayat 2, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal."

Rasulullah Saw – dengan keimanan dan keyakinan yang kuat – baik ketika menang atau pun ketika kalah secara lahiriyah, dengan penuh optimis dan yakin memajukan agenda-agendanya untuk meraih tujuan. Imam Husein as juga sama seperti kakeknya, dalam hal keimanan kepada tujuan dari kebangkitannya. Imam menilai satu-satunya cara untuk menyelamatkan Islam dan masyarakat Muslim adalah melawan skenario jahat Bani Umayyah dan tidak berbaiat dengan Yazid bin Mu'awiyah.

Oleh karena itu, Imam Husein as secara jujur dan tegas mengumumkan penentangannya terhadap kepemimpinan Yazid. Beliau tidak hanya mempelajari pelajaran iman dan keteguhan dalam agama dari kakek dan ayahnya, tapi dengan memikul beban ujian duniawi, telah mengantarkan dirinya ke puncak ifran dan makrifat Ilahi. Ia laksana gunung yang menjulang tinggi, kokoh dan tidak pernah goyah.

Imam Husein telah mencapai sebuah tahapan dari irfan dan makrifatullah sehingga peristiwa segetir apapun akan tampak indah di matanya. Menariknya, Sayidah Zainab as (saudari Imam Husein) juga menyaksikan keindahan yang sama. Ketika Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad berkata kepadanya, "Lihatlah bagaimana perlakuan Tuhan terhadap saudaramu." Zainab menjawab, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali keindahan."

Di mata Ahlul Bait, peristiwa Karbala meskipun perbuatan keji tentara Bani Umayyah, tetap terlihat indah karena kebesaran dan puncak kesabaran yang diperlihatkan oleh Imam Husein dalam menghadapi ujian.

Keberanian adalah salah satu sifat mulia kemanusiaan. Sebuah bangsa yang orang-orangnya tidak memiliki keberanian mental dan moral, maka dengan mudah akan ditaklukkan oleh musuh. Bahkan, kelangsungan hidup suatu negara, martabat dan wibawanya bergantung pada tingkat keberanian yang dimiliki oleh rakyatnya.

Seorang ulama besar Sunni, Ibn Abi al-Hadid ketika berbicara tentang keberanian Imam Husein as, menuturkan bahwa dalam hal keberanian, siapa sosok lain yang sama seperti Husein bin Ali as di Padang Karbala. Kami tidak menemukan seseorang di mana masyarakat telah menyerbunya dan ia telah terpisah dengan saudara, keluarga, dan sahabatnya, tetapi dengan keberanian bak singa, ia mematahkan pasukan berkuda. Apa yang anda pikirkan tentang sosok yang tidak tunduk pada kehinaan dan tidak berbaiat kepada mereka hingga gugur syahid.

Percaya diri adalah salah satu sifat utama manusia sukses. Para pemuka agama, semuanya telah mencapai puncak dari karakteristik ini, dan Imam Husein as sebagai pencetus Revolusi Asyura, memiliki karakteristik ini dalam bentuk yang sempurna. Kepercayaan dirinya sedemikian rupa sehingga kondisi apapun tidak merusak keputusan dan tekadnya, tetapi justru membuat Imam lebih tegas dalam mencapai tujuannya.

Di hari Asyura, Imam Husein as – saat kematian sudah di depan mata – tetap tidak gentar dan ia berdiri tegak di hadapan pasukan Umar ibn Sa'ad dan menyampaikan pesan kepada mereka. Beliau berkata, "Tidak, aku bersumpah demi Tuhan, aku tidak akan tunduk pada kehinaan dan tidak akan lari seperti para budak." Imam begitu teguh dalam membela tujuan dan keyakinannya, dan bahkan kondisi apapun tidak menghalangi dia untuk mencapai tujuannya.

Kedermawanan dan kemurahan hati Imam Husein as telah menjadi sebuah pepatah. Banyak ulama mengungkapkan fakta ini bahwa tidak ada yang bisa menandingi Imam Hasan dan Husein dalam kedermawanan dan kemurahan hati.

Dikisahkan bahwa suatu hari, Imam Husein as sedang shalat di rumahnya, seorang Arab Badui yang terjerat kemiskinan, tiba di kota Madinah dan mendatangi rumah beliau. Ia mengetuk pintu rumah sambil berkata, "Hari ini seseorang yang berharap kepadamu dan mengetuk pintu rumahmu, tidak akan berputus asa. Engkau adalah orang dermawan dan tambang kedermawanan. Wahai orang yang ayahnya adalah penghancur kezaliman!"

Imam Husein as mempersingkat shalatnya agar dapat memenuhi apa yang diinginkan orang itu. Ketika selesai shalat dan keluar melihat orang tersebut, Imam langsung memahami orang itu tidak punya apa-apa dan sangat miskin. Imam mendekatinya dan berkata, “Tetaplah di sini hingga aku kembali.”

Imam Husein as kemudian bertanya kepada pelayannya, “Berapa uang yang tersisa di tanganmu untuk pengeluaran sehari-hari kita?” Pelayan beliau menjawab, "Tinggal 200 dirham dan engkau telah berkata agar uang ini dibagikan kepada para kerabat.” Imam Husein berkata, “Bawa uang itu kepadaku! Karena ada seseorang di depan pintu yang lebih membutuhkannya.”

Pelayan kemudian pergi dan kembali ke hadapan Imam sambil membawa uang tersebut. Setelah menerimanya, Imam Husein as pergi ke depan pintu dan memberikan uang itu kepada orang miskin yang berdiri di sana. Imam berkata, “Ambillah uang ini dan terimalah permintaan maafku. Aku tidak punya uang lebih dari ini untuk diberikan kepadamu.”

Orang miskin itu menerima uang tersebut dan pergi dari rumah Imam. Ia tampak begitu gembira.

(Parstoday/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Setiap Hari Adalah Asyura, Setiap Tempat Adalah Karbala

Setiap hari adalah Asyura dan setiap tempat adalah Karbala.

Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengingatkan bahwa pesan Karbala yang abadi dan selalu relevan adalah membela keadilan.

“14 abad telah berlalu sejak Karbala menyaksikan kesyahidan heroik Imam Husein as dalam perlawanannya yang tak seimbang melawan kezaliman," tulis Zarif via akun Twitter-nya pada hari Rabu (19/9/2018) seperti dikutip IRNA.

"Pengorbanan Husein as membawa pesan yang abadi dan selalu relevan; membela keadilan akan menghasilkan kemenangan. Setiap hari adalah Asyura dan setiap tempat adalah Karbala,” tambahnya.

Muḥarram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Ia adalah salah satu dari empat bulan haram. Hari ke-10 Muharram dikenal sebagai Hari Asyura, di mana cucu Rasulullah Saw gugur syahid di Padang Karbala.

Muslim Syiah mengenang hari itu dengan duka cita dan Muslim Sunni memilih berpuasa pada Hari Asyura. Muslim Syiah meratapi kesyahidan Imam Hussein dan para sahabatnya serta mengenang pengorbanan para syuhada dengan menggelar majlis duka dan berdoa.


(IRNA/Parstoday/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sabda Rasulullah Saw Tentang Al Husain as


Rasulullah Saw bersabda: 
"Sesungguhnya dalam peristiwa terbunuhnya al-Husein (As) itu, tersimpan suatu bara yang tidak akan pernah padam di hati semua kaum Mukminin selama-lamanya”. (Jami Ahadis al-Syiah, jild. 12, hlm. 556).

(IQNA/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Imam Husein Simbol Perdamaian dan Anti Kekerasan


Peristiwa Asyura merupakan salah satu di antara berbagai peristiwa besar yang mampu mengubah perjalanan sejarah dan mengandung pelbagai pelajaran penting yang berguna bagi manusia. Upaya untuk membahas dan memahami berbagai aspek penting kejadian besar dan tragedi agung ini telah banyak dilakukan sejak awal terjadinya peristiwa tersebut hingga sekarang.

Meski banyak aspek peristiwa kebangkitan Asyura telah mendapatkan perhatian dari para peneliti selama 13 abad lebih, namun tidak seorang pemikir pun yang berani mengaku telah berhasil meliput seluruh aspek dan dimensi gerakan pembaruan teragung sepanjang sejarah yang dipimpin oleh Imam Husein as ini.

Di antara aspek penting dari peristiwa kebangkitan Asyura yang kurang disinggung dan dipelajari adalah aspek damai dan sikap ‘anti-kekerasan’ yang menjadi ciri menonjol dalam kebangkitan ini.

Imam Husein as telah berhasil memperagakan sikap anti-kekerasan melalui gerakan pembaruan yang beliau mulai dengan perjalanan damai dari kota Madinah hingga Karbala. Beliau berusaha menegakkan pilar-pilar perdamaian, maaf, kasih sayang, anti-kekerasan dan cinta kepada sesama di tengah masyarakat yang telah terjauhkan dari nilai-nilai agama dan telah mengalami kejatuhan di dalam jurang kesesatan, kebodohan, pembunuhan, penistaan dan kekerasan.

Al-Husein menampilkan makna perdamaian dan memperagakan nilai-nilai agama dan kemanusiaan dalam kebangkitan Asyura. Oleh sebab itu, kebangkitan Asyura adalah perguruan besar yang mengajarkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan tersebut, di antaranya sikap damai dan anti-kekerasan.

Selama kebangkitan Asyura, Imam Husein as menggunakan semua cara dan metode untuk menghindari peperangan, menjauhi konflik dan pertempuran, namun Bani Umayah enggan melakukan sesuatu selain kekerasan terhadap beliau dan keluarganya.

Di hari Asyura, ketika seluruh anggota Ahlulbait dan sahabat al-Husein as telah gugur sebagai syuhada, Imam Husein as tetap konsisten dalam berupaya mencegah dan menghentikan pertumpahan darah dan berusaha menyadarkan musuh-musuhnya atas kesalahan pilihan mereka.

Diriwayatkan bahwa setelah menyampaikan pesan terakhir dan pamit kepada anggota keluarga wanita dan anak-anak di kemahnya, al-Husein as menuju ke arah barisan musuh dan menyerukan, “Celaka kalian! Apakah kalian membunuhku lantaran sebuah tradisi baik (sunah) yang aku ganti, syariat yang aku ubah, kejahatan yang aku lakukan ataukah kewajiban yang aku tinggalkan?”

Di antara musuh-musuhnya ada menjawab, “Kami membunuhmu karena kebencian terhadap ayahmu.”

Mendengar jawaban musuh, al-Husein as menangis, beliau merasa iba terhadap kaum yang memilih jahanam bagi diri mereka sendiri dengan membenci Imam Ali bin Abi Thalib as.

Dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, al-Husein as ingin membangkitkan nurani musuh-musuhnya dan mengingatkan mereka tentang perlunya bertindak berdasarkan syariat atau akli, khususnya ketika permasalahannya berhubungan dengan pembunuhan dan penumpahan darah seseorang seperti dirinya yang dikenal paling peduli dengan isu penegakan hak dan pemeliharaan sunah Nabi dan syariat agama.

Di samping itu, al-Husein juga memperlakukan musuh-musuhnya secara manusiawi dan kebangkitan beliau sarat dengan kasih sayang kepada para pendukungnya dan pemberian maaf serta kemurahan hati kepada mereka yang memusuhinya.

Berikut adalah beberapa contoh dari sikap dan perilaku al-Husein as terhadap musuh-musuhnya.

Setelah Muslim bin ‘Aqil dan Hani’ bin Urwah terbunuh, Ibnu Ziyad, gubernur Kufah kala itu, mempersiapkan 1000 pengendara kuda dan menyerahkan komando pasukan tersebut kepada al-Hurr ar-Riyahi. Ibnu Ziyad memerintahkan secara tegas kepada sang komandan untuk menghalangi kepulangan al-Husein ke kota Madinah atau memaksanya menyerahkan diri kepada kekuasaan di Kufah.

Pasukan al-Hurr ini sampai di tujuan dalam keadaan lemah karena dahaga akibat terik matahari sepanjang perjalanan. Melihat keadaan musuh-musuhnya, al-Husein memerintahkan sahabat-sahabat beliau untuk memberikan minum kepada seluruh anggota pasukan al-Hurr berikut kuda tunggangan mereka. Di antara personel pasukan terdapat seorang bernama Ali bin Tha’an al-Muharibi yang tidak mampu minum sendiri saking dahaganya. Saat itu al-Husein as bangkit untuk membantu al-Muharibi minum dan menghilangkan rasa dahaganya.

Dengan memerintahkan dan memberi minum musuh-musuhnya yang datang untuk menawan atau membunuh dirinya, al-Husein as telah membuktikan kebenaran sabda kakeknya yang diutus sebagai bentuk kasih sayang kepada segenap alam: “Husein dariku dan aku dari Husein.”

Imamah Imam Husein as merupakan wujud rahmat Allah sebagaimana Risalah Rasulullah merupakan wujud rahmat-Nya bagi alam semesta.

Dalam episode lain dari kisah kebangkitan al-Husein as diriwayatkan, bahwa di hari Asyura salah seorang komandan pasukan Umar bin Sa’ad dari Syam bernama Tamim bin Qahthabah mendekat ke arah Imam Husein as dan berkata, “Sampai kapan permusuhan ini, wahai putra Ali? Anak-anak, kerabat dan pendukungmu sudah mati terbunuh sementara engkau tetap menghunus pedang untuk memerangi pasukan terdiri dari dua puluh ribu orang?”

Al-Husein as menjawab, “Aku yang datang untuk memerangi kalian ataukah kalian yang datang untuk memerangiku? Aku yang menutup jalan kalian ataukah kalian yang menutup jalanku?”

Tamim bin Qahthabah bangkit dan hendak membunuh Imam Husein as namun Imam menahannya dengan pedang hingga dia jatuh terluka. Al-Husein tidak menghabisi nyawa musuhnya yang tergeletak lemah di hadapannya, bahkan beliau menawarkan bantuan kepadanya. Al-Husein bertanya, “Adakah yang dapat aku bantu?”

Sikap memaafkan dalam kondisi kuat adalah wujud dari sikap anti-kekerasan sebagai ciri dan cara yang digunakan oleh Imam Husein as dalam memimpin kebangkitannya.

Melalui cara berunding, nasihat dan berbagai perlakuan manusiawi, al-Husein as telah malaksanakan kewajiban syar’i dan menunaikan hak terhadap semua orang, termasuk terhadap musuh-musuhnya yang datang untuk membunuh dirinya.

Melalui kebangkitan Asyura, al-Husein berusaha mencerahkan dan memberikan petunjuk kepada semua orang ke arah kebenaran dan penolakan terhadap kekuasaan tagut dengan cara damai dan penuh kasih sayang. Namun jika semua upaya damai tersebut tidak menghasilkan, penyelesaian terakhir adalah sikap Islami berupa pembelaan terhadap kehormatan diri, keluarga dan sahabat sampai tetes darah yang terakhir sebagaimana kandungan puisi Imam Husein as di Hari Asyura:

Kematian lebih baik dari hidup menanggung kehinaan

Namun kehinaan lebih baik dari masuk neraka

Aku Husein putra Ali melindungi anggota keluarga ayahku

Aku telah bersumpah untuk tidak menyerahkan diri

Aku berjalan sesuai dengan agama Nabi

Disadur oleh Ustaz Zahir Yahya, MA dari buku al-La ‘Unf fi Nahdhah al-Imam al-Husein as, karya Mahmud Murad al-Hairi.

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Syair Kemerdekaan Habib Idrus bin Salim Al-Jufri


Tepat 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan negara kita dikumandangkan. Bangsa Indonesia meyakini bahwa kemerdekaan yang telah berhasil diraih adalah anugerah dari Allah SWT., di samping juga hasil dari buah perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan segenap jiwa dan raga.

Luapan kegembiraan pun menyeruak di seantero negeri tercinta saat itu. Ekspresi kegembiraan itu pun beragam bentuknya. Ada yang serentak meneriakkan takbir, ada yang menangis haru, dan lain sebagainya. Inti dari semua itu adalah rasa syukur yang besar kepada Dzat Pemberi Kemerdekaan ini yaitu Allah SWT.

Di antara ekspresi kegembiraan tersebut adalah terciptanya Syair Kemerdekaan Republik Indonesia yang ditulis oleh Habib Idrus bin Salim Al-Jufri atau yang dikenal pula dengan sebutan Guru Tua ketika merespon detik-detik proklamasi kemerdekaan RI, tanggal 17 Agustus 1945 sebagaimana di bawah ini.

Syair Kemerdekaan

راية العز رفرفي في سمآء * أرضها وجبالها خضرآء

Berkibarlah bendera kemuliaan di angkasa * daratan dan gunung-gunungnya hijau

إن يوم طلوعها يوم فخر * عظمته الأبآء والأبنآء

Sungguh hari kebangkitannya adalah hari kebanggaan * orang-orang tua dan anak-anak memuliakannya

كل عام يكون لليوم ذكرى * يظهر الشكر فيها والثنآء

Tiap tahun hari itu menjadi peringatan * muncul rasa syukur dan pujian-pujian padanya

كل أمة لها رمز عز * ورمز عزنا الحمراء والبيضآء

Tiap bangsa memiliki simbol kemuliaan * dan simbol kemuliaan kami adalah merah dan putih

يا سوكارنو حييت فينا سعيدا * بالدواء منك زال عنا الدآء

Wahai Sukarno! Engkau telah jadikan hidup kami bahagia * dengan obatmu telah hilang penyakit kami

أيها الرئيس المبارك فينا * عندك اليوم للورى الكميآء

Wahai Presiden yang penuh berkah untuk kami * engkau hari ini laksana kimia bagi masyarakat

باليراع وبالسياسة فقتم * ونصرتم بذا جائت الأنبآء

Dengan perantara pena dan politikmu kau unggul * telah datang berita engkau menang dengannya

لا تبالوا بأنفس وبنين * في سبيل الأوطان نعم الفدآء

Jangan hiraukan jiwa dan anak-anak * demi tanah air alangkah indahnya tebusan itu

خذ إلى الأمام للمعالي بأيدي * سبعين مليونا أنت والزعمآء

Gandengkan menuju ke depan untuk kemuliaan dengan tangan-tangan * tujuh puluh juta jiwa bersamamu dan para pemimpin

فستلقى من الرعايا قبولا * وسماعا لما تقوله الرؤسآء

Pasti engkau jumpai dari rakyat kepercayaan * dan kepatuhan pada apa yang diucapkan para pemimpin

واعمروا للبلاد حسا ومعنى * وبرهنوا للملا أنكم أكفآء

Makmurkan untuk Negara pembangunan materil dan spiritual * buktikan kepada masyarakat bahwa kamu mampu

أيد الله ملككم وكفاكم * كل شر تحوكه الأعدآء

Semoga Allah membantu kekuasaanmu dan mencegahmu * dari kejahatan yang direncanakan musuh-musuh seteru..

***

Syair Kemerdekaan Republik Indonesia ini menunjukkan betapa Habib Idrus sangat gembira dan bahagia dengan nikmat kemerdekaan ini.

Beliau menyebutkan bahwa hari kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sesuatu yang dirindukan oleh semua masyarakat Indonesia baik tua maupun muda, baik yang dewasa maupun anak-anak.

Hari Kemerdekaan ini, adalah hari bersejarah yang harus selalu diingat dan diperingati setiap tahun. Beliau pun menyebutkan Merah Putih adalah simbol kemuliaan bangsa. Sudah barang tentu artinya semua masyarakat Indonesia harus menghormatinya.

Tidak lupa beliau memuji dan berterima kasih kepada aktor dari kemerdekaan bangsa Indonesia ini, tidak lain adalah Bung Karno yang juga dijuluki Putra Fajar Sang Proklamator, dilanjutkan dengan doa semoga Bung Karno dapat membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju sejahtera rakyatnya.

Demikian gembira dan senangnya hati Habib Idrus atas kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia. Menunjukkan betapa dalamnya cinta beliau kepada Tanah Airnya, Indonesia.

Akankah kita semua sebagai generasi penerus bangsa ini, mau menjadikan bangsa yang kemerdekaannya diperjuangkan mati-matian oleh para pahlawan rela bercerai berai, berpecah belah, saling bermusuhan hanya karena intrik politik dan kepentingan sesaat dari segelintir orang dan sekelompok kecil golongan?

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Solawat Dibulan Ramadhan Memberatkan Timbangan


Solawat Dibulan Ramadhan Memberatkan Timbangan

Rasulullah saw bersabda,

في فَضائِلِ شَهرِ رَمَضانَ ـ: مَن أكثَرَ فيهِ مِنَ الصَّلاةِ عَلَيَّ ، ثَقَّلَ اللّه ُ ميزانَهُ يوَمَ تَخِفُّ المَوازينُ .

“Salah satu dari keutamaan bulan Ramadhan adalah barangsiapa yang memperbanyak shalawat kepadaku di bulan Ramadhan maka Allah akan memberatkan timbangannya di hari timbangan-timbangan (amal) menjadi ringan.”

(Uyun Al-Akhbar Ar-Ridho)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pahala Memberi Makanan Berbuka Puasa


Pahala Memberi Makanan Berbuka Puasa

Imam Ja’far As-Shodiq as berpesan,

: من فطَّر صائماً فله مثل أجره.

“Barangsiapa yang memberi buka seorang yang puasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala (orang yang berpuasa tersebut).

(Mizanul Hikmah)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Antara Surga dan Ali


Antara Surga dan Ali

Salman al farisi pernah ditanya,

“Jika engkau disuruh memilih antara Ali dan surga, manakah yang engkau pilih diantara keduanya?”

Ia menjawab : “Aku tidak membutuhkan surga yang di dalamnya tidak ada Ali.”

(Sofhah Rowai’ Imam Ali)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Pesan Imam Ali as Tentang Dunia


Pesan Imam Ali as Tentang Dunia

Imam Ali bin Abi tholib as berpesan,

“Waspadalah terhadap dunia, sesungguhnya pada halalnya terdapat hisab ( perhitungan)..

Pada haramnya terdapat siksa..

Awalnya adalah kelelahan..

Dan akhirnya adalah kebinasaan..

Yang sehat di dunia akan menjadi tua..

Yang sakit akan menyesal..

Yang berkecukupan tergoda..

Dan yang kekurangan bersedih..

Yang mencarinya akan luput darinya..

Dan yang menjauhinya akan datang padanya..

Orang yang mencintainya akan buta..

Dan orang menjadikannya pelajaran akan mendapatkan petunjuk..

Jika ia datang akan menipu..

Dan bila ia berpaling akan menyengsarakan.”

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Empat Pesan Imam Ali as di Akhir Hayatnya


Empat Pesan Imam Ali as di Akhir Hayatnya

Imam Hasan as meriwayatkan:

“Aku mengunjungi ayahku Amirul Mu’minin as saat beliau akan menghadapi kematian setelah ditikam oleh Ibnu Muljam. Aku sedih karena hal tersebut, lalu beliau berkata kepadaku:

“Apakah engkau sedih?”

Lalu aku menjawab:

“Bagaimana aku tidak sedih sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini?”

Lalu ayahku berkata :

“Maukah engkau aku ajarkan tentang empat perkara yang apabila engkau menjaganya engkau akan selamat, dan jika engkau menyia-nyiakannya engkau akan kehilangan dunia dan akherat?

Wahai anakku! Tidak ada kekayaan yang lebih besar dari akal, tidak ada kefakiran seperti kebodohan, tidak ada keasingan yang lebih dahsyat dari ‘ujub ( membanggakan diri) dan tidak ada kehidupan yang lebih menyenangkan dari akhlak yang baik.”

(Mizanul Hikmah)

(Khazanah-Ahlul-Bait/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Al-Quran Dalam Kehidupan Imam Ali Ridho as


Bulan Dzulqa’dah termasuk salah satu dari empat bulan-bulan haram yang disebutkan oleh Alquran pada ayat 36 Surah Attaubah.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنا عَشَرَ شَهْراً في‏ كِتابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ مِنْها أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.

Bulan haram memiliki keutamaan dibandingkan bulan-bulan yang lain, di antaranya; peperangan tidak boleh (haram) dilakukan di dalamnya dan juga amalan-amalan baik di bulan –bulan tersebut akan dilipat gandakan.

Jika kita membuka lembaran-lembaran sejarah terkait hal-hal yang terjadi di bulan Dzulqa’dah ini, tidak aneh jika kita mendengar sebagian ulama mazhab Ahlulbayt as menamai bulan Dzulqa’dah dengan bulannya Imam Ridha as. Sebagaimana ulama menamai / menyebut bulan haram yang lain; Muharam sebagai bulannya Imam Husain as. Karena peristiwa dahsyat yang menimpa Imam as di dalamnya.

Bulan Dzulqa’dah juga demikian; ada serentetan peristiwa dan momen penting Imam Ridha as terjadi di bulan ini. Di awal bulan ini merupakan hari lahir saudari beliau; Sayyidah Maksumah as yang dimakamkan di kota suci Qom. Imam Ridha as sendiri dilahirkan pada tanggal sebelasnya. Saudara beliau; Ahmad bin Musa Kadzim as dilahirkan pada pertengahan bulan ini serta di akhir bulan haram ini putra beliau Imam Muhammad Jawad as gugur syahid.

Dengan demikian begitu penting kajian sirah dan perjalanan hidup imam Ridha as yang menjadi “pemilik bulan Dzulqa’dah” dalam berbagai aspeknya untuk dijadikan suri tauladan. Tak terkecuali aspek perhatian dan kecintaan tanpa batas yang beliau berikan kepada kitab suci Alquran.

Kitab suci Alquran begitu agung dan bernilai sehingga untuk penafsiran dan penjelasannya dilakukan oleh Nabi akhir zaman. Dan setelah kepergian beliau tugas itu dilanjutkan oleh Ahlulbayt as yang merupakan padanan Alquran.

Imam Ridha as adalah salah satu mufasir sejati tersebut yang dalam kehidupan penuh berkah beliau mencurahkan perhatian yang luar biasa kepada kitab suci ini. Selain pemanfaatan pribadi, beliau juga memanfaatkannya pada sisi yang lain yang selanjutnya beliau tularkan kepada orang lain.

Kecintaan imam Ridha as kepada Alquran amatlah besar dalam rangka mengambil manfaat darinya sehingga waktu dan tempat, siang maupun malam bukanlah hambatan untuk bersama-sama dan mengkajinya. Beliau senantiasa mengakrabkan diri dengan kitab suci ini yang memang merupakan kitab pedoman hingga akhir zaman. Berikut ini bukti-bukti jelas tentang kecintaan maha dahsyat tersebut:


1. Setiap 3 hari mengkhatamkan Alquran

Abu Dzakwan dalam mensifati kecintaan luar biasa Imam Ridha as terhadap Alquran menuturkan: Beliau setiap 3 hari sekali mengkhatamkan Alquran, dan satu ketika beliau bersabda: Jika aku mau, aku bisa mengkhatamkan lebih cepat dari itu, tapi aku tidak menginginkannya. Karena aku tidak membaca satu ayat kecuali aku merenungkannya; berbicara tentang apa dan kapan turunnya ayat tersebut , karena sebab itulah aku mengkhatamkannya setiap 3 hari sekali.


2. Membaca Alquran di Tempat Tidur

Kecintaan imam Ridha as yang sangat besar terhadap Alquran, tidak hanya membuat beliau membacanya di siang hari saja, tapi juga di malam hari, bahkan menjelang tidur di tempat tidur sekalipun.

Raja’ bin Abi Dhahhak saat mengisahkan perjalanan imam Ridha as menyampaikan: Imam Ridha as ketika akan tidur di tempat tidurnya, beliau selalu membaca Alquran, ketika sampai di ayat yang berkaitan dengan neraka dan surga beliau menangis dan memohon kepada Allah agar dimasukkan ke surganya dan di lindungi dari api neraka.


3. Seribu khataman Qur’an

Syekh Thusi dalam kitab Amali meriwayatkan dari Ali bin Ali, putra saudara Di’bil Khuzai: Pada tahun 198 Hijriah saya bersama saudaraku Di’bil berada di sisi Imam Ridha as hingga awal-awal tahun 200 Hijriah. Kita bersama beliau dalam kurun waktu tersebut. Kemudian kami pamit untuk pergi ke kota suci Qom. Saat itu imam menghadiahkan saudaraku Di’bil sebuah baju berwarna hijau dan cincin akik serta tak lupa beberapa uang dirhampun yang bertuliskan nama beliau. Beliau bersabda: Wahai Di’bil pergilah ke Qom dan di sana kamu akan mendapatkan banyak keuntungan. Beliau juga berpesan, jagalah baik-baik baju itu karena dengan baju itu aku telah melakukan salat malam sebanyak seribu malam dan akupun telah mengkhatamkan Alquran dengan baju tersebut sebanyak seribu kali juga.


4. Membaca Surah-surah Berbeda-beda dalam Shalat

Imam Ridha as dalam shalat-shalat wajib maupun sunah, siang dan malamnya senantiasa membaca surah-surah beragam. Raja’ bin Dhahhak yang menemani Imam dari perjalanan beliau dari kota Madinah ke Marw dalam laporannya yang cukup terperinci mengatakan: Imam Ridha as saat waktu Dhuhur tiba beliau shalat sunah 6 rakaat; setelah membaca Alfatihah beliau membaca surah Alkafirun dan surah AlIkhlas. Di dua rakaat sebelum shalat Ja’far Thayyar beliau membaca surah Almulk dan Addahr. Sedangkan di shalat Witirnya beliau membaca surah Alfalaq dan Annas.

Di dalam shalat-shalat wajib setelah Alfatihah beliau membaca surah Alqadar. Di Dhuhur hari Jumat beliau membaca surah Jumu’ah dan Almunafiqun. Dan di shalat Isya’ di malam Jumat beliau membaca surah Al’ala dan shalat Subuh hari Senin dan Kamis di rakaat kedua beliau membaca Alghasyiah setelah surah Alfatihah.

Para Ahli hadis juga menukilkan kepada kita bahwa Imam dengan suara lirih atau keras membaca ungkapan-ungkapan tertentu setelah selesai dari bacaan surah-surah. Inilah beberapa di antara ungkapan imam yang disampaikan oleh Raja’; imam as dalam shalatnya di siang dan malam hari selalu mengeraskan bacaan Basmalah. Setelah surah Ikhlas beliau membaca ungkapan ini sebanyak 3 kali

کذلک الله ربّنا. 

Setelah selesai membaca surah Alkafirun beliau membaca ungkapan

ربی الله و دینی الاسلام 

dan ketika selesai membaca surah Attin beliau membaca

بلی و أنا علی ذلک من الشاهدین 

dan ketika selesai membaca surah Alqiyamah membaca

سبحانک اللهم بلی.


5. Alquran Sandaran Sabda-sabda Beliau

Imam Ridha as dalam semua aspek; keagamaan, keilmuan, teologi maupun fikih bersandar kepada kitab suci Alquran. segala ucapan beliau selalu berpatokan kepadanya. Abu Dzakwan menuturkan: Aku tidak pernah melihat dan mengalami Imam ditanya dan tak sanggup menjawabnya. Bahkan beliau tahu segala jawaban yang diberikan dan sungguh tidak ada orang yang lebih pintar dari beliau di masa itu. Makmun Abbasi dengan berbagai cara dan sarana menguji dan mengetes beliau, tapi beliau menjawabnya. Yang lebih dahsyatnya lagi semua jawaban itu berasal dari Alquran.

(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: