Sesudah Sayidah Fatimah binti Muhammad Rasulullah saw, di antara semua ibu, putri dan saudari kandung para imam Ahlulbait, siapakah wanita yang menyamai Zainab binti Ali Amirul mu`minin?
Bisa dikatakan bahwa keagungan Sayidah Zainab al-Kubra bukan dikarenakan ia adalah putri Imam Ali atau saudari Imam Husain. Tetapi dikarenakan gerakan insani dan islami dia berdasarkan taklif (tugas) ilahiah, yang diembannya.
Gerak langkah, ketegaran dan keteguhan hatinya lah yang membawa keagungan bagi dirinya. Siapapun yang berlaku demikian, kendati bukan putri Ali bin Abi Thalib, akan mencapai keagungan dalam Islam.
Keagungan Sayidah Zainab didasari oleh:
Pertama, pengetahuan posisi pada saat sebelum, ketika dan sesudah Imam Husain di Karbala.
Kedua, pilihan dia atas pengetahuan itu bagi masing-masing posisi tersebut, membentuk pribadi agung Zainab al-Kubra.
Uraian ringkasnya mengenai tiga posisi tersebut:
1. Sejarah menunjukkan bahwa para pemuka di masa itu sebelum keberangkatan Imam Husain ke Karbala, sebut saja Ibnu Abbas dan lainnya yang dikenal dengan kefakihan, kebesaran dan sebagainya, tak tahu apa yang harus diperbuat (atau mereka memilih aman, tidak ikut-ikutan dalam kebangkitan al-Husain). Sedangkan Sayidah Zainab mengetahui –tanpa keraguan- jalan yang harus ditempuh, dan pilihannya ialah takkan meninggalkan imamnya sendirian.
Selain lebih peka, ia sadar bahwa itu jalan yang sulit. Kosekuensinya ialah harus berpisah dari suami dan keluarganya, demi tugas yang agung itu. Ia pun membawa serta anak-anak kecil -yang harus ia jaga- bersamanya. Termasuk dua putranya; ‘Aun dan Muhammad, yang kemudian syahid membela Imam Husain.
Apa yang akan terjadi, Sayidah Zainab tak hanya siap menanggung resiko yang besar. Tetapi juga mengerti apa yang harus dia perbuat pada saat kekacauan terjadi yang orang lain tak tahu apa yang harus diperbuat. Ia siap mati dalam membela imamnya.
2. Dunia menjadi kelam setelah Imam Husain terbunuh. Alam, hati dan jiwa orang-orang menjadi gelap. Namun wanita agung ini justru terbit sebagai cahaya yang terang. Ia mencapai kedudukan yang hanya bisa dicapai oleh manusia-manusia besar seperti para nabi.
Pada hakikatnya, tiada Karbala tanpa Zainab, dan Asyura takkan mengekal tanpa dia. Betapa wanita pribadi agung ini menonjol dan unggul dalam peristiwa akbar itu dari awal sampai akhir dalam sejarah. Bisa dikatakan, Sayidah Zainab adalah “Husain” kedua dalam bingkai seorang wanita putri Imam Ali. Salah satu peran pentingnya, ialah bahwa andai ia tak hadir (atau tak tahu apa yang harus diperbuat), mungkin setelah peristiwa Asyura Imam Ali Zainul Abidin terbunuh. Selain itu, pesan Imam Husain pun tak sampai.
3. Imam Husain sebelum kesyahidannya, Sayidah Zainab menjadi tempat curahan hati beliau. Kehadirannya menemani al-Husain dalam kesepian dan keterasingan. Peran ini terlihat jelas pada diri Sayidah Zainab melalui kalimat-kalimat dan tindakan-tindakannya.
Keguncangan Batin Ditaklukkan Zainab
Grand Ayatollah Khamenei menyebutkan dua kali Sayidah Zainab tampak terguncang batinnya, yang dia ungkapkan kepada Imam Husain:
Yang pertama, ketika mendengar kabar kesyahidan Muslim bin Aqil, dan Imam Husain menceritakan apa yang terjadi pada Muslim, kepadanya. Namun kelembutan perasaan seorang wanita terhadap keluarganya dan ketegaran atau keperkasaan jiwa terhadap segala musibah, menyatu dalam diri Sayidah Zainab.
Di tengah perjalanan saat singgah di satu tempat, Zainab berkata kepada Imam Husain: “Kakakku, aku merasa dalam bahaya..” Ia mengetahui masalah yang akan dihadapinya; kesyahidan dan menjadi tawanan. Namun ia mampu menundukkan masalah itu. Apa yang Imam katakan kepadanya?
“Apapun yang Allah kehendaki akan terjadi”, ucap beliau singkat.
Yang kedua, di malam Asyura ia juga yang merawat dan mendampingi keponakannya, Ali bin Husain as-Sajjad, yang terbaring di dalam kemah karena sakit keras. Malam itu, Ali as-Sajjad mendengar ayahnya melantunkan syair yang mengisyaratkan bahwa waktu perpisahan dan ajal Imam Husain sudah dekat. Ia berkata: “Tiba-tiba aku melihat bibi Zainab sedih sekali dan bangkit menuju kemah al-Husain. Lalu berkata kepadanya, “Engkau mengabarkan kematianmu! Ketika ayah pergi, masih ada saudara-saudara kami. Ketika Imam Hasan syahid, ada engkau bagiku. Dalam sekian lama kami merasa tenang denganmu. Kini aku merasa engkau pun akan pergi..”
Keadaan Zainab begitu sulit dan luar biasa beratnya, sampai pada hari Asyura ketika semua yang laki telah syahid, dan tak ada seorang laki pun di dalam semua kemah, kecuali Imam Sajjad. Di dalam kemah delapan puluh lebih wanita terkepung di tengah lautan musuh. Mereka menjerit haus dan lapar serta dalam ketakutan. Di saat kondisi yang sangat-sangat mencekam itu, seseorang harus menghimpun mereka yang dalam kekacauan. Dia lah Zainab binti Ali bin Abi Thalib.
Referensi:
Insan 250 Saleh/Imam Khamebei.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar