Imam Hasan dan Imam Husain
Saat Rasulullah saw memandang Imam Hasan, beliau bersabda:
انّ إبنی هذا سیّدٌ یصلح اللّه به بین فئتین عظیمتین
Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin yang dengnya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar.
Ibn Katsir dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah menyampaikan laporan sejarah bahwa Imam Hasan hendak memenjara (menahan) Imam Husain karena penentangannya yang keras terkait perdamaian dengan Muawiyah.
فقال له أخوه والله لقد هممت أن أسجنك فى بيت وأطبق عليك بابه حتى أفرغ من هذا الشأن ثم أخرجك فلما رأى الحسين ذلك سكت
Saudaranya (Imam Hasan) berkata kepadanya, demi Allah, saya hendak memenjaramu di suatu rumah (tahanan rumah) dan mengunci pintunya (sehingga kamu tidak bisa keluar) supaya aku bisa menyelesaikan urusan ini (perdamaian dengan Muawiyah). Kemudian setelah itu, aku akan mengeluarkanmu. Dan takkala al-Husain mengetahui yang demikin ini, ia terdiam.
Sebagian berpendapat bahwa tabiat dan karakter Sayidina Hasan itu cenderung lembut, dingin, dan damai, sedangkan Imam Husain sebaliknya, cenderung keras, panas, emosional (meledak-ledak). Sehingga Imam Hasan lebih mengedepankan perdamaian, sedangkan Imam Husain lebih memilih peperangan.
Untuk menjawab syubhah (kesimpangsiuran pemikiran) di atas, kami sampaikan pendapat Ustad Murtadha Muthahari dan kemudian kami tambahkan beberapa catatan di bagian akhir.
Allamah Murtadha Muthahari memberikan penjelasan seperti ini terkait perbedaan sikap antara Imam Hasan dan Imam Husain (Imam Hasan memilih berdamain dengan Muawiyah, sedangkan Imam Husain mengedepankan perang dengan anaknya, Yazid):
Husain bin Ali syahid secara mulia bersama tujuh puluh dua (72) orang sahabat-sahabatnya dalam kondisi dan syarat tertentu dan dengan kesyahidannya,Islam tetap terjaga hingga hari ini. Sedangkan dalam zaman Imam Hasan, kondisi para pengikut ahlulbait dalam keadaan lemah dan lesu sehingga mereka tidak berdaya dalam membela Imam Hasan. Masyarakat kala itu belum banyak yang sadar tentang bagaimana kondisi sesungguhnya pemerintahan Bani Umayyah dan setelah peristiwa Karbala kesadaran ini timbul sehingga terdapat kaum Tawwabin (orang-orang yang bertaubat) yang dipimpin oleh Mukthtar yang menuntut balas pembunuhan Imam Husain.
Salah satu masalah yang mendukung kebangkitan Imam Husain adalah kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap hakikat pemerintahan Bani Umayyah. Di samping itu, kondisi Yazid dan Muawiyah berbeda. Muawiyah tidak menunjukkan kekurangan/kesalahannya di depan publik dan menjaga penampilan lahiriah, sedangkan Yazid nyata-nyata mendemontrasikan kekufuran. Yazid seorang pemuda “gila” yang tidak mempedulikan status sosialnya. Padahal banyak orang yang menilainya sebagai khalifah Rasulullah saw. Yazid sering mabuk di depan umum dan mencela Nabi saw di depan banyak orang. Tentu bila saja Imam Husain tidak melawan di Karbala dan Yazid tidak jatuh secara cepat dan bertahan dalam kekuasaannya selama duapuluh tahun (20)—sebagaimana ayahnya,Muawiyah—maka dapat dipastikan Islam akan punah. Jadi, kondisi zaman (antara Imam Hasan dan Imam Husain sangat jauh berbeda). Kesimpulannya, Imam Hasan menjalankan program Imam Husain dan sebaliknya Imam Husain juga begitu, namun caranya saja berbeda tetapi spirit/semangat keduanya sama saja.
Untuk melengkapi keterangan Ustad Muthahari tersebut,perlu kami tambahkan beberapa catatan di bawah ini:
1. Laporan sejarah (seperti penentangan Imam Husain terkait dengan perdamaian Imam Hasan dan juga beberapa sikap yang lain yang bertentangan dengan saudara Imam Hasan) harus dilihat sebagai sebuah berita yang benar dan salahnya dalam posisi sama. Artinya, mungkin dusta, mungkin juga benar. Sehingga tidak bisa langsung kita telan mentah-mentah alias kita percaya begitu saja, kecuali bila laporan sejarah itu disampaikan secara mutawatir (banyak sekali yang melaporkan dengan pelbagai redaksi dan tersebut dalam pelbagai kitab yang muktabar).
2. Imam Hasan dan Imam Husain minimal harus kita pandang sebagai sahabat plus. Maksudnya mereka berdua bukan sahabat biasa tapi sahabat sekaligus ahlul bait yang sikap mereka berada dalam bimbingan Ilahi dan mereka terjaga dari ar-rijs (dosa zahir dan batin) sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-Ahzab, ayat 33).
3. Dalam banyak hadis, Sayidina Hasan dan Sayidina Husain disebut dan dipuji oleh Nabi saw dengan panggilan Sayyida Syababi ahlil jannah (dua pemuda penghulu surga). Pertanyannnya, apakah dua pemuda penghulu surga punyak karakter yang kontras menyangkut kepentingan umat Islam; yang satu memilih berdamai dan yang satu lebih senang perang; yang satu cenderung rasional dan yang lain emosional?
4. Sayidina Hasan dan Sayidina Husain dididik oleh manusia-manusia besar, yaitu: Rasulullah saw, Sayidina Ali (pintu ilmu Rasulullah saw) dan Siti Fatimah. Apakah tidak cukup pendidikan tiga manusia hebat tersebut untuk membentuk watak yang hebat dan kepribadian yang “jempolan” sehingga keduanya tidak salah dalam menentukan taklif (tugas dan tanggung jawab) umat yang dipimpinnya? Dan apakah hasil pendidikan yang mereka dapatkan tidak mampu mengantarkan mereka pada jenjang ketakwaan (waman yattaqillah yajhal lahu furqanan) , yaitu memiliki furqan (mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil)? Sehingga tidak ada yang salah dengan perdamaian Sayidina Hasan dengan Muawiyah sebagaimana tidak ada yang salah dengan peperangan Sayidina Husain terhadap Yazid putra Muawiyah.
5. Laporan sejarah yang terpercaya membuktikan bahwa setelah syahidnya Imam Hasan,ImamHusain tidak langsung angkat senjata dan bersabar selama 11 tahun dan menjalankan ketentuan dan poin perdamaian yang ditandatangani antara saudaranya Sayidina Hasan dan Muawiyah.
Referensi:
1. Murtadha Muthahari, Islam wa Niyozhoye Zaman,jilid 1, hal. 132-138.
2. Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 8,hal.24
3. Ibn Atsir, Asad al-Ghabah, jilid 2, hal. 20.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar