Ziyârah arti kebahasaannya adalah qashd; bermaksud dan menuju, dan mazâr (sebagai mashdar/asal kata) adalah tempat ziarah. Ziarah secara urf (tradisi yang sah) ialah menuju yang diziarahi dalam memuliakan dia dan bercengkrama dengannya.
Hubungan atau keterikatan seseorang dengan para pendahulunya, kerabat dan sahabat dekatnya adalah hal yang tak perlu ditanyakan. Ketika dari mereka terpisah dalam masa tertentu, timbul dalam dirinya rasa rindu untuk mengunjungi mereka. Ingin hadir di sisi mereka dan dekat dengan mereka. Dalam hal ini, Allah swt menyuruh kita agar menyambung tali kekeluargaan (silaturahim), dan melarang memutusnya.
Ketika mereka meninggal dunia dan telah dikebumikan, yang hidup tidak rela tali itu terputus oleh kematian, dan terdorong untuk mengunjungi dan menziarahi kubur mereka. Oleh karena itu, terlihat sebagian orang membangun dan merawat pusara. Hal ini adalah mengikuti kecenderungan alami (fithri) dalam diri manusia, dan Islam adalah agama yang tidak kontra dengan tuntutan fitrah. Bahkan ia menetapkan hukum-hukumnya sesuai tuntutan fitrah, yang tak berubah dengan perubahan zaman.
Allah swt berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنيفاً فِطْرَةَ اللهِ الَّتي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْها لا تَبْديلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَ لكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS: ar-Rum 30)
Fatwa Ayatullah Sayed Sistani tentang Ziarah
Ziarah merupakan amal yang menyangkut berbagai masalah, dan jelas tiap masalahnya tak lepas dari hukum syari. Untuk itu, adalah tugas fuqaha menyampaikan pandangan atau fatwa terkait yang sebagiannya mereka tuangkan di dalam risalah amaliyah atau istifita`at mereka.
Berikut adalah beberapa masalah terkait ziarah dan hukum-hukumnya:
1. Di dalam ziarah-ziarah tertentu seperti ziarah mabats (hari pengutusan Nabi saw), ziarah arbain (empatpuluh hari pasca Asyura- kesyahidan Imam Husain as), ziarah Nisfu Syaban dan lainnya, bolehkah kita mengadakan perjalanan ziarah?
Jawabannya, boleh. Bahkan amalan ini termasuk ketaatan (kepada Allah dan Rasul-Nya); hukumnya disunnahkan.
Diterangkan, juga boleh bepergian untuk menziarahi selain para imam suci as, yaitu anak-anak mereka, saudara-saudara dan para sahabat mereka di makam-makam yang tersebar di berbagai kota.
2. Sebaliknya terlontar soal: apa hukum tidak pergi menziarahi para imam!? Ziarah ini disunnahkan -secara ditekankan (sunnah mu`akkadah). Jika meninggalkannya lantaran tidak menyukai mereka, adalah kemaksiatan.
3. Perempuan pergi berziarah di makam-makam suci, sendiri tanpa ditemani suami atau seorang dari keluarganya yang muhrim, yang perlu diperhatikan ialah menjamin dirinya tidak jatuh dalam keharaman. Jika bersuami, maka harus seizinnya. Lalu, adakah batasan kewajiban izin pergi kepada suaminya? Jika suami melarang dia berziarah, berhakkah dia pergi tanpa seizinnya?
Jawabannya, tidak berhak tanpa restu suami, walaupun perginya untuk berziarah.
Kalau kedua orangtuanya atau seorang dari keduanya masih hidup, terganggu oleh rasa khawatir suatu bahaya bisa menimpa dirinya, dalam hal ini tidak boleh ia menentang orangtuanya.
Jika dia perempuan yang ditalak atau janda, boleh pergi ziarah tanpa izin putranya atau saudara lakinya.
4. Manakah yang afdhal, mengeluarkan uang untuk bisa pergi ziarah mashumin atau naik haji, atau membantu fuqara?
Membantu kaum mu`min yang membutuhkan lebih utama dari haji yang sunnah dan ziarah makam suci. Lain halnya jika haji dan ziarah ini disertai perkara lain yang tingkat keutamaannya menyamai atau melebihi- dua perkara ini, seperti tablig menyampaikan agama kepada orang-orang, mengajari mereka akidah yang benar, menjawab soal-soal terkait mazhab Ahlulbait as, dan perkara-perkara lainnya yang wajib kifayah.
5. Sebagian orang terlihat melaksanakan shalat menghadap (kiblat, yang di depannya adalah) makam imam suci, atau mereka sujud di pintu makam!?
Tidak diperkenankan sujud melainkan kepada Allah swt. Lain halnya itu merupakan sujud syukur kepada Allah atas karunia dan taufik-Nya dapat menziarahi imam suci, dalam mengekspresikan ketundukan dan kerendahan diri sebagai hamba Allah swt. Menunduk di hadapan makam imam suci bukan dalam maksud ubudiyah, melainkan penghormatan dan ungkapan cinta serta ketaatan kepadanya. Namun pada saat itu hendaklah tidak meletakkan dahi seperti orang yang sujud.
Referensi:
Fiqh az-Zair/Ayatullah Sayed Ali Sistani
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar