Bagaimana agama jika ditunggangi untuk kepentingan politik dalam merampas demokrasi di Indonesia ini.
Sebuah brosur diduga buatan Front Pembela Islam (FPI) dan NKRI Bersyariah beserta kroco-kroconya beredar di media sosial. Isi brosur berupa seruan jihad dengan pola yang disebutnya ala pakar dan konsultan Politik Eep Saifullah Fatah. Seruan jihad yang tampak ngawur karena diskriminatif terutama bagi bangsa Indonesia yang plural.
Isinya ada delapan poin. Diantaranya upaya penguatan posisi dan penguatan ekonomi umat Islam melalui energi perkumpulan. Selain itu, model gerakan jihad dalam kehidupan sehari-hari. Dan persis seperti yang kerap diserukan kelompok minhum, semuanya harus serba muslim.
Tentu saja pengandaian itu tampak terlihat diskriminatif bagi bangsa Indonesia yang plural dengan banyak agama. Jika diterapkan, jurang pemisah antara umat muslim dan non-muslim di Indonesia akan semakin lebar.
Dalam tayangan video, Eep menyebutkan bahwa masjid, khotib, ulama, ustad dan shalat Jum’at akan dia jadikan jaringan berpolitik untuk mengalahkan Ahok.
Apakah dengan cara seperti itu jugalah yang akan diulangi Eep untuk menjatuhkan Jokowi di Pilpres 2019 mendatang.
Pertanyaannya sekarang adalah, serendah itukah Tuhan, agama, pemuka agama dan rumah ibadah sampai harus diseret masuk dalam dunia politik? Profesi Eep memang konsultan politik. Eep menafkahi keluarganya dengan pekerjaan tersebut. Jelas Eep akan bekerja sebaik-baiknya untuk memenangkan klien politiknya. Semakin sering klien politiknya menang, hidup Eep dan keluarganya akan semakin makmur. Pertanyaannya adalah: halalkah mencari nafkah dengan cara yang demikian? Menangkan klien politikmu dengan gagah Pak Eep. Bantu klien politikmu merancang program-program kerja andalan. Bukannya menyerang lawan politikmu dengan merendahkan Tuhan, agama, pemuka agama dan rumah ibadah seperti ini.
Disisi lain adalah seorang cendekiawan Muslim bernama Azyumardi Azra. Dia mengimbau kepada setiap umat Muslim agar menjaga kesucian masjid. “Jangan masjid itu digunakan sebagai tempat mobilisasi politik partisan, politik kekuasaan, politik pilkada. Saya kira tak pada tempatnya itu. Saya kira itu menodai kesucian masjid.” Dia juga memperingatkan bahwa jika kampanye politik menggunakan agama terus berkelanjutan, Indonesia terancam mengalami nasib yang sama seperti negara-negara di Timur Tengah. “Sangat berbahaya. Bisa memecah belah, tapi juga eksplosif.”
Melihat Eep, Azyumardi Azra diatas, dua pribadi yang sama-sama beragama Islam ini, kira-kira siapakah yang lebih meneladan pada pribadi Tuhan yang adalah Suci, Agung, Mulia, Pengasih dan Penyayang?
Indonesia waspadalah. Jangan mau diadu domba dan dipengaruhi lagi oleh cara-cara menjijikkan seperti yang sudah dilakukan Eep. Pintarlah sedikit, tak perlu banyak-banyak. Mudah khan? Apalagi sudah ada contoh tragis di Jakarta sana. Makmur pejabatnya, tertipu warganya. Sejahtera pemimpinnya, merana rakyatnya.
Pilpres 2019 sudah di depan mata. Jangan biarkan Eep terus meracuni rakyat Indonesia dengan strategi politiknya yang merendahkan Tuhan, agama, pemuka agama dan rumah ibadah seperti yang sudah dia lakukan di Jakarta.
Kesalahpahaman tentang Makna Jihad
Kesalahpahaman tentang makna jihad itu diperparah juga melalui sekian banyak kitab, bahkan melalui terjemahan beberapa ayat al-Qur’an. Misalnya kata qitâl tidak jarang mereka pahami dalam arti pembunuhan, padahal kata itu bermakna peperangan/kutukan, sikap tegas yang tidak selalu mengakibatkan pembunuhan. Kata anfusikum diartikan sebagai jiwa/nyawa, padahal ia berarti seluruh totalitas manusia, yakni nyawa, atau fisik, ilmu, tenaga, pikiran, bahkan waktu karena semua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari totalitas manusia.
Para Radikalis itu memahami iman sebagai pembenaran hati atas apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. disertai dengan pengamalannya sehingga menurut mereka seseorang tidaklah dinilai beriman apabila tidak melaksanakan ajaran Islam secara baik dan benar. Mereka menilai bahwa kemusyrikan bukan sekadar keyakinan tentang berbilangnya Tuhan, tetapi juga yang mengakui keesaan-Nya tanpa mengamalkan syariat adalah seorang yang boleh dibunuh. Tulisan menyangkut ide di atas ditemukan, antara lain dalam buku yang tersebar di sekian banyak sekolah di Indonesia, termasuk Jawa Timur.
Mereka mengumandangkan bahwa “La hukma illâ lillâh”. Semua pemerintahan yang tidak menetapkan hukum berdasar ketentuan Allah adalah Thagût (melampaui batas ajaran Islam) dan dinilai kafir, lagi harus diperangi. Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Pemerintahannya pun mereka nilai Thagût/Tirani dan kafir. Mereka merujuk pada firman Allah: “Siapa yang tidak menetapkan sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir), QS. al-Mâ’idah (5): 44).
Kekeliruan mereka menurut para pakar di bidang al-Qur’an dan Sunnah adalah memahami kata kafir dalam arti sempit, padahal al-Qur’an menggunakan kata itu untuk berbagai makna, seperti “tidak bersyukur” (QS. Ibrâhîm [14]: 7) atau “berpecah belah” (QS. Âli ‘Imrân (3): 106). Memang kekufuran beraneka ragam dan bertingkat-tingkat sehingga pada akhirnya kekufuran dapat disimpulkan dalam arti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai/tujuan. Puncaknya adalah mengingkari wujud/Keesaan Allah, dan inilah yang menjadikan seseorang dinilai keluar dari agama, itu pun tidak serta merta harus dibunuh. WASPADALAH!!!.
(Salafy-News/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar