Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Deklarasi Balfour: Awal Dari Kejahatan Kolonialisme di Palestina

Deklarasi Balfour: Awal Dari Kejahatan Kolonialisme di Palestina

Written By Unknown on Rabu, 20 Desember 2017 | Desember 20, 2017


Sejarah penjajahan Israel di Palestina tidak lepas dari sebuah surat berisi 67 kata (dalam versi bahasa Inggris). Surat tersebut menegaskan peran Inggris dalam berdirinya negara Israel. Oktober silam, Menteri Luar Negeri Boris Johnson membanggakan peran Inggris dalam mendukung terbentuknya Israel dengan mendukung pendirian rumah bagi orang-orang Yahudi di Palestina pada 1917 silam.

Dukungan Inggris tersebut tertuang dalam sebuah pernyataan publik pada satu abad silam, tepatnya November 1917, yang ditandatangani oleh menlu saat itu, Arthur Balfour, dan kini dikenal dengan Deklarasi Balfour.

Kementerian Luar Negeri Inggris,

2 November 1917

Kepada Yth. Rothschild

Dengan rasa senang saya menyampaikan pada Anda, atas nama Pemerintah Kerajaan Inggris, deklarasi yang didasarkan pada simpati untuk aspirasi Zionis Yahudi ini telah diajukan dan disetujui oleh Kabinet Perang.

Pemerintah Kerajaan Inggris memandang positif pendirian tanah air nasional untuk orang-orang Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan usaha terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, sebab dipahami bahwa tidak ada yang dapat menghakimi hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak dan status politik yang dimiliki oleh Yahudi di negara lainnya.

Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia.
Salam,

Arthur James Balfour


Dibuat oleh Zionis, bukan Balfour (1917)

Deklarasi Balfour adalah sebuah surat yang berisi 67 kata antara dua orang Inggris berpengaruh untuk mengambil tanah Arab dari penduduk asli dan memberikannya kepada warga negara Yahudi Eropa. Pada tanggal 2 November 1917, Lord Balfour atas nama Pemerintahan Inggris berjanji kepada Lord Rothschild, seorang warga Inggris pemimpin komunitas Yahudi, bahwa Inggris akan mendukung “pembentukan di Palestina sebuah tanah air nasional untuk orang-orang Yahudi.”

Kalimat itu sendiri tidak hanya berjanji untuk mengambil alih negara orang lain (Palestina)—yang pada saat itu bagian dari kekuasaan negara lain (Kekhilafahan Utsmani)—tapi juga meresmikan konsep ahistoris tentang “orang-orang Yahudi”, seolah-olah warga negara dari berbagai budaya, kebangsaan, bahasa dan lokasi yang berbeda merupakan satu ras atau etnis tunggal berdasarkan kesamaan agama mereka.

Deklarasi Balfour adalah sebuah surat yang berisi 67 kata antara dua orang Inggris berpengaruh untuk mengambil tanah Arab dari penduduk asli dan memberikannya kepada warga negara Yahudi Eropa.

Meskipun surat tersebut ditujukan dari Balfour kepada Rothschild, namun sejatinya surat tersebut pertama kali dikirim oleh Rothschild kepada Balfour pada tanggal 18 Juli 1917, menyusul debat di kalangan Zionis untuk merancang rumusan surat yang tepat.

Penyesuaian dilakukan oleh Balfour agar surat tersebut dipahami bahwa tidak ada hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina yang dikurangi. Setelah itu, Balfour mengembalikannya seolah sebagai korespondensi resmi negara kepada Rothschild.

Dengan demikian, Deklarasi Balfour sejatinya adalah upaya sekelompok kecil orang Yahudi elit Eropa yang mendiktekan kebijakan luar negeri Inggris secara rahasia, yang bertentangan dengan perjanjian formal antar pemimpin dunia, dan juga bertentangan dengan opini publik Inggris secara umum. Oleh karena itu, kita tidak dapat mendudukkan surat ini secara terpisah dari konteks kesepakatan, perjanjian, studi dan komisi yang tumpang tindih, yang semuanya bertentangan sekali dengannya.

Dua tahun sebelumnya, pada tanggal 25 Oktober 1915, Sir Henry McMahon mengajukan sebuah kesepakatan dengan Sharif di Mekkah, Emir Hussein bin Ali, bahwa Inggris Raya akan mengakui kemerdekaan Arab setelah Perang Dunia I “dalam batas-batas yang diajukan oleh Sherif dari Mekkah “(yang sangat jelas meliputi Palestina) sebagai bayaran atas perlawanan Arab melawan Turki Utsmani.

Tiga tahun setelah Deklarasi Balfour, Turki Utsmani mencoba meyakinkan Raja Hussein untuk bersekutu dengan mereka melawan Inggris, dengan janji yang sama: kemerdekaan Arab.

Raja Hussein mengungkapkan tawaran Turki tersebut kepada Inggris, dan Lord Balfour menjawab dengan tegas bahwa: “Pemerintahan Kerajaan Inggris dengan Kekuatan Sekutu menegaskan janji sebelumnya untuk menghormati pengakuan kemerdekaan negara-negara Arab.”

Jenderal Allenby, kepala pasukan Sekutu di Mesir dan Palestina, mengulangi jaminan ini dalam banyak kesempatan, termasuk dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Yang Mulia Raja Hijaz, tertanggal 8 Februari 1918, dan dalam sebuah deklarasi di gerbang Yerusalem pada bulan Desember 1917. Demikian juga Lord Curzon, menteri luar negeri Inggris, dalam sebuah surat edaran Oktober 1919 kepada Raja Faisal.

Sebenarnya, ada banyak penegasan semacam itu dari persyaratan tersebut. Para pemimpin Barat bersepakat bahwa “semua negara yang berbicara bahasa Arab harus dibebaskan dari pemerintahan Turki, dan selanjutnya harus tinggal di bawah pemerintahan yang mereka pilih.”



Perjanjian Sykes-Picot (1916)

Deklarasi Balfour dibuat tanpa berkonsultasi dengan penduduk asli Arab di Palestina. Masih ada duplikasi rahasia lain, yang dilakukan pada tahun 1916 antara Inggris dan Prancis untuk membagi wilayah Arab menjadi wilayah pengaruh.

Menurut sejarawan Inggris Richard Coke, kesepakatan Sykes-Picot “sulit untuk dicocokkan dengan the Twelfth Point (dimana mereka [Inggris dan Prancis] secara sungguh-sungguh bersepakat dalam perjanjian damai), deklarasi bersama mereka pada bulan November 1918, atau syarat-syarat dalam Pasal 22 Perjanjian [Liga Bangsa-Bangsa], yang, sekali lagi, mereka berdua bersedia untuk menerima Mandat [atas tanah Arab]. ”

Sebenarnya, oposisi Zionis lah yang mencegah implementasi penuh dari Perjanjian Sykes-Picot, yang bertujuan untuk memisahkan Palestina dan menginternasionalisasi Yerusalem, dan mendorong mereka untuk meminta suplemen tambahan yang akhirnya menjadi Deklarasi Balfour.


Deklarasi Anglo-Prancis (1918)

Berdasarkan kesepakatan dan jaminan publik dari Inggris, masyarakat Palestina, Suriah, dan Mesopotamia bergabung dengan pasukan Sekutu melawan orang-orang Turki.

Ketika Kekhilafahan Utsmani runtuh, Inggris dan Prancis mengeluarkan sebuah pernyataan bersama yang menyatakan bahwa tujuan mereka di negara-negara Arab yang dibebaskan adalah “pembentukan pemerintah dan pemerintahan yang memperoleh otoritas mereka dari inisiatif dan pilihan bebas dari penduduk setempat… Jauh dari usaha untuk memaksakan penduduk negara-negara ini institusi tertentu, Prancis dan Inggris tidak memiliki perhatian lain selain untuk memastikan … kerja normal pemerintah dan institusi yang harus diadopsi penduduk secara bebas.”


Komisi King-Crane (1919)

Kehendak penduduk asli yang dirujuk dalam Deklarasi Inggris-Prancis ditunjukkan dengan jelas di Komisi King-Crane, utusan Amerika yang dikirim oleh Woodrow Wilson pada bulan Juni 1919 ke wilayah tersebut dengan tujuan untuk menyelidiki keinginan penduduk asli.

Komisi tersebut melaporkan bahwa 80,4 persen penduduk memilih sebuah negara Arab bersatu yang mencakup Palestina sekarang (keseluruhannya), Lebanon, Suriah, Yordania dan Irak.

Laporan tersebut dengan tegas menentang pendirian sebuah negara Yahudi di Palestina karena “Zionis menantikan pencabutan hak milik secara penuh dari penduduk Palestina non-Yahudi saat ini.”

Laporan tersebut juga menggunakan kata-kata dari Deklarasi Balfour untuk menunjukkan bahwa “Negara Yahudi tidak dapat dicapai tanpa pelanggaran berat atas hak-hak sipil dan hak beragama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina.”



Mandat

Pada tanggal 29 September 1923, setelah kekalahan Kekhilafahan Utsmani–yang tidak dapat digapai tanpa bantuan dari perlawanan orang-orang Arab—Inggris Raya dan Prancis secara resmi memegang mandat untuk Palestina dan Suriah.

Namun, mandat tersebut ternyata memasukkan ketentuan untuk pembentukan tanah air nasional bagi orang Yahudi. Kriminalitas atas ketentuan ini ditekankan di tahun-tahun berikutnya melalui tangan besi Inggris terhadap penduduk asli Palestina. Hal ini membuat penduduk asli Palestina terancam keberadaannya, demi memfasilitasi imigrasi Yahudi.

Beberapa komisi dan studi dikirim untuk menilai situasi Mandat Inggris di Palestina. Semuanya menegur tindakan pemerintah Inggris terhadap orang-orang Palestina, yang mulai bangkit melawan ketidakadilan yang mereka hadapi.

Richard Coke menyebutnya sebagai “kesalahan politik yang buruk”. “Sayangnya, tagihan dalam kasus ini tidak akan dibayarkan oleh para perumus Deklarasi Balfour dan teman-teman Yahudi mereka di tempat-tempat tinggal mereka di London dan New York, namun oleh penduduk Palestina yang tidak beruntung dan, dalam keadaan darurat, oleh rakyat biasa dan para pembayar pajak Inggris. ”

Banyak sekali kritikan terhadap kebijakan mandat ini. Kebijakan ini bertentangan dengan kesepakatan mereka sendiri dengan Hussein, pemimpin sebuah negara yang bersekutu dengan Inggris; bertentangan dengan keinginan 3,2 juta penduduk asli Arab yang memilih dalam Komisi King-Cane; bertentangan dengan pasal-pasal Liga Bangsa-Bangsa; bertentangan dengan 14 poin untuk perdamaian dunia yang dikeluarkan oleh Presiden Woodrow Wilson, yang diterima oleh Inggris; bertentangan dengan Deklarasi Anglo-Prancis; bertentangan dengan Perjanjian Sykes-Picot; bertentangan dengan sikap publik dan parlemen yang sangat tidak sepakat dengan Deklarasi Balfour; dan bertentangan dengan aspek-aspek yang ada dalam Deklarasi Balfour itu sendiri. Namun, Inggris tidak bergeming. Ia masih secara aktif memfasilitasi fase awal dari apa yang akan menjadi dislokasi total keseluruhan peradaban kuno. Tanah mereka diatur ulang dengan masyarakat impor, demi menampung aspirasi Zionis.

Pertanyaannya kemudian, mengapa janji ilegal semacam ini diterapkan dengan latar belakang seperti itu?


AS, minyak, uang, dan anti-Semitisme

Sebagaimana hari ini, dimana tokoh-tokoh Zionis melakukan transaksi gelap untuk mendapatkan dukungan resmi, meski bertentangan dengan hukum internasional, resolusi PBB, dan opini publik internasional, mereka juga melakukannya seabad yang lalu.

Beberapa tokoh yang menonjol antara lain Chaim Weizmann, Nahum Sokolow, Louis Brandeis dan Samuel Untermyer. Orang-orang ini berkolaborasi melintasi benua untuk mempengaruhi kebijakan dan menempatkan Zionis di pos-pos penting, terutama di Prancis, Inggris dan Amerika Serikat.

Weizmann merekrut keluarga Rothchild, menggunakan pesonanya, dan menggunakan narasi anti-Semit untuk merayu negarawan Eropa tentang masalah Zionis.

Pemimpin Zionis Rusia Ze’ev Jabotinsky pernah mengklaim bahwa “deklarasi tersebut adalah pencapaian pribadi satu orang saja: Dr. Chaim Weizmann. Empat tahun kerja penuh kesabaran dan perhitungan telah membangun hubungan antara kita dan para negarawan di negara ini [Inggris Raya].”

Pada tahun 1922, Daily Express bertanya: “Siapakah Chaim Misterius ini, yang telah membujuk Inggris yang lugu dan tak menaruh curiga ke dalam lumpur Timur Tengah.”

Sokolow juga berperan dalam mengamankan dukungan dari Italia dan Prancis. Tapi mungkin yang paling penting diantara mereka adalah Louis Brandeis, yang menguasai telinga Presiden Woodrow Wilson– yang dukungannya barangkali adalah apa yang pada akhirnya membujuk kekuatan Eropa untuk mendukung proyek Zionis.

Inggris mengerti bahwa memenangkan perang bergantung pada keinginan Amerika Serikat untuk bergabung dalam perang.

Tapi Woodrow Wilson memenangkan pemilihan presiden dengan kampanye anti-perang (slogannya adalah “Dia menjauhkan kita dari perang”).

Namun Zionis memberi isyarat kepada kekuatan Eropa bahwa mereka mampu meyakinkan Presiden Wilson untuk bergabung dalam perang tersebut. Imbalannya, Inggris diminta memberi mereka Palestina, yang sebenarnya mereka tidak memiliki kedaulatan atau hak hukum atasnya.

Kemampuan mereka untuk mendapatkan pengaruh tersebut berasal dari Louis Brandeis, yang telah ditunjuk sebagai Mahkamah Agung oleh Wilson dan merupakan salah satu perancang awal Deklarasi Balfour.

Brandeis berhasil memberikan tekanan pada Wilson untuk menerima Deklarasi Balfour (yang awalnya ditolak oleh Wilson) dan membuat Amerika Serikat ikut berperang.

Kemampuan lobi tersebut membuat kekuatan Sekutu takut bahwa Zionis dapat membuat tawaran serupa kepada Kekuatan Poros (Kekaisaran Jerman dan Kekaisaran Austria-Hungaria), yang berdampak pada kekhawatiran atas hasil perang yang berbeda.

Selain itu, argumen tentang minyak juga memberikan pengaruh, terutama di tahun-tahun berikutnya ketika minyak ditemukan di wilayah tersebut. Tidak diragukan lagi, Eropa dan Amerika Serikat memandang Israel (sebagaimana sekarang) sebagai oasis untuk mengontrol masyarakat terbelakang yang memiliki sumber daya alam yang hebat.

Pada saat itu, kontrol tersebut lebih mendesak jika melihat Revolusi Bolshevik yang baru saja terjadi di Rusia waktu itu.

Deklarasi Balfour mengajarkan kita bahwa kekuatan Barat tidak dapat dipercaya. Jauh dari demokrasi perwakilan, mereka diperintah oleh minoritas elit yang didorong oleh kepentingan pribadi, bukan oleh kemauan atau kepentingan rakyat mereka atau oleh integritas mereka atas sebuah kesepakatan. Masyarakat dibuat terbuai oleh propaganda yang diumumkan melalui apa yang dicitrakan sebagai “pers yang bebas”.

Kita tidak dapat menemukan satu pun media utama Barat yang mengartikulasikan pengkhianatan kriminal bersejarah ini terhadap masyarakat Arab oleh Eropa dan Amerika Serikat. Kita juga mungkin tidak mendapatkan di tengah-tengah mereka sebuah audit yang memadai atas intrik politik yang secara efektif berperan menciptakan negara Yahudi tersebut.

Baca: http://www.middleeasteye.net/columns/balfour-declaration-enduring-colonial-criminality-944030519

(Middle-East-Eye/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: