Ali Reza Rahimi adalah seorang veteran perang yang cacat 55 persen. Ia pernah menjadi tawanan Saddam pada periode Perang Iran-Iraq lalu.
Sekarang Rahimi menjadi anggota Parlemen Republik Islam Iran sebagai wakil penduduk Tehran. Ia sekarang menjadi anggota Komisis Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri di rumah rakyat ini.
Beberapa waktu lalu, Rahimi menjadi tamu Kantor Berita Shabestan untuk melakukan wawancara sehubungan isu-isu terbaru yang sedang berkembang di Iran secara khusus dan dunia secara umum.
Berikut cuplikan pilihan wawancara Ali Reza Rahimi (AR) dengan wartawan Shabestan, Maryam Rezazadeh (MR):
MR: Bagaimana penilaian Anda tentang keputusan Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan juga seputar pertemuan negara-negara anggota OKI yang baru digelar di Turki?
AR: Keputusan yang telah diambil oleh Donald Trump ini bisa dikaji dari beberapa sisi.
Sisi pertama, setelah kekalahan yang dialami oleh Israel dalam melawan garis muqawamah, mereka berniat dan berusaha untuk menambal kekalahan ini. Kekalahan kelompok teroris Daesh di Suriah dan Iraq serta keterusiran mereka dari dua negara secara total sangat menarik perhatian dunia.
Perlu kita camkan bersama, rezim Zionis di manapun selalu berusaha untuk menyelewengkan opini. Di Dunia Islam yang tidak pernah terjalian sebuah sikap yang satu, mereka memanfaatkan kesempatan dalam kekalahan-kekalahan untuk seluas mungkin menyelewengkan opini. Salah satu sasaran yang sangat jitu adalah isu ibu kota Israel di Yerusalem.
Akan tetapi, keputusan Amerika itu membuahkan hasil terbalik. Dunia Islam malah menemukan sebuah opini yang satu.
Hal ini merupakan sebuah peristiwa yang sangat jarang terjadi. Belum pernah terjadi sebelum seluruh negara Islam memiliki satu suara dalam menyikapi sebuah masalah.
Tentu, negara-negara yang memiliki hubungan romantis dengan Israel tidak bisa mengakat panji tinggi untuk menentang rezim Zionis. Arab Saudi contohnya. Sekalipun demikian, para petinggi Al Saud masih unjuk gigi untuk menentang keputusan Trump tersebut. Akan tetapi, ketika kita menyandingkan sikap Arab Saudi ini dengan kesepakatan pembelian senjata yang mereka lakukan dengan Amerika untuk membantai rakyat Palestina yang tertindas, kita menyaksikan sebuah kontradiksi antara dua sikap Al Saud ini.
Sisi kedua, keputusan Donald Trump tersebut adalah sebuah ujian bagi Dunia Islam. Ia ingin mengetes opini Dunia Islam sehubungan dengan satu tema yang paling sensitif; yaitu isu Palestina. Lebih dari 5 tahun, krisis Palestina redup lantaran bencana Daesh di Iraq dan Suriah. Peristiwa Yaman dan Lebanon juga mempengaruhi masalah ini.
Dalam menghadapi ujian ini, Dunia Islam tampil cemerlang dan bisa membangun sebuah kesatuan sikap yang sangat indah.
MR: Lalu bagaimana Anda menilai pertemuan para kepala negara Islam di Turki baru-baru ini?
AR: Pertemuan ini terlaksana dengan jenjang waktu keterlambatan yang layak direnungkan kembali.
Sepertinya, negara-negara yang memiliki masalah dengan garis muqaamah dan Republik Islam Iran, serta prinsip mereka lebih menekankan kepentingan Arabi dari pada Islami, memang berusaha untuk mempengaruhi alur pertemuan ini. Yaitu ingin menebarkan aroma Arabi di ruangan pertemuan tersebut. Akan tetapi, kecerdasan Republik Islam Iran dalam menyusun deklarasi dan juga sikap-sikap yang diambil tidak memberikan kesempatan supaya usaha mereka itu terwujud.
MR: Lalu bagaimana Anda memprediksikan kelanjutan nasib Trump untuk 3 tahun ke depan dari sisa masa kekuasaannya ini? Apakah akan diinterpelasi atau tidak? Apakah ia juga akan memiliki kesempatan untuk periode kepresidenan kedua?
AR: Donald Trump adalah seorang presiden yang telah mencoreng wajah Amerika melebihi presiden-presiden yang lain. Menurut opini masyarakat Amerika, ia telah mencoreng reputasi politik Amerika di mata dunia. Ia telah menambah kebencian opini masyarakat dunia kepada Amerika.
Persaingan pilpres di Amerika belum usai. Dukungan penduduk desa terhadap Trump dan kasus-kasus internal Amerika seperti kesehatan, asuransi, dan pajak termasuk tantangan-tantangan dalam negeri yang telah menurunkan reputasi Trump. Keluar dari Perjanjian Paris atau keputusan Trump sehubungan dengan undang-undang pengungsi yang diberlakukan untuk 8 negara dunia masih mempertanyakan kebijakan luar negeri pemerintahan Trump.
Lebih dari itu, reputasi rakyat Amerika Serikat juga dipertanyakan dan kebencian opini dunia kepada mereka semakin meningkat. Kita banyak menyaksikan standar-standar ganda untuk tingkat dunia pada masa kekuasaan Trump ini.
MR: Anda menyinggung bahwa kehadiran fisik Daesh telah musnah. Apakah memang betul bahwa dunia telah aman dari ancaman kelompok teroris ini?
AR: Sistem pemikiran yang dianut oleh Daesh adalah sistem pemikiran fasisme. Dalam banyak periode, kita telah menyaksikan banyak kelompok muncul dengan mengusung sistem pemikiran demikian. Salah satu pemikiran mainstream mereka adalah “orang yang tidak bersama kita adalah musuh kita”.
Dengan pemikiran seperti ini, Daesh telah menganggap bahwa seluruh Dunia Islam adalah kaum Rafidhi. Ini adalah pemikiran paling berbahaya yang digemborkan dengan mencatut nama Nabi Muhammad saw dan simbol-simbol suci Islam.
Berkat usaha keras yang dilakukan oleh rakyat Suriah dan Iraq, kehadiran fisik Daesh telah semakin terbatas. Dengan kata lain, mereka telah terusir dari Iraq dan Suriah. Akan tetapi, Eropa memiliki kisah lain. Banyak warga Eropa yang bergabung dengan Daesh dengan satu dan lain alasan. Jumlah mereka ini sekarang menjadi ancaman serius bagi Eropa.
MR: Di manakah kira-kira titik tolak Daesh untuk selanjutnya?
AR: Tersebar berita bahwa Daesh sedang bergerak menuju ke arah Asia Timur.
Mayoritas militan Daesh yang telah bergabung kembali ke negara asal mereka setelah kelompok ini musnah di medan Suriah dan Iraq. Mereka ini bisa menjadi potensi ancaman bagi negara mereka masing-masing. Untuk itu, media-media Inggris beberapa hari lalu menuliskan di halaman depan bahwa kami tidak akan mengizinkan para militan teroris kembali ke rumah. Hal ini juga pernah ditekankan oleh Menteri Pertahanan Inggris.
Sepertinya, gerakan Daesh secara fisik yang bisa menjadi ancaman untuk masa mendatang sekarang sedang berlaju ke Asia Timur. Akan tetapi, dunia sekarang sudah paham dan sadar, apabila mereka tidak serius memerangi terorisme, hal ini akan kembali menjadi ancaman serius bagi mereka sendiri.
MR: Bagaimana prediksi Anda tentang hubungan Iran dan Arab Saudi di masa mendatang?
AR: Arab Saudi tidak menggunakan dewan penasihat yang bisa memandangan dan berpendapat secara realistis. Realisme menuntut supaya keseragaman langkah di Dunia Islam harus terwujud, dengan harga apapun. Akan tetapi, kita saksikan bersama, Arab Saudi malah sedang mencari jalan untuk mencerai-beraikan tali hubungan Dunia Islam.
Dalam pada itu, ada sekelompok yang nakal dalam usaha hubungan Iran dan Arab Saudi sehingga menyebabkan keterberaian itu semakin parah menganga.
Peran Arab Saudi sangat diperhitungkan di kalangan Dunai Islam, sebagaimana peran Iran. Riyadh memiliki kemampuan yang sangat besar, baik dari dimensi Islami, ekonomi, maupun regional. Bagaimana bentuk penilaian kita terhadap hubungan ini jangan sampai memusnahkan peran kedua negara di Dunia Islam.
Manusia-manusia besar mungki saja bisa bersalah. Negara-negara besar juga begitu. Akan tetapi, usaha menambal kesalahan ini juga harus sebesar kesalahan yang telah dilakukan. Untuk menambal kesalahan yang telah dilakukan terhadap rakyat Yaman, Arab Saudi tentu harus melakukan hal-hal yang sebesar kesalahan ini dan juga harus mengusahakan keberanian yang besar pula.
Yang pasti, kami tidak pernah menafikan hubungan antara kedua negara. Jika Arab Saudi serius untuk membangun kembali hubungan, Republik Islam Iran pasti menyambut dengan senang hati.
(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar