Ada beberapa titik persinggahan (terminal) yang dilalui oleh konflik Suriah, yang pada awalnya disebut sebagai persoalan mencari keadilan. Konfilik ini dimulai tatkala mayoritas rakyat Suriah—sejak lebih dari enam tahun lalu—bangkit untuk melepaskan diri dari kediktatoran rezim keluarga Asad. Tetapi, adanya intervensi kekuatan-kekuatan internasional dan regional telah mengalihkan hal itu menuju konflik kepentingan dan pembagian pengaruh. Akhirnya, konflik Suriah pun berjalan dan beredar sesuai dengan proyek dan agenda yang berbeda-beda tersebut.
Sebagaimana hal ini juga memengaruhi bagaimana menyikapi konflik tersebut, yang disifati sebagai sebuah krisis yang sulit dan komplek (untuk diatasi). Dalam usaha untuk menyelesaikan krisis ini, diadakanlah berbagai pertemuan tingkat tinggi, konferensi, dan perkumpulan di beberapa tempat, seperti Jenewa, Wina, dan Astana; melewati Riyadh hingga akhirnya tiba di Sochi (Rusia).
Pertemuan puncak trilateral antara para pimpinan negara Rusia, Turki, dan Iran pun dilakukan. Waktu pertemuan bersamaan dengan pertemuan kekuatan-kekuatan dan kelompok-kelompok oposisi di konferensi Riyadh II, yang bertujuan untuk mensinergikan kekuatan oposisi sesuai dengan perubahan dan perkembangan internasional, regional, dan lapangan.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Trilateral Sochi
Melalui KTT Sochi, para politisi Rusia sebenarnya ingin meletakkan dasar-dasar bagi penyelesaian politik dengan cara mereka sendiri, yang sejak awal mengcover kepentingan dan pengaruhnya di Suriah. Oleh itu, presiden rezim Suriah turut dihadirkan pada malam menjelang KTT untuk memberi jaminan atas kepatuhannya terhadap hasil-hasil dari penyelesaian yang ditawarkan Rusia. Selain juga guna menekankan kesiapannya secara utuh untuk berinteraksi secara positif terhadap hasil-hasilnya.
Tujuannya yaitu untuk meyakinkan negara peserta KTT bahwa pengaruh mereka lebih besar dibanding Iran yang merupakan kekuatan paling berkuasa dalam menghalangi penerapan hasil-hasil KTT tersebut.
Ketergesa-gesaan para politikus Rusia untuk segera menikmati apa yang telah mereka realisasikan di lapangan secara politis melahirkan suatu kesepakatan penyelesaian politik untuk persoalan Suriah berdasarkan pertimbangan pemerintah Suriah dan rakyat Suriah. Yaitu dengan berpedoman pada solusi-solusi yang terbatas pada pembuatan sebuah konstitusi baru, pengadaan pemilu di bawah pengawasan PBB, dan partisipasi kelompok oposisi dalam kekuasaan dalam wadah pemerintahan ‘Persatuan Nasional’.
Semua solusi itu dengan tetap mengekalkan Bashar Asad berada di kursi pemerintahan (yang sebenarnya sudah tidak lagi dimilikinya), yang berarti suatu pukulan terhadap hasil resolusi-resolusi PBB; terkhusus Deklarasi Jenewa I (Juni 2012), dan dua resolusi PBB no 2118 dan 2254. Selanjutnya adalah pembatalan fase transisi yang berdasarkan Deklarasi Jenewa, yang diadakannya Perundingan Jenewa adalah berlandaskan deklarasi itu.
Dalam konferensi pers terakhir KTT Sochi, penyebutan Perundingan Jenewa terkesan suatu yang berat. Sebagai gantinya, konferensi tersebut lebih memilih ungkapan ‘Perundingan Komprehensif Suriah’ atau Konferensi ‘Rakyat Suriah’ di Sochi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan isu Suriah dari jalur aman Astana menuju jalur politik baru Sochi, dengan memarjinalkan jalur Jenewa.
Konferensi Riyadh II
Diadakannya Konferensi Riyadh II dan KTT Sochi hampir secara bersamaan tampaknya bukan suatu yang kebetulan. Politisi Rusia ingin menyempurnakan usaha-usaha mereka untuk menemukan penyelesaian politik bagi isu Suriah. Yaitu dengan membentuk Dewan Perundingan baru untuk oposisi Suriah yang mereka sukai; dengan menggabungkan anggota platform Moskow dan Kairo; dan dengan membentuk utusan perundingan baru yang dapat menerima dari hasil-hasil perubahan internasional dan regional, serta perubahan politik dan apa yang terjadi di lapangan.
Hal ini bertolak belakang dengan alasan di adakannya Konferensi Riyadh II yang hasilnya berupa seruan-seruan yang sesuai dengan interpretasi Rusia mengenai resolusi PBB no 2245, yang tetap berkomitmen dengan mengambil keputusan ‘berdasarkan pertimbangan mengenai pertemuan-pertemuan yang diadakan di Moskow dan Kairo’ dan mengalihkan pandangannya pada Badan Negoisasi Tertitnggi yang dihasilkan dari Konferensi Riyadh I, yang disebut sebagai pedoman dalam bernegoisasi dengan rezim Suriah; sebagaimana yang ditetapkan dalam resolusi PBB itu sendiri.
Karenanya, para politisi Rusia pun terus menghujat legalitas Badan Negoisasi Tertinggi, dan tidak berhenti berusaha menciptakan platform oposisi baru berdasarkan MoU yang mereka sepakati bersama para politikus Amerika, Turki, Saudi, dan lainnya.
Konferensi Riyadh II didahului dengan pengundurun diri koordinator umum Badan Negoisasi Tertinggi, Riad Hijab, dan beberapa anggota lainnya sebagai bentuk protes terhadap pelanggaran terhadap kesepakatan sebelumnya. Meski sebelumnya juga telah dibentuk sebuah komite persiapan untuk memperluas keanggotaannya dengan menambahkan perwakilan-perwakilan baru ke dalamnya, sesuai dengan dasar dan standar untuk melindungi tujuan-tujuan utama revolusi Suriah dan aspirasi-aspirasi meyoritas rakyat Suriah. Tetapi, komite persiapan baru itu dibentuk hanya beberapa saat sebelum diadakannya Konferensi Riyadh II, dan menambahkan ke dalamnya anggota-anggota dari platform Moskow dan Kairo.
Namun, platform Moskow tidak ikut berpartisipasi dalam pertemuan Riyadh II kecuali dua perwakilannya saja, lalu mengumumkan pengunduran dirinya disebabkan isi dari draf statemen akhir yang memastikan lengsernya rezim pada awal masa transisi. Tetapi, mereka (platform Moskow) beralasan sebagaimana klaim mereka bahwa “tidak ada titik temu dalam pertemuan komite persiapan konferensi terkait dasar dan pedoman yang harus dijadikan acuan oleh satu-satunya delegasi negoisasi yang harus terbentuk sebagai hasil dari pertemuan yang diperluas di Riyadh.”
Meski terjadi pengunduruan diri beberapa Badan Negoisasi Tertinggi dan mayoritas anggotanya menjauhkan diri, hal itu tidak menghalangi diadakannya Konferensi Riyadh. Namun hal ini menimbulkan keraguan para penyampai aspirasi rakyat, aktivis, dan oposisi terkait tujuan dan misi diadakannya Koferensi Riyadh II.
Beberapa figur politikus, militer, aktivis, dan pimpinan majlis perwakilan daerah pun mengeluarkan suatu pernyataan. Mereka meminta kepada orang-orang yang berkumpul di Riyadh untuk menegaskan pentingnya melindungi tujuan-tujuan utama revolusi dan tidak meremehkannya sama sekali. Yaitu untuk melengserkan Bashar Asad dan kroni-kroninya yang ikut terlibat; berkomitmen pada proses transisi politik yang mengacu pada resolusi PBB, dan terwujud dalam suatu badan eksekutif transisi yang mememiliki wewenang secara sempurna.
Konferensi Riyadh II diadakan setelah Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya beserta sebagian besar negara-negara dari kelompok teman Suriah memisahkan diri dari oposisi Suriah, baik dari sisi politik dan militer.
Lebih buruknya lagi, Washington dan sekutu-sekutu Baratnya melakukan pengekangan terhadap kelompok-kelompok oposisi di Selatan Suriah dan mengesampingkan kelompok-kelompok Badui dan lainnya dari pertempuran Raqqa, Deir Zour, dan Abu Kamal, sebagai imbalan pembagian pertempuran untuk menguasai beberapa wilayah ISIS antara Amerika dan milisi Kurdi, YPG, yang merupakan sekutunya; dan antara Rusia dan milisi-milisi rezim Suriah, rezim Iran yang mendukungnya.
Hal ini telah memberi kontribusi dalam memperkuat rezim dan milisi-milisi sekutunya, membuat orang-orang Rusia merasa sebagai kelompok terkuat di Suriah. Mereka membicarakan kemenangan-kemenangan militer yang telah mereka capai dan terus mencari keuntungan politiknya dengan mempermainkan isu Suriah dan menjadikannya sebagai sebuah permainan untuk mereka bawa dan mainkan bersama dengan negara-negara lain; dari Astana, Jenewa, Riyadh, dan Sochi.
Hasil Konferensi Riyadh II
Bersamaan dengan diadakannya Konferensi Riyadh II, banyak rakyat Suriah yang mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa mereka yang berkumpul di sana akan memupuskan sisa-sisa harapan mereka. Ini disebabkan meluas dan beragamnya peserta yang ikut dalam konferensi ini yang berarti mereka akan menyepakati poin minimum untuk mencapai kesepakatan di antara mereka.
Demikian ini karena di antara mereka ada yang hanya menerima solusi politis yang menjamin proses transisi politik yang membawa Suriah dari era tirani menuju era kebebasan dan keselamatan dengan membentuk badan transisi yang memiliki wewenang sebagai eksekutif secara sempurna sesuai dengan dengan resolusi PBB yang berkaitan tentang itu. Sementara sebagian lainnya dibentuk di Moskow atau tempat lainnya sebagai kelompok oposisi untuk menentang terhadap diskusi dan hasil konferensi apa pun yang memasukkan nasib Asad.
Oleh itu, spektrum yang luas dari peserta menyajikan masalah tidak bertemunya aspirasi mereka dan perbedaan pandangan politik mereka masing-masing. Perkara inilah yang melahirkan ketakutan bahwa hasil-hasil dari Konferensi Riyadh akan melahirkan kesepakatan-kesepakatan yang merugikan rakyat Suriah.
Konferensi tersebut telah membuat sebuah pernyataan akhir yang bersifat umum, yang mengandung kata diplomatik seperti ‘para peserta mendiskusikan tema-tema tambahan selama masa konferensi. Pandangan-pandangan mereka harus dibangun dalam atmosfer saling menghargai dan saling bertukar pikiran; rasa tanggungjawab bersejarah yang mendalam kepada rakyat Suriah yang tetap solid; dan mencapai kesepakatan terkait isu-isu krusial yang dihadapi rakyat Suriah.’
Statemen retoris seperti ini—dan statemen-stetemen lainnya dalam statemen akhir tentang kesepakatan terkait isu krusial—tidak memberikan apa pun kecuali semakin melunturkan tuntutan-tuntuan mencari keadilan rakyat Suriah. Selain juga akan membuka pintu interpretasi dan perbedaan pemahaman. Karena yang dituntut dari statemen terakhir semestinya lahirnya poin-poin yang jelas dan gamblang yang tidak bisa diinterpretasikan lagi.
Seperti lahirnya solusi politik dengan berkomitemen secara utuh pada keputusan Jenewa I dan resolusi-resolusi PBB, yaitu no 2118 dan 2245 dan tuntutan untuk segera menjalankannya. Mulai menerapkan transisi politik melalui pembentukan Badan Pemerintah Transisi yang memiliki wewenang yang sempurna, dan tidak menerima peran apa pun bagi Bashar Asad dan perangkat-perangkat rezimnya sejak dimulainya proses transisi.
Dalam statemen penutup disebutkan bahwa ‘tujuan konferensi adalah untuk menyatukan barisan kekuatan revolusi dan oposisi dalam sebuah visi bersama bagi solusi politik yang berlandaskan pada Jenewa I (2012), resolusi Dewan Keamanan (no 2118 dan 2245) serta resolusi internasional yang relevan, yang bisa dijadikan dasar pada fase transisi yang mengarahkan negara menuju tatanan politik yang demokratis-pluralis; yang dapat mewujudkan keadilan dan bijak terhadap korban-korban tirani dan kejahatan-kejahatan perang.
Pertanyaannya adalah, bagaimana pembentukan fase transisi yang di harap bisa mengarahkan negara menuju tatanan politik demokratis tanpa adanya proses transisi politik terlebih dahulu yang bisa membawa negara dari rezim tirani menuju rezim demokratis? Bahkan meskipun tatkala pembentukan Badan Pemerintah Transisi disebutkan bahwa ia mampu ‘mempersiapkan lingkungan yang netral di mana proses transisi akan berjalan.’
Lalu statemen itu juga menunjukkan bahwa ‘para peserta sepakat bahwa tujuan penyelesesaian politik adalah untuk mendirikan negara demokratis yang berdasarkan asas kewarnegaraan yang setara, yang memungkinkan bagi rakyat Suriah untuk merancang konstitusi mereka tanpa ada intervensi, dan memilih pemimpin mereka melalui pemilihan secara bebas, bersih, dan transparan.
Pemilihan itu bisa diikuti oleh warga negara Suriah baik yang di dalam maupun luar negeri dengan di bawah bimbingan PBB melalui suatu mekanisme yang bisa melindungi hak mereka untuk meminta pertanggungjawaban dan mengevaluasi para pemimpin, dan mencapai proses transisi yang mendasar.
Akan tetapi, siapa yang akan memilih? Apakah penyusunan konstitusi dan penyelenggaraan pemilu adalah untuk menyenangkan Rusia yang telah mengalihkan isu Suriah dari Astana hingga ke Sochi demi membicarakan terkait penulisan konstitusi dan penyelenggaraan pemilu sebagaimana yang telah ditentukan Presiden Vladamir Putin dalam KTT Trilateral Sochi?
Yang mengejutkan adalah bahwa alasan Konferensi Riyadh II yaitu dengan tema mempersatukan oposisi. Ini merupakan suatu yang terbiasa kita alami yang terjadi tatkala semakin bertambah tekanan internasional dan regional untuk menundukkan oposisi dan melunakkan tuntutan mereka. Hal ini disertai dengan lenyapnya horisan nyata apa pun untuk solusi politik yang diperlukan untuk menyelamatkan Suriah dan rakyat Suriah. Perkara ini terus berulang bersamaan munculnya tanda-tanda perlunya negoisasi Jenewa hingga Astana dan selain keduanya.
Tetapi, hal yang sama terulang pada hari-hari ini dalam bentuk terang-benderang bersamaan dengan kesepakatan-kesepakatan Rusia dan Amerika yang rapuh, setelah kegagalan Astana dan ketergantungan Rusia pada Koferensi Sochi yang akan datang, dan ajakan utusan PBB untuk melangsungkan putaran ke-8 negoisasi Jenewa.
Mungkin penghalang terbesar yang dikenal dengan ‘simpul Asad’ merupakan hal yang paling menonjol yang dihadapi oposisi Suriah di tengah-tengah perubahan sikap kekuatan-kekuatan internasional pendukung oposisi, dan desakan Rusia dan Iran untuk menolak bahkan untuk sekedar membicarakan lengsernya Asad; baik pada fase transisi atau bahkan setelahnya.
Sebagaimana pernyataan Presiden Vladimir Putin dan mitranya Donald Trump di ibukota Vietnam bahwa kesepakatan keduanya terkait Suriah hanya terbatas pada koordinasi militer, menghancurkan ISIS, berpedoman pada prinsip mewujudkan ‘zona-zona aman’, dan negoisasi untuk mewujudkan reformasi konstitusi dan menyelenggarakan pemilu berdasarkan resolusi PBB no 2254. Dari sini, inilah pentingnya kembali membentuk atau menundukkan utusan oposisi untuk negoisasi dan membatasi diterimanya kesepakatan-kesepakatan semisal ini, yang ingin menentukan nasib negara dan masa depan mereka.
(Al-Jazeera/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar