Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » , » Karena Trump, Media AS Khawatir “Kekerasan” Bukan Pelanggaran Internasional

Karena Trump, Media AS Khawatir “Kekerasan” Bukan Pelanggaran Internasional

Written By Unknown on Senin, 18 Desember 2017 | Desember 18, 2017


Kerangka yang mendominasi berita utama setelah pengumuman Trump terkait Yerusalem, tidak sesuai dengan tindakan tersebut, yaitu pelanggaran hukum Internasional, namun justru “ketakutan akan kekerasan (baca: serangan balasan pembelaan diri)” dari orang-orang Palestina dan Muslim di seluruh Timur Tengah.

Presiden Donald Trump menyatakan bahwa AS melihat Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan mengumumkan bahwa AS akan memindahkan kedutaan AS di sana. Kebijakan ini membalikkan kebijakan puluhan tahun dan justru menghapus kepura-puraan netralitas AS selama ini dalam menegosiasikan “perdamaian” antara Palestina dan Israel.

Meskipun Kongres dan mantan presiden kedua partai telah mendukung langkah tersebut secara prinsip selama beberapa dekade, sebagian besar media AS sekarang mencemaskan pengumuman Trump tersebut.

“Pengakuan” Amerika terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel semakin memperkuat dan membenarkan pendudukan Israel, pembersihan etnis dan penjajahan atas tanah Palestina. Tapi media seperti New York Times, Washington Post dan CBS, dalam editorial dan pelaporan langsung, justru meremehkan hal itu.

Dengan demikian, bingkai yang mendominasi berita utama soal pengumuman Trump tidak menyentuh subtansi langkah tersebut (yaitu pelanggaran terhadap hukum internasional) namun karena potensi reaksinya, khususnya “ketakutan akan kekerasan” dari orang-orang Palestina dan Muslim di seluruh Timur Tengah:

“Fears of Violence Amid Talk of Recognizing Jerusalem as Israel’s Capital” (CBS News, 12/5/17) “Ketakutan akan Kekerasan di tengah Pembicaraan atas pengakuan Yerusalem sebagai Ibukota Israel”

“Trump’s Jerusalem Announcement Could Spark Violence, State Department Warns” (Daily Beast, 12/6/17)

“Pengumuman Trump atas Yerusalem Bisa Memicu Kekerasan, Departemen Luar Negeri Memperingatkan”

“Warnings of Violence Ahead of Trump’s Jerusalem Embassy Move” (The Week, 12/6/17) “Peringatan Kekerasan Menjelang pemindahan kedutaan ke Jerusalem”

“Trump mengatakan bahwa AS Mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel, Meskipun Dunia mengutuk; Pemimpin Dunia mengngatkan Trump bahwa kepindahan tersebut Bisa meningkatkan Kekerasan dan Akan Menciptakan Pertarungan Utama pada Proses Perdamaian Israel / Palestina ” (Politico, 12/6/17)

Editorial di Washington Post (“mungkin memicu kekerasan, termasuk melawan orang Amerika”-12/6/17) dan New York Times (“mungkin menghasut kekerasan” – 12/5/17) menggunakan bahasa yang serupa. Tidak menentang pengakuan Trump atas Yerusalem atau pendudukan Israel yang kejam dan ilegal di Yerusalem. Keduanya memiliki banyak perhatian dan kritik ringan atas proses (yang paling populer adalah bahwa tindakan tersebut dapat “membahayakan” upaya perdamaian), namun tidak satu pun dari dua media utama di Amerika Serikat tersebut dapat membuat diri mereka mengutuk Trump karena tindakannya yang radikal melanggar kebijakan AS dan hukum internasional.


Hal ini sudah sering terjadi di AS ketika menyangkut Israel / Palestina: Fokus media adalah pada reaksi ketidakadilan, bukan pada ketidakadilan itu sendiri. Keabsahan pendudukan Israel di Yerusalem Timur pun jarang dibahas. Juga fakta bahwa Amerika Serikat sekarang hampir sendirian dari 195 negara di Bumi dalam mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Atau bahwa kota tersebut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa telah, dan masih, sebagai corpus separatum sejak 1947; yaitu wilayah terpisah di bawah yurisdiksi internasional. (The Economist- 12/7/17 – adalah satu dari sedikit yang melakukan hal ini).

Yang juga diabaikan media adalah penolakan berulang-ulang Dewan Keamanan PBB atas aneksasi Yerusalem yang dilakukan Israel pada tahun 1967 dan deklarasi Yerusalem sebagai ibu kotanya tahun 1980, dengan alasan bahwa “perolehan wilayah oleh penaklukan militer tidak dapat diterima.”

Konteks yang lebih luas dari pendudukan militer selama lebih dari 60 tahun juga berada di luar gambaran, bersamaan dengan lusinan undang-undang internasional yang dilanggar Israel setiap hari. Banyak di antaranya berhubungan langsung dengan Yerusalem, termasuk pengusiran penduduk dari wilayah yang diduduki di Yerusalem Timur dan pemindahan ratusan ribu kolonis di sana sejak tahun 1967.

Fokus utama yang ditonjolkan adalah, kemungkinan “kekerasan baru di wilayah ini,” yang membangkitkan kemarahan Arab dan kebiadaban yang tidak berakal. Seperti yang Marya Hannun jelaskan di Slate (12/6/17).

Ada juga pesan yang lebih berbahaya yang dikirim oleh peringatan tentang potensi “intifadah ketiga” sebagai reaksi atas pengakuan Presiden Trump terhadap Yerusalem, yang telah lama menghantui, tidak hanya konflik atas Palestina dan Israel, tetapi juga contoh-contoh lain di mana hak asasi manusia, hak sipil dan kedaulatan dilanggar. Ketika kita berfokus pada kekerasan sebagai satu-satunya kekuatan preventif terhadap kebijakan yang tidak adil, kita memperkuat anggapan bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara efektif untuk melawan. Mungkin lebih sering daripada tidak, penilaian ini terbukti akurat, tapi ini adalah permainan yang berbahaya, dan hanya membantu mereka yang berpendapat bahwa, tidak ada gunanya bekerja sama dengan perdamaian.

Dengan Headline peringatan “Middle East on edge” ( NBC News, 12/7/17) , di mana “Warga Palestina Mengalami Kemarahan Mereka” ( New York Times, 12/7/17) dan “bentrokan meningkat” (Washington Post, 12/7/17; BBC, 12/7/17 ), media melipatgandakan stereotip berbahaya, meminggirkan frustrasi dan penolakan yang sah, dan penyamaran sejarah Pelestina.

Tidak disebutkan adanya upaya gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) yang sedang tumbuh, atau usaha masyarakat sipil lainnya untuk melawan agresi Israel. Tidak disebutkan seruan untuk solidaritas oleh aktivis Palestina. Fokus tunggal pada kekerasan (walaupun kekerasan yang harus dicatat, dibenarkan oleh undang-undang internasional) telah mereduksi orang-orang Palestina menjadi sekedar seperti kartun yang pemarah dan bukan sebagai penduduk yang telah kehilangan hak secara total yang menderita selama puluhan tahun karena pengusiran, diskriminasi dan pendudukan, sementara negara yang paling kuat di planet ini, dana dan senjatanya terus melakukan dehumanisasi atas mereka.

(Common-Dreams/Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: