Judul buku: Christianity under Islam in Jerusalem : the question of the holy sites in early Ottoman times
Penulis: Oded Peri
Penerbit: Brill Academic
Tahun Terbit: 2001
Mungkin benar jika dikatakan bahwa tidak ada permasalahan yang terus-menerus dihadapi oleh semua Muslim penguasa Palestina dan menyita banyak waktu mereka, melebihi kesulitan dan perselisihan yang berulang-ulang yang timbul dari permasalahan bahwa Tempat Suci Kristen di Yerusalem dan Betlehem tidak dalam satu kepemilikan tetapi terbagi dan dilayani oleh beberapa komunitas. (Sir Charles H.Luke, Kepala kantor Perwakilan Inggris di Palestina, 1929)
Kristen, sebuah agama yang berdasar pada ajaran samawi, serta peristiwa masa lalu yang sakral, memberi arti penting pada situs-situs di mana keajaiban ilahi ini terjadi. Banyak dari situs-situs ini ditemukan di Yerusalem dan sekelilingnya, tempat paling terkemuka yang selalu menyimpan misteri.
Selain itu, situs yang paling dikuduskan dan dihormati terkait dengan peristiwa yang lebih penting dan konstitutif yang menjadi basis Kekristenan terletak di Yerusalem dan di sekitar Yerusalem. Kesemua tempat itu adalah tentang Kelahiran Yesus di Betlehem dan penyalibannya, serta penguburan Yesus, dan kebangkitannya di Yerusalem.
Situs-situs ini, yang telah dibangun menjadi monumental seperti basilika mewah, berkembang menjadi tempat paling suci di dunia Kristen. Dengan demikian, situs-situs ini menjadi objek yang ingin dituju oleh orang Kristen di mana-mana; melakukan kunjungan serta menunjukkan keterikatan, kepemilikan dan kontrol.
Sejak Kekristenan terbagi menjadi beberapa gereja dan ritus yang berbeda, cita-cita ini menjadi terpecah. Permasalahan tanah suci ini adalah hasil dari konflik internal antar-gereja atas tempat suci ini dan upaya otoritas politik untuk menangani masalah ini.
Masalah lain yang terkait dengan permasalahan tanah suci ini, dan berkontribusi terhadap kompleksitasnya, berasal dari kenyataan bahwa situs-situs ini, tempat paling suci, telah berabad-abad berada di bawah kekuasaan politik kekuatan non-Kristen, dan dalam kasus yang dibahas di sini, di bawah kekuasaan Daulah Utsmaniyah.
Buku ini menjelaskan perlakuan menyeluruh terhadap kebijakan Daulah Utsmaniyah sehubungan dengan tempat suci umat Kristen selama dua abad pertama pemerintahan Daulah Utsmaniyah di Yerusalem. Berdasarkan catatan resmi Daulah Utsmaniyah yang ditemukan di register istana kadi di Yerusalem, serta Arsip Perdana Menteri di Istanbul, ini menyoroti salah satu bab paling tidak jelas dan kontroversial dalam sejarah Kekristenan di bawah Islam di Yerusalem. Meski diterbitkan tahun 2001, tetapi buku ini masih sangat layak baca bagi peminat sejarah Palestina.
10 Cara membantu Palestina (Falisthin Wajibaatul Ummah, Dr.Raghib As-Sirjani)
Ada banyak literatur tentang Permasalahan Tanah Suci di bawah kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Sebagian besar literatur ini berkonsentrasi pada periode ketika permasalahan Tanah Suci telah berkembang dari masalah lokal Daulah Utsmaniyah menjadi isu internasional, atau salah satu unsur dalam kompleksitas diplomatik yang kemudian dikenal sebagai “Permasalahan Timur “. Penurunan kekuatan Daulah Utsmaniyah mendorong kekuatan Eropa menjadi berebut untuk menjadi ahli waris Daulah Utsmaniyah yang melemah.
Pada pertengahan abad kedelapan belas, Permasalahan Tanah Suci menjadi motivasi dalam peperangan ini dan menjadi salah satu isu utamanya. Dalam prosesnya, permasalahan ini berangsur-angsur bergeser dari perhatian secara eksklusif dari Daulah Utsmaniyah, yang terpaksa menerima perintah kekuatan asing. Permasalahan Tempat Suci ini menjadi masalah semua negara Eropa, yang solusinya mereka rumuskan di luar campur tangan Daulah Utsmaniyah dan kemudian dipaksakan oleh forum internasional. Proses ini memuncak dalam Perjanjian Berlin, tahun 1878.
Perjanjian Berlin, yang mengakhiri kebebasan Daulah Utsmaniyah dalam menangani Permasalahan Tanah Suci ini, hanya merupakan “peresmian” dari runtutan kejadian yang telah diskenariokan dan berlangsung cukup lama sebelum peristiwa diplomatik ini. Pada tahun 1757, gereja Ortodoks Yunani mendapatkan kembali kekuasaan mereka di Tanah Suci. Lalu pemerintah Daulah Utsmaniyah menyetujui dan memberikan pengakuan formal kepada mereka.
Sangat sedikit penelitian yang menyentuh soal Tanah Suci Yerusalem di masa ketika Daulah Utsmaniyah masih merupakan kekuatan dominan di Eropa, dan tidak satu pun dari semua penjelasan ini memuaskan, apalagi penjelasan tentang kebijakan Daulah Utsmaniyah mengenai isu kompleks ini.
Jadi pertanyaannya adalah: apa Kebijakan Utsmani sehubungan dengan Tanah Suci selama dua abad pertama pemerintahan Daulah Utsmaniyah di Yerusalem? Dengan kata lain: Bagaimana otoritas Daulah Utsmaniyah menangani persoalan Tanah Suci ketika itu adalah masalah internal yang berkarakter lokal, dan kapan pihak berwenang ini dapat mengajukan solusi independen dan orisinil yang bebas dari campur tangan asing dan tekanan dari luar.
Pada abad keenam belas dan ketujuhbelas, Daulah Utsmaniyah adalah satu-satunya yang berkuasa untuk memutuskan hal-hal mengenai Tempat-Tempat Suci, mereka tidak merasa perlu mengemukakan pernyataan yang menyatakan bahwa tempat-tempat suci ini adalah milik Daulah Utsmaniyah, yang karenanya dapat melakukan apa pun yang mereka sukai. Sampai saat itu, Permasalahan Tempat Suci adalah masalah dalam negeri dari Daulah Utsmaniyah, yang tanggung jawab untuk menyelesaikannya ada di tangan Daulah Utsmaniyah sendiri.
Bagaimana otoritas Daulah Utsmaniyah menangani Permasalah Tempat Suci selama dua abad pertama Daulah Utsmaniyah di Yerusalem? Buku ini memberikan jawaban rinci untuk pertanyaan kompleks ini. Apa yang terjadi mulai pertengahan abad kedelapan belas dan seterusnya dapat dilihat sebagai perubahan substansial dalam unsur utama dari Permasalahan Tempat Suci.
Unsuryang lama dan familiar: Tempat Suci itu sendiri; komunitas Kristen yang berbagi atau melayani tempat-tempat tersebut; dan peraturan Islam yang membawahi pengawasan Situs-situs Suci tersebut, kemudian muncul unsur lain: keterlibatan kekuatan asing (di luar Daulah Utsmaniyah). Penambahan faktor baru untuk masalah kompleks ini membawa perubahan mendasar dalam Persoalan Tempat Suci dan dalam peran yang dimainkan Daulah Utsmaniyah dalam hal ini.
Kebijakan Daulah Utsmaniyah di Tempat Suci Yerusalem digambarkan dalam buku ini sebagai kombinasi kerja antara pandangan keagamaan, keberagaman politik dan pertimbangan praktis mengenai keuntungan ekonomi. Antara akhir abad ke-17 dan akhir abad kesembilan belas, Daulah Utsmaniyah dipaksa untuk secara bertahap meninggalkan prinsip-prinsip ini untuk kemudian tunduk pada kepentingan politik yang disusun, sebagian besar, di Eropa.
(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar