Cuitan Prof Dr. Mahfud MD pada akun twitternya tentang Khilafah mendapat ragam tanggapan, baik yang pro maupun kontra. KH. Muhamad Shiddiq al-Jawi adalah salah satu tokoh yang mempersoalkan sikap Mahfud MD yang menyatakan tidak pernah ada sistem khilafah yang baku. Menurut salah satu Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hizbut Tahrir Indonesia (dulu, sebelum dibubarkan) itu istilah sistem baku khilafah yang diungkap Mahfud MD cacat epistimologis.
Tapi kali ini sanggahan Kiai Shiddiq juga ditanggapi oleh sosok muda, Santri Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur, Abd Wahid. Berikut tanggapan pria asal Sumenep, Madura yang ia tulis di halaman Facebooknya dengan judul “Muhammad Siddiq al-Jawi vs Lelaki Jerami”.
Muhammad Siddiq al-Jawi vs Lelaki Jerami.
(Tanggapan atas Sanggahan KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi terhadap Prof. Dr. Mahfud MD)
Oleh: Abd. Wahid (Santri PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo)
KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi, salah satu Mahasiswa Doktoral UINSA Surabaya, mengkritik Mahfud MD terkait cuitan twitter beliau tentang khilafah. Tulisan ini akan merespon tulisan tersebut dengan menyorot bagian santannya, dan menyisihkan ampasnya.
Pertama-tama, saya ingin mengatakan dengan jujur bahwa saya tidak mengetahui pasti apakah Muhammad Shiddiq membenarkan pernyataan Mahfud MD tentang ketidak-bakuan khilafah atau menyalahkannya. Awalnya, dia mengakui kebenaran pernyataan tersebut dengan mengutip dua masalah yang salah satunya adalah perbedaan ulama tentang apakah khilafah itu harus tunggal atau boleh lebih dari satu.
Kalau memang benar dia mengakui ketidak-bakuan khilafah, semestinya dia tidak mengajukan pertanyaan retoris, “Apakah adanya perbedaan pendapat dalam cabang-cabang hukum khilafah itu berarti khilafah hanya berstatus mubah saja, sehingga boleh saja khilafah itu ditinggalkan dan diganti dengan sistem pemerintahan yang lain, semisal sistem republik?”
Izinkan saya berimajinasi menjadi Pak Mahfud MD untuk menjawab pertanyaan ini, “Kalau kamu mengakui ketidak-bakuan khilafah, mestinya kamu tidak tanya apakah khilafah boleh diganti dengan sistem lain. Sebab, aku masih bingung khilafah yang bagaimana yang kautanyakan boleh diganti atau tidak boleh. Bukankah di ILC sudah kukatakan sistem Pancasila adalah sistem khilafah, tak iyyeh.”
Jadi, Muhammad Shiddiq mengakui terlebih dahulu ketidak-bakuan khilafah, untuk kemudian memaksakan definisnya sendiri perihal khilafah kepada orang lain. Ini yang dalam pepatah disebut dengan hangat-hangat tahi ayam, tidak serius dalam suatu urusan.
Kedua, Muhammad Shiddiq menyerang Mahfud MD dengan silogisme yang ia sebut sebagai jalan pikiran yang sesat dan menyesatkan. Silogisme tersebut adalah:
Premis mayor: Segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib.
Premis minor: Khilafah tidak baku. Simpulan: sistem khilafah tidaklah wajib.
Muhammmad Shiddiq menunjukkan kepada kita kesalahan inferensi di atas, yaitu pada premis mayornya. Segala sesuatu yang tidak baku berarti hukumnya tidak wajib adalah proposisi yang salah.
Ini pasti, seperti penjelasan Muhammad Shiddiq, melalui perbandingan dengan masalah salat yang tata cara dan detailnya tidak baku, tapi hukumnya tetap wajib. Di sini saya harus setuju bahwa silogisme itu cacat dan sesat.
Namun, benarkah Pak Mahfud membuat silogisme itu, baik secara tersirat dan tersurat? Membaca cuitaan twitter-nya, mendengarkan pernyataannya di ILC, dan menyimak kuliah maupun ceramahnya, terang-terangan saya harus mengakui beliau memang diam-diam membuat silogisme semacam itu, yang sayangnya oleh Muhammad Shiddiq salah satu proposisinya digunting, lalu dengan agak memukau menyesatkan Mahfud MD dengan bawa-bawa epistemologi segala.
Sebelum digunting, silogisme itu adalah sebagai berikut:
Premis mayor: segala sesuatu yang tidak baku (bermacam-macam bentuknya) tidak wajib dipakasakan salah satu bentuknya.
Premis minor: khilafah tidak baku (bermacam-macam bentuknya). Simpulan: khilafah tidak wajib dipaksakan salah satu bentuknya.
Dengan gaya yang sama, bisa dikatakan: semua yang tidak baku bentuknya tidak wajib dipaksakan salah satu bentuknya. Salat tidak baku bentuknya. Maka, salat tidak wajib dipaksakan salat satu bentuknya. Orang boleh salat dengan gaya Syafi’iyah kalau mau, atau gaya Hanafiyah kalau suka sebagaimana kitab-kitab Fikih yang mempersilakan berpindah mazhab (عدم الإلتزام بمذهب معين). Silogisme ini tidak semengerikan yang dinarasikan oleh Muhammad Shiddiq.
Apa yang dilakukan oleh Muhammad Shiddiq ini, dalam ilmu logika, dikenal dengan straw man argument (مغالطة رجل القش), yaitu jenis distorsi dengan memalingkan argumentasi lawan ke arah yang mudah disanggah. Karenanya, berdasarkan istilah Inggrisnya, Muhammad Shiddiq telah membuat “lelaki jerami” di kebun imajinasinya, dan menyerangnya dengan mudah sambil berteriak-teriak bahwa yang diserangnya adalah Mahfud MD.
(Serambi-Mata/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar