Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Cinta Kepada Allah

Cinta Kepada Allah

Written By Unknown on Selasa, 23 Januari 2018 | Januari 23, 2018


Hamba yang mencintai Allah SWT dengan sendirinya akan patuh kepadaNya tanpa disertai keluh dan kesah, sebab cinta itu membuatnya mati rasa akan beban kepatuhan.

Allah SWT berfirman;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْم يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّة عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّة عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِم ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاء وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”[1]
 

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ …

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…”[2]


قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ.

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[3]


قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَاد فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ.

“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”[4]


Dalam “Munajat Al-Muhibbin” disebutkan;

إِلَهِي مَنْ ذَا الَّذِي ذَاقَ حَلاوَةَ مَحَبَّتِكَ فَرَامَ مِنْكَ بَدَلاً وَ مَنْ ذَا الَّذِي أَنِسَ بِقُرْبِكَ فَابْتَغَى عَنْكَ حِوَلاً.

“Hai Tuhanku, siapakah yang mengenyam nikmatnya kecintaan kepadaMu kemudian memilih selainMu? Siapakah yang merasa tenang dengan kedekatan kepadaMu kemudian ingin beralih dariMu?”


Diriawayatkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

حبُّ الله إذا أضاء على سرِّ عبد أخلاه عن كلِّ شاغل وكلِّ ذكر سوى الله عند ظلمة. والمحبُّ أخلص الناس سرَّاً لله، وأصدقهم قولاً، وأوفاهم عهداً، وأزكاهم عملاً، وأصفاهم ذكراً، وأعبدهم نفساً، تتباهى الملائكة عند مناجاته، وتفتخر برؤيته، و به يعمر الله ـ تعالى ـ بلاده، وبكرامته يكرم عباده يعطيهم إذا سألوا بحقِّه، ويدفع عنهم البلايا برحمته. فلو علم الخلق ما محلُّه عند الله ومنزلته لديه، ما تقرَّبوا إلى الله إلاّ بتراب قدميه.

“Kecintaan kepada Allah ketika menerangi kesendirian hambaNya niscaya mengosongkannya dari setiap orang yang sibuk dan segala ingatan kepada selain Allah dalam kegelapan. Pecinta adalah orang yang paling ikhlas kepada Allah di kala sendiri, paling jujur tutur katanya, paling tepat janjinya, paling bersih perbuatannya, paling jernih ingatanya, paling mengabdi jiwanya. Para malaikat berbangga dalam munajatnya, dan berbangga memandangnya. Dengannya Allah SWT memakmurnya negerinya. Dengan kemuliaannya Allah memuliakan dan menganugerahi hamba-hambaNya manakala mereka meminta dengan menyebut namanya, dan dengan rahmatnya Allah melindungi mereka dari malapetaka. Seandainya manusia mengetahui bagaimana tempat dan kedudukannya di sisi Allah niscaya mereka tidak akan bertaqarrub kepada Allah kecuali dengan debu telapak kakinya.”[5]


Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata;

حبُّ الله نار لا يمرُّ على شيء إلاّ احترق. ونور الله لا يطَّلع على شيء إلاّ أضاء. وسحاب(5) الله ما يظهر من تحته شيء إلاّ غطّاه. وريح الله ما تهبُّ في شيء إلاّ حرَّكته. وماء الله يحيي به كلّ شيء، وأرض الله ينبت منها كلُّ شيء. فمَنْ أحبَّ الله أعطاه كلَّ شيء من المال والملك.

“Cinta kepada Allah adalah api yang tidak melintasi apapun kecuali membakarnya, dan cahaya Allah tidak memancar pada apapun kecuali meneranginya. Awan Allah, tiada sesuatu menampak dibawahnya kecuali dibayangi olehnya. Angin Allah tidak menghembus pada sesuatu kecuali menggerakkannya. Air Allah menghidupkan segala sesuatu, dan dari bumi Allah segala sesuatu tumbuh. Maka siapa mencintai Allah niscaya Dia memberinya segala sesuatu berupa harta dan kekuasaan.”[6]

Rasulullah SAW bersabada;

إذا أحبَّ الله عبداً من أُمَّتي قذف في قلوب أصفيائه وأرواح ملائكته وسكان عرشه محبَّته; ليحبُّوه، فذلك المحبُّ حقّاً، طوبى له ثُمَّ طوبى له، وله عند الله شفاعةٌ يوم القيامة.

“Ketika Allah mencintai seorang hamba di antara umatku maka Dia menghunjamkan kecintaan kepadanya pada hati hamba-hamba pilihannya serta ruh para malaikat dan penghuni Arasy-Nya agar mereka mencintainya dengan cinta sejati. Maka beruntunglah dia, beruntunglah dia, dan dia mendapat syafaat di sisi Allah pada hari kiamat.”[7]

Ketaatan kepada Allah ada yang bertolak dari pengetahuan akan adanya Sang Pencipta (mabda’) dan hari akhirat (ma’ad), termasuk karena mengikuti keyakinan orang tua atau ulama, misalnya, sebagaimana terjadi pada kebanyakan orang. Ketaatan juga ada yang bertolak dari argumentasi, sebagaimana dialami sebagian kalangan terdidik.

Semua ketaatan ini berbeda dengan ketaatan yang bertolak dari pengetahuan yang disusul dengan cinta. Cinta yang dimaksud adalah cinta pada jenjang-jenjangnya yang tertinggi, bukan cinta sekedarnya yang tentu tak terpisahkan dari diri setiap Muslim.

Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam beberapa poin sebagai berikut;

Pertama, pengetahuan sebagai sumber ketaatan tidak selalu membuah hasil yang diinginkan. Buktinya, sebagian orang fasik tetap saja tak segan-segan berbuat maksiat meskipun mengetahui dan meyakini adanya mabda’ dan ma’ad. Sedangkan jika sumbernya adalah cinta dengan pengertiannya seperti yang maksud tadi maka tidak akan lepas dan menyimpang dari kepatuhan.

Karena itu, kepeduliaan orang tua kepada anak yang sangat dicintainya untuk menyediakan segala sesuatu yang diminta oleh anak selagi permintaan itu tidak membuatnya celaka tak jarang lebih besar daripada kepedulian kepada ketaatan kepada Allah yang secara rasional wajib baginya. Ini terjadi tentu karena kecintaan kepada anak lebih besar daripada kecintaan kepada Allah.

Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadis as berkata;

ما أحبَّ الله ـ عزَّ وجلَّ ـ مَنْ عصاه.

“Allah Azza wa Jalla tidak mencintai orang yang bermaksiat kepadaNya.”

Beliau kemudian bertamsil dengan syair:

تعصي الإله وأنت تُظْهِرُ حبَّه *** هذا محالٌ في الفعال بديعُ

لو كان حبُّك صادقاً لأطعتهُ *** إنَّ المحبَّ لمن يحبُّ مطيعُ

“Kamu bermasiat kepada Tuhan sembari berlagak mencintaiNya. Ini jelas perbuatan yang mustahil. Jika cintamu tulus maka kamu pasti mematuhiNya, sebab pecinta pasti patuh kepada yang dicintainya.”[8]

Kedua, kepatuhan yang berasal dari cinta adalah kepatuhan manusia bermental merdeka, dan mereka inilah yang menyembah Allah SWT karena Dia memang layak disembah. Sedangkan kepatuhan yang berasal hanya dari pengetahuan semata adalah kepatuhan manusia bermental pedagang, atau budak. Yang bermental pedagang menyembahNya demi mendapatkan laba dan keuntungan berupa surga, sedangkan yang bermental budak menyembahNya karena takut mendapatkan siksa dan neraka.

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata;

إنَّ قوماً عبدوا الله رغبة فتلك عبادة التجار، وإنَّ قوماً عبدوا الله رهبةً فتلك عبادة العبيد، وإنَّ قوماً عبدوا الله شكراً فتلك عبادة الأحرار.

“Sesungguhnya ada suatu kaum yang menyembah Allah karena berharap pahala maka itulah ibadah para pedagang, dan ada pula suatu kaum yang menyembah Allah karena takut maka itulah ibadah para budak, dan ada lagi kaum yang menyembah Allah karena bersyukur maka inilah ibadah orang-orang merdeka.”[9]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

قوم عبدوا الله ـ عزَّوجلَّ ـ خوفاً فتلك عبادة العبيد، وقوم عبدوا الله ـ تبارك وتعالى ـ طلب الثواب فتلك عبادة الأُجراء، وقوم عبدوا الله ـ عزّوجلّ ـ حبَّاً له فتلك عبادة الأحرار، وهي أفضل العبادة.

“Ada suatu kaum menyembah Allah Azza wa Jalla karena takut maka itulah ibadah hamba sahaya. Ada pula suatu kaum yang menyembah Allah Tabaraka wa Ta’ala karena berharap pahala maka itulah ibadah para buruh. Ada lagi suatu kaum kaum yang menyebah Allah Azza wa Jalla karena cinta maka itulah ibadah orang-orang merdeka, dan itulah sebaik-baik ibadah.”[10]

Diriwayatkan pula bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

إنَّ الناس يعبدون الله على ثلاثة أوجه : فطبقة يعبدونه رغبةً إلى ثوابه فتلك عبادة الحرصاء، وهو : الطمع، وآخرون يعبدونه خوفاً من النار فتلك عبادة العبيد، وهي : الرهبة، ولكنِّي أعبده حبَّاً له فتلك عبادة الكرام، وهو : الأمن لقوله تعالى : ﴿وَهُم مِّنْ فَزَع يَوْمَئِذ آمِنُونَ﴾ ﴿قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ …﴾( فمَنْ أحبَّ الله ـ عزَّوجلَّ ـ أحبَّه الله، ومن أحبَّه الله ـ عزّوجلّ ـ كان من الآمنين.

“Sesungguhnya manusia menyembah Allah atas tiga hal. Satu golongan menyembahNya karena menginginkan pahalaNya, maka itulah ibadah orang-orang yang berambisi, yaitu ketamakan. Satu golongan lagi menyembahNya karena takut api neraka, maka itulah ibadah para budak, yaitu ketakutan. Tapi aku menyembahNya karena cinta kepadaNya maka itulah ibadah orang-orang mulia, yaitu keamanan sebagaimana firmanNya; ‘..sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tentram dari pada kejutan yang dahsyat pada hari itu.’[11] ‘Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ [12] Siapa mencintai Allah Azza wa Jalla Allahpun mencintainya, dan siapa dicintai Allah Azza wa Jalla dia tergolong orang-orang yang aman.”[13]

Ketiga, ketaatan yang memancar karena cinta selalu berbareng kenikmatan yang luar biasa, sedangkan ketaatan yang terdorong oleh pengetahuan semata akan cenderung menjenuhkan. Hal ini dapat digambarkan dengan perbedaan antara pasien yang akan menemui dokter dan orang yang akan menemui kekasihnya.

Pasien meluangkan waktu di ruang antre karena terpaksa demi kesembuhan. Alih-alih menikmati suasana penantian dan pertemuan dengan dokter itu dia merasa terdera oleh keadaan karena harus meninggalkan pekerjaan atau rutinitas lainnya. Dengan mental demikian, orang yang mendirikan shalat, misalnya, tak nyaman dan jenuh meluangkan waktunya dan meninggalkan rutinitas kesehariannya, tapi terpaksa bersabar melakukannya demi menghindari siksa akibat mengabaikan kewajiban.

Sedangkan ibadah tipe pecinta justru sebaliknya. Dia sangat menikmati suasana percintaan dan tak kenal kata jenuh meskipun dia letih dan kehilangan banyak waktu tidur malamnya, atau banyak waktu mata pencahariannya.

Dalam Mishbah Al-Syari’ah disebutkan;

ألا وإنَّك لو وجدت حلاوة عبادة الله، ورأيت بركاتها، واستضأت بنورها، لم تصبر عنها ساعةً واحدةً ولو قُطِّعت إرباً إرباً.

“Ketahuilah bahwa seandainya kamu menemukan manisnya ibadah kepada Allah, melihat berkah-berkahnya, dan mencari penerangan dari cahayanya niscaya kamu akan tidak betah (berhenti) dari ibadah barang sesaat meskipun kamu dicincang.”[14]

إذا تخلَّى المؤمن من الدنيا سما ووجد حلاوة حبِّ الله، وكان عند أهل الدنيا كأنَّه قد خُولِط، وانَّما خالط القوم حلاوة حبِّ الله، فلم يشتغلوا بغيره.

“Orang yang beriman apabila mengabaikan dunia niscaya akan terbang tinggi dan menemukan manisnya kecintaan kepada Allah. Dia terlihat benar-benar tak waras di pata para pecinta dunia, padahal orang yang beriman itu merasakan manisnya cinta kepada Allah sehingga tidak berurusan dengan selainNya.”[15]

Riwayat ini mirip dengan riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as dalam khutbahnya mengenai orang-orang yang bertakwa berkata;

… لقد خولطوا ولقد خالطهم أمر عظيم.

“Mereka sungguh tak waras, dan mereka sungguh bergelimang perkara nan agung.”[16]

Kecintaan dan kenikmatan ini tak dapat bertemu dengan dosa. Karena itu beberapa riwayat menyebutkan bahwa dosa-dosa merupakan sebab keterasingan dari shalat malam, atau lezatnya munajat. Betapa tidak, sedangkan dosa menimbulkan hijab antara hamba dan Tuhannya, menghancurkan cinta dan kerinduan, menutupi hati dan membuatnya penuh karat.

Dalam Doa Abu Hamzah Al-Tsumali disebutkan;

وأ نَّك لا تحتجب عن خلقك إلاّ أن تحجبهم الأعمال دونك.

“Dan sungguh Engkau tidak membuat hijab dari hamba-hambaMu, melainkan perbuatanlah yang menghijab mereka dariMu.”

Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

إنَّ الرجل ليكذب الكذبة فيحرم بها صلاة الليل.

“Sesungguhnya orang itu telah berkata suatu dusta maka terasinglah dia dari shalat malam.”[17]

Diriwayatkan pula bahwa seorang pria datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib as lalu berkata, “Sungguh aku benar-benar terasing dari shalat malam.” Beliau lantas berkata;

أنت رجل قد قيَّدتك ذنوبك.

“Kamu adalah orang yang terbelenggung oleh dosa-dosamu.”[18]

Imam Musa Al-Kadhim as dalam pesannya kepada Hisyam bin Al-Hakam berkata;
يا هشام، أوحى الله إلى داود (ع) قل لعبادي : لا يجعلوا بيني وبينهم عالماً مفتوناً بالدنيا، فيصدُّهم عن ذكري، وعن طريق محبّتي ومناجاتي، أُولئك قُطَّاع الطريق من عبادي، إنَّ أدنى ما أنا صانع بهم أن أنزع حلاوة عبادتي ومناجاتي من قلوبهم.

“Wahai Hisyam, Allah telah mewahyukan kepada Dawud; ‘Katakanlah kepada hamba-hambaKu bahwa jangan sampai mereka menempatkan di antara Aku dan mereka orang berpengetahuan (alim) yang terpedaya oleh dunia lalu dia menghalangi mereka dari zikir kepadaKu dan dari jalan kecintaan dan munajat kepadaKu. Dia adalah penghalang jalan hamba-hambaKu. Sesungguhnya yang paling ringan di antara apa yang Aku perbuat terhadapnya ialah mencabut kenikmatan ibadah dan munajat kepadaKu dari kalbunya.”[19]

Dalam riwayat lain disebutkan;
أوحى الله إلى داود (ع) أنَّ أهون ما أنا صانع بعالم غير عامل بعلمه أشدّ من سبعين عقوبة أن أُخرج من قلبه حلاوة ذكري

“Allah telah mewahyukan kepada Dawud bahwa sesungguhnya yang paling ringan di antara apa Aku perbuat terhadap alim yang tidak mengamalkan ilmunya adalah lebih pedih daripada 70 siksaan , yaitu Aku mengeluarkan dari hatinya kenikmatan zikir kepadaKu.”[20]

Cinta terkadang menjadi pusat semua keutamaan sehingga sesudahnya akan berbuah maqam demi maqam selanjutnya semisal syauq (kerinduan) dan ridha, sedangkan sebelumnya akan berujung pada maqam demi maqam dasar semisal taubat, sabar, dan zuhud.[21] Dengan kata lain, cinta (mahabbah) adalah puncak jenjang-jenjang umum, dan awal dari jenjang-jenjang khusus.[22]

Sampai di sini telah jelas bahwa keimanan yang sempurna ialah iman yang mencapai jenjang cinta. Tentang ini dalam riwayat yang sahih disebutkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
وهل الإيمان إلاّ الحبُّ والبغض؟

“Bukankah iman tak lain adalah cinta dan benci?”[23]

Beliau kemudian membacakan firman Allah SWT:
…حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الاْيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ.

“… Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”[24]

Dalam hadis sahih lain beliau berkata;
هل الدين إلاّ الحبُّ إنَّ الله ـ عزَّوجلَّ ـ يقول : قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ …

“Bukankah agama tak lain adalah cinta? Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman; ‘Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu[25]….’”[26]

Berikut ini kita akan membahas firman Allah SWT yang mengawali artikel ini, yaitu;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْم يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّة عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّة عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِم ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاء وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”[27]

Mengenai ayat ini dalam berbagai kitab tafsir terdapat beberapa riwayat untuk penerapannya, antara lain sebagai berikut;

Pertama, penerapannya pada Imam Ali bin Abi Thalib as dalam peristiwa Pembebasan Khaibar, atau dalam perang melawan kaum Nakitsin (para pelanggar baiat dalam Perang Jamal), atau perang melawan kaum Qasithin (para pembangkang dalam Perang Shiffin), atau perang melawan kaum Mariqin (para penyimpang dari agama berupa kaum Khawarij dalam Perang Nahrawan).

Dalam peristiwa perang Khaibar, setelah orang-orang lain gagal membebaskan benteng kaum Yahudi tersebut Rasulullah SAW bersabda;
لأُعطينَّ الراية غداً رجلاً يحب الله ورسوله، ويحبُّه الله ورسوله، كرَّاراً غير فرَّار، لايرجع حتى يفتح الله على يده

“Sungguh besok aku akan memberikan bendera kepada seorang ksatria yang mencintai Allah dan RasulNya, dan Allah dan RasulNyapun mencintainya, yang menggempur pantang kabur, dan tidak akan kembali sampai Allah membebaskan melalui tangannya.”

Orang-orang lantas berbeda dugaan mengenai siapakah pria yang akan menerima bendera dari beliau. Pagi harinya semua orang menghadap beliau dan masing-masing berharap akan menerima bendera dari beliau. Beliau lantas bertanya, “Mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, dia sedang sakit mata.”

Beliau meminta mereka mendatangi Ali dan membawanya kepada beliau. Alipun datang, dan beliau memercikkan air ludahnya ke mata Ali dan berdoa untuk kesembuhannya sehingga Alipun sembuh. Beliau lantas menyerahkan bendera kepada Ali.

Ali bertanya;
يا رسول الله أُقاتلهم حتّى يكونوا مثلنا ؟

“Wahai Rasulullah, apakah aku akan memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kami?”

Beliau menjawab;
انفذ على رسلك حتّى تنزل بساحتهم، ثُمَّ ادعهم إلى الإسلام، وأخبرهم بما يجب عليهم من حقِّ الله، فوالله لأن يهدي الله بك رجلاً واحداً خير من أن يكون لك حمر النعم.

“Tunaikanlah misimu sampai kamu tiba di halaman mereka lalu ajaklah mereka kepada Islam, beritahukan kepada mereka apa yang menjadi hak Allah atas mereka. Demi Allah, Allah memberi petunjuk kepada satu orangpun melaluimu lebih baik daripada kamu memiliki kenikmatan materi.”

Sulmah mengisahkan bahwa dari pihak laskar musuh muncul sosok jawara Yahudi bernama Marhab. Dia bersumbar dengan melantunkan syair:
قد علمت خيبر أنِّي مرحب *** شاكي السلاح بطل مجرَّب

“Khaibar mengetahui bahwa Akulah Marhab, jawara terlatih bersenjatakan pedang.”

Ali kemudian tampil dan meladeninya dengan bersyair;
أنا الذي سمّتني أُمّي حيدره *** كليث غابات كريه المنظره

اكيلهم بالسيف كيل السندره

“Akulah yang dinamai Haidar (singa) oleh ibuku, bagai singa belantara bertampang menyeramkan. Akan aku habisi mereka dengan pedang.”

Ali lantas menghantamkan pedangnya ke kepala Marhab hingga terbelah. Ali berhasil membunuhnya, dan kemenanganpun jatuh ke tangannya.[28]

Kedua, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya tentang ayat 54 surat Al-Maidah [5] tersebut beliau menepuk pundak Salman Al-Farisi sembari bersabda;
هذا وذووه… لو كان الدِّين معلَّقاً بالثريَّا لتناوله رجال من أبناء فارس.

“Ini dan orang-orangnya….. Seandainya agama tergelantung di bintang kejora niscaya yang meraihnya adalah para ksatria Persia.”[29]

Ketiga, dalam Tafsir Ali bin Ibrahim disebutkan; “Turun berkenaan dengan Al-Qaim dan para pengikutnya.”[30]

Telah dinyatakan bahwa ketaatan karena cinta sejati sangatlah istimewa dan berbeda dengan ketaatan sekedar karena pengetahuan. Maksud pernyataan ini ialah pertentangan antara pengetahuan yang kering dan tak sampai mengalir ke dalam sanubari di satu sisi dan cinta sejati yang tak mungkin terpisah dari makrifat akan kemaha indahan dan kemahaagungan Allah SWT di sisi lain yang tentunya tidak mungkin mungkin dicapai tanpa ditunjang pengetahuan tentang Allah SWT.

Dengan demikian, maksudnya jelas bukan pertentangan antara cinta semata dan pengetahuan semata. Sebab dasar cinta ialah makrifat yang dihasilkan dari pengetahuan. Ketika makrifat seorang mukmin menghasilkan cinta nan sejati dan tulus maka ibadah menjadi ibadah berkategori manusia merdeka, ibadah yang identik dengan kenikmatan yang tiada taranya dan menyebabkan pelakunya terjaga dari maksiat dan dosa.






Referensi:

[1] QS. Al-Maidah [5]: 54.

[2] QS. Al-Baqarah [2]: 165.

[3] QS. Ali Imran [3]: 31.

[4] QS. Al-Taubah [9]: 24.

[5] Bihar Al-Anwar, jilid 70, hal. 23, dinukil dari Mishbah Al-Syari’ah, hal. 24.

[6] Ibid, hal. 23 – 24. Kalimat terakhir seakan menunjukkan bahwa segala sesuatu di dunia tunduk pada kekuasaan pecinta Allah meskipun bisa jadi dia sama sekali tidak menghendakinya.

[7] Bihar Al-Anwar, jilid 70, hal. 24.

[8] Bihar Al-Anwar, jilid 70, hal. 15.

[9] Nahjul Balaghah, hikmah 237.

[10] Al-Wasa’il, jilid 1, hal. 62, bab 9 Muqaddimat Al-Ibadat, hadis 1.

[11] QS. Al-Naml [27]: 89.

[12] QS. Ali Imran [3]: 31.

[13] Bihar Al-Anwar, jilid 70, hal. 18.

[14] Bihar Al-Anwar, jilid 70, hal. 69.

[15] Bihar Al-Anwar , jilid 73, hal. 56.

[16] Nahjul Balaghah, Khutbah 193.

[17] Al-Wasa’il, jilid 8, hal. 160, Bab 40 Shalat Mandubah, hadis 3.

[18] Ibid, hadis 5.

[19] Bihar Al-Anwar, jilid 1, hal. 154.

[20] Ibid, jilid 2, hal. 32.

[21] Al-Mahajjah Al-Baidha’ jilid 8, hal. 3.

[22] Lihat Manazil Al-Sa’irin, bab pertama di antara bab-bab Al-Ahwal.

[23] Ushul Kafi, jilid 2, hal. 125.

[24] QS. Al-Hujurat [49]: 7.

[25] QS. Ali Imran [3]: 31.

[26] Bihar Al-Anwar, jilid 69, hal. 237.

[27] QS. Al-Maidah [5]: 54.

[28] Bihar Al-Anwar, jilid 21, hal. 3-4.

[29] Majma’ Al-Bayan, jilid 3, hal. 354.

[30] Tafsir Ali bin Ibrahim, jilid 1 berkenaan dengan ayat ayat 54 surat Al-Maidah 



(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: