Sidang lanjutan terkait gugatan atas Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kembali digelar hari ini, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis, (4/1/2018). Agenda sidang kali ini adalah penyampaian duplik atau jawaban dari pihak tergugat yakni Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Salah satu Kuasa Hukum pemerintah, I Wayan Sudirta menjelaskan bahwa sejak pemerintah mencabut Status Badan Hukum HTI, maka Penggugat sudah bukan lagi merupakan Subyek Hukum. “Penggugat sudah tidak memiliki kepentingan hukum untuk melakukan aktivitas organisasi apapun termasuk mengajukan gugatan dalam kapasitasnya sebagai Badan Hukum,” ujarnya.
Menurutnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly selaku Tergugat merupakan Pejabat yang berwenang untuk menerbitk Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tertanggal 19 Juli 2017.
“Berdasarkan Asas Contrarius Actus, maka Tergugat selaku Pejabat yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dengan sendirinya berwenang untuk membatalkannya,” terang Wayan Sudirta. Ia menambahkan penerbitan surat keputusan itu telah sesuai dengan UU Administrasi Pemerintahan dan mempertimbangkan unsur-unsur yuridis, sosiologis dan filosofis.
Pemerintah, menurut I Wayan, menerbitkan surat keputusan pembubaran HTI dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada mengenai kegiatan Penggugat selama ini.
“Dari bukti-bukti yang ada, tampak bahwa kegiatan Penggugat telah mengancam eksistensi Pancasila selaku Ideologi Negara dan Falsafah Negara, dan akan menggantikan UUD 1945 selaku Konstitusi NKRI sekaligus mengancam Keutuhan NKRI,” sambungnya.
Kuasa hukum Menkum HAM ini membeberkan beberapa kegiatan HTI yang dianggap tidak sesuai dengan Pancasila yaitu aksi HTI mengadopsi, menerjemahkan dan menerbitkan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami Hizbut Tahrir (AD Dustur Al Islami) yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani.
Selain itu, HTI juga telah mengadopsi, menerjemahkan dan menerbitkan Buku Peraturan Hidup dalam Islam (Edisi Mutamadah) yang ditulis oleh syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. “Penggugat berulang kali dalam kegiatan dan atau dakwah yang dilaksanakannya di berbagai daerah telah menyatakan maksud dan tujuannya untuk mengganti Pancasila, menghapus sekat-sekat nasionalisme dan demokrasi, serta akan menggantikannya dengan system khilafah yang menghapus Kedaulatan Negara serta batas-batas antar Negara dan yang nantinya akan dipimpin 1 (satu) Khalifah Tunggal,” tegasnya.
HTI juga dinilai telah melakukan upaya-upaya indoktrinasi dan provokasi untuk menghasut serta menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara dan Falsafah Negara, serta UUD 1945 sebagai Konstitusi NKRI.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar