Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meresmikan ground breaking pembangunan hunian uang muka (down payment) atau DP Nol Rupiah di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, kamis, (18/1/2018).
Rumah DP Nol Rupiah ini berupa rumah susun sederhana milik (Rusunami) dan dibangun di lahan seluas 1,4 hektare milik Pemprov DKI Jakarta.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti (Usakti), Trubus Rahadiansyah mencatat 3 cacat dalam program DP nol rupiah tersebut.
1. Tak Punya Payung Hukum
Menurut Trubus, program rumah DP nol rupiah semestinya memiliki payung hukum berupa Perda maupun Pergub.
“Idealnya sebelum program ini dilaksanakan perlu dibuat aturan hukum terlebih dahulu, misalnya yang menyangkut mekanisme dan prosedur pembangunan, skema pembayaran, maupun pembiayaannya yang berasal dari APBD DKI Jakarta,” kata Trubus kepada Wartakotalive.com, Kamis (18/1/2018).
Apalagi hal itu juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (peraturan).
Artinya Pemprov DKI Jakarta harus membuat aturan tersendiri mengenai Rumah Susun DP Nol rupiah,” kata Trubus.
2. UMR DKI Hanya Rp 3,6 Juta per bulan
Trubus mengingatkan upah minimum regional (UMR) untuk DKI Jakarta hanya sebesar 3,6 juta per bulan.
Sehingga, kata Trubus, andaikan bunga 7 persen, untuk dapat Rusunami petak seluas 21 meter persegi dengan harga Rp 187 juta, seseorang yanh bergaji Rp 7 juta harus mencicil 15 tahun dengan angsuran bulanan sekitar Rp 2,1 juta.
Apabila dicicil dengan tenor 10 tahun, maka harus membayar sebulan Rp 2,6 juta.
Tetapi kalau Rusunami seharga Rp 320 juta tipe 36 cicilan untuk tenor 15 tahun menjadi Rp 3,64 juta.
“Dengan demikian apakah dengan UMR Rp 3,6 juta per bulan, seseorang mampu untuk membeli rusun tersebut, meski dp nol persen?” kata Trubus.
3. Cenderung Membohongi Publik
Trubua beranggapan ebijakan Rusun DP nol rupiah cenderung membohongi publik.
Sebab pada akhirnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sulit membelinya meskipun dengan cicilan ringan dan bunga rendah.
Andaikan masyarakat mengalami kegagalan membayar cicilan atau macet, siapakah yang akan menanggung?
“Kebijakan ini nampaknya hanya sekedar pencitraan untuk memenuhi janji politik. Dan dilakukan tanpa perencanaan, formulasi yang matang, serta cenderung dipaksakan,” ujar Trubus.
Akibatnya nanti masyarakat juga akan dirugikan. Apalagi masa Jabatan Gubernur hanya 5 tahun.
“apakah ketika gubernur berganti menjamin tidak akan mengganti kebijakan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, ketika pejabat berganti maka kebijakan juga akan berganti,” ucap Trubus.
(Tribun-News/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar