Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Tawadhu

Tawadhu

Written By Unknown on Sabtu, 06 Januari 2018 | Januari 06, 2018


Allah SWT berfirman;

وَعِبَادُ الرَّحْمنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الاْرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاَماً.

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”[1]


وَلاَ تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولاً.

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”[2]


وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي الاْرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَال فَخُور * وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الاْصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”[3]

“Tawadhu’” adalah iktikad untuk merendah diri yang sedemikian kuat dalam jiwa sehingga berpengaruh pada perasaan, kecenderungan, dan perangainya di hadapan Allah SWT, para rasulNya, para insan maksum waliNya, dan orang-orang yang beriman. Lawan tawadhu’ adalah “takabur” yang berarti sombong, yaitu perilaku yang jika dilakukan di hadapan Allah maka menjadi kufur terhadap Allah, dan jika dilakukan di hadapan RasulNya atau para imam maksum maka menjadi kufur terhadap Rasul atau imam maksum. Sedangkan jika dilakukan di hadapan orang yang beriman maka menjadi maksiat dan dosa besar, dan inilah yang terkadang terjadi di antara sesama umat Islam.

“Takabur” berbeda dengan “kibir” yang berarti merasa lebih tinggi daripada orang lain, tapi tidak menunjukkan perasaan ini kepada orang lain. Sedangkan takabur menampakkan perasaan kibir tersebut dengan perangai dan tingkah lakunya. Kibir sendiri berbeda dengan “ujub”, karena kibir adalah merasa besar dan unggul di hadapan pihak lain, yaitu Allah SWT, atau RasulNya, atau imam, atau orang yang beriman, sedangkan ujub adalah merasa besar dan takjub pada diri meskipun tidak dikaitkan pada pihak lain, dan ini juga tergolong dosa besar.


Kibir

Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa kibir adalah milik Allah SWT semata, yakni hanya Dialah yang patut menunjukkan sifat kibir. Alasan jelas, yaitu bahwa Allah adalah satu-satunya Zat Yang tak tersentuh segala bentuk kekurangan sehingga Dialah Yang Maha Besar dan pantas untuk sombong (kibriya’).

Dari Ala’ bin Fudhaild dengan sanad yang sempurna dari Imam Jakfar Al-Shadiq as bahwa ayahnya, Imam Muhammad Al-Baqir as, berkata;

العِزّ رداء الله، والكِبْر إزاره، فمَنْ تناول شيئاً منه أكبَّه الله في جهنَّم.

“Kemulian dan kibir adalah ‘gaun’ Allah, maka siapa menjamahnya barang sedikit niscaya Allah akan menyungkurkannya ke neraka Jahannam.”[4]


Dari Muammad bin Atha’ bahwa Imam Al-Baqir as berkata;

الكِبْر رداء الله، والمتكبِّر ينازع الله رداءه.

“Kibir adalah gaun Allah, sedangkan orang yang tak takabur tak ubahnya dengan menarik gaunNya.”[5]

Dari Laits Al-Muradi bahwa Imam Al-Shadiq as berkata;

الكِبْر رداء الله، فمَنْ نازع الله شيئاً من ذلك أكبَّه الله في النار.

“Kibir adalah gaun Allah, siapa menarik barang sedikit di antaranya maka Allah akan menyungkurkannya ke neraka.”[6]


Kibir atau kibriya’ yang berarti kesombongan adalah milik Allah SWT semata. Karena itu. beberapa riwayat menyebut kesombongan yang ditunjukkan oleh seseorang sebagai jenjang terendah ateisme (ilhad).

Al-Hakim bertanya kepada Imam Jakfar Al-Shadiq as mengenai jenjang terendah ateisme, beliaupun menjawab;

إنَّ الكِبْر أدناه

“Sesungguhnya kibir adalah jenjang terendahnya.”[7]


Ujub

Ujub merupakan salah satu penyebab kibir. Orang yang takjub pada dirinya praktis merasa unggul atas orang lain. Banyak riwayat yang mencela ujub, antara lain sebagai berikut;

Riwayat pertama, Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa suatu hari Nabi Musa as ketika sedang duduk tiba-tiba Iblis datang mengenakan gaun warna-warni berpenutup kepala. Iblis segera menanggalkan gaun itu ketika Nabi Musa as mendekatinya. Dia mendatangi dan mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bertanya, “Siapa kamu?” Iblis menjawab, “Aku Iblis.” Beliau berkata, “Kamu, semoga Allah tidak mendekatkan rumahmu.”

Dia berkata, “Aku datang kepadamu semata untuk mengucapkan salam kepadamu karena kedudukanmu di sisi Allah.” Beliau bertanya, “Lantas ada apa dengan gaun berpenutup kepala ini?” Dia menjawab, “Dengannya aku mengambil hati anak keturunan Adam.” Beliau bertanya lagi, “Maka beritahulah aku dosa yang dilakukan oleh keturunan Adam di mana kamu dapat mengalahkannya.”

Iblis menjawab, “Yaitu ketika ia merasa takjub pada dirinya, memperbanyak amal baiknya, dan dosanya terlihat kecil di matanya.”

Rasulullah SAW kemudian bersabda bahwa Allah SWT berfirman kepada Daud as, “Wahai Daud, berilah berita gembira kepada para pendosa, dan berilah peringatan kepada para shiddiqin (orang-orang yang konsisten antara perkataan dan perbuatannya).” Daud bertanya, “Bagaimana aku dapat memberi kabar gembira kepada para pendosa, dan memberi peringatan kepada para shiddiqin?”

Allah SWT berfirman;
يا داود بشّر المذنبين أ نِّي أقبل التوبة، وأعفو عن الذنب، وأنذر الصدّيقين ألاّ يعجبوا بأعمالهم; فإنَّه ليس عبدٌ أنصِبه للحساب إلاَّ هلك.

“Wahai Daud, berilah kabar gembira kepada para pendosa bahwa Aku menerima taubat dan mengampuni dosa (agar mereka bertaubat), dan berilah peringatan kepada para shiddiqin agar mereka tidak merasa takjub pada amalannya, sebab tak ada hamba yang Aku hadapkan pada perhitungan binasa.”[8]

Riwayat kedua, diriwayatkan dari Imam Jakfar Al-Shadiq as atau ayahnya, Imam Muhammad Al-Baqir as, berkata;
دخل رجلان المسجد أحدهما عابد والآخر فاسق، فخرجا من المسجد والفاسق صدِّيق والعابد فاسق; وذلك أنَّه يدخل العابد المسجد مدلاًّ بعبادته يدلُّ بها، فتكون فكرته في ذلك، وتكون فكرة الفاسق في التندم على فسقه ويستغفر الله عزّوجلّ ممَّا صنع من الذنوب.

“Suatu hari dua orang masuk ke masjid, yang satu adalah tekun beribadah dan yang laih fasik. Keduanya lantas keluar dari masjid dalam keadaan yang fasik menjadi shiddiq dan yang tekun beribadah menjadi fasik. Demikian ini adalah karena yang tekun beribadah merasa bangga dengan ibadahnya sehingga pikirannya tertuju pada yang demikian, sedangkan pikiran orang yang fasik tertuju pada penyesalan atas kefasikannya dan memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya.”[9]

Riwayat ini mirip dengan hikayat yang dinukil dalam Al-Mahajjah Al-Baidha’ dari Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali. Disebutkan bahwa di tengah Bani Israil terdapat seorang pria yang sedemikian banyak berbuat nista sehingga dijuluki orang sebagai “Khali’ Bani Israil” (orang bejatnya Bani Israil).

Suatu hari dia berada di dekat seorang pria lain yang sedemikian alim dan tekunnya beribadah sehingga dijuluki “Abid Bani Israel” (orang alimnya Bani Israel). Si Abid bahkan memiliki keromah berupa terpayungi oleh awan. Ketika melintas di dekat Abid, Khali’ bergumam, “Aku adalah orang bejatnya Bani Israil, sedangkan dia adalah orang alimnya Bani Israil. Karena itu sebaiknya aku duduk di dekatnya barangkali Allah akan mengasihiku.” Dia lantas duduk di sisinya.

Namun, sejenak kemudian Abid juga bergumam dalam dirinya, “Aku adalah orang alimnya Bani Israil, sedangkan dia adalah orang bejatnya Bani Israil, lantas mengapa dia duduk di dekatku.” Abid merasa risih didekati Khali’ sehingga kemudian tak segan-segan memintanya menyingkir. Allah SWT lantas menurunkan wahyu kepada nabiNya pada zaman itu bahwa Khali’ diampuni dosa-dosanya, sedangkan Abid justru gugur amal baiknya. Dalam hadis lain disebutkan bahwa awan yang memayungi Abid bahkan berpindah memayungi Khali’.

Takabur atau kibir juga bisa disebabkan oleh perasaan yang justru kerdil dan hina. Orang yang berperasaan demikian akan cenderung berusaha untuk menebusnya dan membalas orang lain yang dinilainya telah menganggap dirinya hina. Tentang ini dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq AS berkata;

ما من رجل تكبَّر أو تجبَّر إلاَّ لذلَّة وجدها في نفسه.

“Tak ada orang takabur atau merasa besar kecuali ada kehinaan yang dia temukan dalam dirinya.”[10]

Kibir dapat disebuhkan antara lain dengan mengatasi penyebabnya;

Jika penyebabnya adalah perasaan hina dan kerdil, misalnya, maka penderitanya harus menyadari dan mengingat bahwa Allah SWT menciptakan manusia dalam keadaan mulia, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا.

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”[11]

ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ.

“Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.”[12]

Dia harus menyadari bahwa faktor kehinaan manusia hanya kufur dan maksiat kepada Allah. Kehinaan yang sejati bukanlah karena kelemahan ekonomi, atau minim dan tak adanya anak dan keturunan, atau kelemahan fisik, atau keburukan rupa, atau tidak adanya pangkat dan kedudukan duniawi.

Jika penyebab kibir adalah kefasikan maka dia harus meninggalkan kefasikan. Jika penyebab kibir adalah rasa takjub pada diri maka hendaknya dia memperhatikan segala aib dan kekurangannya yang jumlah jauh lebih banyak daripada kelebihannya, atau bahkan bisa jadi apa yang dianggapnya kelebihan itu ternyata justru aib dan kekurangan, misalnya jika kesuksesannya dalam status ekonomi dan sosial didapat dengan cara culas dan aniaya lalu dia merasa cerdik dan pemberani.

Seandainyapun rasa takjubnya itu berkenaan dengan sesuatu yang memang merupakan suatu kelebihan maka hendaknya dia mengingat masa depan yang tak jelas baginya. Takjub demikian bahkan bisa menjadi salah satu penyebab dia akan kehilangan kelebihan itu di masa mendatang. Tentang ini, sebagai dinukil dalam Mishbah Al-Shyari’ah, Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

العَجب كلُّ العجب ممَّن يُعْجب بعمله وهو لا يدري بما يُختَم له. فمن اُعجب بنفسه وفعله فقد ضلَّ عن نهج الرشاد، وادَّعى ما ليس له، والمدّعي من غير حقٍّ كاذب وإن خفي دعواه وطال دهره، فإنَّه أوَّل ما يُفعَل بالمعجب نزع ما أُعجب به ; ليعلم أنَّه عاجز حقير ويشهد على نفسه; لتكون الحُجَّة عليه أوكد كما فُعِلَ بإبليس.

“Yang paling mengherankan adalah orang yang takjub kepada amal perbuatannya padahal dia tidak mengetahui apa yang akan menjadi penutupan baginya. Maka siapa yang takjub pada diri dan perbuatannya maka dia telah menyimpang dari jalan yang lurus, dan mengakui sesuatu yang tidak ada padanya. Orang yang tak benar dalam pengakuan adalah pendusta, meskipun pengakuannya itu tersembunyi dan lama jangka waktunya. Sesungguhnya apa yang pertama kali dilakukan terhadap orang yang takjub (pada dirinya) ialah pencabutan apa yang dia takjub kepadanya agar hujjah terhadapnya menjadi lebih kuat sebagaimana yang telah dilakukan terhadap Iblis.”[13]

Kibir adalah penyakit yang sangat rawan menimpa para ulama non-rabbani. Ulama rabbani adalah ulama yang memiliki dua karakteristik sebagai berikut;

Pertama, ilmu yang dimilikinya menjurus pada makrifat akan dirinya dan Tuhannya. Dalam riwayat disebutkan;

مَنْ عرف نفسه فقد عرف ربَّه.

“Barangsiapa mengetahui dirinya maka dia sungguh telah bermakrifat kepada Tuhannya.”[14]

Pengetahuan demikian jelas akan membuat pemiliknya merendah dan khusyuk, karena dengan menyelami dirinya maka akan terungkap baginya berbagai kekurangan dirinya dalam jumlahnya tak terkira, dan akan terlihat pula keagungan Tuhan yang tiada taranya.

Kedua, menyertai ilmu dengan tahdzib al-nafs atau penggemblengan atau penyucian jiwa. Ilmu tanpa disertai tahdzib tidak akan bermanfaat dan malah bisa berbahaya. Ilmu atau pengetahuan ibarat pedang bermata dua. Sebab, mengetahui sesuatu akan membantu seseorang untuk menempatkannya pada tempatnya ataupun tidak pada tempatnya. Dengan tahdzib al-nafs manusia dapat menggunakan ilmunya untuk keadilan, bukan kezaliman. Sains dab teknologi pembuatan senjata mutakhir, misalnya, dapat digunakan untuk penegakan keadilan dan perang melawan serangan musuh Allah, bukan malah untuk memerangi kaum beriman.

Pengetahuan minus tahdzib al-nafs dapat menyebabkan takabur, sedangkan jika disertai tahdzib al-nafs maka akan membuat pemiliknya tawadhu’ karena betapapun hebatnya pengetahuan yang dimiliki dia tetap akan sadar bahwa di depannya masih terlampau banyak sesuatu yang tak diketahuinya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;

وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إلاَّ قَلِيلاً.

“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”[15]

Dia juga akan menyadari bahwa pengetahuan yang ada pada dirinya tak lain adalah berkat anugerah dari Allah SWT, bukan datang dengan sendirinya, dan Allah Maha Kuasa untuk sewaktu-waktu menarik ilmu itu darinya. Dia tidaklah lebih hebat dan mulia daripada Rasullullah SAW yang tentang beliau Allah SWT berfirman;

وَلَئِنْ شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ ثُمَّ لاَ تَجِدُ لَكَ بِهِ عَلَيْنَا وَكِيلاً * إِلاَّ رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّ فَضْلَهُ كَانَ عَلَيْكَ كَبِيراً.

“Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembelapun terhadap Kami, kecuali karena rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya karunia-Nya atasmu adalah besar.”[16]

Orang yang rajin dan tekun beribadah juga rentan terkena penyakit kibir. Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as mengisahkan ada seorang alim yang datang kepada seorang abid (tekun beribadah) lalu terjadi percakapan.

Alim : “Bagaimana shalatmu”

Abid : “Apakah patut orang seperti aku ditanya tentang shalatnya, sedangkan aku beribadah kepada Allah sejak sekian lama.”

Alim : “Lantas bagaimana tangisanmu?”

Abid : “Aku menangis hingga berderai air mata.”

Alim : “Tertawamu dalam keadaan takut lebih baik daripada tangisanmu dalam keadaan berbangga diri. Orang yang berbangga diri amalannya sama sekali tidak akan melambung.”[17]

Ibadah kepada Allah SWT berdasarkan ilmu dan kecerdasan jelas berbeda dengan ibadah yang tak didasari pengetahuan. Ibadah orang mumpuni ilmunya pasti akan ikhlas dan terjauh dari ujub dan kibir. Karena itu tak terbayang betapa agungnya ibadanya para nabi dan rasul.

Tentang ini ada sebuah riwayat berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf AS ketika ditemui oleh ayahandanya, Nabi Ayyub AS, di dalam istana. Diriwayatkan dalam Al-Kafi bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq AS berkata;

إنَّ يوسف (ع) لمَّا قدم عليه الشيخ يعقوب (ع) دخله عزُّ المُلْك، فلم ينزل إليه، فهبط جبرئيل (ع) ، فقال : يا يوسف ابسط راحتك (يعني : باطن الكفّ) فخرج منها نور ساطع فصار في جوّ السماء، فقال يوسف (ع) : يا جبرئيل ما هذا النور الذي خرج من راحتي ؟ فقال : نزعت النبوَّة من عقبك عقوبة لما لم تنزل إلى الشيخ يعقوب، فلا يكون من عقبك نبيّ.

“Sesungguhnya ketika didatangi oleh Ya’kub AS Yusuf AS termasuki oleh keagungan sebagai raja sehingga tidak turun menyambut Syeikh Ya’kub AS. Jibril AS lantas turun dan berkata, ‘Wahai Yusuf, bukalah telapak tanganmu.’ Maka keluarlah cahaya cemerlang (dari telapak tangan Yusuf AS) dan kemudian melayang di angkasa sehingga Yusuf AS bertanya, ‘Wahai Jibril, cahaya apakah yang keluar dari telapak tanganku ini?’ Jibril menjawab, ‘Kenabian tercabut dari keturunanmu karena kamu tidak turun menyambut Syeikh Ya’kub, sehingga tak ada satupun nabi yang berasal dari keturunanmu.”[18]

Allamah Al-Majlisi saat menafsirkan riwayat ini menjelaskan bahwa bahwa apa yang masuk dalam diri Nabi Yusuf AS itu harus diartikan bukan sebagai takabur dan tindakan merendahkan ayahnya, sebab para nabi bersih dari sifat demikian, melainkan semata demi menjaga kemaslahatan dan menjaga kehormatan dan kedudukannya di depan khalayak, namun menjaga adab kepada ayah yang juga seorang nabi dan sangat merindukan Yusuf AS rupanya harus lebih utamakan (awla) daripada menjaga kemaslahatan itu. Dengan demikian, lanjut Al-Majlisi, apa yang terjadi pada Yasuf tergolong tindakan meninggalkan “awla” sehingga meskipun cahaya kenabian keluar dari sulbinya beliau tetap bukan orang yang tercela, dan kalaupun berkekurangan maka kekurangan itu hanya karena dibandingkan dengan tingkatan akhklak yang lebih tinggi dan tak dapat dikaitkan dengan sifat takabur.[19]

Penjelasan Al-Majlisi ini relevan jika memang riwayat itu sahih, sebab bisa jadi riwayat itu tidak sahih.

Ilmu dan ibadah menimbulkan kibir jika tidak memenuhi syarat, sedangkan jika memenuhi syarat maka yang terjadi adalah sebaliknya, menyebabkan tawadhu’ dan khusyuk. Untuk mengetahui lebih jauh tentang ini mari kita simak sebuah riwayat dari Imam Jakfar Al-Shadiq as tentang hakikat ilmu dan hakikat ibadah serta pengaruh keduanya.

Diriwayatkan dalam di Bihar Al-Anwar[20] dari Unwan Al-Bisri, pria yang baru setelah berusia 94 tahun sempat diri berguru kepada Imam Al-Shadiq as. Dia berkisah;

“Selama bertahun-tahun semula aku sering mendatangi Malik bin Anas. Ketika Jakfar Al-Shadiq AS datang ke Madinah baru aku mendatanginya dan berharap aku dapat menimba pengetahuan sebagaimana aku menimba dari Malik. Suatu hari beliau berkata kepadaku, ‘Aku adalah orang yang dicari, meski demikian aku memiliki wirid-wirid di setiap waktu siang dan malam, maka janganlah menyibukkan aku dari wirid-wiridku. Ambillah dari Malik sebagaimana semula kamu mengambil darinya.’

“Aku sedih atas perkataan beliau ini dan pergi meninggalkannya sembari bergumam, ‘Jika beliau menghendaki kebaikan padaku maka tidak mungkin beliau menolak kedatanganku untuk menimba pengetahuan darinya.’ Aku lantas memasuki Masjid Rasul SAW dan mengucapkan salam atasnya. Besoknya aku kembali ke Raudhah dan menunaikan shalat dua rakaat di dalamnya. Aku berdoa, ‘Aku memohon kepadamu, ya Allah, agar Engkau lunakkan hati Jakfar kepadaku, dan agar Engkau anugerahi aku pengetahuan darinya yang dengannya aku mendapat petunjuk ke jalanMu yang lurus.’

“Kemudian aku pulang dengan rasa senang, dan aku tidak mendatangi Malik bin Anas, sebab hatiku terpuaskan oleh kecintaan kepada Jakfar. Aku tidak keluar rumah kecuali untuk shalat wajib hingga kemudian hilang kesabaranku. Dadaku sesak sehingga aku mengenakan pakaian dan alas kaki dan pergi menuju Jakfar setelah shalat Asar. Aku mengetuk pintu rumahnya dan memohon izin kepadanya. Seorang pelayan keluar dan bertanya, ‘Ada perlu apa?’ Aku berkata, ‘Salam atas Yang Mulia (Syarif).’ Pelayan berkata, ‘Beliau sedang mendirikan shalat di mushallanya.’ Aku duduk di pintu rumah beliau, tapi tak lama kemudian pelayan keluar lagi dan berkata, ‘Masuklah, dengan keberkahan dari Allah.’

“Aku masuk dan mengucapkan salam kepada beliau, dan beliaupun membalas salam lalu berkata, ‘Duduklah, semoga Allah mengampunimu.’ Aku duduk dan beliau bertanya, “Engkau Abu siapa?’ Aku menjawab, ‘Aku Abu Abdillah.’ Beliau berkata, ‘Semoga Allah mengukuhkan kuniyah (julukan berdasarkan nama anak tertua)-mu, dan semoga Allah memberimu taufik, wahai Abu Abdillah. Apa yang hendak kamu tanyakan?’

“Aku berkata, ‘Aku telah memohon kepada Allah agar Dia melembutkan hatimu kepadaku, mencurahkan ilmu darimu, dan aku berharap Allah SWT mengabulkan doaku untuk bertanya-tanya kepadamu.’

Beliau berkata;

يا أبا عبدالله ليس العلم بالتعلُّم إنَّما هو نور يقع في قلب مَنْ يريد الله ـ تبارك وتعالى ـ أن يهديه، فإن أردت العلم فاطلب أوَّلاً في نفسك حقيقة العبوديَّة، واطلب العلم باستعماله، واستفهم الله يفهِّمك.

‘Wahai Abu Abdillah, ilmu bukanlah dengan belajar, melainkan cahaya yang menimpa hati orang yang Allah SWT menghendaki untuk memberi petunjuk[21] kepadanya. Jika kamu menghendaki ilmu maka carilah dulu dalam dirimu hakikat ubudiyyah[22], tuntutlah ilmu dengan menggunakannya, dan memintahlah pemahaman kepada Allah niscaya dia akan memahamkanmu.’

“Aku berkata, ‘Wahai Yang Mulia…’ Beliau berkata, ‘Panggillah aku: Abu Abdillah.[23]’ Aku berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, apa hakikat ubudiyyah?’

“Beliau menjawab;

ثلاثة أشياء : أن لايرى العبد لنفسه فيما خوَّله الله مُلكاً; لأنَّ العبيد لا يكون لهم ملك، يرون المال مال الله يضعونه حيث أمرهم الله به، ولايدبِّر العبد لنفسه تدبيراً وجملة اشتغاله فيما أمره تعالى به ونهاه عنه، فإذا لم يرَ العبد لنفسه فيما خوَّله الله ـ تعالى ـ مُلكاً، هان عليه الإنفاق فيما أمره الله ـ تعالى ـ أن ينفق فيه، وإذا فوَّض العبد تدبير نفسه على مدبِّره، هان عليه مصائب الدنيا، وإذا اشتغل العبد بما أمره الله تعالى ونهاه، لايتفرَّغ منهما إلى المراء والمباهاة مع الناس، فإذا اكرم الله العبد بهذه الثلاثة، هان عليه الدنيا وإبليس والخَلْق، ولا يطلب الدنيا تكاثراً وتفاخراً، ولا يطلب ما عند الناس عزَّاً وعلوَّا، ولا يدع أيامه باطلاً. فهذا أوَّل درجة التُقى، قال الله تبارك وتعالى : ﴿تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لاَ يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الاْرْضِ وَلاَ فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ﴾.

‘Ada tiga sesuatu; Pertama, hamba hendaknya tidak memandang dirinya sebagai pemilik bagi apa yang telah Allah limpahkan kepadanya, sebab hamba bukanlah pemiliknya. Hamba hendaknya memandang harta sebagai milik Allah sehingga mereka dapat menempatkannya sesuai apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. Kedua, hamba hendaknya tidak berbuat untuk kepentingannya diri sendiri. Ketiga, memperhatikan perintah dan larangan Allah semata.

“Jika hamba tidak menganggap apa yang dilimpahkan Allah kepadanya sebagai miliknya maka mudah baginya menginfakkannya pada apa yang telah diperintahkan Allah kepadanya. Jika hamba memasrahkan urusan dirinya kepada Zat Pengurusnya maka ringanlah baginya segala musibah dunia. Jika hamba mengindahkan perintah dan larangan Allah maka tak ada kesempatan baginya untuk berbangga diri dan sombong kepada orang lain.

“Jika Allah memuliakan hamba dengan tiga hal ini maka remehlah dunia, iblis, dan makhluk baginya, dia tidak akan mencari dunia untuk bermegah-megahan dan berbangga-banggaan, tidak mencari kedudukan dan kehormatan yang ada pada masyarakat, dan tidak akan membiarkan waktunya berlalu sia-sia. Ini merupakan jenjang awal ketakwaan. Allah SWT berfirman; Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’[24]

“Aku berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, berilah aku pesan wasiat.’

“Beliau berkata;

أُوصيك بتسعة أشياء، فإنَّها وصيَّتي لمريدي الطريق إلى الله تعالى، والله أسأل أن يوفِّقك لاستعماله : ثلاثة منها في رياضة النفس، وثلاثة منها في الحلم، وثلاثة منها في العلم، فاحفظها وإيَّاك والتهاون بها.

‘Aku berwasiat kepadamu dengan sembilan sesuatu, sesungguhnya ini adalah wasiatku bagi orang yang menghendaki jalan menuju Allah Ta’ala. Aku berharap Allah memberimu taufik menggunakannya. Tiga antaranya berkenaan dengan penempaan jiwa, tiga lainnya berkenaan dengan lemah lembut, dan tiga lagi berkenaan dengan ilmu. Maka jagalah wasiat ini, dan janganlah menyepelekannya.’”

Unwan berkata, “Wasiat itu melegakan hatiku kepada beliau.”

Unwan berkata; “Beliau berkata;

أمَّا اللواتي في الرياضة : فإيَّاك أن تأكل ما لا تشتهيه; فإنَّه يورث الحماقة والبله، ولا تأكل إلاَّ عند الجوع، وإذا أكلت فكل حلالاً، وسمِّ الله، واذكر حديث الرسول (ص): ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرَّاً من بطنه، فإن كان ولابدَّ فثلث لطعامه، وثلث لشرابه، وثلث لنَفَسه.

‘Mengenai penempaan jiwa, janganlah memakan apa yang tidak kamu inginkan, karena menyebabkan kebodohan dan kedunguan. Jangan makan kecuali ketika lapar, dan jika kamu makan maka makanlah yang halal, dan sebutlah Nama Allah. Aku kutipkan hadis Rasulullah SAW; Anak keturunan Adam tidak pernah mengisi bejana lebih buruk daripada perutnya. Jika memang harus melakukannya maka hendaknya sepertiga untuk makannya, sepertiga lain untuk minumnya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.

وأمَّا اللواتي في الحلم فمَنْ قال لك : إن قلت واحدة سمعت عشراً، فقل : إن قلت عشراً لم تسمع واحدة، ومَنْ شتمك فقل له : إن كنت صادقاً فيما تقول فأسأل الله أن يغفر لي، وإن كنت كاذباً فيما تقول فالله أسأل أن يغفر لك، ومَنْ ومن وعدك بالخني فعده بالنصيحة والرعاء .

‘Mengenai lemah lembut, maka siapa berkata kepadamu; “Jika kamu berkata satu kalimat maka kamu mendengar sepuluh kalimat”, maka katakanlah, “Jika aku berkata sepuluh kalimat kamu tidak mendengar satu kalimatpun.” Siapa yang menghujatmu maka katakanlah kepadanya, “Jika apa yang kamu katakan itu benar maka aku memohon kepada Allah agar mengampuniku, sedangkan jika kamu berdusta maka aku memohonkan kepadaNya agar mengampunimu. Siapa yang berjanji keji kepadamu maka berilah dia janji nasihat dan perhatian.”’

وأمَّا اللواتي في العلم : فاسأل العلماء ما جهلت، وإيَّاك أن تسألهم تعنُّتاً وتَجْرِبة، وإيّاك أن تعمل برأيك شيئاً، وخذ بالاحتياط في جميع ما تجد إليه سبيلاً، واهرب من الفتيا هربك من الأسد، ولا تجعل رقبتك للناس جسراً. قم عنِّي يا أبا عبدالله فقد نصحت لك، ولا تفسد عليَّ وردي; فإنِّي امرؤ ضنين بنفسي، والسلام على مَنْ اتَّبع الهدى.

‘Mengenai ilmu, bertanyalah kepada ulama apa yang tidak kamu ketahui. Janganlah sekali-kali bertanya kepada mereka dalam rangka fanatik dan menguji, dan janganlah mengamalkan pendapat sendiri sedikitpun. Ambillah dengan hati-hati dalam segala apa yang kamu temukan sebagai jalan kepadanya. Hindarilah berfatwa sebagaimana kamu kabur dari singa, dan janganlah kamu menjadikan lehermu sebagai jembatan bagi orang-orang. Bangkitlah dariku, wahai Abu Abdillah, sungguh aku telah bernasihat kepadamu, dan janganlah kamu merusak wirid-wiridku, sesungguhnya aku adalah orang yang kikir akan diriku. Salam sejahtera atas orang yang mengikuti petunjuk.’”

Ulama rabbani tidak mungkin bertakabur akan ilmunya antara lain karena ilmu adalah hujjah, dan dari aspek ini urusan seorang yang alim atau berpengetahuan lebih krusial daripada urusan orang yang tak berpengetahuan.

Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;

يُغفَر للجاهل سبعون ذنباً قبل أن يُغفَر للعالم ذنب واحد.

“Orang yang bodoh akan diampuni 70 dosanya sebelum satu dosa orang yang berpengetahuan diampuni.”[25]

Rasulullah SAW bersabda;

مَنْ ازداد علماً ولم يزدد هدىً لم يزدد من الله إلاّ بعداً.

“Barangsiapa bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuk (baginya) maka tidak menambah kecuali kejauhan dari Allah.”[26]

Beliau juga bersabda;

أشدّ الناس عذاباً يوم القيامة عالم لم ينفعه علمه.

“Orang yang paling pedih azabnya di hari kiamat ialah orang berilmu tapi ilmunya tak bermanfaat baginya.”[27]

Diriwayatkan oleh Mas’adah bin Ziyad dengan sanad yang sahih dari Imam Jakfar Al-Shadiq as dari para leluhurnya bahwa Imam Ali as berkata;

إنَّ في جهنَّم رحىً تطحن خمساً، أفلا تسألون ما طحنها ؟

“Sesungguhnya di neraka Jahannam terdapat gilingan yang menggiling lima (golongan). Tidakkah kalian bertanya apa yang digiling itu?”

Beliau ditanya, ‘Apa yang digiling itu, wahai Amirul Mukminin?’

Beliau menjawab;

العلماء الفجرة، والقُرَّاء الفسقة والجبابرة الظلمة، والوزراء الخونة، والعرفاء الكذبة.

“Para ulama yang fajir, para pembaca Al-Quran yang fasik, para penguasa yang zalim, para menteri yang berkhianat, dan para arif yang berdusta.”[28]


Referensi:

[1] QS. Al-Furqan [25]: 63.

[2] QS. Al-Isra’ [17]: 37.

[3] QS. Luqman [31]: 18 – 19.

[4] Al-Kafi, jilid 2, hal. 309.

[5] Ibid.

[6] Ibid, hal. 310.

[7] Ibid. hal. 309.

[8] Al-Kafi, jilid 2, hal. 314.

[9] Ibid.

[10] Al-Kafi, jilid 2, hal. 312.

[11] QS. Al-Isra’ [17]: 70.

[12] QS. Al-Dukhkhan [44]: 49.

[13] Al-Mahajjah, jilid 6, hal. 275.

[14] Bihar Al-Anwar, jilid 2, hal. 32, Hadis 22.

[15] QS. Al-Isra’ [17]: 85.

[16] QS. Al-Isra’ [17]: 86 – 87.

[17] Al-Kafi, jilid 2, hal. 313.

[18] Ibid, hal. 311 – 312.

[19] Lihat Mir’at Al-Uqul, jilid 10, hal. 215.

[20] Bihar Al-Anwar, jilid 1, hal. 224 – 215.

[21] Menunjukkan bahwa modal ilmu adalah mengenal diri dan Allah.

[22] Allah SWT berfirman;

… وَاتقُوا اللهَ وَيعلِّمُكُمُ اللهُ…

“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)

[23] Imam Jakfar Al-Shadiq AS juga memiliki kuniyah Abu Abdillah.

[24] QS. Al-Qashash [28]: 83.

[25] Bihar Al-Anwar, jilid 2, hal. 27.

[26] Ibid, hal. 37.

[27] Ibid, hal. 38.

[28] Ibid, hal. 107, dan Al-Khishal, hal. 292.

(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: