“Iiiih… sebel dech sama ipar perempuanku yang suka ikut campur urusan rumah tanggaku. Sepertinya dia seneng banget kalau neglihat aku dan suami bertengkar. Suamiku juga, gampang banget terpengaruh omongan adiknya itu,” keluh seorang ibu pada temannya.
“Aku juga! Capek deh sama campur tangan mertuaku. Yang kulakukan kayaknya salah terus. Suamiku juga langsung percaya sama mertuaku. Kalau sudah begini, masalah sepele pun bisa jadi besar…” sahut sang teman.
Fenomena di atas bisa saja terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Bila hal itu tidak disikapi dengan baik maka kehidupan rumah tangga bisa berakhir pada penceraian. Tidak sedikit rumah tangga yang akhirnya kandas hanya karena campur tangan tidak sehat dari pihak keluarga.
Semestinya, pasangan suami istri sejak awal harus memahami bahwa pernikahan mereka bukan berarti menjalani kehidupan bersama pasangan saja. Pernikahan juga merupakan pertemuan keluarga besar mereka. Di sini, pasangan suami istri harus mengenal dengan baik karakter, kebiasaan dan bahkan pemikiran yang dimiliki keluarga pasangannya. Hal ini semakin penting ketika pasangan suami istri tinggal bersama atau berdekatan dengan keluarga pasangan. Berbekal pengetahuan itu, suami dan istri bisa bersikap dan bertindak dengan benar terhadap keluarga pasangan. Suami dan istri juga bisa berusaha seoptimal mungkin untuk menjauhi terciptanya konflik yang dapat menghambat laju biduk rumah tangga yang tengah dikayuhnya.
Terkadang, campur tangan dilakukan secara sengaja untuk menciptakan konflik di antara suami istri. Hal ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan mengadu domba yang sangat dicela oleh agama dan akal. Dalam hal ini Imam Ali as pernah bersabda, “Berhati-hatilah dengan perbuatan mengadu domba orang karena hal itu akan menumbuhkan kebencian dan menjauhkanmu dari Allah SWT dan manusia.”[Ghurar al-Hikam, jil 2, hal 296]
Apalagi jika perbuatan mengadu domba itu dilakukan dengan tujuan agar pasangan suami istri bercerai. Hal itu benar-benar sangat tercela dalam pandangan Islam. Rasulullah saw menyatakan, “Seseorang yang berusaha memisahkan pasangan suami dan istri hingga keduanya bercerai akan mendapat murka dan laknat Allah SWT di dunia dan akhirat. Sudah sepantasnya Allah SWT menghujaninya dengan batu-batu panas. Dan barangsiapa yang berusaha merusak hubungan pasangan suami dan istri, namun keduanya tidak sampai bercerai, akan mendapatkan murka dan laknat Allah SWT di dunia dan akhirat. Allah SWT akan berpaling darinya.” [Wasail asy-Syiah, jil 14, hal 27]
Biasanya, konflik terjadi antara ibu mertua dengan menantu perempuan atau antara istri dengan ipar perempuan. Terutama jika sang suami adalah anak sulung, atau anak bungsu, anak tunggal, atau suami adalah tulang punggung keluarga. Mungkin ini disebabkan karena kedekatan hubungan yang terjalin antara seorang ibu dengan anaknya sebelum menikah. Sang ibu merasa begitu sulit menerima kalau sekarang anaknya sudah membagi kasih dan perhatiannya dengan orang lain. Atau, mungkin adik perempuan belum siap menerima kalau kakak laki-laki yang selalu melindungi dan menyayanginya itu sekarang malah memperhatikan dan menyayangi perempuan lain.
Jadi, untuk mencegah konflik dengan keluarga pasangan, hendaknya suami dan istri sejak awal memahami kondisi dan posisi pasangannya di dalam keluarganya. Dengan pemahaman yang ada, suami atau istri akan lebih bijak dan tidak mudah mudah tersulut emosinya.
Semua orang membutuhkan sosialisasi dengan orang lain. Tak terkecuali pasangan yang baru berkeluarga. Keduanya tidak bisa meninggalkan keluarga begitu saja. Mereka tetap membutuhkan saran atau nasehat dari keluarga. Di sini, seorang suami atau istri harus pintar dan bijak membedakan mana ucapan dan pernyataan keluarganya yang memang bertujuan baik dan mana yang mengindikasikan campur tangan tak sehat. Sebagai contoh, pernyataan seperti ini, “Gimana sih istrimu, masa suaminya tidak dilayani dengan baik. Istri macam apa itu?” atau, “Lihat tuh istrimu, nggak bisa ngurus anak. Ibu macam apa dia?” sangat berbau provokasi yang jika ditanggapi dengan serius, bisa dengan cepat memicu pertikaian antara suami istri.
Bisa juga komentar yang tak sedap datang dari pihak keluarga istri, “Lihat tuh suamimu, kurang bertanggungjawab. Masa ‘anak papa’ seperti kamu yang biasa hidup enak malah diajak tinggal di rumah seperti ini. Sudah, kamu ikut papa dan mama aja, biar hidup kamu lebih terjamin.” Atau, “Tuh liat suamimu, masa sikapnya sama mertua begitu?! Ngga sopan sama sekali!”
Karena itu, bila mendengar ucapan dan pernyataan yang menuduh atau menjatuhkan pasangan, jangan sampai suami atau istri langsung terpancing. Sang suami atau istri harus bersikap netral terlebih dahulu dan tidak memihak salah satu pihak. Pernyataan-pertanyaan tak enak itu bisa dijawab dengan halus atau malah diluruskan dengan baik. Misalnya dengan berkata, “Masa sih ma? Ya, mungkin istri saya kecapean. Coba nanti saya bicara dengannya.” Atau “Terima kasih atas tawaran papa dan mama. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa nuruti permintaan papa dan mama karena saya kan sudah menikah dan harus mengikuti kemanapun suami pergi. Lagi pula saya lihat sendiri kok kalau suami sudah berusaha sekuat tenaganya.” Kalau perlu, singgung hadits Aimmah yang berhubungan. Seperti hadits Rasulullah, “Orang yang paling berhak terhadap wanita adalah suaminya. “ [Kanzul Ummal : 44771]
Terakhir, pasangan suami istri harus ingat bahwa hubungannya dengan mertua akan lebih baik jika dia mampu menganggap mertuanya sebagai orang tua sendiri; bukan rival.
(Itrah/Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar