Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Home » » Ini Sebabnya, Kenapa Imam Husain Syahid di Karbala

Ini Sebabnya, Kenapa Imam Husain Syahid di Karbala

Written By Unknown on Kamis, 15 Februari 2018 | Februari 15, 2018


Oleh: Ali Ashghar Ridhwani

Imam Husain As Perspektif Ahlussunnah

Mukadimah

Maktab Tasyayyu’ atau Mazhab Ahlulbait memiliki faktor-faktor dan peran-peran penting yang mampu menggiringnya untuk meraih dan mendulang kemenangan, dengan faktor-faktor inilah sehingga maktab ini tidak saja mampu menjaga dan mempertahankan dirinya dari cengkeraman dan ancaman tangan-tangan musuhnya, bahkan hal-hal tersebut jualah yang telah menjadikannya semakin hari semakin dewasa, berkembang dan mampu menyadarkan masyarakat Islam lainnya dari tidur mereka yang lelap. Dan salah satu dari faktor penting tersebut adalah ritual Asyura.

Kebangkitan Imam Husain As dan ritual Asyura merupakan sepercik semangat yang mampu memantik dan membangunkan bangsa-bangsa untuk melakukan revolusi dan memberikan perlawanan mereka di hadapan kekuatan-kekuatan tirani dan arogan, karena dengan memperhatikan slogan-slogan Husain As yang sarat dengan semangat, keberanian, antusiasme, sekaligus diiringi dengan kelembutan seperti “Sesungguhnya kehinaan sangat jauh dari kami”, “Sesungguhnya aku ingin melakukan amar makruf dan nahi munkar” dan sebagainya telah mampu memicu munculnya kekuatan di dalam diri manusia untuk berontak di hadapan pelanggaran hak-hak asasi manusia dan memberanguskan segala penyimpangan yang terjadi di dalam agama Islam yang suci.

Kita bisa menyaksikan contoh dari hal ini dengan baik pada revolusi Islam yang terjadi di negara Iran dalam perlawanannya versus Irak, bahkan pada perlawanan-perlawanan dan revolusi-revolusi yang terjadi di Negara-negara Islam dan non Islam lainnya.

Pada bulan Desember tahun 1984 Fakultas Sejarah Universitas Tel Aviv bekerjasama dengan Lembaga Observasi Syiluhah -sebuah Lembaga Penelitian Swasta yang memiliki hubungan dengan rezim Yahudi- menyelenggarakan sebuah konferensi yang dihadiri oleh sekitar tiga ratus pengamat Syiah Dunia tingkat pertama, dimana dalam waktu yang relatif singkat, yaitu selama tiga hari, mereka mampu menyajikan tiga puluh buah makalah. Berdasarkan perkataan Martin Cramer, salah satu dari Pengamat Syiah Dunia yang adalah juga ketua panitia penyelenggara konferensi ini, tujuan utama diselenggarakannya konferensi ini tak lain adalah untuk mengenal pemahaman-pemahaman asasi yang berlaku dalam kultur dan kebudayaan Syiah Itsna Asyara (Syiah Dua Belas Imam atau Syiah Imamiyah), kemudian mengidentifikasi revolusi Islam yang terjadi di Negara Iran. Orang-orang penting yang hadir di dalam konferensi ini bisa disebutkan antara lain seperti Daniel Brumberg, Marvin Zunis, Michael M. J. Fisher, Bernard Lewis, Martin Cramer sendiri, serta para pengamat Syiah dan para pengamat Orientalis lainnya.

Makalah yang mereka sajikan pada konferensi ini seratus persen merupakan makalah yang detail, observatif, bersandar pada teks-teks penelitian yang paling rumit, dan berisi tentang metode-metode paling mendalam dalam menganalisa agama, aliran, mazhab, kultur dan peradaban. Pada ceramah pembukaannya, Martin Cramer sebagai ketua panitia menyebutkan bahwa tujuan pokok dari pengidentifikasian pemahaman-pemahaman mendasar dalam kultur Syiah adalah untuk mengenal revolusi Islam.

Setelah melakukan berbagai pembahasan dan analisa, konferensi ini menyimpulkan adanya dua pemahaman penting dan fundamen yang menjadi titik poin parameter wacana, analis, serta indikasi. Dalam pandangan para pengamat Syiah ini, wacana yang memegang parameter pertama adalah pandangan yang dimiliki oleh para penganut Syiah terhadap tragedi padang Karbala dan hubungan langsung serta terilhaminya revolusi-revolusi berdarah yang terjadi di kalangan para Syiah dengan tragedi padang Karbala yang terjadi pada tahun 61 Hijriah ini.

Dalam konferensi ini diketengahan pula persoalan-persoalan yang berkaitan dengan Imam Husain As, dimana salah satunya berupa sebuah makalah yang bertajuk “Tasyayyu’ Dalam Riwayat Imam Khomeini”. Makalah ini ditulis oleh Marvin Zunis dan Daniel Brumberg. Pada sebagian dari makalah ini dituliskan, “Penegasan syahadah dalam akidah dan keyakinan Imam Khomeini menunjukkan bahwa syahadah memegang peran yang penting dan istimewa dalam tasyayyu’. Meskipun pemahaman syahadah merupakan suatu hal yang tidak asing pula dalam pemikiran para penganut Sunni, akan tetapi di dalam aliran ini pemahaman syahadah tidak mempunyai posisi yang fundamental dan asasi, karena Islam Sunni tidak terilhami oleh seorang sosok mazhabi semacam al-Husain (As) yang rela mengorbankan dirinya di jalan akidah dan keyakinannya. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan yang terjadi dalam pemikiran Tasyayyu’ Itsna Asyara, tema kesyahidan al-Husain (As) hingga kesyahidan seluruh Aimmah (As) merupakan sebuah persoalan yang sangat prinsip. Husain (As) dengan pengorbanan yang dipersembahkannya di jalan Islam telah mampu menempatkan dan menentukan kewajiban-kewajiban yang harus diemban dalam pundak-pundak generasi-generasi Syiah selanjutnya, sedemikian sehingga mereka memiliki slogan terkenal yang berbunyi, “Seluruh tahun adalah Muharram, seluruh hari adalah Asyura, dan seluruh bumi adalah Karbala”, dengan artian bahwa peringatan syahidnya al-Husain (As) akan senantiasa diingat dan dikenang oleh mereka dengan prosesi dan ritual-ritual yang menggelora dan sarat dengan kandungan-kandungan hakiki Karbala untuk mengagungkan kesyahidan beliau. Dan tema inilah yang telah memberikan warna, kandungan dan sensasi yang luar biasa dalam pemahaman Tasyayyu’.”

Dalam seminar lain yang dihadiri oleh orang-orang penting seperti Michael Voco, Clear Barier, Pir Blansh –dua orang terakhir adalah wartawan ternama dari surat kabar Perancis- mengemukakan persoalan-persoalan yang sangat sensitif dalam kaitannya dengan kebangkitan dan revolusi Imam Husain As serta peran beliau dalam kultur dan peradaban Syiah Imamiah, Clear Barier dalam seminar tersebut mengatakan, “Di Negara Iran, demonstrasi terjadi dalam makna yang hakiki dan riil, oleh karena itu akan lebih tepat apabila kita mengatakannya dengan kata ‘Penyaksi’. Di Negara Iran, seluruh masyarakat berbicara tentang Husain, dan siapakah Husain ini sebenarnya?”[1]

Sebagaimana yang telah dikatakan, ketika para musuh ini menyadari akan penting dan urgensinya tragedi Karbala, tradisi Asyura dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya pada diri para pengikut Syiah Imamiah, mereka lantas bergerak untuk mengantisipasi dan menggagalkan segala aspek-aspek yang ditimbulkannya dalam bentuk dan ukuran sekecil apapun. Salah satu dari tindakan yang mereka lakukan adalah mencuatkan keraguan-keraguan dalam kaitannya dengan tragedi Karbala dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengannya. Oleh karena itu ada baiknya jika keraguan-keraguan ini kita letakkan sebagai view poin pembahasan dan analis, lalu kita berikan jawaban yang kuat untuknya. Keistimewaan yang dimiliki oleh kitab yang berada di hadapan para pembaca ini adalah karena ia ditulis berdasarkan hal-hal di atas dan memberikan analisa terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengannya dari pandangan kalam dan sejarah, kitab ini juga mengungkapkan dan menyajikan pembahasannya dalam bentuk yang jelas dengan tetap menjaga prinsip asasi dari titik poin pembahasan, dan analisa bahasannya disertai dengan berbagai argumentasi dari al-Quran, hadis dan argumentasi rasional, dengan demikian akan raib dan hilang-lah media-media serta lahan-lahan yang memunculkan dan menciptakan keraguan-keraguan, dimana salah satunya berkaitan dengan tragedi agung ini.

Kami berharap gerak dan tindakan ini akan mendapatkan setitik perhatian dari Aba Abdillah al-Husain As dan akan memberikan manfaat dalam langkah untuk mencari kebenaran dan hakikat.

Penulis mengharapkan dari seluruh pembaca, terutama para ulama dan para cendekiawan untuk memaafkan segala kekurangan dan memberikan saran-saran konstruktif untuk memperbaikinya.

Dan pada akhirnya penulis menghaturkan segala rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu tersusunnya kitab ini, semoga segalanya mendapatkan balasan dan pahala dari sisi Tuhan Yang Maha Tinggi.


Imam Husain As Perspektif Ahlussunnah

Dengan merujuk pada kitab-kitab hadis dan kitab-kitab terjemahan Ahlu Sunnah, kita akan memahami bahwa di mata mereka, Imam Husain As memiliki kedudukan yang terhormat dan memiliki keagungan yang istimewa.

Dan di bawah ini kami akan mengetengahkan sebagian dari biografi beliau:

A. Kelahiran Imam Husain As

1. Ibnu Abdul Barra menuliskan: “Husain bin Ali bin Abi Thalib dengan kuniyah Aba Abdillah, lahir pada tanggal 5 Sya’ban tahun ketiga atau keempat Hijriyah dari seorang ibunda bernama Fatimah az-Zahra yang adalah putri Rasulullah saw. Dan ini merupakan pendapat dari kalangan pengikutnya.”[2]
2. Pada kitab Akhbar ad-Duwal dituliskan, “Ketika berita tentang kelahiran Husain As sampai kepada Rasulullah saw, beliau segera mendatangi rumah putri kinasihnya Fatimah az-Zahra As, dan mengangkat bayi mungil yang baru lahir tersebut lalu mengucapkan azan di telinga kanan dan membacakan iqamah di telinga kirinya. Pada saat itu malaikat Jibrail turun dan memerintahkan kepada Rasul saw untuk memberikan nama Husain kepadanya, sebagaimana hal ini terjadi pula pada saat kelahiran Hasan.”[3]
3. Sabath bin al-Jauzi mengatakan, “Kuniyahnya adalah Aba Abdillah, dan laqab serta julukannya adalah Sayyid Wafa, Wali, Sabth dan Syahid Karbala.”[4]


B. Ibadah Imam Husain As 

1. Ibnu Abdarabbah meriwayatkan bahwa seseorang telah berkata kepada Ali bin al-Husain As dengan mengatakan, “Kenapa keturunan ayahmu hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Yang membuatku kagum justru bagaimana dia bisa memiliki keturunan sedangkan dalam sehari semalam dia melakukan shalat sebanyak seribu rekaat, dengan kondisi seperti ini bagaimana dia bisa meluangkan waktu untuk para perempuan?”[5]
2. Ibnu Shabaqh Maliki meriwayatkan, “Wajah Imam Husain As akan berubah menjadi pucat pasi ketika berdiri untuk melakukan shalat. Seseorang bertanya, “Keadaan macam apa ini yang engkau perlihatkan ketika melakukan shalat?” Imam As bersabda, “Kalian tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri.”[6]
3. Zamakhsyari meriwayatkan bahwa suatu kali dia menyaksikan Husain bin Ali As tengah melakukan thawaf di rumah Ka’bah. Beliau bergerak melangkah ke arah maqam Ismail dan melakukan shalat di sana. Setelah selesai shalat beliau meletakkan wajahnya di atas maqam dan mulai menangis terisak-isak sambil berkata, “Duhai, lihatlah, hamba kecil-Mu tengah berdiri di depan pintu-Mu, lihatlah pelayan kecil-Mu tengah berdiri di depan pintu-Mu, dan seorang pengemis tengah berdiri di depan pintu-Mu.” dan beliau mengulang kalimat ini terus menerus. Setelah itu Imam As keluar dari tempat tersebut dan menujukan pandangannya pada sekelompok orang yang tengah menyantap sepotong roti. Imam As mengucapkan salam dan mereka membalasnya lalu mengundang beliau untuk duduk bersama mereka menyantap makanan. Imam As duduk di dekat mereka dan bersabda, “Jika makanan kalian ini bukan merupakan sedekah, maka aku akan menyantapnya bersama kalian”. Setelah menyantap makanan, kepada mereka beliau bersabda, “Sekarang bangkit dan datanglah ke rumahku”. Dan Imam As pun menjamu serta memberikan baju kepada mereka.[7]
4. Dari Abdullah bin Ubaid bin Umair meriwayatkan dimana ia berkata, “Husain bin Ali As melakukan 25 kali ibadah haji dengan berjalan kaki, sementara kuda tunggangannya yang luar biasa itu berada bersamanya.”[8]
5. Ibnu Abdul Barra mengatakan, “Husain As adalah seorang lelaki yang mulia dan religius. Dia begitu banyak melakukan shalat, puasa dan haji.”[9]
6. Thabarri dengan sanadnya dari Dhihak bin Abdullah Masyriqi menukilkan bahwa ia berkata, “Ketika berada di padang Karbala, begitu malam tiba, Husain As dan para sahabatnya akan mengisi keseluruhan malam tersebut dengan shalat, istighfar, doa dan tadharru’.”[10]


C. Kesabaran Imam Husain As

1. Dari Imam Ali bin Husain As diriwayatkan bahwa beliau bersabda, “Aku mendengar dari Husian As yang bersabda, “Jika seseorang mencemoohku di telinga kananku dan meminta maaf di telinga kiriku, niscaya aku tetap akan menerima permintaan maafnya, karena Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As bersabda kepadaku bahwa beliau mendengar dari kakekku yang mulia Rasulullah saw yang bersabda, “Seseorang yang tidak menerima permintaan maaf dari selainnya, maka kelak ia tidak akan memasuki kolam -kautsar- ku, baik dia berhak maupun tidak.”[11]
2. Salah satu dari budak Imam Husain As melakukan suatu perbuatan maksiat yang hal ini mengakibatkannya berhak untuk mendapatkan hukuman, Imam As memberikan perintah untuk menghukumnya. Namun si budak memohon belas kasih dari Imam As dengan mengatakan, “Wahai maula dan junjunganku! Allah Swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “… dan orang-orang yang menahan amarahnya … “,[12] mendengar perkataan budaknya tersebut, Imam As lantas bersabda, “Lepaskanlah dia, aku telah meredam kemarahanku”, kembali si budak berkata, ” … dan memaafkan (kesalahan) orang ... “,[13] Imam As bersabda, “Aku telah memaafkannya”, lalu si budak melanjutkan dengan berkata, “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan“,[14] dan Imam As pun bersabda, “Engkau bebas di jalan Allah Swt”, setelah itu beliau memerintahkan supaya memberikan hadiah yang layak untuk si budak.[15]


Imam Husain As Dalam Ragam Perspektif

A. Imam Husain As dalam Lisan Rasulullah saw

1. Bukhari dengan sanadnya dari Na’im menukilkan bahwa telah ditanyakan dari Ibnu Umar dengan pertanyaan, “Apa hukum bagi seorang muhrim (seseorang yang tengah melakukan ihram) yang membunuh seekor lalat? Dalam menjawab pertanyaan ini dia berkata, Lihatlah, orang Irak bertanya tentang hukum membunuh seekor lalat sementara mereka telah membunuh putra dari putri Rasulullah saw, sedangkan mereka telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Hasan dan Husain adalah bunga-bungaku yang beraroma semerbak dari dunia ini.”[16]
2. Hakim Neisyaburi dengan sanadnya dari Salman menukilkan bahwa aku mendengar dari Rasulullah saw yang bersabda, “Hasan dan Husain adalah dua putraku, barang siapa mencintainya berarti dia mencintaiku, barang siapa mencintaiku berarti dia mencintai Allah dan barang siapa mencintai Allah, maka ia pasti akan masuk surga. Dan barang siapa memusuhi keduanya berarti dia memusuhiku, barang siapa memusuhiku berarti ia memusuhi Allah dan barang siapa memusuhi-Nya, maka ia pasti akan masuk neraka.”[17]
3. Demikian juga dengan sanad dari Ibnu Umar yang menukilkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hasan dan Husain adalah dua pemimpin para pemuda penghuni surga, sedangkan ayah mereka lebih baik dari keduanya.”[18]
4. Turmudzi dengan sanadnya dari Yusuf bin Ibrahim menukilkan bahwa aku mendengar dari Anas bin Malik yang mengatakan, “Telah bertanya kepada Rasulullah saw, “Manakah dari ahli baitmu yang lebih dekat denganmu?” Beliau bersabda, “Hasan dan Husain.” Dan beliau senantiasa bersabda kepada putrinya Fatimah az-Zahra Sa, “Wahai putriku, panggilkan kedua putraku kemari”, setelah itu beliau akan menciumi keduanya dan meletakkan mereka di dada mulia beliau.”[19]
5. Ya’la bin Marrah mengatakan, “Kami tengah keluar dari rumah bersama Rasulullah saw untuk menghadiri undangan. Pada pertengahan jalan Rasulullah saw melihat Husain tengah asyik bermain. Dengan cepat beliau melangkah ke depan dan membuka kedua tangannya lebar-lebar untuk memeluknya, akan tetapi Husain berlari ke sana kemari, keduanya lantas tertawa hingga akhirnya Rasul saw berhasil menangkapnya. Kemudian beliau meletakkan salah satu dari kedua tangannya di bawah dagu Husain dan meletakkan tangan lainnya di antara kepala dan kedua telinganya lalu menciuminya. Setelah itu bersabda, “Husain berasal dariku dan aku berasal darinya. Allah mencintai siapa yang mencintainya. Dan ketahuilah, Hasan dan Husain adalah dua cucu dari cucu-cucuku.”[20]

Dengan sedikit merenungi perkataan Rasul saw ini, maka kita akan bisa mengetahui bahwa kalimat pertama mengisyarahkan pada poin bahwa sesungguhnya Husain As berasal dari Rasulullah saw, karena meskipun ayahnya adalah Imam Ali As akan tetapi karena berdasarkan nash ayat Mubahalah beliau merupakan jiwa Rasulullah saw, maka Imam Husain As tergolong sebagai putra Rasulullah saw.

Sedangkan mengenai kalimat kedua, kami mengatakan bahwa setelah menyampaikan risalahnya, Rasulullah saw tidak lagi bertindak sebagai sosok secara pribadi melainkan bertindak sebagai sosok penyampai risalah. Beliau merupakan rahasia dan teladan dimana padanyalah risalah terwujud dengan seluruh dimensinya. Dengan demikian berarti, kehidupannya tak lain adalah risalahnya dan risalahnya tak lain adalah kehidupannya.

Dari sisi lainnya, kita mengetahui bahwa usaha setiap ayah adalah memiliki keturunan yang akan menjadi pelanjut generasi dan menjadi penjaga risalah serta penerus jalannya. Dalam kaitannya dengan Imam Husain As, karena beliau menghidupkan risalah Rasulullah saw dengan kebangkitan, revolusi dan kesyahidannya, maka Rasulullah saw dalam kedudukannya bersabda, “Aku berasal dari Husain”, dengan artian bahwa pribadiku, risalahku dan kelanjutan risalahku bergantung pada wujud dan keberadaan Husain As. Oleh karena itulah sehingga dikatakan Islam diciptakan oleh Muhammad saw dan dilanjutkan oleh Husain As.
1. Yazid bin Abi Yazid mengatakan, “Suatu hari, Rasulullah saw keluar dari kamar Aisyah dan pandangannya tertuju ke rumah Fatimah putrinya. Saat itu dari rumah Fatimah terdengar suara tangisan Husain, lalu beliau bersabda, “Wahai Fatimah! Apakah engkau tidak mengetahui bahwa tangisan Husain akan menyiksa dan mengusik ketenangan hatiku?”[21]
2. Hakim Neisyaburi dengan sanadnya dari Abu Hurairah menukilkan dimana ia berkata, “Aku menyaksikan Rasulullah saw menggendong Husain bin Ali As sambil bersabda, “Ya Allah! Aku mencintainya maka cintailah dia.”[22]


B. Imam Husain As dalam lisan Para Sahabat 

1. Anas bin Malik mengatakan, “Setelah Imam Husain As syahid, pasukan Umar bin Sa’d mempersembahkan kepala beliau kepada Ibnu Ziyad. Setelah menerima kepala tersebut, Ibnu Ziyad mulai memukul-mukulkan dan mempermainkan kayu yang berada di tangannya ke arah gigi-gigi mulia Imam As … dalam hati aku berkata, “Betapa hinanya perbuatanmu ini Wahai Ibnu Ziyad! Dulu aku menyaksikan sendiri Rasulullah saw senantiasa menciumi tempat yang saat ini engkau pukuli.”[23]
2. Zaid bin Arqam mengatakan, “Aku duduk di dekat Ubaidullah bin Ziyad ketika kepala Husain As diberikan kepadanya. Ibnu Ziyad mengambil kayu kecil dan membuka kedua bibir Husain As dengannya. Aku berkata padanya, “Hai Ibnu Ziyad! Engkau memukulkan kayu tepat pada tempat dimana Rasulullah saw telah menciuminya berkali-kali.” Mendengar perkataan ini Ibnu Ziyad naik pitam dan dengan nada marah berkata, “Cepatlah bangkit! Engkau hanyalah lelaki tua yang telah kehilangan akal.”[24]
3. Ismail bin Raja’ menukilkan dari ayahnya yang berkata, “Aku tengah berada di antara sekelompok orang-orang yang berada di masjid Rasulullah saw dimana di antara mereka terdapat pula Abu Sa’id Hadri dan Abdullah bin Umar. Tak berapa lama kemudian, Husain bin Ali As melintas di samping kami dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Abdullah bin Umar diam menunggu mereka selesai menjawab salamnya, setelah itu dengan suara lantang dia berkata, “Wa alaika salam wa rahmatullah wa barakatuh.” Lalu dia menghadap kepada hadirin dan mengatakan, “Apakah kalian ingin aku mengatakan siapa penghuni bumi yang paling dicintai oleh penghuni langit?” Mereka berkata, “Tentu!” Lalu Abdullah bin Umar mengatakan, “Dan dia adalah lelaki Hasyimi ini, yang tidak bersedia lagi bercakap denganku setelah perang Shiffin. Ketahuilah, jika dia rela terhadapku, maka hal ini lebih membahagiakan bagiku daripada memiliki unta-unta merah.”[25]
4. Jabir bin Abdullah Anshari mengatakan, “Barang siapa ingin melihat penghuni surga maka dia harus melihat Husain As, karena aku mendengar Rasulullah saw mengatakan hal ini.”[26]


Haitsami dalam kitabnya Majma’ az-Zawaid juga menukilkan hadis ini dan pada ulasan terakhir dia menutup dengan mengatakan, “Rijal hadis ini adalah shahih dan benar selain Rabi’ bin Sa’d dimana dia adalah tsiqah dan terpercaya.”[27]
1. Umar bin Khathab mengatakan kepada Imam Husain As, “Perkembangan yang ada pada kami (yaitu Islam) terjadi karenamu.”[28]
2. Suatu hari Abdullah bin Abbas mengambil pelana kuda milik Imam Hasan dan Imam Husain As. Sebagian yang menyaksikan hal tersebut melecehkan dan mencemooh apa yang tengah dia lakukan, mereka mengatakan, “Apakah engkau mengetahui bahwa usiamu lebih tua dari mereka berdua?!” Ibnu Abbas berkata, “Kedua orang ini adalah putra-putra Rasulullah saw, bukankah merupakan sebuah keberuntungan bagiku bahwa akulah dan kedua tangankulah yang mengambil pelana kuda kedua orang ini?!”[29]


C. Imam Husain As dalam Pandangan Para Tabi’in 

1. Muawiyah berkata kepada Abdullah bin Ja’far, “Engkaulah sayyid dan pemimpin Bani Hasyim!” Dalam menjawab perkataan Muawiyah ini Abdullah bin Ja’far berkata, “Pembesar Bani Hasyim bukan diriku melainkan Hasan dan Husain As.”[30]
2. Ketika Marwan bin Hakam menyarankan pembunuhan terhadap Imam Husain As, Walid bin ‘Utbah bin Abi Sufyan –gubernur Madinah- berkata, “Wahai Marwan! Demi Allah! Aku tidak menyukai dunia dan segala yang ada di dalamnya ini menjadi milikku sementara aku harus membunuh Husain As. Subhanallah! Apakah aku harus membunuhnya hanya karena ia tidak memberikan baiatnya? Demi Allah! Aku yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa siapa yang membunuh Husain As, maka di hari kiamat kelak, mizan dan timbangan amal dan perbuatannya akan menjadi sangat ringan.”[31]
3. Ibrahim Nakha-i mengatakan, “Seandainya aku berada di antara orang-orang yang membunuh Husain As lalu masuk surga, maka sungguh, aku akan sangat malu dan tidak punya muka untuk memandang raut wajah Rasul saw.”[32]


D. Imam Husain As dalam Pandangan Para Ulama Ahlu Sunnah

Dengan merujuk pada kitab-kitab sejarah dan terjemahan-terjemahan Ahlu Sunnah kita akan menemukan bahwa Imam Husain As telah menjadi sosok yang mereka puji dan elu-elukan, dan sebagian dari mereka yang melakukan hal ini adalah:

1. Ibnu Hajar Asqalani

“Husain bin Ali bin Abi Thalib As, Hasyimi, Aba ‘Abdillah, Madani, adalah cucu Rasulullah saw, setangkai bunga milik Rasul saw dari dunia ini, dan ia merupakan salah satu dari dua pembesar dan pemimpin para pemuda penghuni surga.”[33]


2. Zarandi Hanafi

“Husain As begitu banyak melakukan shalat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya. Dia adalah seorang lelaki yang pemurah dan mulia. Dia juga telah melakukan ibadah haji sebanyak 25 kali dengan berjalan kaki.”[34]


3. Yafa’i

“Aba Abdillah al-Husain bin Ali As adalah setangkai bunga milik Rasulullah saw, cucu, pelanjut risalah kenabian, tempat kebaikan, kemuliaan dan kebesaran.”[35]


4. Ibnu Syirin

“Langit hanya dua kali menangis, yaitu setelah kesyahidan Yahya bin Zakariya, dan ia tidak pernah menangis lagi kecuali karena kematian Husain As. Ketika Husain As terbunuh, langit berubah menjadi hitam pekat sehingga bintang-bintang terlihat bercahaya pada siang hari sedemikian hingga bintang gemini terlihat oleh mata pada sore hari. Tanah merah menjadi longsor, dan selama tujuh hari tujuh malam langit berubah warna seperti bercak-bercak darah.”[36]


5. Abbas Mahmud ‘Uqqad

“Keberanian Husain As merupakan sebuah sifat yang tidak asing lagi baginya, karena keberanian tersebut merupakan sifat yang mengalir langsung dari sumbernya. Dan hal ini merupakan sebuah keutamaan yang diwarisi dari ayah-ayahnya kemudian dia wariskan kepada keturunan setelahnya … tidak ada seorangpun di antara bani adam yang lebih berani darinya dan melakukan tindakan sebagaimana yang terjadi di Karbala … dan telah cukup menjadi sebuah kebanggaan baginya dimana hanya dialah di dunia ini yang selama ratusan tahun tercatat dalam sejarah sebagai seorang syahid, putra syahid dan ayah dari para syahid …”[37]


6. Dr. Muhammad Abduh Yamani

“Husain As adalah seorang lelaki yang abid dan rendah hati. Dia senantiasa terlihat dalam keadaan berpuasa dan terbangun pada malam hari untuk melakukan ibadah. Dia senantiasa berlomba-lomba dengan yang lainnya dalam melakukan kebajikan, dan dalam persoalan-persoalan kebaikan dialah yang senanitasa menjadi pihak pertama yang bertindak lebih cepat dari yang lainnya …”[38]


7. Umar Ridha Kahalah

“Husain bin Ali merupakan pembesar Irak dalam masalah fiqih dan ia merupakan sosok yang pemurah.”[39]


E. Kesyahidan Imam Husain As

Suyuthi menukilkan, “… syahadah dan terbunuhnya Husain As terjadi pada hari Asyura. Pada hari itu matahari mengalami gerhana total dan ufuk langit memerah hingga enam bulan setelah kesyahidannya. Dan mega merah ini senantiasa terlihat, sementara hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya, dikatakan bahwa pada hari itu tidak ada sebuah batupun di Baitul Muqaddas yang berpindah dari tempatnya kecuali di bawahnya akan terlihat darah segar yang mengalir …”[40]


Referensi:

[1] . Tahajum ya Tafawut Farhanggi, Hasan Bulkhari.

[2] . Al-Isti’ab, jilid 1, hal. 143.

[3]. Akhbar ad-Duwal wa Atsar al-Awwal, hal. 107.

[4] . Tadzkiratul Khawash, hal. 232.

[5] . Al-‘Iqdu al-Farid, jilid 2, hal. 220.

[6] . Al-Fushul al-Muhimmah, hal. 183.

[7] . Rabi’ al-Abrar, hal. 210.

[8] . Shifat ash-Shufwah, jilid 1, hal. 321; Asad al-Ghayah, jilid 3, hal. 20.

[9] . Al-Isti’ab, jilid 1, hal. 393.

[10] .Tarikh Tabarri, jilid 5, hal. 421.

[11] . Nazhm Durari as-Simthain, Zarandi, hal. 209.

[12] . Qs. Ali Imran: 134.

[13] . Ibid.

[14] . Ibid.

[15] . Wasilah al-Maal, Hadhrami, hal. 183.

[16] . Shahih Buhari, jilid 5, hal. 33; Kitab Fadhail ash-Shahabah, Bab Manaqib al Hasan wa al-Husain.

[17] . Mustadrak Hakim, jilid 3, hal. 166.

[18] . Ibid, hal. 167.

[19] . Sunan Turmudzi, jilid 5, hal. 323, raqam 3861.

[20] . Al-Mu’jam al Kabir, J, 22, hal, 274, Kanzul Umal, jilid 13, hal 662, Tarikhu Dimasyq, jilid 14, hal. 150.

[21] . Majma’ az-Zawaid, jilid 9, hal. 201.

[22] . Mustadrak Hakim, jilid 3, hal. 177.

[23] . Dhahair al-Uqba, hal. 126.

[24] . Kanzul Umal, jilid 7, hal. 110, Asad al-Ghabah, jilid 2, hal. 21.

[25] . Asad al-Ghabah, jilid 3, hal. 5.

[26] . Nazhmu Durari as-Simthain, Zarandi, hal. 208; Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid 8, hal. 225.

[27] . Majma’ az-Zawaid, jilid 9, hal. 187.

[28] . Al-Ishabah, jilid 1, hal. 333.

[29] . Ibid.

[30] . Kamal Sulaiman, Husain bin Ali as, hal. 173.

[31] . Ibid, hal. 147.

[32]. Al-Ishabah, jilid 1, hal. 335.

[33] . Tahdzibu At-Tahdzib, jilid 2, hal. 299.

[34] . Nazhmu Durari as-Simthain, hal. 208.

[35] . Mar’atu al-Jinan, jilid 1, hal. 131.

[36] . Tarikh Ibnu ‘Asakir, jilid 4, hal. 339.

[37] . Abu as-Syuhada, hal. 195.

[38] . ‘Allamu Auladakum Muhabbatu ali Baiti Nabi saw, hal. 133.

[39] . A’lamu An-Nisa, jilid 1, hal. 28.

[40] . Tarikh al-Khulafa, hal. 160, bab Yazid bin Muawiyah.

(Syiah-Sunni/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Posting Komentar

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: