MAKNA KEHIDUPAN DI DUNIA
“Sesungguhnya dunia adalah kampung kebenaran bagi yang benar dalamnya…, kampung kekayaan bagi yang membekali dirinya, kampung belajar bagi yang mengambil pelajaran, masjid kekasih Allah, mushalla para malaikat Allah, tempat turunnya wahyu, dan tempat berniaganya kekasih-kekasih Allah.” (Nahjul-balaghah).
Ungkapan Imam Ali kw di atas memberikan kepada kita pelajaran berharga akan dimensi lain makna kehidupan di dunia. Dalam untaian yang fasih tersebut, Imam Ali kw menunjukkan bagaimana manfaat dan bergunanya dunia bagi peningkatan kesempurnaan manusia. Dunia merupakan taman pendidikan yang mesti dilalui manusia untuk mendapatkan hasilnya kelak di Akhirat. Jika hasilnyan baik maka kebaikan dan kebahagiaan surgalah yang diperolehnya, tetapi jika hasilnya buruk maka keburukan nerakalah yang menjadi tempat tinggalnya, “Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan duniawi, neraka adalah tempat tinggalnya, sedangkan yang takut pada kebesaran Tuharinya dan mencegah dirinya dari mengikuti hawa nafsu, sorga adalah tempat tinggalnya”. (QS. An-Naziat : 37-41).
HAKIKAT KEMATIAN
Kematian—disebut juga kiamat sughra—yang berarti terpisahnya jasad material dengan ruh, merupakan salah satu stasiun perjalanan menuju ke akhirat, dimana seluruh makhluk hidup di dunia akan berakhir dan memasuki alam yang baru, yakni alam barzakh.[1] Mati bukanlah akhir dari segalanya, melainkan dimulainya episode baru dalam kehidupan yang berbeda. Karakter hakiki kematian bukanlah kemusnahan, melainkan pembaharuan dan perpindahan. Karena itu, kematian tidak mesti ditakutkan, tetapi suatu peristiwa yang harus dihadapi dengan berbagai persiapan yang matang, sebab Allah “menjadikan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapakah diantara kamu yang terbaik amalnya” (Q.S. Al-Mulk: 2).
Dalam pandangan agama, seseorang bergerak menuju jalan kesempurnaan dalam bentuk kematian.[2] Artinya, kematian merupakan pintu atau jembatan yang harus dilewati agar manusia dapat memasuki alam lain yang lebih sempurna. Dengan begitu, kematian berarti kelahiran dan kehidupan baru, ”Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi tugas (untuk mencabut nyawamu) akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Allah-lah kalian akan dikembalikan”. (QS. As-Sajdah: 11).
Jika kita memahami ini, maka kematian merupakan proses pengembalian manusia, baik dari sisi jasmani maupun ruhani. Secara material, dikatakan bahwa jasad manusia berasal dari tanah, maka ia akan kembali ke pada tanah setelah matinya (dikubur/dikebumikan), begitu pula secara non-material, ruh manusia berasal dari alam yang lebih tinggi darinya yaitu alam mitsal (alam barzakh), maka ia dikembalikan ke alam barzakh, yang merupakan alam yang sesuai dengan karakteristiknya.
Mencermati ayat-ayat al-Quran, proses kematian atau pencabutan ruh manusia di bawah kuasa Tuhan yang dilaksanakan oleh utusan-utusan-Nya (malaikat) dengan model pencabutan disesuaikan pada karakter manusianya. Jika manusia mukmin maka proses pencabutan berjalan dengan lancar dan penuh kelembutan,[3] dan sebaliknya, jika terhadap manusia kafir, utusan-utusan Tuhan mencabut nyawanya dengan penuh kekerasan.[4]
HAKIKAT RUH
Dalam filsafat Islam, ada prinsip yang menyatakan bahwa ‘jiwa bermula secara material dan berkelanggengan secara spiritual’ (al-nafs jismaniyah al-huduts ruhaniyah al-baqa). Prinsip ini ingin membuktikan tentang kemanunggalan jiwa dan tubuh berdasarkan teori gerak substansial. Artinya, munculnya spesies (nau) ada dalam lingkaran gerakan, dan ruh juga merupakan akibat dari gerakan mutlak (harakah umumi jauhar). Asal muasal munculnya jiwa (nafs) juga adalah materi yang berubah (maddah mutahawil wa mutaharik). Materi ini memiliki potensi untuk mengembangkan suatu entitas dan sejajar dengan dunia metafisika dan tidak ada halangan entitas yang materi berubah menjadi entitas yang spiritual (maujud mujarrad).[5]
Setelah membuktikan bahwa gerak bersifat menyempurna dan substansial, serta wujudlah yang menjadi dasar segala sesuatu, maka Mulla Shadra menegaskan, sebagaimana uraian perkembangan di atas, bahwa tubuh akan berubah menjadi ruh (murni) dalam proses penyempurnaannya. Dengan demikian, ruh bukanlah sesuatu selain dari keseluruhan tubuh itu sendiri. Ia bukan barang asing yang dikandung tubuh pada masa hidupnya dan menghilang pada waktu matinya, dan tidak ada pertentangan antara maujud fisik dan nonfisik. Bagi Shadra, tubuh dan jiwa, merupakan dua tingkatan dari wujud yang tunggal, yakni tingkatan pertama (tubuh) lebih minus dibanding dengan tingkatan kedua (jiwa).
Jadi, materi tubuh yang berubah-ubah ini berganti menjadi wujud yang tetap sehingga tidak ada dualisme dan tidak ada penyatuan, melainkan yang terjadi adalah penyempurnaan. Mulla Shadra mendukung teorinya ini dengan al-Quran surat al-Mukminun : 12-14, yang menceritakan tentang penciptaan manusia dari saripati tanah, menjadi mani (sperma), kemudian menjadi segumpal darah, dan menjadi daging, dan tulang belulang yang selanjutnya dibungkus dengan daging dan terakhir dijadikan makhluk yang berbentuk lain (khalqan akhar). Maknanya, manusia merupakan gabungan dari materi (maddah) dan bentuk (shurah), dan kemudian materi awal bergerak menjadi tanah dan segumpal darah, kemudian segumpal daging, selanjutnya menjadi janin, dan akhirnya menjadi bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya mati kembali menjadi tanah. Adapun dari sisi bentuknya, pergerakan yang terjadi adalah menjadi nafs al-mutaharikah, kemudian menjadi nafs nabatiyah, selanjutnya menjadi nafs hayawaniyah, dan akhirnya menjadi nafs al-insaniyat. Yang terakhir inilah disebut ruh manusia.
Ayat ini menurut Shadra mengisyaratkan bahwa objek-objek tersebut telah dijadikan ciptaan yang lain. Ayat ini tidak menyatakan ada sesuatu yang lain yang didatangkan dari luar objek-objek tersebut, tetapi objek-objek itu sendirilah yang diciptakan-Nya sebagai sesuatu yang lain (ruh). Oleh karena itu, suatu benda bergerak untuk menyempurna dari alam bendawiah yang berdimensi panjang, lebar, tebal, dan waktu, menuju alam yang tidak berdimensi ruang dan waktu. Dengan demikian, tidak ada pemisahan dan dikotomi yang menyebabkan kita terjebak pada pemikiran dualistik (ruh dan tubuh yang saling independen).
Lebih jelasnya, bahwa tersusunnya manusia dari ruh dan tubuh tidaklah seperti zat kimia yang terdiri dari dua unsur, seperti tersusunnya air dari oksigendan hidrogen, yang apabila salah satunya berpisah dari yang lainnya, wujud susunan tersebut akan sirna berikut seluruh sifat susunannya. Sementara itu, ruh adalah unsur substansial dan hakikat manusia. Oleh karena itu, perubahan dan pergantian sel-sel tubuh tidak merusak kesatuan pribadi, karena standar kesatuan hakiki manusia adalah ruhnya yang satu.[6]
Ruh manusia dihembuskan dari alam malakuti (alam mitsal), yang memiliki empat jenis fungsional, yaitu :
1. Ruh yang mengatur susunan atom-atom materi sehingga tidak bercerai berai (ruh jenis materi)
2. Ruh yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan (ruh jenis nabati/tumbuhan)
3. Ruh yang mengatur gerak ikhtiari seperti merasa, mencinta, benci, bergerak, dan lainnya (Ruh jenis hewani). Ketiga ruh di atas disebut juga jiwa.
3. Ruh yang mengatur kerja akal sebagai kekuatan menyimpulkan secara universal.
Ruh merupakan wujud non-material pada dirinya, tetapi berhubungan dengan jasad dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya. Untuk membuktikan kenon-materialan ruh para filosof banyak mengajukan argumentasi diantaranya adalah Argumentasi ‘mustahilnya yang besar masuk ke dalam yang kecil’. Maksudnya, dalam dunia materi, tidak mungkin sesuatu yang lebih besar menempati sesuatu yang lebih kecil. Akan tetapi, manusia dapat mengetahui sesuatu yang sangat besar dari dirinya, seperti gunung, bumi, langit, dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa manusia memiliki suatu unsur yang bukan materi sehingga dapat menampung seluruh pengetahuan. Unsur yang non-materi itulah yang disebut dengan ruh. Dengan demikian, ruh itu mandiri dan tetap utuh meskipun tubuh telah hancur luluh. Hal itu karena, ruh merupakan hakikat substansial dan bukan sifat-sifat tubuh, yang disebut dengan ‘aku’ sebagai hakikat manusia.[7]
Untuk mengulas persoalan menyeluruh tentang ruh bukanlah merupakan tujuan tulisan ini, karenanya, secara sederhana ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil :
1. Setiap diri, mengetahui ‘aku’ (ruh–nya) masing-masing secara hudhuri. Sedangkan untuk tubuh diketahui secara hushuli. Dengan demikian, ‘aku’ (ruh) bukanlah tubuh.
2. ‘Aku’ adalah hakikat yang tetap dan utuh selama puluhan tahun dengan sifat kesatuan dan identitas dirinya sendiri. Adapun tubuh mengalami perubahan dan pergantian berulang kali, sehingga ia tidak mempunyai standar kesatuan.
3. Sesungguhnya ‘aku’ ini bersifat sederhana (tak tersusun) yang tidak mungkin dapat dibagi, sedangkan anggota tubuh dapat dibagi-bagi.
4. Mengingat bahwa seluruh keadaan jiwa seperti perasaan, kehendak dan selainnya itu tidak memiliki ciri-ciri dasar materi, yakni ekstensi dan keterpecahan, maka kita tidak dapat menganggap hal-hal yang non-materi itu sebagai aksiden (aradh) bagi materi atau tubuh. Oleh karena itu, subjek hal-hal non-materi itu adalah substansi (jauhar) yang non-materi (mujarrad).[8]
ALAM BARZAKH : ALAM SESUDAH MATI
Barzakh secara bahasa berarti batas, dinding, atau jarak antara dua hal yang menghalangi keduanya bertemu secara langsung.[9] Secara istilah barzakh berarti batas dan pemisah antara kehidupan dunia dan akhirat. Yakni, alam yang dimulai sesaat setelah kematian dan berakhir begitu tiba hari kiamat.[10] Ini berarti, selain alam dunia dan alam akhirat ada alam ketiga yang disebut dengan alam barzakh, yaitu alam di mana ruh manusia bersemayam di sana sesudah kematian hingga datang hari kiamat untuk tegaknya keadilan Tuhan.[11]
Alam barzakh adalah gerbang atau stasiun selanjutnya untuk menuju akhirat yang mesti dilalui oleh setiap manusia yang meninggal dunia, baik dia dikubur maupun tidak dikubur. Artinya, meskipun jasad seseorang hilang lenyap, hangus terbakar hingga menjadi abu, dimakan binatang buas hingga tiada tersisa maupun tenggelam di dasar lautan, tetapi ruhnya tetap hidup dan mendapatkan kenikmatan sebagi suatu rahmat dari Allah, ataupun siksaan sebagai sebuah azab dari Allah pula, atau juga yang tak mendapatkan apa-apa, tergantung pada amal yang dilakukannya selama hidup di dunia. Itulah sebabnya mengapa Nabi saww menyabdakan: “Kuburan dapat merupakan taman dari taman-taman surga atau jurang dari jurangnya neraka” (H.R. Turmudzi).
Jadi, dari berbagai ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat dapat dipahami bahwa manusia setelah mati tidak akan memasuki alam akhirat atau hari kebangkitan secara langsung. Namun, ia akan singgah di alam antara dunia dan akhirat yang bernama Barzakh.
Namun, kita menyadari, jika sampai saat ini saja, dengan kemajuan peradaban, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang canggih, tetapi kita masih merasa belum mengungkap rahasia alam dunia yang terbatas oleh ruang dan waktu. Lantas, bagaimana kita dapat menyatakan akan mengungkap rahasia alam barzakh, yang luasnya tidak terhingga? Untuk itulah, dalam menyingkap rahasia alam di balik kematian, selain dengan kemampuan akal, kita juga membutuhkan bantuan wahyu, untuk menyingkap berbagai rahasianya. Begitu pula alam akhirat dengan berbagai peristiwa-peristiwa yang menyertainya, sangat tersembunyi bagi kita, “Tidak seorang pun mengetahui sesuatu yang menyenangkan pandangan mata yang disembunyikan bagi mereka sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. 32:17); “Kupersiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang salih sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terbersit dalam hati seseorang” (hadits qudsi).
Kehidupan barzakh adalah pengalaman yang disadari. Artinya, kehidupan barzakh merupakan sejenis proses pemurnian (tashfiyah). Manusia yang memasuki alam barzakh ini dibersihkan dari kotoran-kotoran untuk menjalani proses pemurnian tersebut. Kehidupan di alam barzakh merupakan tahap awal untuk memetik hasil-hasil amal yang ditanam selama hidup di dunia dan melihat sebagian pahala atau siksaan. Alasannya yaitu pernyataan orang-orang saleh tentang kesenangannya atau orang-orang yang berdosa untuk kembali ke dunia ketika ruh mereka dicabut dari raga dan tinggal di barzakh.[12] Hanya saja ada perbedaan kesadaran antara orang yang soleh dengan orang yang salah (berdosa).[13]
Dengan demikian alam barzakh merupakan alam antara dunia dan akhirat yang pasti dilalui oleh setiap manusia setelah mengalami kematian. Di alam barzakh ini, manusia akan mendapatkan pertanyaan, kesenangan atau kesulitan sesuai dengan derajat keimanannya. Alam barzakh ini juga merupakan tempat penyucian bagi orang-orang yang beriman untuk meringankan perhitungan mereka di akhirat (tasfiyah). Ada tiga jenis kondisi manusia di alam barzakh, yaitu :
Mendapatkan nikmat dan kebahagiaan. Ini adalah kondisi orang-orang yang soleh, sebagimana firman Allah: “Jangan kamu kira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, tapi sesungguhnya mereka hidup di sisi tuhan mereka dan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169).
Mendapatkan siksaan dan kesengsaraan. Ini adalah kondisi orang-orang kafir, durhaka, berdosa, zalim, para tiran, dan pendukung-pendukungnya, seperti dinyatakan Allah dalam al-Quran : “Kepada mereka ditayangkan neraka pagi dan petang, dan pada saat datangnya hari kiamat (ia berkata): “Masukkan keluarga Firaun dalam siksa yang paling berat.” (QS. Al-Mukmin: 46).
Dibiarkan saja tanpa kenikmatan dan tanpa siksaan. Mereka seperti tertidur saja, dan tersentak ketika hari kiamat tiba. Ini adalah kondisi orang-orang yang dosa-dosanya tidak sebesar kelompok kedua. “Dan pada saat datangya hari kiamat, orang-orang berdosa bersumpah bahwa mereka tidak tinggal dalam kubur kecuali sebentar. Dan orang-orang yang diberi ilmu dan inian berkata (kepada para pendosa): “Kamu telah tingga! (di dalam kubur) atas ketetapan Allah hingsa hari kebangkitan. Dan ini adalah hari kebangkitan, tapi kamu tidak tahu.” (QS. Al-Rum: 55-56)[14]
Bedasarkan ayat-ayat diatas di tambah dengan riwayat-riwayat nabi, malaikat akan mendatangi orang yang meninggal, dan mengutarakan pertanyaan-pertanyaan, memberi kenikmatan bagi orang beriman dan siksaan bagi orang kafir. Namun, dengan memahami ayat dan beberapa riwayat dapat dijelaskan bahwa pertanyaan dalam kubur hanya khusus bagi Mukminin dan kaum zalim, dan tidak akan mencakup orang-orang lemah dan yang berada pada posisi tengah-tengah antara kedua kelompok tersebut. Imam Muhammad al-Baqir menegaskan bahwa di alam kubur manusia akan mendapatkan pertanyaan dan interogasi. Namun, pertanyaan tersebut hanya untuk orang-orang yang memiliki keimanan murni dan untuk orang kafir yang murni pula, sedangkan selain kedua kelompok tersebut akan dibiarkan.[15]
Kemudian perlu diperhatikan, meskipun manusia telah mati, bukan berati ia memiliki keterputusan total dengan alam dunia. Keterputusan total itu hanya terjadi setelah kiamat tiba. Karenanya ruh yang di alam barzakh masih dapat berhubungan dengan alam dunia, seperti pertemuan para penghuni alam barzakh di antara mereka dan pertemuan mereka dengan sanak keluarganya, mendengar berbagai pembicaraan atau perbuatan manusia dan melihat peristiwa-peristiwa di dunia. (Q.S. Ali Imran : 169-171) Begitu pula, orang-orang yang memiliki kemuliaan dan masih hidup dapat berhubungan dengan ruh-ruh yang di alam barzakh (lihat Q.S. Ali Imran 77-79; Al-A’raf: 93; Zukhruf: 45; Al-Shaffat: 79, 109, 120, 130, 181).[16]
KIAMAT : AKHIR ALAM DUNIA
Kiamat adalah suatu peristiwa yang pasti terjadi tetapi tak seorangpun yang mengetahuinya, sebagaimana firman Allah, “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “bilakah terjadinya?” katakanlah: “sesungguhnya pengetahuan itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu mengetahuinya. Katakanlah: “sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah disisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S. Al-A’raf : 187).
Kedahsyatan peristiwa kiamat telah diceritakan al-Quran dengan kisah yang mencekam, di mana langit dan bumi dan segala isinya akan mengalami kehancuran total. Pada saat itu berbagai jeritan kematian menggaung di seantero jagat dengan ditiupnya sangkakala oleh Malaikat Israfil. Maka berakhirlah keberadaan alam dunia yang semuanya kembali kepada asalnya masing-masing.
Catatan Kaki:
[1] Perhatikan ayat-ayat ini : “Semua yang ada di muka bumi ini akan fana.” (Q.S. al-Rahman: 26); “Setiap yang bernyawa itu pasti akan mengalami kematian.” (Q.S. Ali Imran: 185); “Sesungguhnya engakau wahai rasul, akan mati. Dan sesungguhnya mereka pun akan mati.” (Q.S. az-Zumar: 30).
[2] Selain menggunakan kata mauta, al-Qur’an menyebut kematian dengan istilah tawaffâ. Misalnya : Tawaffâ secara linguistik berarti pengambilan sesuatu secara utuh dan sempurna. Di saat manusia menarik sesuatu dengan betul-betul dan utuh sehingga tak ada yang tersisa, dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata tawaffâ. Tawaffaitul Mal (aku telah ambil seluruh harta bendaku tanpa kurang dan lebih).
[3] Allah berfirman : “Mereka yang dimatikan oleh para malaikat yang baik itu berkata, ‘Salam sejahtera atas kalian’.” (Q.S. an-Nahl: 32); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. al-Fajr: 27-30).
[4] Allah berfirman : “Jika saja kamu melihat ketika malaikat itu mematikan orang-orang yang kafir, mereka memukul-mukul wajah mereka dan punggung mereka.” (Q.S. al-Anfal: 50); “…Alangkah dahsyatnya sekira kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata), ‘keluarkanlah nyawamu’…” (Q.S. al-An’am: 93).
[5] Lihat pembahasan ruh secara detail dalam Ja’far Subhani. Urusan Tuhan. (Jakarta: Al-Huda, 2006).
[6] M.T. Misbah Yazdi. Iman Semesta. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 345.
[7] Perhatikan ayat-ayat ini : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. Dan mereka berkata, ‘Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?’ Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya. Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu, kemudian kepada Tuhanmu, kamu akan dikembalikan.” (Q.S. al-Sajadah: 7-11).
[8] M.T. Misbah Yazdi. Iman, h. 349-350.
[9] Allah berfirman : “Antara keduanya ada batas (barzakh) yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” (Q.S. al-Rahman: 20) Lihat juga Q.S. al-Mukminun : 100.
[10] Imam Ja’far Shadiq as. bersabda, “Barzakh adalah kubur (dimulai) dari har kematian sampai hari kiamat.” Lihat Sayid Mujtaba Musawi Lari. Dirasat fi Ushusi al-Islam.(Qum: Markaz al-Tsaqafah al-Islamiyah fi al-‘Alam,tt), h. 205.
[11] “Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, ia berkata, ”Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding (barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminûn: 99-100).
[12] Allah berfirman : “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku, kembalikan aku (ke dunia).”
[13] Allah berfirman : “Dan pada saat datangya hari kiamat, orang-orang berdosa bersumpah bahwa mereka tidak tinggal dalam kubur kecuali sebentar. Dan orang-orang yang diberi ilmu dan keimanan berkata (kepada para pendosa): “Kamu telah tingga! (di dalam kubur) atas ketetapan Allah hingga hari kebangkitan. Dan ini adalah hari kebangkitan, tapi kamu tidak tahu.” (QS. Al-Rum : 55-56). Lihat Ja’far Subhani. Urusan, h. 59-61.
[14] Lihat Sayid Mujtaba Musawi Lari. Dirasat, h. 208; Ja’far Subhani. Urusan, h. 75.
[15] Lihat Al-Majlisi. Bihar al-Anwar jilid 6, h. 235; Ja’far Subhani. Urusan, h. 75-76.
[16] Lihat pembahasannya secara detail dengan argumentasi akal dan wahyu (al-Quran dan hadits) dalam Ja’far Subhani. Urusan, h. 83-114.
(Abu-Thalib/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar