Oleh: Wahyu Sutono
Sejatinya rumah susun dibangun oleh pemerintah sebelumnya adalah selain untuk mengatasi sulitnya MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) memiliki rumah tinggal di Jakarta yang harganya sangat mahal, juga untuk menata kawasan agar tak kumuh, serta lebih manusiawi dan salah satu upaya mengatasi banjir bagi warga yang tinggal secara ilegal di bantaran sungai.
Karenanya saat itu Pemkot DKI merelokasi dan menertibkan warga dengan memberikan tempat tinggal yang layak, namun dipungut iuran sebesar 300ribu rupiah per bulannya untuk biaya operasional perawatan gedung. Sebegitu murahnya nilai iuran tersebut masih jadi komuditas kampanye Anies Sandi yang seolah itu mencekik penghuni dan tidak memiliki keberpihakan. Juga begitu ringannya itu disebut penggusuran yang tak manusiawi.
Tapi setelah menjabat, ucapan saat kampanye dengan jargon 'Keberpihakan' itu seolah sirna dengan adanya wacana menaikkan uang sewa yang nilainya naik 520%. Memang ini baru wacana yang konon baru diusulkan dan konon katanya ada subsidi.
Yang jadi masalah adalah bila hal ini kemudian diputuskan dalam Perda, subsidinya berapa serta mekanismenya seperti apa, dan apakah tak rentan terhadap penyalahgunaan? Tapi yang lebih penting dari itu, makna keberpihakan itu ada dimana letaknya? Mereka itu wong cilik yang untuk membayar 300ribu saja sudah berat, bahkan bila dinaikkan 50% sekalipun. Jadi apalagi hingga 300% lebih.
Ditambah dengan kebijakan baru tentang rencana menaikkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di DKI Jakarta. Itu yang artinya bagi wong cilik hanya menjadi mimpi untuk memiliki rumah, terlebih janji andalan di kampanye tentang rumah DP 0% sudah pasti tak mungkin bisa terwujud, kecuali bila rencana Bank Indonesia sudah mengeluarkan peraturan baru.
"Kalau begitu mari kita nyanyikan lagunya Rinto Harahap: Janji janji, tinggal janji, bulan madu, hanya mimpi.."
(Facebook/Info-Menia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar