Luhut Binsar Pandjaitan bersama mobil pemberian Jendral LB Mordani kepada Kiai As’ad semasa hidupnya
Meskipun tak bisa bertemu dengan Pengasuh Pesantren KHR Ahmad Azaim Ibrahimy karena sedang berada di pulau Madura dalam sebuah kegiatan Safari Dakwa, bagi Luhut Binsar Pandjaitan hari itu menjadi saat-saat yang begitu istimewa. Bukan karena ia dapat mengunjungi salah satu pondok pesantren besar di Jawa Timur, Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, lebih dari itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia itu bisa bernostalgia dengan pesantren yang sudah berusia lebih dari satu abad itu.
Luhut Binsar Pandjaitan diterima Sekretaris Pesantren KH. Ahmad Fadhail Luhut mengunjugi pesantren Sukorejo pada Selasa, 17 Juli 2018. Ia mengaku, kunjungannya itu murni untuk bersilaturrahim dengan Pengasuh Pesantren yang pernah didatanginya pada tahun 1984 silam. Oleh karena itu, di pesantren yang memiliki belasan ribu santri itu, Luhut seperti bernostalgia dengan masa-masa ketika ia bertugas untuk sebuah pengamanan pada sebuah perhelatan besar NU yang dihadiri Presiden Soeharto.
Ungkapan perasaan Luhut saat mengunjungi Pesantren Sukorejo dikisahkan di akun facebook pribadinya. Di dalamnya ia berkisah tentang banyak hal, mulai dari kesaksiannya tentang kesederhanaan KHR Asad Syamsul Arifin,sikap dan toleransi sang Pahlawan Nasional, hingga soal mobil pemberian LB. Mordani kepada Kiai Asad saat itu. Yang membuat ia sangat terkesan, mobil sedan jenis Toyota Corona tersebut ternyata masih ada hingga saat ini bahkan masih bisa dipakai.
Berikut kisah lengkap Luhut Bansar Pandjaitan selengkapnya :
“Ketika kendaraan yang saya tumpangi memasuki halaman Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukoreno yang luas di Situbondo, Jawa Timur 17 Juli 2018 lalu, ada perasaan lain terasa di dada saya.
Saya sejak masih aktif menjadi anggota TNI sudah sering datang ke berbagai pondok pesantren, baik di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Jadi kunjungan ke pesantren bukan hal mengejutkan.
Yang membuat munculnya perasaan lain adalah semacam nostalgia 34 tahun lalu, tepatnya tahun 1984, ketika saya masih berpangkat Mayor di kesatuan Kopassandha (sekarang Kopassus) saya mendapat tugas khusus dari Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani untuk melihat dan mensupervisi pengamanan di pondok pesantren tersebut sebelum Presiden Soeharto berkunjung.
Seperti biasanya sebelum ada kunjungan Presiden di suatu tempat, unsur-unsur keamanan jauh-jauh hari sebelumnya telah melakukan peninjauan ke lokasi. Sesuai presedur, tugas demikian dilakukan oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) bekerjasama dengan unsur ABRI setempat.
Tetapi khusus menjelang kunjungan ke pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo ini, ada perhatian khusus dari alm. Pak Benny Moerdan. Beliau berteman dekat dengan pimpinan pesantren itu, yaitu alm. K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, salah satu kiai yang sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Saya diberitahu bahwa organisasi Nahdlatul ’Ulama (NU) berencana menyelenggarakan Muktamar di sana, dan perhelatan itu akan dibuka sendiri oleh Presiden Soeharto. Jadi saya diperintahkan untuk melihat kondisi keamanan di lokasi dan juga menanyakan apa saja pemerintah yang bisa bantu untuk pesantren itu.
Karena tugas khusus dari Pangab, maka saya menjalankan tugas dengan ekstra hati-hati. Segi pengamanan tidak jadi masalah, meskipun diperkirakan ada ribuan orang akan datang ke pesantren tersebut.
Khusus untuk menjalankan perintah kedua, saya menghadap pimpinan pesantren yaitu Pak Kiai As’ad Syamsul Arifin. Meskipun ia adalah seorang kiai yang sangat dihormati oleh para santri dan para kiai lain, tetapi orangnya sangat sederhana.
Saya tanyakan, apa yang kami bisa bantu, beliau katakan, pesantren sering mengalami kesulitan mendapatkan air bersih bila tiba musim kemarau. Saya sanggupi, ABRI akan membuat sumur dalam (sumur bor) sehingga kendala air bisa diatasi.
Pak Benny juga berpesan agar minta izin Kiai As’ad untuk memperbaiki rumah yang didiaminya, tetapi beliau dengan halus menolaknya.
Juga ketka saya diajak ke kamar tidurnya yang sederhana, saya tawarkan lagi untuk mengganti tempat tidur dengan yang lebih baik, lagi-lagi beliau menolaknya dengan sangat santun. Terus-terang saya terharu dengan kesederhanaan itu.
Jadi, 34 tahun seudahnya ketika kembali ke pesantren di Situbodo itu saya mencoba mengingat-ingat kenangan tersebut. Banyak yang berubah tentunya, beberapa bangunan baru telah berdiri di kawasan tersebut, sarana penginapan juga telah bertambah.
Ketika masuk ke rumah utama, saya sudah tidak kenali lagi rumah yang dulu sangat sederhana itu. Sudah berdiri sebuah bangunan yang lebih kokoh dan lebih besar.
Para pengasuh menjelaskan bahwa Kiai As’at suatu hari memerintahkan agar rumahnya itu diperbaiki, tetapi ia sendiri tidak tinggal disana. Rumah yang diperbaiki tersebut didiami oleh anaknya, dengan alas an agar para tamu nantinya melihat bahwa ada perbedaan dan kemajuan yang dicapai oleh pesantren tersebut. Pak Kiai sendiri justru pindah ke rumah yang lebih sederhana di dekat lokasi itu.
Saya tanyakan kepada pimpinan pondok, apa yang tersisa dari era ketika saya datang dulu selain sumur bor? Dan dengan spontan dijawab, “Mobil yang diberikan oleh Pak Benny masih ada….!”.
Saya surprise, karena tahu bahwa suatu hari Kiai As’at pernah minta Pak Benny mobil untuk dipergunakan kalau keluar pesantren. Pak Benny langsung mengirim sebuah mobil sedan jenis Toyota Corona baru dengan warna hijau NU.
“Mobilnya, sekarang masih ada, dan masih bisa dipakai…!”Kembali saya terkejut. Mobil langsung dibawa ke hadapan saya dari garasi, dan …betul, kondisi mobil tersebut masih baik dan masih bisa digunakan. “Almarhum berpesan agar mobil itu jangan dijual, karena itu kenang-kenangan dari sahabatnya, Pak Benny Moerdani….!”
Saya merasakan, setelah 34 tahun saya tidak pernah datang lagi ke pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, “jiwa” dari alm. Kiai As’at Syamsul Arifin masih hidup disana.
Pelajaran agama dan keagamaan masih menjadi pokok pelajaran di sana, tetapi para pengasuhnya “jaman now” melihat bahwa tantangan zaman yang sudah berubah harus dihadapi perbaikan kurikulum pelajaran.
Pesantren itu sekarang mempunyai SMK khusus di bidang IT, para santrinya tidak asing dengan komputer dan pondok pesantren itu punya website yang cangguh juga.
Pesantren yang konon berdiri tahun 1914 itu sejak awal kemerdekaan RI, telah secara konsisten mengajarkan kepada puluhan ribu santri mengenai kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara konsisten. Itu saya sadari betul, karena itu setiap kali saya berbicara di pesantren, maka saya selalu katakan dengan ikhlas bahwa sulit bisa dibayangkan bagaimana NKRI bisa tetap survive tanpa peran pondok pesantren sebagai salah satu tiang utamanya.
Tiga jam kemudian setelah berdialog dengan para pengasuh pesantren itu ditambah lagi dengan para kiai utama dari Banyuwangi, Probolinggo, dan Jember; saya meninggalkan pondok pesantren tersebut degan hati yang tenteram. Pesantren Salafiyah kini sudah dipimpin oleh generasi keempatnya.
Setelah Kiai As’ad Syamsul Arifin wafat tahun 1990, maka puteranya KHR Achmad Fawaid As’ad meneruskannya. Sekarang sehari-harinya pesantren itu dipimpin oleh Nyai Hj Juwairiyyah Fawaid sementara pimpinan formalnya adalah KHR Achmad Azaim Ibrahimy.
Saya merasa tenteram karena pondok pesantren itu meyakinkan saya betapa mereka mampu mendidik ribuan anak-anak, sebagian adalah berasal dari keluarga tidak mampu, menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan lingkungannya, berbudi serta berahlak baik dan mencintai NKRI secara utuh. Elok pula bila pesantren-pesantren semacam ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah agar mutu pendidikannya semakin baik lagi.
Satu hal lain yang membuat saya gembira adalah, pengakuan pemerintah atas peran yang sangat besar dari alm. KHR As’ad Syamsul Arifin bagi bangsa dan negara dengan pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden RI Joko Widodo tahun 2016 lalu.”
(Serambi-Mata/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar