Ada tiga hal yang menghambat pemimpin dalam melaksanakan amanahnya di Indonesia. Bisa saja dia walikota, bupati, gubernur atau bisa juga presiden. Apa itu. Pertama adalah mental birokrat yang masih ingin dilayani dan merasa paling benar. Kedua, DPRD / DPR yang lebih berpikir partisan. Bukan kepentingan publik. Ketiga APBD yang terbatas karena dibebani oleh belanja pegawai dan rutin. Ketiga hambatan itu ada karena proses perubahan system dari era Soeharto tidak terjadi secara revolusi tetapi secara gradual. Makanya semua berproses. Tetapi secara UU dan sistem sudah tersedia. Nah tinggal bagaimana pemimpin melaksanakan amanah itu.
Sebagian besar pemimpin di era reformasi masih terjebak dengan ketiga hambatan itu. Umumnya mereka lebih memilih jalan normatif. Artinya segala sesuatu diserahkan kepada bawahannya. Dan umumnya yang dipilih yang loyal dengan dia. Bukan yang cerdas. Sekali dia bersikap begitu maka dia akan ditelan oleh birokrasi. Ada contoh pengalaman teman yang baru diangkat sebagai kepala daerah. Dia bingung membaca laporan persiapan anggaran untuk pelantikan sebesar Rp 500 juta. Dia langsung tolak. Menurutnya itu tidak masuk akal. Tetapi kata bawahanya itu sudah biasa dilakukan oleh kepala daerah sebelumnya. Tetap dia tolak.
Ketika membuat rencana APBD , dia bingung karana setelah di breakdown anggaran itu banyak engga masuk akal. Baik harga maupun satuannya. Tetapi Team Yang menyusun anggaran bilang bahwa anggaran itu dibuat sudah sesuai dengan undang2 dan perda yang ada. Anggota DPRD juga paham mengenai itu. Tetapi dia tolak. Dia minta second opinion dari konsultan atas Biaya dia sendiri. Ternyata dia bisa revisi anggaran itu dengsn menghemat hampir 40% belanja. Kemudian proses pengambil keputusan antar SKPD selalu disibukkan oleh rapat berkali kali. Dia heran. Dia coba hadiri rapat itu ternyata isi rapat itu hanya kosong. Rapat itu diadakan hanya memenuhi standar procedur yang diatur oleh Aturan yang ada. Dia ubah standar rapat agar efisien. Masih banyak lagi proses birokrasi yang tidak efisien.
Atas berbagai permasalahan birokrasi itu, dia melakukan evaluasi secara menyeluruh dan sekaligus mempelajari secara utuh haknya sebagai kepala daerah. Ternyata menurutnya hak kepala Daerah itu sangat luas untuk terjadi reformasi birokrasi. Termsuk hak diskresi anggaran yang diakui Undang undang agar kepala daerah mampu menghasilkan kinerja terbaik diluar APBD. Makanya pendapatan diluar APBD dia genjot agar kemampuan Pemda lebih besar mengeskalasi pertumbuhan. Apa yang dilakukan oleh Ahok di DKI, Jokowi di Solo dan Abdullah di Bantaeng, Risma di surabaya , Emil di Bandung adalah contoh kongkrit bagaimana kepala daerah bisa berprestasi baik walau postur APBD sama dengan daerah lain yang tidak berprestasi baik.
Perhatikan juga kinerja Jokowi. Walau APBN defisit dan komoditas utama kita jatuh dipasaran dunia, tetapi kinerja Jokowi mengalahkan presiden sebelumnya. Aturan dan UU yang kini dipakai Jokowi dalam mengelola APBN sama dengan presiden sebelumnya tetapi hasilnya berbeda. Mengapa ? Karena niat dan samangat yang berbeda.
Diambil dari diskusi ddb
(Focus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar