Foto: Pernikahan bocah di bantaeng batal dilangsungkan
Menikah di umur belia apakah sesuai aturan? Pertanyaan ini mengemuka beberapa waktu lalu saat mencuat berita di jagad sosial media tentang kejadian pernikahan pasangan berusia 14 dan 16 tahun yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Dikutip dari website Kementerian Agama RI, Insan Khoirul Qolbi Pelaksana pada Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah menjelaskan UU Perkawinan sebenarnya tidak mengenal adanya perkawinan anak atau pernikahan dewasa. UU Perkawinan hanya memberi batasan minimal usia ideal bagi warga negara untuk menikah, yaitu setelah berumur 21 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.
Hanya saja, lanjutnya UU Perkawinan membolehkan laki-laki berumur di bawah 19 tahun dan perempuan di bawah 16 tahun untuk menikah, selagi mendapat dispensasi dari pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama.
Di sisi lain, jelasnya ada sejumlah regulasi yang mendefenisikan anak dengan batasan usia di bawah 18 tahun.
“Sebut saja UU Perlindingan Anak, UU Kesehatan, UU Pendidikan Nasional dan sekitar 20 regulasi lainnya, semua mendefiniskan anak dalam pengertian tersebut. Dengan demikian, peristiwa menikah di bawah 18 tahun disebut sebagai perkawinan anak,” jelasnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menggelar sidang gugatan pemohon terkait Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengajukan gugatan karena menilai batas usia minimal perempuan menikah dalam UU Perkawinan rentan terhadap kesehatan reproduksi dan tingkat kemiskinan.
YKP berpandangan organ reproduksi perempuan usia tersebut belum siap. Hal itu lalu dikaitkan dengan angka kematian ibu melahirkan yang sangat tinggi. YKP menjadikan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Majelis Hakim MK menolak gugatan tersebut. Majelis beralasan penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang, sehingga batasan umur tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang.
Selanjutnya, menurut Majelis, penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan telah sesuai dengan nilai-nilai agama. Sesuai hukum agama, memang tidak ditentukan sampai pada batas minimal berapa sesorang diizinkan melakukan perkawinan. Dalam hukum agama Islam, hanya diatur dalam soal baligh, di mana seorang mulai dibebani atau ditaklif dengan beberapa hukum syara’.
Selain itu dalam ilmu hukum, terdapat asas lex specialist derogat legi generali, yaitu adanya aturan khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Dalam perkawinan di Indonesia, maka yang menjadi aturan khususnya adalah UU Perkawinan. Sehingga ketika dihadapkan dengan aturan yang bersifat umum, maka kedudukan UU Perkawinan lebih kuat untuk dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan perkawinan. Apalagi dalam aturan yang bersifat umum tersebut tidak ada satu pasal pun yang secara tegas melarang perkawinan anak.
Jika dibaca secara utuh, UU Perkawinan menghendaki batas usia perkawinan adalah 21 tahun (Pasal 6). Hanya saja, karena alasan tertentu, diberikan solusi bagi pasangan yang hendak menikah di bawah umur 21 tahun, misalnya menghindari perzinahan.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar