Ratusan wanita hamil di kota Hodeidah berisiko meninggal karena serangan yang terus menerus dilancarkan oleh koalisi Saudi menjadikan perawatan medis tidak bisa dijangkau.
Dana Kependudukan PBB (UNFPA) mengatakan wanita hamil berada di “risiko ekstrim” karena semakin sulit untuk mengakses perawatan, dengan tingkat kematian ibu kemungkinan telah berlipat ganda dari penghitungan tahun 2015 dengan 385 kematian per 100.000 kelahiran hidup.
Kekerasan membatasi akses agen ke Hodeidah, tetapi diperkirakan 90.000 wanita akan melahirkan di sana dalam sembilan bulan ke depan.
UNFPA menyatakan bahwa Eskalasi konflik telah menghancurkan fasilitas kesehatan dan membuat mereka yang menderita komplikasi seperti pendarahan atau infeksi berada dalam risiko tinggi.
Nadia, bukan nama sebenarnya, melarikan diri dari Hodeidah ke ibukota Sana’a hampir tiga minggu lalu. Ia mengkhawatirkan lima anaknya dan bayi yang dikandungnya.
“Saya pikir saya, bayi saya dan anak-anak akan mati dan sakit jika saya tetap tinggal,”ujar Nadia yang hamil lima bulan, kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon dari ibu kota Sanaa. “Saya takut keguguran dan melahirkan lebih awal,” tambahnya.
Serangan pada Hodeidah diluncurkan pada bulan Juni oleh koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab adalah pertempuran terbesar dalam konflik yang telah menewaskan dan melukai lebih dari 600.000 orang tersebut.
“Semakin sulit untuk menjangkau wanita hamil atau mereka yang ingin menghindari hamil dengan layanan kesehatan reproduksi dan obat-obatan yang mereka butuhkan,” kata Luay Shabaneh, direktur UNFPA untuk Wilayah Arab, minggu ini.
Hodeidah adalah pelabuhan utama negara Arab yang kini menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi negara dengan salah satu angka kematian ibu tertinggi di dunia.
“Saya menderita, lelah dan dipenuhi rasa takut. Ada kekurangan gizi, tidak ada kebutuhan dasar seperti listrik dan perawatan medis, ”kata Nadia menceritakan kehidupannya di Hodeidah.
Arab Saudi dan sekitar 20 sekutunya, termasuk Uni Emirat Arab, Maroko dan Sudan, melancarkan perang brutal, yang mereka beri Kode Operasi Badai Penentu, terhadap negara miskin Yaman pada Maret 2015 dalam upaya untuk menginstal ulang pemerintahan mantan Presiden Yaman Abd Rabbuh Mansur Hadi, seorang sekutu setia Riyadh, dan menghancurkan gerakan populer Houthi Ansarullah.
Serangan awalnya terdiri dari kampanye pemboman, tetapi kemudian digabungkan dengan blokade laut dan penyebaran pasukan darat ke Yaman.
Perang yang dipaksakan ini, bagaimanapun, sejauh ini gagal mencapai tujuannya berkat perlawanan tegas yang dilakukan oleh pasukan Yaman dan pejuang Houthi dalam membela negara.
(Arrahmah-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar