Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS OPINI. Tampilkan semua postingan

Wow! Sandi, Anak Bawang Yang Ngebet Berkuasa


Oleh: Eko Kuntadhi

Kata Prabowo, orang yang punya uang bisa berkuasa di Indonesia. Sepertinya omongan itu ditujukan pada Sandiaga Uno. Sandi memang menggapai kekuasaan dengan modal duit. Dia tahu, politik butuh duit. Politisi juga banyak yang mata duitan.

Ketika mau naik jadi Wakil Gubernur Jakarta, Sandi yang bertindak jadi bandar biaya kampanye. Kata Prabowo, untuk jadi Gubernur dwngan paket hemat minimal biayanya Rp300 milyar. Entah berapa sesungguhnya biaya yang dikeluarkan Sandi.

Kini Sandi melepaskan kirsi Wagub. Dia ingin jadi Wapres mendamoingi Prabowk. Andalannya duit lagi. Menurut Andi Arief, untuk dapat sokongan PKS dan PAN, Sandi nyogok partai-partai itu masing-masing Rp500 milyar. Sandi membenarkan dengan alasan untuk biaya kampanye.

Prabowo memilih Sandi juga bukan karena pertimbangan lain. Misalnya karena kemampua atau kualitas. Orang tahu setelah gagal Pilpres berkali-kaki dana Prabowo cekak. Nah, Sandi dianggap bisa menyelesaikan persoalan dana tersebut. Entah dari mana asalnya. Jadi meakipun dari satu partai, dipaksakan juga Sandi maju.

Sebagai pengusaha Sandi berfikir akan mudah meminta bantuan sesama pengusaha untuk menunjang biaya kampanyenya. Karena meskipun kekayaanya Rp5 trikiun lebih, gak mungkim kampanye Pilpres dibiayai dari kantong pribadi.

Nyatanya respon pengusaha adem tidak seperti yang diharapkan. Duit yang diharapkan mengucur, seret. Wajar saja. Pengusaha juga rasonal. Mana mau mereka habis-habisan membiayai kandidat yang elektabilitasnya kacrut.

Komitmen pembiayaan dari pengusaha yang diharapkan positif mengalir ke Sandi, hasilnya justru mengecewakan. Kalaupun ada komitmen pencairan, paling sekadar untuk menjaga relasi saja.

Suasana itu membuat partai-partai mulai gerah. Di akar rumput nama Sandi mulai digoyang. Kader PKS di beberapa wilayah menolak Sandiaga. Sandi sendiri pernah bicara bahwa para pendukung gerakan ganti presiden lebih mendukung Anies ketimbang dirinya.

Wajar. Masuknya Sandi ke kursi Cawapres bukan karena prestasinya sebagai politisi. Bukan karena keberhasilannya membangun Jakarta. Posisinya seperti murid anak orang kaya yang tidak lulus tes masuk PTN, lalu mendapatkan kursi karena nyogok pihak rektorat. Plus komitmen untuk membiayai beberapa kebutuhan kampus.

Lalu ada momentum Asian Games. Rakyat Indonesia bangga dengan keberhasilan even olahraga tersebut. Ada banyak orang yang dianggap arsitek keberhasilan Asian Games. Salah satunya Wisnutama CEO Net TV. Dialah yang menjadi otak di balik acara pembukaan yang dipuji dunia itu.


Nama Wisnutama jadi buah bibir

Kebetulan pada 2016 Wisnutama pernah membuat vlog bersama Sandi. Dia memuji Sandi sebagai anak muda yang sukses. Tapi sekali lagi vlog itu dibuat 2016, jauh sebelum Sandiaga maju jadi Cawagub. Apalagi jadi Cawapres.

Video itu kini sedang diviralkan seolah menjadi dukungan petinggi Net TV itu kepada Sandi sebagai Cawapres. Padahal mah, Jaka Sembung bawa jaket. Gak nyambung, kampret!

Tapi mau gimana lagi. Pasar sedang jeblok. Ok-Oce yang dibanggakannya di Jakarta mandeg. Banyak minimarketnya yang bangkrut. Sandi sepertinya butuh meyakinkan publik bahwa dia hebat. Tapi siapa yang percaya?

Sebagai pengusaha bidang keuangan yang terbiasa merekayasa angka-angka di atas kertas mungkin saja dia jago. Tapi pemimpin Indonesia bukan sekadar urusan utak-atik angka. Bukan urusan berapa biaya dan berapa untungnya. Bukan urusan bagaimana menutup kerugian, menaikkan angka di neraca, atau menyulap angka-angka menjadi mengkilap.

Rakyat Indonesia butuh kemajuan yang riil. Butuh makan dan kesejahteraan yang nyata. Bukan kemajuan di atas kertas seperti sebuah proposal yang ditawarkan kepada investor. Para pengusaha juga tahu, di politik Sandiaga ini cuma anak bawang. Belum ada prestasinya.

Dia jadi petinggi di Gerindra karena duitnya. Jadi Wagub Jakarta karena duitnya. Sekarang jadi Cawapres juga karena duitnya. Bukan karena kualitas dirinya.

Pengusaha ogah untuk ikut patungan. Alamat nanti saat Pilpres bakalan cekak. Sebab gak mungkin Sandi membiayai kampanye semuanya dari kantong sendiri. Partai pendukung mulai deg-degan gak bisa menikmati pesta Pilpres. Tapi petinggi mereka sudah terjebak dengan isi kardus.

Di tengah keraguan orang Sandi terus bergerak. Video lama diviralkan agar publik terkecoh. Dia juga serius mencari perhatian ke emak-emak.

Sasarannya adalah emak-emak berjilbab yang teriak ‘rahim gue anget’ kalau melihat cowok ganteng. Atau yang berkomentar ‘ovarium gue meledak’ saat berjumpa cowok kinyis-kinyis. Dia juga mensasar pecinta sinetron yang mengukur keberhasilan seseorang cuma dari gelimang duitnya. Soal asalnya dari mana, gak menjadi soal.

Tapi sekali lagi, di politik Sandiaga termasuk anak bawang yang punya libido politik besar. Ketika mau naik jadi Gubernur dulu juga elektabikitasnya jeblok. Makanya akhirnya Anies yang disorong. Sandi menapaki karir politiknya dengan duit.

Kebetulan Sandi satu partai dengan Capres yang meyakini kalau mau jadi pemimpin di Indonesia butuh duit banyak. Jadilah dia dipilih sebagai Cawapres.

Entahlah, kepada ‘investor’ yang mana Indonesia akan ditawarkan oleh Sandi. Sebab yang pasti kampanye Pilpres itu butuh duit. Butuh bandar.

“Mas, kalau ada proposalnya Sandi saya mau lihat dong. Saya mau ikut investasi. Kalau dia menang kan, saya bisa minta konsesi monopoli perdagangan minyak telon,” ujar Abu Kumkum.

“Kalau kalah gimana?”

“Ya, saya lepas bisnis minyakku, minyak telon maksudnya. Saya akan fokus ke bisnis gas. Jualan jamu tolak angin.”

(Eko-Kuntadhi/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Denny Siregar: Prabowo Menjual Ketakutan


“Indonesia terancam menjadi negara miskin selamanya!”. Begitu pidato Prabowo Subianto dalam seminar nasional Paradoks Indonesia di Hotel Sahid tadi. Sebuah seruan yang menakutkan, melihat bagaimana situasi Indonesia kedepan..

Tapi, benarkah begitu ? Bahwa Indonesia akan terancam miskin selamanya ?

Ternyata tidak. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus naik dari tahun ke tahun. Tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di 4,8 persen. 2016 di 5 persen. 2017 naik 5,1 persen. Dan di 2018 ini diperkirakan naik menjadi 5,2 persen.

Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia naik terus setiap tahun, lalu kenapa Prabowo bilang bahwa Indonesia terancam miskin ?

Jawabannya hanya satu, kemiskinan adalah jualannya. Atau lebih tepatnya, menjual ketakutan akan kemiskinan.

Narasi ketakutan terus menerus digiring oleh koalisi Prabowo. Mulai dari takut ekonomi runtuh, takut PKI, takut asing dan aseng dan banyak ketakutan lainnya. Ini penting bagi mereka, karena dengan begitulah mereka berpotensi menang. Mereka harus melakukan antitesa dari lawan politiknya yang petahana, meski untuk itu mereka harus abaikan data sebenarnya.

Hoaks kemiskinan ini akan terus digulirkan. Rakyat harus ditakut-takuti bahwa situasi sedang runyam. Dan Prabowo adalah Superman yang bisa menyelesaikannya.

Dollar masa Jokowi berpotensi sampai 15.000 rupiah, sedangkan nanti kalau Prabowo berkuasa bisa 1 rupiah. Pendukung Prabowo mengabaikan faktor lemahnya dollar karena situasi global seperti perang dagang Amerika vs China.

Pokoknya kalau ada kesempatan sikat Jokowi, hajarrr… Masalah data, abaikan !

Tidak akan pernah kita lihat narasi optimis dari koalisi Prabowo. Semua harus menakutkan. Harus pesimis. Karena optimisme sudah dibangun Jokowi.

Perhatikan, tidak ada program apapun yang disampaikan kelompok Prabowo. Yang ada hanya takut, takut dan takut. Kenapa begitu ? Karena ternyata rasa takut bisa mengontrol sebuah komunitas. Ingat zaman Soeharto, yang mengontrol negara dengan rasa takut, supaya negara tidak bergejolak.

Jadi dari narasi-narasi ini, kita bisa tahu bagaimana Prabowo akan memimpin kita nanti. Dengan rasa pesimis dan rasa takut sebagai senjata. Kita akan terus dibuat pesimis dan takut akan hal yang tidak ada wujudnya.

Pantas saja Tifatul Sembiring sudah ketakutan sejak awal. Sehingga tidak mampu beli telor untuk nyeplok di rumah, karena takut akan miskin selamanya. Atau Roy Suryo yang takut gak bisa masak, sehingga harus koleksi panci-panci yang banyak.

Kalau saya cuma takut kopi habis di rumah. Mau ke warung, takut ditagih hutang. Akhirnya cuman manyun sambil seruput air panas, trus bayangin kalau itu kopi hitam yang nasgitel, manis legi dan kuenteelll…

Serumffuuutttt..

(Denny-Siregar/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ancaman Terorisme di Belakang Gerakan Tagar Ganti Presiden

Ilustrasi

Oleh: Kajitow Elkayeni

Hari ini logika publik dibikin jungkir balik. Yang berperan adalah keyakinan (agama) dan perasaan pribadi yang membentuk opini publik. Fakta yang sebenarnya disembunyikan, dilampaui, dilupakan. Istilah kerennya, post-truth. Jadi yang tampak di depan kita itu bukan keadaan sebenarnya. Hanya keseakanan, kepalsuan yang dianggap benar.

Gerakan tagar ganti presiden itu bahaya yang terang. Tapi disembunyikan dengan dalih demokrasi. Karena ada bumbu agama. Dengan dalih playing victim, emak-emak yang didzalimi. Padahal itu post-truth. Faktanya Neno itu mewakili HTI. Dan organisasi ini jelas mau mengganti sistem dan ideologi Negara.

“Demokrasi” yang ingin mengganti demokrasi. Ente waras? Teori kebebasan berpendapat tidak bisa diterapkan di sini. Orang jelas mau bakar rumah kok diberi kebebasan. Sudah cuci muka? Minum obat anti linglung?

HTI itu juga baru awal. Di balik kedok yang sebenarnya adalah terorisme. Penumpang gelap di belakangnya banyak sekali. Termasuk kekuatan asing yang membiayai terorisme global. Di negara-negara Arab yang kacau itu, dulu juga alasannya demokrasi. Begitu dibiarkan, negara kacau, kekuatan asing masuk mengacak-acak. Sampai sekarang di sana masih seperti neraka.

Bayangkan ada orang yang dakwah, “Budak (hasil rampasan perang) halal digauli tanpa nikah.” Ini yang ngomong Ustad Khalid Basalamah. Ustad ngacengan ini tidak sadar, perbudakan di seluruh dunia sudah mulai dihapuskan ratusan tahun lalu. Hari ini perbudakan dilarang.

Dan yang paling penting untuk diingat, Islam adalah agama yang memerangi perbudakan. Sejak agama ini lahir. Memang tidak secara terbuka, tapi hukuman syariah salah satunya adalah membebaskan budak.

Ada ulama wannabe lagi namanya Hanny Kristianto. Muallaf kemarin sore ini menghalalkan pembunuhan orang Syiah. Bahkan dia mengatakan, Syiah lebih buruk dari nasrani. Islam model mana yang mengajarkan kebencian seperti itu? Mana ayatnya? Mana hadistnya? Tidak ada. Tapi orang-orang sarap yang tak paham agama ini diberi kebebasan untuk mengumbar kebencian.

Jadi penolakan tagar ganti presiden itu bukan karena politik. Faktanya HTI, kelompok takfiri, sel teroris, yang bergerak di belakang mereka. Karena HTI dilarang, mereka memakai gerakan tanpa bentuk bernama tagar ganti presiden.

Orang-orang sok demokratis membela mereka. Padahal kekacauan Suriah dulu juga diawali gerakan seperti itu. Mereka tak ingin menaikkan figur khusus, karena figurisasi seperti itu lemah diserang. Mereka ingin merobohkan sistem. Oleh sebab itu mereka tak mengusung calon definitif dalam kampanyenya.

Ini yang harus dilawan. Bukan perkara demokrasinya. Bukan soal emak-emak ganjen dengan puber keduanya. Tapi upaya untuk menghalau gerakan berbahaya di belakangnya.

Saya beri ilustrasi begini, 39% mahasiswa terpapar ideologi radikal. 24% mahasiswa dan 23% pelajar setuju dengan negara islam. 11 juta warga Indonesia bersedia melakukan tindakan radikal. Sudah paham bahaya yang mengancam kita?

Potensi yang demikian besar itu hanya perlu satu pemicu kecil. Gerakan tagar ini salah satunya. Neno mungkin tidak bahaya, tapi yang di belakangnya itu syaitonirojim.

Saya perhatikan teman-teman non muslim banyak yang getol membela kebebasan mereka. Atas nama demokrasi. Padahal kalau mereka berkuasa, kalian yang pertama kali dibabat, goblok! Jangan merasa paling demokratis. Kondisi kita sangat bahaya.

Oleh sebab itu, gerakan ini harus dilawan sebelum membesar. Jika mereka berkuasa, yang toleran itu ikut terhasut dan kena propaganda. Yang toleran itu juga tak punya kekuatan untuk membela. Mereka akan memilih diam asal keluarganya selamat.

Orang-orang berpikir, kalau begitu Indonesia timur bisa melepaskan diri nanti, biar aman. Seribu teroris bersenjata saja sudah cukup mengepung kota kalian. Ini puluhan ribu. Bahkan potensinya 11 juta. Mau sembunyi di kolong langit mana kalian?

Kenapa Gus Yaqut yang biasanya tenang, sampai begitu marah pada Ahmad Dhani? Karena potensi bahaya ini. Satu-satunya jalan yang kita miliki adalah menggerus kekuatan mereka ketika masih kecil.

Apa kalian pikir NU tidak disusupi mereka? Kalau Muhamadiyah jangan ditanya. Apa kalian pikir militer tidak disusupi mereka? Apa kalian pikir politisi tidak disusupi mereka? Tidak ada tempat untuk sembunyi. Siang-malam mereka mau merontokkan pertahanan Negara ini. Eh, ini ada orang idiot khotbah demokrasi. Kau yang pertama kali digorok, bahlul.

Mereka sangat anti orang kritis. Sangat benci perbedaan. Apa yang terjadi di Aceh itu baru satu persen dari kengerian sebenarnya, jika mereka berkuasa. Baru saja kita disuguhi video mengerikan dari ISIS. Cepat sekali kalian lupa kebiadaban mereka. Jangankan non muslim, yang muslim saja disembelih.

Gerakan tagar ini sinyalemen bahaya. Kalau ada orang waras di daerah yang menolaknya, karena mereka peduli. Dalam demokrasi, mereka juga punya hak untuk menolak. Kalau mau ngotot, yang dihitung jumlah. Neno bawa massa seribu, warga lokal bawa dua ribu. Tentu yang dua ribu ini diperhitungkan. Tugas aparat mencegah yang dua ribu ini melibas yang seribu. Dan itu sudah tepat.

Ironisnya, orang dilindungi ini malah menyalahkan aparat. Kan eror?

Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, betul. Selama sesuai aturan. Selama tidak mengakibatkan konflik antar-massa. Silakan kampanyekan Prabowo sampai nungging-nungging. Atau kampanyekan Jokowi sampai serak. Hak itu yang dijamin.

Tapi kalau mau ganti ideologi Negara dengan khilafah, otakmu korslet. Mayoritas rakyat menolak itu, gerakan minor harus tahu diri.

Asas demokrasi itu maslahah, kebaikan untuk semua. Jika destruktif, mengacaukan negara, menyebarkan ketakutan, itu bukan demokrasi lagi. Itu gerakan terorisme. Dan ini harus dilawan. Jangan sampai Indonesia disuriahkan.

Filipina membatalkan diri sebagai tuan rumah Sea Games 2019. Alasannya karena terorisme di Marawi. Bayangkan, itu hanya satu blok minor di negara mereka. Kalau sampai 80 persen penduduk muslim Indonesia berhasil disusupi dan digerakkan, kengerian seperti apa yang akan terjadi?

NU dan orang waras sekalipun tidak akan sanggup melawan mereka jika sudah berkuasa. Pilihannya hanya menolak mereka sekarang, atau mengikhlaskan Negara ini dikuasai.

Itulah gunanya berpikir waras. Jangan sok demokratis. Kalaupun situasi gawat, saya juga tak yakin yang sok demokratis ini mau berjuang angkat senjata. Bawa perut saja susah. Sudahlah, kau mabuk sana banyak-banyak, mumpung masih bisa leluasa.

Demokrasi biar kami yang urus dengan cara kami sendiri. Kau tinggal menumpang berak, nyocot tak jelas di medsos, terima beres saja. Kalau Negara memanggil, biar kami ini juga yang turun ke palagan angkat senjata…

(Seword/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Asian Games dan Peran Ahok


Hari ini perhelatan Asian Games selesai sudah. Tapi kita jangan lupa pada peran Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu masih menjabat wakil gubernur DKI. Kita layak berterima kasih pada “orang hebat” satu ini. Karena,

Pertama, dia yang nekad menerima tawaran AG diadakan di Jakarta (dan Palembang), setelah Vietnam mundur sebagai tuan rumah krn krisis ekonomi. Dia bertekad di sinilah saatnya kita mengenalkan Jakarta ke penjuru dunia. Untuk itu dia siap membenahi Jakarta sebaik mungkin dgn cara menggandeng pihak swasta untuk membangun infrastruktur, bukan mengandalkan APBD. Salah satu hasil karya gemilangnya Simpang Susun Semanggi.

Kedua, dia yang dipercaya mewakili Indonesia pada saat serah terima bendera tuan rumah AG XVII di Incheon, Korea Selatan. Simbol tersebut diserahkan dari perwakilan Korea Selatan kepada Presiden Dewan Olimpiade Asia Sheikh Ahmad Al Fahad Al Sabah, yang kemudian menyerahkan kembali simbol-simbol itu kepada perwakilan Indonesia disaksikan Gubernur Palembang dan Ketua KONI Rita Subowo.

Ketiga, dia pernah bilang ke Jokowi bahwa dia ingin Asian Games 2018 di Jakarta harus lebih wah dibandingkan di Guanzhou 2010 dan Incheon 2014. Belajar dari kesuksesan Cina menyelenggarakan pesta olahraga Asian Games maupun Olimpiade dengan kemajuan teknologi, Ahok berharap Asian Games 2018 bisa benar-benar memuaskan.

Keempat, dia yang ngotot minta ke KONI untuk mengurus atlet dengan serius dan baik, supaya Indonesia bisa masuk peringkat satu digit. Jangan dua digit (2014 Indonesia cuma nangkring di peringkat 17). Minimal peringkat 7 atau 9 bolehlah. Begitu tekad Basuki waktu itu yang kemudian digaungkan kembali oleh Jokowi.

Kelima, dia yang berani menerima tawaran Tiongkok dan Australia untuk menyaring, dan melatih atlet2 Indonesia yang berkualitas serta berpengalaman di kejuaraan, dilatih selama tiga tahun di sana atau mereka ke sini supaya siap berlaga di AG XVIII Jakarta Palembang. Tentu saja dengan insentif hadiah yg layak.

Dan ekspektasi orang baik yang dulu serasa muluk itu tercapai dan bahkan melampaui target. Indonesia memperoleh 31 medali emas dan bertahan di peringkat ke-4. Gak masalah walau akhirnya dia hanya bisa menyaksikan dr kejauhan kemegahan dan kemeriahan pesta olahraga seAsia itu.

Tapi lewat sahabat dekatnya, Basuki pastilah bersyukur dan yakin Pak Jokowi gak pernah melupakan cita2 dan tekad mulia mereka bersama.

Ingat pesan orang bijak. Kamu boleh benci setengah mati pada seseorang yg pernah kamu kenal, tapi jangan pernah melupakan seujung kuku pun kebaikan yang pernah dilakukannya padamu.

Terima kasih Pak Basuki Tjahaja Purnama. Salam Indonesia, energy of Asia.

Sumber: Status Facebook Ramadhan Syukur

(Redaksi-Indonesia/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Aturan Pengeras Suara Masjid Dibuat Rezim Orde Baru, Pak Jokowi Yang Kena Bully

Ilustrasi

Banyak postingan seolah-olah aturan soal pengeras suara adalah dibuat di era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.

Faktanya:
Aturan Pemakaian Pengeras Suara Tidak Dibuat Di Zaman Jokowi Melainkan Sejak Zaman Orde Baru.

— Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin menjelaskan bahwa aturan tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan mushalla sudah ada sejak 1978. Aturan itu tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978.

“Hingga saat ini, belum ada perubahan,” kata Muhammadiyah Amin di Jakarta, Jumat (24/8) lalu.–

Tahun 1978 Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama, telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushalla. Ini aturan-aturannya:

1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala

2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.

3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya

4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Instruksi tersebut juga mengatur tata cara pemasangan pengeras suara baik suara saat shalat lima waktu, shalat Jumat, juga saat takbir, tarhim, dan Ramadhan.


Sumber:

https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/ini-dia-aturan-bimas-islam-tentang-penggunaan-pengeras-suara-di-masjid

Lengkap Isi:

Ini Dia Aturan Bimas Islam tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid

Jakarta, bimasislam— Masyarakat menaggapi beragam pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang pemutaran kaset pembacaan ayat suci al-Quran di masjid dan mushalla menjelang tiba waktu shalat. Menurutnya pria yang akrab disapa JK itu, pemutaran kaset pengajian menjelang waktu shalat melahirkan ‘polusi suara.’ Statemen itu disampaikan JK pada pembukaan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia di Pondok Pesantren Attauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, Senin (8/6/2015)

"Permasalahannya yang ngajicuma kaset dan memang kalau orang ngajidapat pahala, tetapi kalau kaset yang diputar, dapat pahala tidak? Ini menjadi polusi suara," ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu.

Pantauan bimasislam, pemutaran kaset rekaman pembacaan ayat suci al-Quran sebelum waktu shalat memang telah menjadi pembahasan sejak lama. Di Cinere, Depok, Jawa Barat, seorang warga non Muslim yang sudah terlanjur membeli sebidang tanah, meninggalkan begitu saja tanah yang dibelinya saat mengetahui di dekat lokasi terdapat sejumlah mushalla. “Tanpa bermaksud menyinggung, saya sebetulnya merasa terganggu dengan pemutaran kaset bacaan pengajian saat tidur.” Ujarnya. Pria itu pun meninggalkan tanah tersebut meskipun telah membayar uang muka senilai Rp 50 juta.

Terkait fenomena ini, pada tahun 1978 Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama, telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushalla. Ini aturan-aturannya:

1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala

2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.

3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya

4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Instruksi tersebut juga mengatur tata cara pemasangan pengeras suara baik suara saat shalat lima waktu, shalat Jumat, juga saat takbir, tarhim, dan Ramadhan. (ska/foto:ilustrasi)


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b83c8c64224d/belum-ada-perubahan-instruksi-dirjen-bimas-islam-soal-tuntunan-pengeras-suara-masjid


Lengkap Isi:

Belum Ada Perubahan Instruksi Dirjen Bimas Islam Soal Tuntunan Pengeras Suara Masjid

Dalam instruksi tersebut, pada dasarnya suara yang disalurkan keluar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu salat.

Ilustrasi: HGW

Kasus yang dialami Meiliana terkait dugaan penistaan agama lantaran keberatan dengan pengeras suara azan, mendorong Kementerian Agama (Kemenag) untuk meminta jajarannya kembali mensosialisasikan aturan tentang penggunaan pengeras suara di masjid. Permintaan itu tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor B.3940/DJ.III/HK.00.07/08/2018 tanggal 24 Agustus 2018.

Dikutip dari laman Kementerian Agama, Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin menjelaskan bahwa aturan tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan mushalla sudah ada sejak 1978. Aturan itu tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978.

"Hingga saat ini, belum ada perubahan," kata Muhammadiyah Amin di Jakarta, Jumat (24/8) lalu.

Menurutnya, Instruksi Dirjen Bimas Islam ini antara lain menjelaskan tentang keuntungan dan kerugian penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan mushalla. Salah satu keuntungannya adalah sasaran penyampaian dakwah dapat lebih luas. Namun, penggunaan pengeras suara juga bisa mengganggu orang yang sedang beristirahat atau penyelenggaraan upacara keagamaan. "Untuk itu, diperlukan aturan dan itu sudah terbit sejak 1978 lalu," tegasnya.

Dalam instruksi tersebut, lanjut mantan Rektor IAIN Gorontalo ini, dipaparkan bahwa pada dasarnya suara yang disalurkan keluar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu salat.

"Pada dasarnya suara yang disalurkan keluar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu salat. Demikian juga sholat dan doa pada dasarnya hanya untuk kepentingan jemaah ke dalam dan tidak perlu ditujukan keluar untuk tidak melanggar ketentuan syariah yang melarang bersuara keras dalam salat dan doa. Sedangkan dzikir pada dasarnya adalah ibadah individu langsung dengan Allah SWT karena itu tidak perlu menggunakan pengeras suara baik kedalam atau keluar," demikian Amin membacakan salinan instruksi.

Hal lain yang diatur dalam instruksi ini terkait waktu penggunaan pengeras suara. Amin mengatakan, instruksi Dirjen secara jelas dan rinci sudah mengatur waktu-waktu penggunaan pengeras suara. "Misalnya, pengeras suara bisa digunakan paling awal 15 menit sebelum waktu Salat Subuh, dan sebagainya," jelas Muhammadiyah Amin.

Melaui surat edaran yang diterbitkan hari ini, Muhammadiyah Amin meminta Kanwil Kemenag untuk kembali mensosialisasikan instruksi Dirjen Bimas Islam 1978. "Kami meminta segenap jajaran, dapat mensosialisasikan kembali aturan tersebut," katanya.

"Kami juga minta Kantor Urusan Agama (KUA) maupun penyuluh agama di seluruh Indonesia untuk ikut mensosialisasikannya," tambah Amin.

Hal itu misalnya, dilakukan dengan menggandakan instruksi Dirjen tentang penggunaan pengeras suara pada masjid, langgar, dan mushalla lalu membagikannya kepada masyarakat sambil dijelaskan substansinya. Instruksi tersebut juga agar dijadikan sebagai bahan pembinaan keagamaan yang dilakukan kepada masyarakat.

Dengan disosialisasikan kembali aturan penggunaan pengeras suara, Muhammadiyah Amin berharap masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang aturan tersebut.

Sumber: Kementerian Agama

Seperti diketahui, kasus Meiliana asal Tanjung Balai, Sumatera Utara, cukup menyita perhatian masyarakat. Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai, menjatuhkan vonis kepada perempuan berusia 44 tahun itu selama 18 bulan penjara. Dia dinilai terbukti melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama karena melanggar Pasal 156a KUHP. Meski demikian, kuasa hukum Meiliana akan mengajukan banding atas vonis tersebut.

Hal ini bermula dari keluhan Meiliana terkait kerasnya suara adzan di lingkungan dia tinggal. Akibat keluhannya itu memicu terjadinya kerusuhan, di mana sekelompok orang membakar dan merusak Wihara dan Klenteng di Tanjung Balai. Kejadian ini terjadi pada 29 Juli 2016 silam.

Sebagaimana dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Medan, perkara bernomor registrasi: PDM-05/TBALAI/05/2018 itu menyebutkan, bahwa Meiliana telah ditahan sejak 30 Mei 2018 hingga sekarang.

Vonis terhadap Meliana sempat mengundang kritik. Salah satunya datang dari Ketua PBNU bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan, Robikin Emhas. Menurutnya, seseorang yang mengatakan suara adzan terlalu keras tidak dapat disebut telah menista agama.

"Saya tidak melihat ungkapan suara adzan terlalu keras sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu," kata Robikin sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (21/8).

Sebagai muslim, lanjut Robikin, pendapat seperti itu sewajarnya ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. Menurut dia, lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut.

"Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," kata Robikin yang juga advokat konstitusi itu.


(Baldatuna-News/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Kenapa Masyarakat Gencar Tolak #2019GantiPresiden. Simak Sebab dan Alasannya?

Deklarasi gerakan 2019 Ganti Presiden ditolak di beberapa daerah (Dok. Istimewa)

Aksi deklarasi #2019gantipresiden di berbagai wilayah menuai banyak kecaman dari berbagai pihak. Selain tak mengantongi surat tanda terima pemberitahuan (STTP), aksi ini juga diprotes berbagai kalangan masyarakat yang mengkhawatirkan terganggunya kondusifitas yang ada di kota-kota tersebut.

Salah satu pihak yang mengecam adanya deklarasi ini berasal dari ormas Pemuda Pancasila cabang Surabaya. Mereka menyurati Kapolda Jatim untuk menunjukkan keberatannya terhadap gelaran aksi yang dirasa menodai sila ke-3 dari Pancasila. “Apabila tetap berjalan kami akan menurunkan massa Pemuda Pancasila sekota Surabaya untuk membubarkan acara tersebut,” tulis ketua PP Surabaya, Haries Purwoko dalam surat tersebut.

Pembubaran serta tak diizinkannya kegiatan deklarasi #2019GantiPresiden di beberapa wilayah oleh pihak kepolisian lantaran dibatasi pasal 6 Undang-undang No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum.

“Di antaranya tidak mengganggu ketertiban publik kemudian mengindahkan etika dan moral. Artinya, tidak boleh menghujat kemudian harus menghargai hak asasi dan kebebasan orang lain,” ujar Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian di Mapolda Metro Jaya, Kamis (30/8/2018).

Kemudian, kata Tito, dalam pasal 6 juga mengharuskan pelaksanaan aksi harus menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

“Sanksinya di pasal 15 UU 95/1998. Yang melanggar pasal 6 itu dapat dibubarkan. Jadi kemerdekaan menyampaikan pendapat atau unjuk rasa, demo tidak bersifat absolute semau-maunya,” jelas Tito.

Terlebih, lanjut Tito, Indonesia tengah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games.

“Kita mempertaruhkan nama bangsa maka demi kepentingan publik bangsa dan negara,” ujarnya.

Lantaran itu, Tito mengimbau kepada masyarakat khususnya di Jakarta dan Palembang menahan diri untuk tidak melaksanakan aksi-aksi unjuk rasa demi kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa.

“Ini harapan kita,” demikian Tito.

(Redaksi-Indonesia/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Radikalisme: Antara Suriah dan Indonesia

Kota Homs, Suriah. (Foto: nytimes/Bassel Tawil/Agence France-Presse — Getty Images)

Krisis politik dan kemanusiaan yang bermula sejak 2011 telah meluluhlantakkan banyak negara Timur Tengah, seperti Libya, Tunisia, Yaman, dan Suriah. Gerakan propaganda kelompok radikal yang mengatasnamakan revolusi (thaurah) ini sudah berkepanjangan dan gagal memenuhi janji-janji manisnya, berupa keadilan dan kesejahteraan.

Gerakan yang dimotori kelompok-kelompok pro-kekerasan ini memang awalnya memikat, karena dibungkus dan disembunyikan di balik kedok-kedok retorik. Media Barat sampai menyebut gerakan mereka sebagai Musim Semi Arab (Arab Spring/al-Rabi’ al-‘Arabi), digambarkan sebagai proses demokratisasi, berlawanan dengan kenyataan yang kemudian tampak, yaitu islamisasi versi khilafah atau khilafatisasi. Berdirilah kemudian khilafah di Suriah, Irak, dan Libya. Ikhwanul Muslimin saat itu memenangkan pemilu di Mesir dan Tunisia.

Demi kepentingan sesaat dan ketika sudah terdesak, mereka memang gemar menggunakan slogan-slogan demokrasi, semisal mereka akan mengerek tinggi-tinggi panji kebebasan ketika perbuatan melanggar hukum mereka ditindak, karena yang sedang dilakukan oleh mereka sejatinya adalah membajak demokrasi. Sejak awal mereka meyakini bahwa demokrasi adalah produk kafir, maka kapan saja ada waktu mereka akan menggerusnya.

Keberhasilan kelompok radikal dalam membabakbelurkan Timur Tengah menginspirasi kelompok radikal di berbagai belahan dunia lain. Jejaring mereka semakin aktif di Asia, Eropa, Afrika, Amerika sampai Australia, berusaha memperluas kekacauan ke berbagai wilayah, dengan harapan bisa mewujudkan cita-cita utopis mereka; mendirikan khilafah di seluruh muka bumi.

Wacana syrianisasi kemudian sampai ke Indonesia, semakin ramai disuarakan pada tahun-tahun belakangan, paling tidak mulai 2016. Banyak pihak mensinyalir ada gerakan-gerakan yang berusaha menjadikan Indonesia jatuh ke dalam krisis sebagaimana menimpa Suriah.

Fakta-fakta kemudian bermunculan; banyak pola krisis Suriah yang disalin oleh kelompok radikal, menjadi sebuah gerakan-gerakan di Indonesia. Jaringan-jaringan kelompok radikal di Indonesia juga semakin terang terkoneksi dengan aktor-aktor krisis Suriah. Sebagai contoh Indonesian Humanitarian Relief (IHR), lembaga kemanusiaan yang dipimpin seorang ustaz berinisial BN, yang logistiknya digunakan untuk mendukung Jaysh al-Islam, salah satu kelompok teroris di Suriah.

Pola men-Suriah-kan Indonesia setidaknya tampak dalam beberapa pergerakan berikut; pertama, politisasi agama. Indikasi menguatnya penggunaan kedok agama demi kepentingan kekuasaan, sebagaimana pernah dilakukan di Suriah, terlihat dalam banyak hal, di antaranya adalah penggunaan masjid sebagai markas keberangkatan demonstran. Jika di Damaskus masjid besarnya Jami’ Umawi, maka di Jakarta Masjid Istiqlal.

Adakah yang pernah menghitung, berapa kali Masjid Istiqlal diduduki pelaku berangkat demonstrasi? Pelaksanaannya pun kebanyakan di hari Jumat seusai waktu Salat Jumat, didahului dengan hujatan politik di mimbar kotbah, sehingga mengelabui pandangan masyarakat terhadap agama yang sakral dan politik yang profan. Persis dengan apa yang pernah terjadi di Suriah menjelang krisis. Masjid pun berubah menjadi tempat yang tidak nyaman, gerah, dan tidak lagi menjadi tempat ‘berteduh’.

Hari Jumat, yang semestinya menjadi hari ibadah mulia, berubah menjadi hari-hari politik dan kecemasan, atas kekhawatiran terjadinya chaos. Muncul kemudian istilah “Jumat Kemarahan” sebagai ajakan meluapkan kemarahan di hari Jumat –bukankah itu hanya terjemahan dari “Jumat al-Ghadab” yang pernah menjadi slogan politik pemberontak Suriah, diserukan oleh Yusuf al-Qardhawi, tokoh Ikhwanul Muslimin?

Kedua, menghilangkan kepercayaan kepada pemerintah. Dilakukan dengan terus-menerus menebar fitnah murahan terhadap pemerintah. Sesekali presiden Suriah Basyar al-Assad dituduh Syiah, sesekali dituduh kafir, dan pembantai Sunni. Kelompok makar bahkan menghembuskan isu bahwa al-Assad mengaku Tuhan, disebarkanlah foto bergambar poster al-Assad dengan beberapa orang sujud di atasnya.

Dalam konteks Indonesia, Anda bisa mengingat-ingat sendiri, presiden Indonesia pernah difitnah apa saja, mulai dari Kristen, Cina, Komunis, anti-Islam, mengkriminalisasi ulama, dan sederet fitnah lainnya. Tidak usah heran dengan fitnah-fitnah tersebut, yang muncul dari kelompok yang merasa paling ‘Islam’, karena bagi mereka barangkali fitnah adalah bagian dari jihad yang misinya mulia, dan ciri universal pengikut Khawarij adalah mengkafirkan pemerintah.

Ketiga, pembunuhan karakter ulama. Dalam proses menghadapi krisis, ulama yang benar-benar ulama tidak lepas dari panah fitnah, bahkan yang sekaliber Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthi, yang pengajiannya bertebaran di berbagai saluran televisi Timur Tengah, kitabnya mengisi rak-rak perpustakaan kampus-kampus dunia Islam, dan fatwa-fatwanya menjadi rujukan. Begitu berseberangan pandangan politik dengan mereka, seketika dituduh sebagai penjilat istana dan Syiah (padahal beliau adalah pejuang Aswaja yang getol), hingga berujung pada syahidnya beliau bersama sekitar 45 muridnya di masjid al-Iman Damaskus, saat pengajian tafsir. Beliau dibom karena pandangan politik kebangsaannya yang tidak sama dengan kelompok pembom bunuh diri.

Jika demikian yang terjadi di Suriah, kira-kira Anda paham kan dengan apa yang terjadi di Indonesia, kenapa Buya Syafi’i Ma’arif dianggap liberal, KH. Mustofa Bisri juga dianggap liberal, Prof Quraish Syihab dituduh Syiah, Prof Said Aqil Siraj juga dituduh Syiah, bahkan KH. Ma’ruf Amin atau TGB Zainul Majdi yang pernah dijunjung-junjung oleh mereka, kini harus menanggung hujaman-hujaman fitnah dari kelompok yang sama, ketika propaganda politiknya tidak dituruti? Setelah ulama yang hakiki, mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup, mereka bunuh karakternya, maka mereka memunculkan ustaz-ustazah dadakan yang punya kapasitas entertainer yang hanya mampu berakting layaknya ulama.

Keempat, meruntuhkan sistem dan pelaksana sistem negara. Misi utama kelompok radikal adalah meruntuhkan sistem yang ada, dan menggantinya dengan sistem yang ideal menurut mereka, yaitu khilafah atau negara yang secara formalitas syariah, meski substansinya tidak menyentuh syariah sama sekali. Khilafah bagi mereka layaknya ‘lampu ajaib’ yang bisa memberi apa saja dan menyelesaikan masalah apa saja. Tidak sadar bahwa berbagai kelompok saling membunuh dan berperang di Timur Tengah karena sedang berebut mendirikan khilafah, dan ujungnya adalah kebinasaan.

Saat kelompok makar di Suriah berusaha meruntuhkan sistem dan pelaksana negara, mereka mengkampanyekan slogan al-sha’b yurid isqat al-nizam (rakyat menghendaki rezim turun) dan irhal ya Basyar (turunlah Presiden Basyar). Slogan dengan fungsi yang sama di-copy paste oleh jaringan mereka di Indonesia, jadilah gerakan dan tagar ‘2019 Ganti Presiden’!

Syrianisasi sedang digulirkan di negara kita. Pola-pola yang sama ketika kelompok radikal menghancurkan Suriah sedang disalin untuk menghancurkan negara kita. Bedanya Suriah sudah merasakan penyesalan dan ingin rekonsiliasi, merambah jalan panjang membangun kembali negara mereka. Sedangkan, kita baru saja memulai. Jika kita tidak berusaha keras menghadang upaya mereka, maka arah jalan Indonesia menjadi Suriah kedua hanya persoalan waktu. Semoga itu tidak pernah terjadi.

M. Najih Arromadoni alumnus Universitas Ahmad Kuftaro Damaskus dan Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia (Alsyami)

(Detik/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Inilah Pola-pola Kelompok Radikal Yang Ingin Suriahkan Indonesia. Waspadalah!


Sekjen Ikatan Alumni Syam Indonesia (Alsyami) M. Najih Arromadoni alumnus Universitas Ahmad Kuftaro Damaskus menulis sebuah analisa tentang Radikalisme: Antara Suriah dan Indonesia, berikut ulasannya:

Krisis politik dan kemanusiaan yang bermula sejak 2011 telah meluluhlantakkan banyak negara Timur Tengah, seperti Libya, Tunisia, Yaman, dan Suriah. Gerakan propaganda kelompok radikal yang mengatasnamakan revolusi (thaurah) ini sudah berkepanjangan dan gagal memenuhi janji-janji manisnya, berupa keadilan dan kesejahteraan.

Gerakan yang dimotori kelompok-kelompok pro-kekerasan ini memang awalnya memikat, karena dibungkus dan disembunyikan di balik kedok-kedok retorik. Media Barat sampai menyebut gerakan mereka sebagai Musim Semi Arab (Arab Spring/al-Rabi’ al-‘Arabi), digambarkan sebagai proses demokratisasi, berlawanan dengan kenyataan yang kemudian tampak, yaitu islamisasi versi khilafah atau khilafatisasi. Berdirilah kemudian khilafah di Suriah, Irak, dan Libya. Ikhwanul Muslimin saat itu memenangkan pemilu di Mesir dan Tunisia.

Demi kepentingan sesaat dan ketika sudah terdesak, mereka memang gemar menggunakan slogan-slogan demokrasi, semisal mereka akan mengerek tinggi-tinggi panji kebebasan ketika perbuatan melanggar hukum mereka ditindak, karena yang sedang dilakukan oleh mereka sejatinya adalah membajak demokrasi. Sejak awal mereka meyakini bahwa demokrasi adalah produk kafir, maka kapan saja ada waktu mereka akan menggerusnya.

Keberhasilan kelompok radikal dalam membabakbelurkan Timur Tengah menginspirasi kelompok radikal di berbagai belahan dunia lain. Jejaring mereka semakin aktif di Asia, Eropa, Afrika, Amerika sampai Australia, berusaha memperluas kekacauan ke berbagai wilayah, dengan harapan bisa mewujudkan cita-cita utopis mereka; mendirikan khilafah di seluruh muka bumi.

Wacana syrianisasi kemudian sampai ke Indonesia, semakin ramai disuarakan pada tahun-tahun belakangan, paling tidak mulai 2016. Banyak pihak mensinyalir ada gerakan-gerakan yang berusaha menjadikan Indonesia jatuh ke dalam krisis sebagaimana menimpa Suriah.

Fakta-fakta kemudian bermunculan; banyak pola krisis Suriah yang disalin oleh kelompok radikal, menjadi sebuah gerakan-gerakan di Indonesia. Jaringan-jaringan kelompok radikal di Indonesia juga semakin terang terkoneksi dengan aktor-aktor krisis Suriah. Sebagai contoh Indonesian Humanitarian Relief (IHR), lembaga kemanusiaan yang dipimpin seorang ustaz berinisial BN, yang logistiknya digunakan untuk mendukung Jaysh al-Islam, salah satu kelompok teroris di Suriah.

Pola men-Suriah-kan Indonesia setidaknya tampak dalam beberapa pergerakan berikut;

pertama, politisasi agama. Indikasi menguatnya penggunaan kedok agama demi kepentingan kekuasaan, sebagaimana pernah dilakukan di Suriah, terlihat dalam banyak hal, di antaranya adalah penggunaan masjid sebagai markas keberangkatan demonstran. Jika di Damaskus masjid besarnya Jami’ Umawi, maka di Jakarta Masjid Istiqlal.

Adakah yang pernah menghitung, berapa kali Masjid Istiqlal diduduki pelaku berangkat demonstrasi? Pelaksanaannya pun kebanyakan di hari Jumat seusai waktu Salat Jumat, didahului dengan hujatan politik di mimbar kotbah, sehingga mengelabui pandangan masyarakat terhadap agama yang sakral dan politik yang profan. Persis dengan apa yang pernah terjadi di Suriah menjelang krisis. Masjid pun berubah menjadi tempat yang tidak nyaman, gerah, dan tidak lagi menjadi tempat ‘berteduh’.

Hari Jumat, yang semestinya menjadi hari ibadah mulia, berubah menjadi hari-hari politik dan kecemasan, atas kekhawatiran terjadinya chaos. Muncul kemudian istilah “Jumat Kemarahan” sebagai ajakan meluapkan kemarahan di hari Jumat –bukankah itu hanya terjemahan dari “Jumat al-Ghadab” yang pernah menjadi slogan politik pemberontak Suriah, diserukan oleh Yusuf al-Qardhawi, tokoh Ikhwanul Muslimin?

Kedua, menghilangkan kepercayaan kepada pemerintah. Dilakukan dengan terus-menerus menebar fitnah murahan terhadap pemerintah. Sesekali presiden Suriah Basyar al-Assad dituduh Syiah, sesekali dituduh kafir, dan pembantai Sunni. Kelompok makar bahkan menghembuskan isu bahwa al-Assad mengaku Tuhan, disebarkanlah foto bergambar poster al-Assad dengan beberapa orang sujud di atasnya.

Dalam konteks Indonesia, Anda bisa mengingat-ingat sendiri, presiden Indonesia pernah difitnah apa saja, mulai dari Kristen, Cina, Komunis, anti-Islam, mengkriminalisasi ulama, dan sederet fitnah lainnya. Tidak usah heran dengan fitnah-fitnah tersebut, yang muncul dari kelompok yang merasa paling ‘Islam’, karena bagi mereka barangkali fitnah adalah bagian dari jihad yang misinya mulia, dan ciri universal pengikut Khawarij adalah mengkafirkan pemerintah.

Ketiga, pembunuhan karakter ulama. Dalam proses menghadapi krisis, ulama yang benar-benar ulama tidak lepas dari panah fitnah, bahkan yang sekaliber Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthi, yang pengajiannya bertebaran di berbagai saluran televisi Timur Tengah, kitabnya mengisi rak-rak perpustakaan kampus-kampus dunia Islam, dan fatwa-fatwanya menjadi rujukan. Begitu berseberangan pandangan politik dengan mereka, seketika dituduh sebagai penjilat istana dan Syiah (padahal beliau adalah pejuang Aswaja yang getol), hingga berujung pada syahidnya beliau bersama sekitar 45 muridnya di masjid al-Iman Damaskus, saat pengajian tafsir. Beliau dibom karena pandangan politik kebangsaannya yang tidak sama dengan kelompok pembom bunuh diri.

Jika demikian yang terjadi di Suriah, kira-kira anda pahamkan dengan apa yang terjadi di Indonesia, kenapa Buya Syafi’i Ma’arif dianggap liberal, KH. Mustofa Bisri juga dianggap liberal, Prof Quraish Syihab dituduh Syiah, Prof Said Aqil Siradj juga dituduh Syiah, bahkan KH. Ma’ruf Amin atau TGB Zainul Majdi yang pernah dijunjung-junjung oleh mereka, kini harus menanggung hujaman-hujaman fitnah dari kelompok yang sama, ketika propaganda politiknya tidak dituruti? Setelah ulama yang hakiki, mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup, mereka bunuh karakternya, maka mereka memunculkan ustadz-ustadzah dadakan yang punya kapasitas entertainer yang hanya mampu berakting layaknya ulama.

Keempat, meruntuhkan sistem dan pelaksana sistem negara. Misi utama kelompok radikal adalah meruntuhkan sistem yang ada, dan menggantinya dengan sistem yang ideal menurut mereka, yaitu khilafah atau negara yang secara formalitas syariah, meski substansinya tidak menyentuh syariah sama sekali. Khilafah bagi mereka layaknya ‘lampu ajaib’ yang bisa memberi apa saja dan menyelesaikan masalah apa saja. Tidak sadar bahwa berbagai kelompok saling membunuh dan berperang di Timur Tengah karena sedang berebut mendirikan khilafah, dan ujungnya adalah kebinasaan.

Saat kelompok makar di Suriah berusaha meruntuhkan sistem dan pelaksana negara, mereka mengkampanyekan slogan al-sha’b yurid isqat al-nizam (rakyat menghendaki rezim turun) dan irhal ya Basyar (turunlah Presiden Basyar). Slogan dengan fungsi yang sama di-copy paste oleh jaringan mereka di Indonesia, jadilah gerakan dan tagar ‘2019 Ganti Presiden’!

Syrianisasi sedang digulirkan di negara kita. Pola-pola yang sama ketika kelompok radikal menghancurkan Suriah sedang disalin untuk menghancurkan negara kita. Bedanya Suriah sudah merasakan penyesalan dan ingin rekonsiliasi, merambah jalan panjang membangun kembali negara mereka. Sedangkan, kita baru saja memulai. Jika kita tidak berusaha keras menghadang upaya mereka, maka arah jalan Indonesia menjadi Suriah kedua hanya persoalan waktu. Semoga itu tidak pernah terjadi.

(Salafy-News/Detik/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengapa Era SBY Sulit Membangun Infrastruktur?


Banyak pihak membentuk opini bahwa pembangunan infrastruktur ekonomi itu seolah olah semua dari APBN dan uangnya didapat dari utang. Kemudian dikaitkan dengan melemahnya mata uang rupiah. Harga melambung dan dampaknya banyak orang susah. Saya dapat simpulkan bahwa mereka sedang bicara politik. Tujuannya menggiring opini negatif terhadap pemerintah Jokowi.

Mengapa di era Jokowi pembangunan infrastruktur seperti Bandara, Pelabuhan, Jalan Toll begitu pesatnya. Kenapa di era SBY tidak begitu pesat terjadi. Bahkan lebih banyak mangkrak seperti proyek Pembangkit listrik.

Mengapa SBY sulit membangun infrastruktur ? Pertama, APBN tidak cukup untuk membangun infrastruktur. 90% uang habis untuk belanja rutin. Satu satunya harapan adalah mengharapkan investor swasta masuk dalam skema PPP. Kedua, mengharapkan swasta adalah sangat sulit. Karena tidak ada swasta yang berani ambil resiko untuk pembebasan lahan. Maklum aja , kalau sudah pembebasan lahan, mafia tanah ikut bermain. Harga tanah akan tak terkendali. Dan lagi swasta hanya mau bangun di daerah yang nilai ekonominya tinggi. Sementara daerah lain yang nilai ekonominya rendah tidak mungkin investor mau terlibat. Ketiga, masalah tarif yang masih sangat regulated sehingga sulit untuk menentukan tarif yang berniali komersial.

Nah di era Jokowi apakah kendala itu masih ada. Ya tetap ada!. Itu kendala struktural yang tidak mungkin bisa diatasi begitu saja. Apalagi Jokowi mewarisi APBN dalam kondisi keseimbangan primer yang negatif. Lantas bagaimana solusi Jokowi agar kendala itu menjadi peluang ? Pertama, Jokowi memangkas biaya sosial seperti subsidi BBM dan lainnya. Mengapa ? agar APBN lebih ramping dan menyisakan ruang bagi pemerintah untuk ekspansi. Tetapi ruang itu tidak besar. Hanya ada sebesar 12% saja dari APBN. Kedua, dari 12% itulah Jokowi lakukan leverage. Gimana leverage nya ? Kalau Jokowi libatkan swasta jelas sulit karena soal pembebasan lahan. Makanya Jokowi tugaskan BUMN untuk masuk lebih dulu.

Dana yang 12 % Jokowi setor sebagian ke BUMN dalam bentuk PMN ( penyertaan modal negara ). Dengan adanya tambahan modal maka struktur permodalan BUMN jadi sehat dan bankable. Sehingga tidak kesulitan untuk mendapatkan pinjaman dari bank maupun dari publik. Nah modal ini dipakai untuk pembebasan lahan. Jelas lebih mudah kalau BUMN terlibat karena ini sama saja dengan negara. Mafia tanha jelas mikir mau main- main. Setelah tanah bebas maka biaya kontruksi didapat dari bank melalui EPC Loan. Tetapi tunggu dulu. Bank tidak akan kasih kredit kalau proyek tidak feasible. Jokowi sadar itu.

Ketiga, Jokowi tidak mungkin buat tarif sesukanya. Karena itu UU. Solusinya ? Jokowi gunakan kebijakan Viability Gap Fund ( VGF). Apa itu VGF? itu dana sisipan atas kekurangan tingkat pengembalian proyek (IRR). Jadi rendahnya IRR karena tarif yang tidak feasible. Katakanlah IRR proyek senilai 8% setahun. Untuk feasbile perlu 12%. Artinya ada kekurangan 4%. Nah 4% ini ditanggung pemerintah. Dengan demikian proyek jadi feasible. Bank atau lembaga keuangan akan happy kasih kredit. Apakah pemerintah rugi ? tidak. Karena 4% kan hanya asumsi saja. Kalau target IRR tidak tercapai baru pemerintah bailout. Tapi faktanya jarang pemerintah bailout. Mengapa? setelah proyek jadi, umumnya prediksi diatas target. Itulah ciri khas bisnis infrastruktur. Dan ini dipahami betul oleh team Jokowi. Karena dia akan dibutuhkan ketika dia ada. Sebelum ada orang masih belum terpikir untuk menggunakannya.

Keempat, menciptakan pasar uang dalam negeri yang likuid. Makanya sejak tahun 2015 aturan investasi dana pensiun dan asuransi , reksadana diperlonggar, sehingga bisa menjadi salah satu financial resource BUMN. Mengapa ? Agar proyek infrastruktur itu tidak harus menanti pulang modal baru dibangun yang lain. BUMN didorong untuk melakukan sekuritisasi asset itu melalui pasar modal atau pasar uang dan private placement. Artinya BUMN harus melakukan refinancing agar hutang dapat dibayar dan dapatpula melanjutkan pembangunan yang lain. Apakah asset itu jadi milik investor? tidak. Semua infrastuktur itu secara UU milik negara. Yang dilepas itu adalah konsesi bisnisnya melalui SPC yang harus dikembalikan ke negara setelah masa konsesi habis. Selama masa konsesi keuntungan yang didapat harus bayar pajak 25%.

Makanya dengan solusi itu proses pembangunan berjalan cepat. Jokowi tinggal perintahkan BUMN melalui Kepres proyek strategis nasional. Soal uang akan datang dengan sendirinya. Jokowi memperkenalkan model perencanaan money follows program. Tidak lagi money follow function. Selama puluhan tahun, perencanaan pembangunan dilakukan dengan cara money follows function yang tidak efektif. Money follows function dengan istilah kalau ada uang APBN ya kerja. Engga ada duit APBN emang gue pikirin. Itu sebabnya era SBY tidak ada pembangunan massive. ya Jokowi telah menerapkan konsep pembangunan modern dengan pendekatan financial engineering. Bagaimana Pendapat Anda ?

(Kompas/Detik/Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Menerka Pengganti Kiai Makruf Amin Sebagai Rais Aam PBNU Paska Penetapan Cawapres


Rais Aam Nahdlatul Ulama KH. Makruf Amin secara resmi telah ditetapkan sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo pada Pilpres mendatang. Keputusan tersebut, tentu saja mengharuskan Kiai Makruf untuk meletakkan jabatannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART) Nahdlatul Ulama.

Pasal 51 Ayat 6 Anggaran Rumah Tangga NU menegaskan; “Apabila Rais Aam, Wakil Rais Aam, Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar mencalonkan diri atau dicalonkan, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau diberhentikan.”

Adapun proses pencalonan yang dimaksud pada pasal 6 tersebut adalah pencalonan pada jabatan politik (Pasal 4). Yakni, jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, DPR RI, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota (pasal 5).

Terkait hal ini, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj menyebutkan akan membahasnya kemudian seusai Kiai Makruf selesai menunaikan ibadah haji. Sebagaimana diketahui, seusai tahap pendaftaran capres – cawapres, Makruf pergi haji.

Saat ini, Makruf Amin telah pulang dari ibadah haji. Kabar tentang pergantiaan jabatan rais aam pun belum tersiar. Hanya saja, pada 30 Agustus 2018 ini, seluruh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) se-Indonesia berkumpul di Jakarta. Mereka diundang oleh PBNU dalam rangka Silaturahmi Nasional yang bertajuk “Konsolidasi Nahdlatul Ulama Menjelang Satu Abad.”

Apakah forum tersebut akan membahas juga tentang pergantian rais aam? Kita tunggu saja. Namun, satu hal yang menarik di sini adalah menerka, siapakah kira-kira figur yang akan menggantikan kiai yang terpilih sebagai rais aam pada Muktamar 33 NU di Jombang itu.

Merujuk pada Pasal 48 ART NU, menyebutkan “Apabila Rais Aam berhalangan tetap, maka Wakil Rais Aam menjadi Pejabat Rais Aam.” Dengan aturan demikian, maka KH. Miftahul Akhyar bakal ditetapkan sebagai Pejabat Rais Aam. Sebagaimana ketika Rais Aam KH. Sahal Mahfudz meninggal dunia pada 2014 silam. Melalui rapat pleno syuriyah dan tanfidziyah PBNU, KH. Mustofa Bisri di daulat menjadi Pejabat Rais Aam. Saat itu, ia merupakan wakil rais aam bersama KH. Hasyim Muzadi.

Akan tetapi, Pejabat Rais Aam bukanlah posisi yang definitif. Bisa saja para pengurus wilayah menghendaki Rais Aam yang definitif. Dalam sejarah Nahdlatul Ulama, pengganti rais aam bisa menjadi definitif. Bukan semata pejabat saja. Dengan catatan, hal tersebut diinginkan oleh pengurus wilayah sebagai pemilik mandat atas jabatan rais aam.

Hal ini sebagaimana terjadi ketika KH. Bisri Syansuri meninggal dunia pada 25 April 1980. Kala itu, ia masih menjadi Rais Aam. Posisinya yang kosong tersebut, ditempati oleh KH. Anwar Musadad yang menjabat sebagai Wakil Rais Aam. Akan tetapi ia hanya didapuk menjalankan fungsi-fungsi rais aam. Bukan sebagai rais aam itu sendiri. Setahun kemudian, pada 30 Agustus 1981, PBNU menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta.

Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Cholid menegaskan, jika Munas tersebut tak bermaksud untuk menetapkan pengganti rais aam. Hanya akan membahas rekomendasi guna bahan Konferensi Besar (Konbes) NU. Di forum Konbes itulah, pengganti Kiai Bisri akan ditetapkan.

Akan tetapi, sidang pleno di Munas yang membahas tentang tata cara penetapan pengganti rais aam, mengalami perubahan. Atas usul dari KH. Achmad Shiddiq dari Jember, pada forum tersebut dilakukan pemilihan pengganti rais aam. Akhirnya, secara aklamasi KH. Ali Ma’shoem dari Pesantren Al-Munawir, Krapyak, Yogyakarta ditetapkan sebagai rais aam secara defenitif.

Peristiwa Munas Kaliurang ini, menjadi contoh menarik bagaimana dinamika pergantian rais aam di NU yang patut dicermati untuk konteks saat ini. Tidak hanya karena waktu pelaksanaannya yang sama (30 Agustus), namun juga motifnya. Motif Munas dan Silatnas kali ini sama-sama tak bertujuan menetapkan pengganti rais aam. Tapi, pada kenyataannya, Munas justru menetapkan posisi rais aam secara definitif. Bisa jadi silatnas kali ini, juga demikian. Tiba-tiba memutuskan pengganti Makruf Amin.

Hal yang menarik lainnya dari Munas tersebut, adalah sosok pengganti. Tidak selamanya, posisi wakil rais aam itu bakal menggantikan rais aam ketika berhalangan tetap, baik karena kematian ataupun mengundurkan diri. KH. Anwar Musaddad yang menjadi wakil rais aam, tidak terpilih. Justru Kiai Ali yang didaulat oleh PWNU dan peserta Munas, untuk menggantikan Kiai Bisri sebagai Rais Aam.

Adapula KH. Abdullah Faqih yang menjadi wakil rais pada masa KH. Hasyim Asy’ari. Namun, ketika Kiai Hasyim meninggal dunia pada 25 Juli 1947, justru KH. Abdul Wahab Hasbullah yang naik menggantikannya. Hal yang sama juga terjadi pada masa KH. Ilyas Ruhiyat menjadi rais aam pada 1992. Ia terpilih dalam Konbes NU di Lampung menggantikan KH. Achmad Shiddiq yang wafat pada 23 Januari 1991. Padahal Kiai Ilyas bukanlah wakil rais aam kala itu.

Lantas, siapakah sosok pengganti Kiai Makruf Amin? Kiai Miftahul Akhyar kah atau ada nama lain? Kita tunggu.

Penulis: Ayung Notonegoro

(Laduni/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Agenda Besar Khilafah di Balik Gerakan #2019GantiPresiden, Waspadalah!


Oleh: Nadia

Satu demi satu pendukung dan agenda besar Gerakan #2019GantiPresiden mulai terkuak. Selama ini orang-orang Partai Keadilan Sejahtera (PKS)-lah yang muncul dipermukaan mendorong Gerakan #2019GantiPresiden. Ternyata selain PKS, Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)yang telah dibubarkan pemerintah beberapa waktu lalu menyatakan dukungan pada gerakan #2019GantiPresiden untuk Pilpres tahun depan. Seperti yang diungkapkan Juru bicara HTI, Ismail Yusanto menegaskan bahwa organisasinya memiliki semangat yang sama dengan gerakan yang diusung Mardani Ali Sera ini. Sama-sama tak menghendaki kepemimpinan Jokowi berlanjut sampai dua periode. “#2019GantiPresiden adalah gerakan rakyat yang sudah emoh terhadap rezim zalim, bohong, dan ingkar janji,” ujar Ismail.

Dengan dukungan HTI tersebut, agenda tersembunyi gerakan #2019GantiPresiden patut di duga tidak hanya sekedar bertujuan untuk menganti presiden atau asal bukan Jokowi semata, tetapi lebih besar lagi untuk menganti sistim Negara ini. Hal itu tidak mustahil karena Mardani Ali Sera pernah secara terbuka selain mendegungkan #2019GantiPresiden juga #2019gantisistim. Mardani Ali Sera, politikus PKS inilah yang menginisiasi #2019GantiPresiden . Gerakan yang katanya tercetus dari ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan Jokowi. Gerakan ini diasosiasikan dengan pendukung pasangan calon dari kubu oposisi, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.

Agenda besar dibalik #2019GantiPresiden tersebut tidak lepas dari gagasan khilafah yang diusung HTI dan ini sejalan dengan tagar 2019gantisistim yang coba diusung Mardani. Dan ini klop dengan gagasan khilafah yang diusung HTI selama ini.

Jika menilik dari gerakan ganti presiden yang pernah ada di Suriah, tak pelak lagi gerakan Mardani Ali Sera cs saat ini mengarah ke gagasan khilafah. Di Suriah semenjak tahun 2009 ada #2011 ganti presiden, semenjak itu dibangun kebencian terhadap pemerintahan Baashar, Mempopulerkan ganti sistem Negara khilafah, dan Menebar Hoax via medsos. Yang terjadi di Suriah adalah perang dan kehancuran serta ratusan ribu nyawa melayang di Suria.

Jika melihat ciri-ciri tersebut, saat ini sudah terjadi di Indonesia. Yaitu terdapat gerakan #2019GantiPresiden, mereka membangun kebencian terhadap pemerintah Jokowi, mempopulerkan ganti sistem Negara khilafah(belakangan HTI dibubarkan), dan secara masif menebarkan hoax di medsos.

Jadi sudah sepatutnya bangsa Indonesia waspada tidak mudah terpancing dan komitmen menjunjung keutuhan dan kebhinekaan bangsa Indonesia ini.

(Redaksi-Indonesia/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Menilik Aturan Nikah Usia Belia

Foto: Pernikahan bocah di bantaeng batal dilangsungkan

Menikah di umur belia apakah sesuai aturan? Pertanyaan ini mengemuka beberapa waktu lalu saat mencuat berita di jagad sosial media tentang kejadian pernikahan pasangan berusia 14 dan 16 tahun yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Dikutip dari website Kementerian Agama RI, Insan Khoirul Qolbi Pelaksana pada Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah menjelaskan UU Perkawinan sebenarnya tidak mengenal adanya perkawinan anak atau pernikahan dewasa. UU Perkawinan hanya memberi batasan minimal usia ideal bagi warga negara untuk menikah, yaitu setelah berumur 21 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.

Hanya saja, lanjutnya UU Perkawinan membolehkan laki-laki berumur di bawah 19 tahun dan perempuan di bawah 16 tahun untuk menikah, selagi mendapat dispensasi dari pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama.

Di sisi lain, jelasnya ada sejumlah regulasi yang mendefenisikan anak dengan batasan usia di bawah 18 tahun.

“Sebut saja UU Perlindingan Anak, UU Kesehatan, UU Pendidikan Nasional dan sekitar 20 regulasi lainnya, semua mendefiniskan anak dalam pengertian tersebut. Dengan demikian, peristiwa menikah di bawah 18 tahun disebut sebagai perkawinan anak,” jelasnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menggelar sidang gugatan pemohon terkait Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengajukan gugatan karena menilai batas usia minimal perempuan menikah dalam UU Perkawinan rentan terhadap kesehatan reproduksi dan tingkat kemiskinan.

YKP berpandangan organ reproduksi perempuan usia tersebut belum siap. Hal itu lalu dikaitkan dengan angka kematian ibu melahirkan yang sangat tinggi. YKP menjadikan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Majelis Hakim MK menolak gugatan tersebut. Majelis beralasan penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang, sehingga batasan umur tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang.

Selanjutnya, menurut Majelis, penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan telah sesuai dengan nilai-nilai agama. Sesuai hukum agama, memang tidak ditentukan sampai pada batas minimal berapa sesorang diizinkan melakukan perkawinan. Dalam hukum agama Islam, hanya diatur dalam soal baligh, di mana seorang mulai dibebani atau ditaklif dengan beberapa hukum syara’.

Selain itu dalam ilmu hukum, terdapat asas lex specialist derogat legi generali, yaitu adanya aturan khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Dalam perkawinan di Indonesia, maka yang menjadi aturan khususnya adalah UU Perkawinan. Sehingga ketika dihadapkan dengan aturan yang bersifat umum, maka kedudukan UU Perkawinan lebih kuat untuk dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaan perkawinan. Apalagi dalam aturan yang bersifat umum tersebut tidak ada satu pasal pun yang secara tegas melarang perkawinan anak.

Jika dibaca secara utuh, UU Perkawinan menghendaki batas usia perkawinan adalah 21 tahun (Pasal 6). Hanya saja, karena alasan tertentu, diberikan solusi bagi pasangan yang hendak menikah di bawah umur 21 tahun, misalnya menghindari perzinahan.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Gerakan #2019GantiPresiden Jelas di Dukung Oleh Pengusung Khilafah

Ismail Yusanto (Jubir HTI) dan Mardiani Ali Sera (Penggagas GantiPresiden2019 dari PKS).

Seperti yang sudah banyak beredar bahwa upaya ganti Presiden tidak sekadar upaya konstitusional, disinyalir bahwa gerakan GantiPresiden2019 adalah agenda terselubung ganti sistem dan itu adalah sistem Khilafah. Apakah itu benar? Seperti yang dilansir oleh Tempo.co, bahwa Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)-yang telah dibubarkan pemerintah- menyatakan dukungan pada gerakan #2019GantiPresiden untuk Pilpres tahun depan. HTI menyatakan aspirasi mereka sama dengan massa yang menginginkan perubahan dalam pemerintahan pada tahun depan.

Juru bicara HTI, Ismail Yusanto menegaskan bahwa organisasinya memiliki semangat yang sama dengan gerakan yang diusung Mardani Ali Sera ini. Mereka sama-sama tak menghendaki kepemimpinan Jokowi berlanjut sampai dua periode. “#2019GantiPresiden adalah gerakan rakyat yang sudah emoh terhadap rezim zalim, bohong, dan ingkar janji,” ujar Ismail membalas pesan singkat Tempo.

Walaupun mendukung gerakan itu, Ismail menampik #2019GantiPresiden dilandasi keinginan mendirikan negara islam atau kilafah, seperti yang diperjuangkan oleh HTI. Menurutnya tuduhan seperti itu sama sekali tidak benar.

Ketika Tempo menanyakan soal indikasi gagasan kilafah dalam gerakan #2019GantiPresiden yang disinggung Badan Intelijen Negara (BIN), Ismail menjawab singkat, “khayal itu.”

#2019GantiPresiden merupakan gerakan yang diinisiasi politikus Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera. Gerakan ini tercetus dari ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan Jokowi. Gerakan ini kerap diasosiasikan dengan pendukung pasangan calon dari kubu oposisi, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.

Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni pernah menyarankan gerakan #2019GantiPresiden mengganti tagar yang mereka gunakan. “Mulai kampanye positif misalkan dengan membuat tagar #2019PrabowoPresiden atau #2019PASmenang, dan lain sebagainya yang tentu lebih mendidik masyarakat,” katanya.

(Tempo/Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

HTI: Ideologi Perusak Negeri


Oleh: Denny Siregar

Berbicara HTI, kita bukan sekedar berbicara tentang ormas saja. Tetapi jauh lebih luas dari itu, HTI sudah menancapkan ideologi pendirian negara khilafah didalam benak pemikiran banyak orang. Jadi meski ormasnya sudah dibubarkan, ideologinya masih bertahan.

Anda bisa bayangkan, selama 20 tahun sejak reformasi, HTI berkembang biak di negeri ini. Mereka masuk kemana-mana, ke sistem pendidikan kita, ke sistem pemerintahan kita, ke aparat hukum sampai ke pengadilan.

Mereka menguasai banyak hal dalam kehidupan kita, dengan baju agama. Tujuan mereka satu saja, menggulingkan pemerintahan yang sah dan mendirikan negara Islam berbasis khilafah. Mereka sangat sabar dalam menjalankan misinya, intelektual, dan sering menggunakan “tangan orang lain” untuk memukul sehingga mereka tampak bersih dan bebas dari gugatan.

HTI sendiri menolak demokrasi karena haram. Tetapi mereka menggunakan konsep demokrasi untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri. Bagaimana caranya ? Mengadu domba pilar-pilar demokrasi sehingga akhirnya luluh lantak. Ketika negara akhirnya hancur karena perseteruan, HTI akan muncul menawarkan konsep khilafah yang mereka usung sebagai konsep yang benar.


Bisa dibayangkan, harus berapa ratus ribu jiwa akan menjadi korban hanya untuk sebuah ideologi buatan ?

HTI itu bagai virus. Dimana dia berpihak, disanalah dia berkembang biak. Seperti halnya virus, ia harus mempunyai inang atau tempat berkembang. Dan jika ia sudah mencengkeram, bisa dipastikan mangsanya seperti zombie yang tidak perduli lagi akan sekitar yang penting misinya tercapai.

Saking merusaknya ideologi HTI, banyak negara yang melarangnya.

Dalam politik kita, begitu juga yang dilakukan mereka. Mereka masuk ke partai dan berkembang biak disana untuk kemudian merusak dari dalam. Sedangkan mereka sendiri cuci tangan seolah tidak pernah terlibat dalam pengrusakan..

Dan ketika seorang Jokowi membubarkan dan memotong sumber hidup mereka, bisa dibayangkan betapa dendamnya HTI kepada Jokowi. Dan mereka akan melakukan segala cara untuk menghancurkannya, bila perlu membunuhnya demi sebuah cita-cita.

Karena itu, Pilpres 2019 nanti, sesungguhnya ini bukan pertarungan Prabowo versus Jokowi. Tetapi pertarungan mereka yang cinta NKRI versus HTI.

Anda tahu saya ada dibarisan mana dan tetapkan barisan anda sendiri.

Salam secangkir kopi.

(Denny-Siregar/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

2019 Ganti Presiden, Gerakan Pemecah Belah Bangsa dan Upaya Makar Dari Mardani-Neno


Mengapa Gerakan “Ganti Presiden” yang digagas kader PKS Mardani Alisera dan Neno Warisman patut diduga sebagai gerakan pemecah belah dan upaya makar?

Berikut beberapa alasannya:

Pertama, menurut Kepala Divisi Humas Polri, gerakan “Ganti Presiden” yang digagas oleh Mardani Alisera dan Neno Warisma itu berpotensi menimbulkan gangguan ketertiban masyarakat serta mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Kedua, Pakar Hukum sekaligus Guru Besar di Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita juga menyebutan bahwa gerakan Ganti Presiden yang digaungkan pada th2018 (sebelum masa kampanye 2019) adalah upaya mengajak makar.

Ketiga, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie juga menyebut bahwa gerakan ganti Presiden sama dengan menyebar kebencian terhadap Presiden yang sedang menjabat, yakni Presiden Joko Widodo.

Dan menurut saya, gerakan yang digagas oleh Mardani Alisera dan Neno Warisman tersebut adalah upaya untuk mengkhilafahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini tentu sangat relevan ketika sebelumnya Mardani sempat bersama pentolan HTI, mereka mengatakan, “2019 ganti Presiden dan ganti System.”

Nah, sistem apakah yang akan diganti? Ya sistem negara yang berlandaskan Pancasila. Trus mau diganti dengan sistem apa? Apalagi kalau bukan dengan sistem Khilafah. Kita juga sudah tahu, ada banyak sepanduk gerakan makar untuk tegakkan khilafah yang digagas Mardani Alisera dan Neno Warisman.

Khilafah ini barang bekas. Belum ada satupun negara yang menerapkan sistem khilafah lalu kemudian negara tersebut berjaya. Ini adalah fakta, dan jika ada negara yang sukses menerapkan sistem tersbut maka tolong beri tahu saya.

Jadi, apa inti dari gerakan 2019 Ganti Presiden?

Ya, tentu saja ingin merubah Indonesia menjadi Negara Khilafah, seperti halnya yang sering digaungkan oleh kelompok radikal ISIS di Irak dan Suriah. Mereka yang bisa seenaknya menggorok leher orang dibarengi dengan teriakan takbir, mereka memotong tangan dan kaki orang dibarengi dengan teriakan takbir. Itu sungguh kejam dan biadab. Bagi mereka, yang seiman dan beda paham pun bisa dibunuh dengan dalih jihad, apalagi jika yang beda iman, bisa anda bayangkan.

Jadi, menolak gerakan makar tersebut bukan berarti kita membela atau mendukung Jokowi, bukan juga berafiliasi dengan salah satu partai, namun diluar itu sejatinya kita sedang membela Negara Kesatuan Republik Indonesia dari bahaya paham khilafah yang penuh kepalsuan.

Mengapa palsu? Karena dalam agama Islam, tidak ada satupun ayat suci yang memerintahkan umat untuk menegakkan khilafah dalam suatu negara. Namun dilain sisi mereka justru sering teriak tegakkan khilafah dengan dalih perintah agama. Ini konyol sekali…

Mereka tahu bangsa kita terlalu kuat untuk mereka kuasai, oleh sebab itu mereka gunakan doktrin agama sebagai alat untuk makar…!!! Jadi, gerakan makar ini wajib ditolak oleh seluruh rakyat Indonesia yang cinta terhadap tanah airnya.

Sumber: FP Yusuf Muhammad

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Drama “Playing Victim” Ala Neno Warisman


Hampir semua orang tahu Neno Warisman itu pemain drama yang handal. Dia pemain watak dan berkarakter di setiap perannya. Dia bisa memainkan karakter menangis tersedu-sedu dan mengharu biru. Pada saat airmata penonton belum kering, Neno Warisman sudah tertawa terkekeh-kekeh sedang berganti peran yang lain. Penonton terkecoh.

Kiprah wanita aktivis PKS yang bernama asli Titi Widoretno Warisman untuk selalu menyerang Pemerintahan Jokowi bukan hal yang aneh. Bukan karena agama atau apa karena Neno memang figur emak-emak yang digunakan oleh PKS untuk menghantam Pemerintah. Kalau saat ini Neno Warisman menggunakan kendaraan agama karena dia merasa dengan politisasi agama membuat dia mudah membohongi orang-orang yang kadar kecerdasan spiritualnya sangat minim. Perlu diingat relijiusitas dan kecerdasan spiritualitas itu amat sangat berbeda. Dan Neno dengan cerdik bermain di area kelompok orang yang hanya sekedar relijius tapi tidak mempunyai kecerdasan spiritualitas.

Mantan istri Widiono Doni Wiratmoko yang lahir 21 Juni 1964 ini berulang kali memainkan peran didzolimi oleh aparat dan masyarakat. Dengan akting yang memelas dia sengaja memerankan orang yang teraniaya. Padahal sejatinya dia adalah orang yang mendzolimi Presiden Jokowi. Dia sebenarnya yang menganiaya masyarakat dengan memberikan informasi sesat dan sengaja menyesatkan pikiran masyarakat.

Berjuang untuk jagoannya agar dipilih pada Pilpres 2019 atau deklarasi mendukung Prabowo 2019 itu SANGAT BERBEDA dengan gerakan ganti Presiden. Deklarasi mendukung Prabowo atau Jokowi secara konstitusional SAH. Tapi memprovokasi masyarakat dengan gerakan ganti Presiden 2019 pada saat tahapan pemilu belum dilakukan itu menurut saya merupakan tindakan TIDAK BERETIKA dan TIDAK KONSTITUSIONAL,. Jadi sejatinya Neno dan pasangannya yang melambai Mardani Ali Sera itulah yang sedang mendzolimi Presiden Jokowi.

Ibu tunggal dengan 3 orang anak itu akan terus merajalela keseluruh Indonesia untuk melakukan gerakan penyesatan masyarakat padahal tahapan kampanye belum dilakukan. Tapi Neno, Mardani dan gerombolannya kemaren terkecoh oleh Ahmad Dhani. Mereka berpikir Dhani yang asli Surabaya itu mempunyai pengaruh kuat di masyarakat Surabaya. Kenyataannya ???? Preeeetttttttt
Sebagian besar masyarakat Surabaya menolak kehadiran mereka. Rasakno ko’en

Hanya orang yang berakal sehat, yang punya nurani bersih dan orang yang mempunyai kecerdasan spiritualitas yang bagus yang tidak akan terpengaruh atau tersesatkan oleh gerakan Neno dkk.

Kenapa Neno dkk tetap gencar melakukan gerakan ganti Presiden ? Karena sebenarnya PKS dan Gerindra sendiri tidak punya program tandingan untuk melawan keberhasilan pemerintah. Untuk itu gerakan pembodohan seperti yang dilakukan Neno Warisman dkk yang diandalkan mereka. Mungkin sebentar lagi mereka akan meniupkan issue Jokowi anak haram, Jokowi diragukan ayah ibunya, Jokowi antek Asing dan beberapa tuduhan palsu dan murahan yang dilemparkan ke masyarakat melalui agen-agennya seperti Neno dkk. Hanya masyarakat murahan yang akan termakan issue mereka. Dan saya yakin mayoritas masyarakat Indonesia BUKAN masyarakat murahan.

Mengapa issue agama Jokowi tidak lagi diserang ? Karena semua orang waras di dunia ini tahu bahwa kualitas keislaman Jokowi JAUH LEBIH HEBAT dibanding Prabowo. Apalagi ada KH Ma’ruf Amin. Orang waras mana yang berani memperbandingkan kesantrian dan kualitas keagamaan antara KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno ????

Jadi jangan kaget, ke depan Neno Warisman dkk akan semakin berperan “playing victim”. Dia akan semakin masuk kemana-mana bukan untuk deklarasi ganti Presiden tapi sekedar cari pijakan supaya dia bisa membuat video menyayat hati dan merasa terdzolimi lagi. Karena dia tahu gerakan mereka sudah ditolak dimana-mana. Dan kita orang waras yang tahu skenarionya hanya akan mentertawakan kelakuan bodoh mereka.

Pertanyaannya adakah agenda terselubung PKS melalui Neno Warisman dkk ?

Apakah gerakan mereka hanya sekedar ingin menaikkan Prabowo menjadi Presiden ?
Saya tidak yakin……

Yang saya yakini ada DUSTA BESAR yang disembunyikan di balik kutang eh gerakan Neno Warisman DKK….

Salam Satu Indonesia
27082018

Rudi S. Kamri

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Korupsi Nur Mahmudi PKS, Kok Gak Ada Arab-arabnya?


Oleh: Eko Kuntadhi

Sebagai warga Depok yang menjadi fans berat Persipok (Persatuan Sepak Bola Depok) saya sedih ketika Walikota dua periode Nur Mahmudi Ismail dijadikan tersangka korupsi. Bayangkan. Nur Mahmudi adalah Walikota yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan. Dia juga mantan Presiden PKS yang biasa dipanggil ustad.

Masa aih, bisa-bisanya orang sesuci itu ditetapkan sebagai tersangka korupsi? Padahal ketika jadi Walikota Depok, Nur Mahmudi punya program yang sangat menarik dan agamis : makan menggunakan tangan kanan. Sebuah program pemerintah yang tidak pernah terfikirkan oleh Walikota Mekkah sekalipun.

Saya rasa polisi akan kebingungan untuk membuktikan, apakah Nur Mahmudi korupsi menggunakan tangan kanan atau tangan kiri? Atau malah memakai kedua tangannya. Karena kalau cuma satu tangan mana bisa dia menggotong kerugian negara sampai Rp10 miliar.

Ketika April lalu diperiksa Polresta Depok, Nur Mahmudi menampakkan senyum riangnya. Wajahnya bersinar seperti rembulan. Matanya berbinar layaknya gemintang. Tidak ada ketakutan tercermin di kumisnya. Cobalah kita berfikir. Mana mungkin orang seperti ini nyolong duit negara. Atau jikapun nyolong, kok bisa-bisanya polisi mencium jejaknya. Dia ustad lho, yang pasti tahu bahwa nyolong duit rakyat itu termasuk perbuatan ngehe.

Warga Depok yang relegius menyayangkan, sebagai Presiden PKS Nur Mahmudi ternyata tidak seagamis yang mereka kira. Ketika nyolong, misalnya, dia meninggalkan bahasa agama. Padahal Yudi Widiana Adia, seorang anggota DPR dan kader PKS lain yang ditangkap KPK karena korupsi, tetap setia dengan bahasa pengajian meskipun untuk nyolong. Dia tetap menjaga kaidah bahasa kader PKS yang agamis itu.

Yudi mengistilahkan ‘berapa juz’, untuk bertanya berapa miliar duit yang sudah digasak. Atau dia menggunakan kata ‘liqo’ untuk menggambarkan pertemuan komplotan para pencoleng itu. Karena Yudi inilah, masyarakat umum jadi tahu makna kata liqo sesungguhnya. Yudi mengajarkan itu kepada kita.

Jadi kalau ada teman kuliahmu mengajak untuk menghadiri liqo, tanya saja sama dia, ‘dapat juz gak?’

“Ini liqo gratis, ya akhi. Ana aja belum dikirimin juz sama ortu buat bayar kos,”

Itukah kader PKS sebenarnya PKS. Berbeda dengan Nur Mahmudi. Dia adalah bekas Presiden partai. Kok, bisa-bisanya dia nyolong tanpa menggunakan tata bahasa kader yang indah itu. Apa mungkin dia tidak bangga lagi dengan identitasnya sebagai kader PKS?

Tapi apa mungkin bahasa liqo dan juz atau yang kearab-araban memang cocoknya cuma buat kader. Kalau levelnya sudah presiden partai mah, mungkin bahasanya tidak harus seperti itu.

Tapi gak juga, ding. Lutfi Hasan Ishaq misalnya. Dia adalah presiden PKS yang korupsi impor sapi. Pengadilan memutuskan penjara 18 tahun untuknya.

Tahu apa yang diomongin dengan Fathonah, rekannya sesama pencuri duit negara? Dia tetap mempertahankan warnanya sebagai kader PKS, selalu suka yang berbau arab.

Coba dengar sadapan telepon KPK yang pernah diputarkan pengadilan saat sidang. “Ini istri-istri antum sudah menunggu,” ujar Ahmad Fathanah sambil tertawa.

“Yang mana?,” tanya LHI.

“Ada semuanya. Yang Fustun atau Jawa Syarkiyah?”

“Yang Fustun,” jawab LHI, mantap.

Fathanah adalah orang yang pertama dicokok KPK bersama perempuan cantik di kamar hotel. Dari penelusuran duit negara hasil nyolongnya mengalir ke banyak perempuan cantik. Termasuk ke Ayu Ashari.

Saya membayangkan ketika menelepon LHI, di depan Fathanah memang sudah berkumpul perempuan beragam bentuk menunggu LHI. Dan ketika diminta memilih, jenis apa yang dipilih LHI? Pilihannya jatuh pada perempuan arab yang disebut Fustun itu.

Jadi LHI mengajarkan walaupun sudah menjabat sebagai presiden partai seleranya tetap berpegang pada nilai-nilai PKS : selalu kearab-araban.

Inilah yang saya sedihkan dari Nur Mahmudi Ismail. Sampai saat ini tidak ada keterangan dia menggunakan bahasa khas kader PKS ketika korupsi pengadaan tanah untuk Jl. Nangka. Masa baru nyolong duit Rp10 miliar saja dia rela kehilangan identitasnya sebagai kader partai dakwah?

“Kalau dari sisi agama, Nur Mahmudi itu kalah jauh sama Zumi Zola Gubernur Jambi dari PAN, mas,” ujar Abu Kumkum.

“Maksudnya, kang?”

“Zumi Zola menggunakan duit korupsinya buat beli hewan Qurban dan ongkos umroh. Dosanya langsung bisa ditip-ex.”

“Ya, jelaslah. Zumi Zola kan, anak buahnya Amin Rais. Nilai agamanya jauh lebih kental,” ujar Bambang Kusnadi, menimpali.

Tapi meskipun Gubernur Jambi lebih agamis, saya masih tetap mencintai Depok. Hidup Persipok!

(Eko-Kuntadhi/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: