Ilustrasi
Oleh: Kajitow Elkayeni
Hari ini logika publik dibikin jungkir balik. Yang berperan adalah keyakinan (agama) dan perasaan pribadi yang membentuk opini publik. Fakta yang sebenarnya disembunyikan, dilampaui, dilupakan. Istilah kerennya, post-truth. Jadi yang tampak di depan kita itu bukan keadaan sebenarnya. Hanya keseakanan, kepalsuan yang dianggap benar.
Gerakan tagar ganti presiden itu bahaya yang terang. Tapi disembunyikan dengan dalih demokrasi. Karena ada bumbu agama. Dengan dalih playing victim, emak-emak yang didzalimi. Padahal itu post-truth. Faktanya Neno itu mewakili HTI. Dan organisasi ini jelas mau mengganti sistem dan ideologi Negara.
“Demokrasi” yang ingin mengganti demokrasi. Ente waras? Teori kebebasan berpendapat tidak bisa diterapkan di sini. Orang jelas mau bakar rumah kok diberi kebebasan. Sudah cuci muka? Minum obat anti linglung?
HTI itu juga baru awal. Di balik kedok yang sebenarnya adalah terorisme. Penumpang gelap di belakangnya banyak sekali. Termasuk kekuatan asing yang membiayai terorisme global. Di negara-negara Arab yang kacau itu, dulu juga alasannya demokrasi. Begitu dibiarkan, negara kacau, kekuatan asing masuk mengacak-acak. Sampai sekarang di sana masih seperti neraka.
Bayangkan ada orang yang dakwah, “Budak (hasil rampasan perang) halal digauli tanpa nikah.” Ini yang ngomong Ustad Khalid Basalamah. Ustad ngacengan ini tidak sadar, perbudakan di seluruh dunia sudah mulai dihapuskan ratusan tahun lalu. Hari ini perbudakan dilarang.
Dan yang paling penting untuk diingat, Islam adalah agama yang memerangi perbudakan. Sejak agama ini lahir. Memang tidak secara terbuka, tapi hukuman syariah salah satunya adalah membebaskan budak.
Ada ulama wannabe lagi namanya Hanny Kristianto. Muallaf kemarin sore ini menghalalkan pembunuhan orang Syiah. Bahkan dia mengatakan, Syiah lebih buruk dari nasrani. Islam model mana yang mengajarkan kebencian seperti itu? Mana ayatnya? Mana hadistnya? Tidak ada. Tapi orang-orang sarap yang tak paham agama ini diberi kebebasan untuk mengumbar kebencian.
Jadi penolakan tagar ganti presiden itu bukan karena politik. Faktanya HTI, kelompok takfiri, sel teroris, yang bergerak di belakang mereka. Karena HTI dilarang, mereka memakai gerakan tanpa bentuk bernama tagar ganti presiden.
Orang-orang sok demokratis membela mereka. Padahal kekacauan Suriah dulu juga diawali gerakan seperti itu. Mereka tak ingin menaikkan figur khusus, karena figurisasi seperti itu lemah diserang. Mereka ingin merobohkan sistem. Oleh sebab itu mereka tak mengusung calon definitif dalam kampanyenya.
Ini yang harus dilawan. Bukan perkara demokrasinya. Bukan soal emak-emak ganjen dengan puber keduanya. Tapi upaya untuk menghalau gerakan berbahaya di belakangnya.
Saya beri ilustrasi begini, 39% mahasiswa terpapar ideologi radikal. 24% mahasiswa dan 23% pelajar setuju dengan negara islam. 11 juta warga Indonesia bersedia melakukan tindakan radikal. Sudah paham bahaya yang mengancam kita?
Potensi yang demikian besar itu hanya perlu satu pemicu kecil. Gerakan tagar ini salah satunya. Neno mungkin tidak bahaya, tapi yang di belakangnya itu syaitonirojim.
Saya perhatikan teman-teman non muslim banyak yang getol membela kebebasan mereka. Atas nama demokrasi. Padahal kalau mereka berkuasa, kalian yang pertama kali dibabat, goblok! Jangan merasa paling demokratis. Kondisi kita sangat bahaya.
Oleh sebab itu, gerakan ini harus dilawan sebelum membesar. Jika mereka berkuasa, yang toleran itu ikut terhasut dan kena propaganda. Yang toleran itu juga tak punya kekuatan untuk membela. Mereka akan memilih diam asal keluarganya selamat.
Orang-orang berpikir, kalau begitu Indonesia timur bisa melepaskan diri nanti, biar aman. Seribu teroris bersenjata saja sudah cukup mengepung kota kalian. Ini puluhan ribu. Bahkan potensinya 11 juta. Mau sembunyi di kolong langit mana kalian?
Kenapa Gus Yaqut yang biasanya tenang, sampai begitu marah pada Ahmad Dhani? Karena potensi bahaya ini. Satu-satunya jalan yang kita miliki adalah menggerus kekuatan mereka ketika masih kecil.
Apa kalian pikir NU tidak disusupi mereka? Kalau Muhamadiyah jangan ditanya. Apa kalian pikir militer tidak disusupi mereka? Apa kalian pikir politisi tidak disusupi mereka? Tidak ada tempat untuk sembunyi. Siang-malam mereka mau merontokkan pertahanan Negara ini. Eh, ini ada orang idiot khotbah demokrasi. Kau yang pertama kali digorok, bahlul.
Mereka sangat anti orang kritis. Sangat benci perbedaan. Apa yang terjadi di Aceh itu baru satu persen dari kengerian sebenarnya, jika mereka berkuasa. Baru saja kita disuguhi video mengerikan dari ISIS. Cepat sekali kalian lupa kebiadaban mereka. Jangankan non muslim, yang muslim saja disembelih.
Gerakan tagar ini sinyalemen bahaya. Kalau ada orang waras di daerah yang menolaknya, karena mereka peduli. Dalam demokrasi, mereka juga punya hak untuk menolak. Kalau mau ngotot, yang dihitung jumlah. Neno bawa massa seribu, warga lokal bawa dua ribu. Tentu yang dua ribu ini diperhitungkan. Tugas aparat mencegah yang dua ribu ini melibas yang seribu. Dan itu sudah tepat.
Ironisnya, orang dilindungi ini malah menyalahkan aparat. Kan eror?
Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, betul. Selama sesuai aturan. Selama tidak mengakibatkan konflik antar-massa. Silakan kampanyekan Prabowo sampai nungging-nungging. Atau kampanyekan Jokowi sampai serak. Hak itu yang dijamin.
Tapi kalau mau ganti ideologi Negara dengan khilafah, otakmu korslet. Mayoritas rakyat menolak itu, gerakan minor harus tahu diri.
Asas demokrasi itu maslahah, kebaikan untuk semua. Jika destruktif, mengacaukan negara, menyebarkan ketakutan, itu bukan demokrasi lagi. Itu gerakan terorisme. Dan ini harus dilawan. Jangan sampai Indonesia disuriahkan.
Filipina membatalkan diri sebagai tuan rumah Sea Games 2019. Alasannya karena terorisme di Marawi. Bayangkan, itu hanya satu blok minor di negara mereka. Kalau sampai 80 persen penduduk muslim Indonesia berhasil disusupi dan digerakkan, kengerian seperti apa yang akan terjadi?
NU dan orang waras sekalipun tidak akan sanggup melawan mereka jika sudah berkuasa. Pilihannya hanya menolak mereka sekarang, atau mengikhlaskan Negara ini dikuasai.
Itulah gunanya berpikir waras. Jangan sok demokratis. Kalaupun situasi gawat, saya juga tak yakin yang sok demokratis ini mau berjuang angkat senjata. Bawa perut saja susah. Sudahlah, kau mabuk sana banyak-banyak, mumpung masih bisa leluasa.
Demokrasi biar kami yang urus dengan cara kami sendiri. Kau tinggal menumpang berak, nyocot tak jelas di medsos, terima beres saja. Kalau Negara memanggil, biar kami ini juga yang turun ke palagan angkat senjata…
(Seword/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar