Daftar Isi Internasional Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Pesan Rahbar

Sekilas Doa Arafah Imam Husain as dan Doa Arafah Imam Husain as

Doa Arafah (Bahasa Arab: دعاء العرفة ) adalah diantara doa-doa Syiah yang menurut riwayat dibaca oleh Imam Husain as pada hari ke-9 Dzul...

Tampilkan postingan dengan label ABNS OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABNS OPINI. Tampilkan semua postingan

Kerja Jokowi dan Kritik Kepada Aparatur Pelaksana

Dedy Mulyadi

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berdampak pada meningkatnya beban hutang luar negeri. Ini akan memengaruhi beban psikologi APBN dan juga sektor swasta.

Ironisnya, ketika berbicara tentang beban hutang luar negeri, banyak kalangan yang menimpakan seluruh kesalahan kepada Presiden Jokowi. Pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan dianggap terlalu jor-joran. Apalagi karena sebagian dibiayai dari pinjaman luar negeri.

Sikap menyalahkan itu ada yang didasarkan pada nalar akademik. Tetapi juga ada yang didorong oleh nalar dan tujuan politik Kita memahami bahwa Pak Jokowi memiliki semangat yang tinggi membangun negeri.

Ketertinggalan Indonesia di bidang infrastruktur merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Hal ini berdampak pada lambannya pertumbuhan ekonomi di banyak daerah terutama luar Pulau Jawa. Pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan bertambahnya jumlah penduduk di Pulau Jawa terutama Jakarta, Jawa Barat, dan Banten tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur.

Jumlah kendaraan yang berseliweran tidak diimbangi dengan pertumbuhan jalan, jembatan, bandara, pelabuhan dan infrastruktur penunjang lainnya. Maka Pak Jokowi melakukan loncatan pembangunan laksana pertunjukan akrobat pada sebuah panggung hiburan. Atau boleh jadi, sangat mirip dengan cerita Sangkuriang yang bekerja dikejar waktu sebelum ayam jantan berkokok di waktu fajar menjelang. Padahal kalau ditelaah dengan kejernihan hati dan pikiran, pembangunan infrastruktur itu akan dinikmati oleh kita pada jangka panjang bukan hanya pada era Jokowi. Tetapi seluruh anak bangsa akan menikmatinya sampai jauh setelah itu.

Semangat pembangunan tersebut patut mendapatkan apresiasi. Hal yang harus menjadi sorotan kita adalah spirit membangun Presiden Joko Widodo tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku para pengelola anggaran baik eksekutif maupun legislatif.

Pengelolaan anggaran yang berbasis pagu selalu menjadi model pendekatan dalam penyusunan anggaran baik di pusat maupun daerah. Pagu anggaran seolah menjadi jatah bagi setiap lembaga, sedangkan isi pagu anggaran tidak pernah menjadi sorotan. Kebiasaan para penyelenggara negara mulai dari pimpinan sampai staf pelaksana selalu berkutat pada hal yang itu-itu saja.

Perjalanan rutin, kunjungan dalam dan luar negeri, ongkos kantor, biaya ATK, bayar listrik, seminar, simposium dan sosialisasi selalu muncul dalam setiap periodesasi anggaran. Prinsip yang menjadi pijakan bukanlah membangun gagasan atau program yang baru. Tetapi, hanya ingin menyerap anggaran dengan secepat-cepatnya dengan pertanggungjawaban yang semudah-mudahnya. Selain itu, dalam setiap tahun dibuat berbagai kebijakan atas nama peningkatan profesionalisme aparat dengan meningkatkan jumlah berbagai tunjangan. Jenisnya banyak, mulai dari tunjangan kinerja, tunjangan jabatan, tunjangan prestasi kerja, tunjangan hari raya, tunjangan ketiga belas dan tunjangan lainnya.

Faktanya, seluruh upaya peningkatan kesejahteraan itu belum mampu secara optimal meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan harapan. Fenomena yang lebih aneh kita saksikan, banyak tunjangan juga diberikan kepada lembaga yang tidak memiliki tugas pokok dan fungsi langsung melayani masyarakat.

Lembaga legislatif sebagai lembaga kontrol melakukan hal yang sama. Setiap tahun lembaga itu terus mengalami peningkatan anggaran. Berbagai fasilitas mulai dari dana tunjangan perumahan, kesehatan, tunjangan transportasi, dana bimtek, sampai dana reses bahkan dana kunjungan dalam dan luar negeri terus meningkat.

Sikap dan perilaku ini menjadi kesepakatan bersama baik partai koalisi pendukung pemerintah maupun partai oposisi. Tidak ada kata penolakan yang heroik sebagaimana yang mereka lakukan untuk peristiwa-peristiwa politik.

Oposisi dan pendukung pemerintah memiliki kesepakatan bersama tanpa interupsi untuk hal yang seperti ini. Mereka semua ikut menikmati. Semuanya memiliki kalimat yang sama yakni ‘menyepakati dengan penuh suka cita’.

Ibarat situasi dalam sebuah keluarga. Seorang ayah dengan penuh semangat membangun rumah dengan kelengkapannya, membeli kendaraan, dan memperluas areal sawah, ladang dan kebun, memperbanyak jumlah hewan ternak untuk masa depan keluarga.

Sang ayah melakukan itu agar keluarga dan anak-anaknya bisa tinggal di rumah yang nyaman dengan cukup sandang dan pangan serta mereka memiliki masa depan yang cerah. Tetapi, istrinya setiap hari menghabiskan uang untuk pergi ke salon dan belanja di mal, arisan, dan menjadi bagian dari kaum sosialita yang aktif dan tak lupa mempostingnya di instagram.

Anak-anaknya sibuk bermain dengan gawai (gadget) baru sambil nongkrong di kafe dan klub malam. Setiap hari menghabiskan bahan bakar untuk pergi keluyuran. Maka ikhtiar sang ayah yang tengah berjuang untuk kepentingan keluarga itu tidak bisa dipenuhi hanya mengandalkan gaji bulanan.

Akibatnya, sang ayah terpaksa harus berhutang dengan beban bunga yang cukup tinggi. Pertanyaannya adalah adilkah kita menyalahkan sang ayah yang bekerja keras untuk memperjuangkan istri dan anak-anaknya? Sementara kita biarkan istri dan anak-anaknya terus berpesta tanpa turut memikirkan beban yang dipikul oleh sang ayah.

Bupati Purwakarta, Dedy Mulyadi 

(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Menkumham: Tanda Pagar 2019 Prabowo Pre Siden Pakai Siasat Nakal


Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly menyebut pendaftaran perkumpulan ‘tanda pagar 2019 Prabowo Pre Siden’ memakai siasat nakal. Yasonna kemudian menjelaskan argumentasinya mengapa memberi penilaian demikian.

“Saya mengatakan itu penyiasatan, sebab menurut pasal 59 ayat 1 UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Atas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 disebut dengan tegas melarang nama instansi Pemerintah digunakan sebagai nama perkumpulan. Jadi dalam sistem AHU online di Kemenkum HAM kalau ada yang memohon nama perkumpulan pakai nama ‘Presiden’, pasti sistem online AHU Kemenkumham menolaknya. Sistem daring AHU pasti menolaknya,” ujar Yasonna dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/9/2018).

Surat pengesahan tersebut terdaftar dengan nomor: AHU-0010834.AH.01.07.TAHUN 2018. Adapun nama yang didaftarkan adalah ‘TAGAR2019PRABOWOPRE SIDEN’ yang berkedudukan di Jakarta Selatan. Keputusan itu ditetapkan pada 3 September 2018.

Memang ada spasi pada kata ‘presiden’ yang didaftarkan, sehingga menjadi ‘pre siden’. Menurut Yasonna, hal ini agar bisa disahkan dan tak bertentangan dengan Pasal 59 ayat 1 UU No 16/2017 tentang Ormas. Berikut kutipan aturannya:

Pasal 59

(1) Ormas dilarang:

a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;

b. menggunakan lambang, dengan bendera tanpa negara izin nama, lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas; dan/atau

c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik.

Selanjutnya mengenai pendaftaran perkumpulan juga diatur dalam Peraturan Kemenkum HAM No 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan yang diterbitkan oleh Menkum HAM Amir Syamsuddin. Pada aturan tersebut, perkumpulan boleh didaftarkan sendiri ataupun melalui notaris.

Sebelum melakukan pemesanan nama perkumpulan, pemohon harus membayar terlebih dahulu melalui bank persepsi. Uang yang dibayarkan berlaku selama 60 hari dan tidak dapat ditarik kembali.

Pada Pasal 6 tertulis bahwa nama perkumpulan harus sesuai dengan peraturan perundangan. Berikut kutipannya:

Pasal 6

(1) Nama Perkumpulan yang dipesan harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemohon wajib mengisi formulir pernyataan yang berisi bahwa nama Perkumpulan yang dipesan telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Pemohon bertanggung jawab penuh terhadap nama Perkumpulan yang dipesan.

Nama yang tidak memenuhi syarat maka bisa tidak disetujui. Nama yang mendapat persetujuan berlaku selama 60 hari. Jika nama telah disetujui, maka selanjutnya adalah proses pengesahan.

Untuk memproses pengesahan perkumpulan oleh Menkum HAM, maka terlebih dahulu harus membayar sesuai dengan ketentuan. Setelah membayar, nama perkumpulan harus disertai dengan dokumen kelengkapan untuk disahkan.

Berikut syarat dokumen kelengkapan pendirian perkumpulan sesuai dengan Pasal 13 ayat 3:

a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh Notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
b. program kerja;
c. sumber pendanaan;
d. surat keterangan domisili;
e. nomor pokok wajib pajak atas nama perkumpulan; dan
f. surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan. 

Bagaimana Pendapat Anda ?

(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Terlalu Banyak Yazid dan Tidak Ada al-Husain

Karbala Imam Husain as.

Kematian al-Husain bukan sekedar tragedi, tetapi sebuah kebanggaan yang melahirkan kesadaran baru ideologi jihadi dan syahid. Kematian al-Husain bukan kecelakaan, ia adalah sesuatu yang dirindukan, sesuatu yang tidak mungkin dihindari, bahkan sesuatu yang disongsong.

Tragedi Karbala atau yang juga dikenal sebagai tragedi Asyura merupakan peristiwa besar sepanjang sejarah umat manusia; sebuah peristiwa yang menceritakan tentang perang dan spirit kesyahidan. Peristiwa ini berawal ketika Muawiyah pada 15 Rajab 60 H/679, mati, dan digantikan oleh Yazid bin Muawiyah yang kemudian mendeklrasikan diri sebagai khalifah. Pada saat itu, penduduk Madinah mendapat tekanan dan teror supaya berbaiat kepada Yazid.

Melalui berbagai tekanan dan teror, elit-elit penguasa Madinah berbondong-bondong berbaiat kepada Yazid, dan hanya menyisakan Imam Husain bin Ali yang tidak mau berbaiat. Intimidasi terhadap cucu Nabi ini semakin gencar. Maka putra Imam Ali as ini mulai hijrah dari Madinah menuju Mekah tepat di tengah malam yang ditemani oleh keluarga, sejumlah kerabat bani Hasyim dan pengikut-pengikut setianya.

Sekitar 4 bulan Imam Husain dan rombongan berada di Mekah. Di kota Mekah itulah, berbagai surat undangan dan bait untuk pertama kalinya datang dari warga Kufah untuk al-Husain. Maka, pada tanggal 8 Dzulhijjah rombongan yang dipimpin cucu Nabi itu mulai berkemas dan meninggalkan Mekah menuju kota Kufah untuk bergabung dengan warga disana. Belum sampai di kota Kufah, di tengah perjalanan, rombongan sudah berhadapan dengan ribuan batalyon tentara Yazid (Ubaidilah bin Ziad) dengan senjata lengkap dikomandoi Umar bin Saad.

Dari sana tragedi Karbala itu bermula. Imam Husain syahid bersama dengan Abbas bin Ali, Ali Asghar, 17 dari Bani Hasyim dan sekitar 50 orang dari sahabat setianya.

Sesudah darah daging Siti Fatimah, putri Nabi Saw itu dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan badan suci cucu Nabi Saw itu diseret-seret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer (dalam sebuah riwayat).

Dan tragedi pembantaian sesama muslim itu terjadi di Karbala, sebuah tragedi kemanusiaan yang sukar dicari padanannya sepanjang sejarah umat manusia. Hal yang kemudian menyulut sebuah kesadaran baru umat manusia bahwa kematian dan derita al-Husain adalah sumber tenaga dan sumber kehidupan. Kematian al-Husain bukan sekedar tragedi, tetapi sebuah kebanggaan yang melahirkan kesadaran baru ideologi jihadi dan syahid. Kematian al-Husain bukan kecelakaan, ia adalah sesuatu yang dirindukan, sesuatu yang tidak mungkin dihindari, bahkan sesuatu yang disongsong.

Hari-hari ini, kita sedang menghadapi berbagai tragedi Karbala-Karbala lain, di Irak, di Palestina, di Yaman, di Indonesia, di Suriah, di Afghanistan, di Libya, di Nigeria dan diberbagai belahan dunia muslim. Terlalu banyak Yazid, dan tidak ada sosok Imam Husain di antara kita.

Hari-hari ini suara-suara teriakan Muslimin itu bergema hanya membentur tembok kecil di ruang-ruang penyiksaan penjara Israel, di pinggiran Suriah, di lembah Afghanistan, di jalan-jalan Kashmir, di gang-gang kotor Yaman, di jalan-jalan kumuh Irak dan pengunungan Nigeria. Ternyata dunia Muslim masih diperintah oleh Yazid yang justru seringkali memuji-muji perjuangan al-Husain, sementara mereka bertindak seperti Yazid.

Sebelum meninggalkan Mekah dan berangkat menuju Kufah, Imam Husain mengajarkan kepada kita untuk dengan benar mendiagnosis setiap masalah yang dihadapi umatnya. Hal urgen yang dilupakan oleh kita dalam melakukan berbagai tindakan-tindakan. Sesuatu yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan besar mengenai kualitas perjuangan yang lebih tinggi, lebih kolektif dalam meneruskan konsistensi jihadi Husaini sampai ke tingkat substansi lebih agung. Atau mungkin saja, ketika kita melakukan ritual mengenang tragedi Karbala dan mengekspresikan rasa cinta kepada al-Husain, yang terjadi baru semacam pelampiasan syukur bahwa Yazid sudah mati, dan tidak mungkin bangkit lagi.

Al-Husain, nama cucu kecintaan Nabi itu, sungguh menderita. Tubuh sucinya tak hanya digilas-gilas kaki kuda, bahkan kepalanya dilepas dari badannya dan diletakkan diatas tombak digiring mengelilingi Kufah.

Hal yang serupa dialami oleh muslimin di abad ini, mereka diadu-domba, kemudian mereka ditembak, kemudian mereka dirudal, kemudian mereka dimusnahkan, kemudian mereka diinjak-injak harga diri kemanusiaannya, kemudian mereka dirampok hartanya, bahkan kemudian diperkosa perempuan-perempuannya di depan mata, atas nama Syariah oleh mereka yang mengaku dirinya sebagai pecinta agama Nabi Saw.

Hari ini, Karbala telah melampui batas tanah di Irak. Karbala tidak lagi batasan geografis, juga kuasa, dan kekuatan Yazid tidak lagi terbatas lingkup teritorial yang terletak di Kufah. Karbala adalah global, sebuah wilayah perlawanan kebenaran melawan kebatilan, kedhaliman dan penindasan. Al-Husain telah menyatu dengan semua makna kebenarannya, dia menjadi milik semua manusia yang tertindas. Dan pembela al-Husain adalah rangkaian kekuatan-kekuatan kebenaran yang akan menumbangkan hegemoni berhala Yazid dimana saja, dan kapan saja.

(Islam-Times/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Korupsi Massal dan Lumpuhnya Fungsi Kinerja Parpol

Tersangka Koruptor Anggota DPRD Malang

Penetapan tersangka tindak pidana korupsi (tipikor) 91 persen legislator Kota Malang (41 dari 45) merupakan peristiwa menohok menjelang tahun politik 2019. Tokoh dan pejabat nasional ikut prihatin atas kejadian tersebut. Kementerian Dalam Negeri ikut turun tangan untuk mengantisipasi ‘berhentinya’ penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Malang.

Peristiwa ini sebenarnya menunjukkan situasi paradoksal bagi partai politik (parpol) dalam pasar elektoral. Di tengah surplus politisi dan kesempatan politik (jumlah rasio caleg terus meningkat sejak Pemilu 2004), praktik-praktik politik predatoris justru dilakukan para kader parpol yang duduk di parlemen. Sehingga tak salah apabila kepercayaan publik terhadap papol terbilang rendah sekali.

Hasil-hasil jajak pendapat telah memotret situasi tersebut. Salah satunya, survei Poltracking Indonesia (PI) pada Februari 2018 menemukan rendahnya kepercayaan dan kepuasan terhadap kinerja parpol sebagai institusi demokrasi. Kepercayaan terhadap parpol (44,2 persen) menempati posisi kedua terendah setelah DPD. Sementara kepuasan terhadap kinerja parpol lebih rendah, hanya 33,1 persen.


Tiga Asumsi

Rendahnya citra parpol di mata publik tidak terlepas dari berbagai pemberitaan media massa. Pertama, kader parpol dianggap dekat dengan praktik kleptokrasi. Pengungkapan kasus korupsi DPRD Kota Malang di daerah atau kasus korupsi KTP elektronik di pusat menunjukkan kuatnya praktik kleptokrasi itu, karena melibatkan politisi lintas parpol dengan posisi strategis di parlemen.

Kleptokrasi menunjukkan praktik berjejaring elite berkuasa untuk mendapat manfaat pribadi atas kekayaan negara. Besarnya kekuasaan dan jejaringnya menyebabkan kontrol internal lembaga (parpol dan DPR) tidak berdaya atau bahkan terkooptasi. Kleptokrasi merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan parpol sebagai aset demokrasi.

Kedua, kurangnya kepuasan terhadap kinerja parpol tidak lepas dari rendahnya kemampuan parpol sebagai lumbung dan mesin aspirasi rakyat. Parpol kurang berperan dalam melahirkan gagasan-gagasan solutif atas persoalan publik ke dalam rencana kebijakan yang menonjol. Dengan kata lain, parpol belum menunjukkan kemampuannya menerjemahkan aspirasi publik ke dalam solusi-solusi kebijakan yang bernas.

Kapasitas teknokratik parpol yang rendah makin tenggelam oleh penguatan peran-peran eksekutif, birokrasi, dan lembaga penegak hukum. Dalam persepsi publik, eksekutif dan birokrasi tampil sebagai muara solusi atas banyak persoalan publik dengan inisiatif-inisiatitf kebijakan solutif dan riil. Sementara, lembaga penegak hukum dipersepsi positif karena mampu mengungkap kasus-kasus besar, termasuk megakorupsi. Fakta tersebut tampak dari persepsi positif atas kepercayaan dan kinerja presiden, TNI, KPK, dan Polri, sebagaimana terpotret dalam riset opini PI.

Terakhir, parpol cenderung tumpul sebagai simbol kedaulatan rakyat. Rendahnya kepercayaan publik dan buruknya persepsi terhadap kinerja parpol merupakan kontradiksi terhadap prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara demokratis.

Secara prinsipil, kewenangan negara dan pemerintahan merujuk pada kehendak dan persetujuan rakyat. Sumber kekuasaan ada di tangan rakyat. Dalam praktik ketatanegaraan demokratis, operator kedaulatan rakyat paling strategis dimandatkan kepada parpol.

Indonesia mempraktikkan prinsip ketatanegaraan demokratis yang mengamanahkan kekuasaan yang besar dan strategis kepada parpol. UUD 1945 (Pasal 6A) memberikan mandat pencalonan paket pemimpin tertinggi eksekutif (presiden dan wakil presiden). Untuk mengantisipasi kekosongan kekuasaan eksekutif karena presiden dan wakil presiden tidak mampu melakukan kewajibannya, konstitusi pun melegitimasi kewenangan parpol menominasikan calon penggantinya kepada MPR (Pasal 8).

UUD 1945 melegalkan pula parpol sebagai satu-satunya institusi politik peserta pemilu legislatif (Pasal 22E). Anggota DPR dan DPRD harus dicalonkan melalui jalur parpol, tanpa kecuali. Kekuasaan ini kemudian dikuatkan dalam sejumlah undang-undang (UU), yaitu UU Parpol, UU Pemilu, dan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Dalam UU terakhir, kekuasaan parpol bukan sebatas mencalonkan pemimpin eksekutif dan legislatif, melainkan mencakup penggantian legislator (PAW) dan penarikan kenggotaan parpol bagi legislator yang tidak segaris dengan kebijakannya. Selain itu, kuasa parpol dominan dalam membentuk pemerintahan melalui pengisian jabatan menteri.

Gurita kekuasaan parpol tidak berhenti pada ranah eksekutif dan legislatif. Melalui anggotanya di DPR, parpol berperan penting menentukan pengisian jabatan institusi publik lainnya, seperti MK, BPK, KPU, ORI, OJK, hingga KPK.

Intinya, secara genealogis kuasa parpol merupakan sumber atau pintu masuk bagi semua kekuasaan formal. Sebaliknya, publik menilai bahwa parpol belum mampu berkontribusi optimal sesuai modal kekuasaan yang dimilikinya.


Penguatan Teknokrasi Politik

Kritik rakyat atas rendahnya kepercayaan dan apresiasi kinerja parpol merupakan tantangan bagi demokrasi. Parpol merupakan aset vital demokrasi yang semestinya konsisten menjalankan prinsip kedaulatan rakyat. Karenanya, parpol sebagai operator kedaulatan rakyat harus mencari jalan keluar strategis demi mengembalikan kepercayaan publik.

Salah satu gagasan yang bisa dilakukan yakni mendorong penguatan kapasitas teknokratik politik parpol. Ada dua target yang harus ditetapkan parpol, yaitu peningkatan kapabilitas respons dan kapasitas kinerja parpol dalam mengkonversi permasalahan, permintaan, dan kebutuhan warga menjadi opsi-opsi kebijakan publik yang solutif.

Parpol bisa mendesain institusi khusus untuk memproduksi pengetahuan, bukti, argumen, dan opsi-opsi kebijakan atas berbagai permasalahan publik.

Secara bersamaan, parpol memberikan kesempatan dan kreativitas kader dan para legislatornya untuk mengembangkan berbagai terobosan mengatasi problem publik. Singkat kata, penguatan kapasitas teknokrasi politik parpol ditujukan untuk menerjemahkan masalah menjadi berbagai inovasi kebijakan. Parpol dan para kadernya selalu terinspirasi untuk melahirkan pendekatan atau aspek baru (novelty) kebijakan publik yang berbeda dari kebijakan terdahulu. (ft/detik/opini/es)

Wawan Sobari Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya

(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Sandiaga Uno Yang Mempermalukan Emak-emak


Sandiaga Uno sering menyebut emak-emak, tapi tujuannya untuk mempermalukan. Sandi kebiasaan, mengutip nama seorang emak, dari sana sini, tapi informasi yang diucapkan, tidak akurat, bahkan membuat malu.

Sebut saja Sandi mengutip seorang emak dengan menyebutkan kalau uang 100 ribu untuk belanjaan hanya dapat bawang dan cabe. Ucapan Sandi ini sama saja dengan mempermalukan kalangan emak se-Indonesia.

Emak-emak adalah kalangan yang sangat tahu belanjaan, bahkan harga satuannya. Saya sering ikut istri belajar baik ke warung dan ke pasar. Kalau lihat emak-emak nawar, rada "mengerikan". Belanja yang sedikit-sedikit bisa ditawar dua ribu, seribu bahkan 500 pun dipertahankan.

Saya lihat ada kepuasan di kalangan emak-emak apabila berhasil menaklukkan pedagang dengan tawaran harganya. Ini soal prestasi dan prestise (kebanggaan).

Jadi Sandi, kalau hanya mau dapat bawang dan cabe, tak perlu dengan uang 100 ribu, dengan uang 1000 pun emak-emak akan dapat itu!

Soal uang 1000 dapat berapa butir bawang dan beberapa pucuk cabe itu soal lain, tapi pastilah bisa didapat. 100 ribu kalau cuma mau beli bawang dan cabe juga bisa, tapi ini bukan buat masak, mungkin buat luluran Sandi 😁

Tengoklah, dengan segala tehnik dan strategi, bagaimana emak-emak mulai dari merayu dan menaklukkan pedagang, mulai berdebat hingga menyuguhkan argumentasi, yang khas emak-emak.

Emak-emak datang ke pedagang agak siang.

"Wah uda laku ya, pada habis nih dagangan, untung banyak nih," kata emak-emak.

Si pedagang tidak ada pilihan akan jawab "Alhamdulillah Mak, rizki nih"

Tapi jawaban pedagang masuk perangkap, Emak-emak akan bilang.

"Ya uda deh, bawang cabe serebu aja, yang sisa-sisa, buat mepes, buat si bontot".

Pedagang gak bisa ngeles. Kalau coba-coba dia ngeles, dengan kasih alasan.

"Wah cabe, bawang mulai mahal Mak, ini mulai musim hujan,"

Si Emak akan balas, "Mana ada hujan, di sini gak pernah hujan" ---di sini dengan di tempat pertanian cabe dan bawang? Emak buru-buru koreksi argumen--"Aku liat di tv, di Jawa belum hujan tuh, banyak yang kekeringan, di Sumatera Kalimantan malah banyak kebakaran hutan, gara-gara hujan kagak turun-turun,"

Pedagang gak bisa ngeles. Mau ngeles lagi, Emak akan siap dengan jurus pamungkas: ancaman.

"Ya kalau serebu kagak bisa dapat bawang dan cabe, aku minta tetangga si Siti aja, lagian cuma serebu perak!"

Pedagang kalau sudah diginiin sama emak-emak ibarat petinju yang KO, sudah kena upper cut, kolornya melorot. Emak-emak menang TKO! Biasanya pedagang gak akan sampe ke babak ini, ini sama saja mengobarkan perang ke emak-emak langganannya. Bisa ditinggal pelanggar benar dia.

Inilah tehnik emak-emak menaklukan pedagang, mulai strategi merayu, berdebat hingga ancaman.

Dulu saya juga sering menemani emak saya belanja, dan diajari tehnik menawar dan menaklukkan pedagang.

Kata emak saya, kalau belanja di pasar yang kita gelap soal harganya harus membandingkan tiap kios untuk tahu patokan harga. Tidak bisa hanya ke satu kios terus beli. Cara ini memang makan waktu, dan bagi yang tidak tahu, sering ngeluh, "emak-emak belanjanya lama!" Padahal emak-emak sering "thawaf" di pasar hanya untuk membandingkan harga.

Kemudian, kata emak saya, kalau nawar jangan tanggung-tanggung, tawar sampe separoh harga. "Ya, emak saya memang "tega" kalau soal tawar harga" 😁 pasti pedagang akan nurunin harganya, kita naikin dikit-dikit, inilah proses tawar menawar, mulai dari tehnik merayu, sampai berdebat. Intinya sabar dan pelan-pelan naikin harga, kata Emak saya.

Jurus pamungkas dari emak saya, kalau sudah lama tawar menawar masih deadlock, "pura-pura pamit pergi" 😁 kalau pedagang memanggil, dia kena jebakan. Kalau tidak dipanggil lagi, cari di kios lain, inilah yang bikin emak-emak kalau belanja lama. Kalau sudah ke kios-kios lain tawar menawar ternyata harga di kios pertama tetap lebih murah, dengan modal senyum kita kembali lagi dan ambil barangnya. 😁

Cerita di atas saya cuma mau kasi tahu, bagaimana emak-emak sangat detail dalam melihat barang dan harganya, 500 perak aja dipertahanin! Banyak pedagang yang menyerah, tidak mau lihat emak-emak marah sebagai langganannya dan ngeloyor pergi ke pedagang lain. Hati-hati ngadepin emak-emak.

Belum lagi selesai soal 100 ribu hanya dapat bawang dan cabe, kini Sandi bicara tempe yang setipis ATM. Emak-emak lagi yang dibawa-bawa. Astagaaaaaa!

Seirit-iritnya emak-emak gak akan tega mengiris tempe goreng setipis ATM! Kalau benar tempe setipis ATM sudah ada revolusi emak-emak!

Sebagai usul, Semoga Sandi mau "blusukan" ke pasar-pasar, benar-benar bertemu emak-emak, bukan nama emak-emak fiktif yang ia selalu bawa-bawa. Apakah Sandi masih menemani istrinya belanja? Apakah dia masih melihat wujud tempe sebelum digoreng? Melihat hamparan tempe di lapak-lapak pedagang. Atau dia sudah tinggal makan saja yang tersedia di meja.

Tapi begitulah Sandi, yang katanya mengutip emak-emak bukan menyampaikan aspirasi mereka, bukan membanggakan mereka bagaimana mengatur uang belanja, tapi malah mempermalukan dengan membuatnya bahan tertawaan.

Semoga Sandi, sadar akan hal ini.

Mohamad Guntur Romli.

#ThePowerOfEmakEmak

Sumber: FB Mohamad Guntur Romli

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Robohnya “Pasukan Intelektual” Pendukung #2019GantiPresiden


Dalam setiap survei, biasanya Jokowi selalu mendapatkan hasil: “Disukai pemilih berpendidikan rendah sedang lulusan universitas cenderung memilih Prabowo” termasuk hasil survey yang dirilis LSI Deny JA 5 September kemarin.

Sebagai Jokower, saya hanya bisa mengelus dada, lha wong emang begitu kenyataannya.

Kaum intelektual pendukung Jokowi, “genitnya selangit.” Jokowi dekat dengan tokoh 212, ngambek. Jokowi memilih Ki Maruf dibanding Mahfud MD, ngancam golput !

Diminta ngisi survey jawabnya abstain.

Sebaliknya, kaum intelektual kelompok sebelah, solidnya setengah mati. Fadli Zon, Mardani Ali Sera, Fahri Hamzah plus pasukan 212 seakan membuang otaknya demi “kesetiaan mati” pada sang pimpinan.

Lha terus apa hubungannya denga Erick Thohir ?

Saya percaya bahwa militansi kaum intelektual blok sebelah karena mengalami proses kaderisasi secara tidak langsung dari sebuah universitas bernama republika.

Republika group yang berkecimpung di bidang media massa, dulu terkenal sangat dekat kalau bisa dibilang sebagai think-thanknya BJ Habibie yang bertujuan menciptakan intelektual muslim.

Dari “proyek” inilah lahir Fadli Zon, dan orang-orang yang sekarang berada di barisan belakang kelompok sebelah.

Dan Sandiaga Uno mati-matian mencegah agar sahabatnya tidak berbalik mendukung Jokowi:

” Saya yakin posisi Pak Erick susah sekali. Di satu sisi teman, satu sisi perintah,” kata dia di Posko Sahabat Prabowo-Sandi, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (Republika,6/9).

Sebagai ketua tim pemenangan Jokowi, sudah pasti Erick akan membawa Republika Group berjuang membela Jokowi. Kaum intelektual yang selama ini mengkritik, tiba-tiba harus menulis yang baik-baik tentang Jokowi.

Kalau ngotot mengkritik, sing mbayar sopo Mas ?

Atau sampeyan mau wiraswasta, biar puas facebookan menolak Jokowi ?

Dan sekarang stop menjelek-jelekkan keturunan China! Karena Erick terlahir dari perempuan keturunan. Qiqiqiqiqi…

Sumber: FB Lutfi Bakhtiyar

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Mengapa Harus Erick Thohir Yang Terpilih?


Hari ini Jumat (07/09/18) Presiden Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin mengumumkan Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional pemenangannya. Setelah publik dibuat penasaran siapakah figur yang dipilih oleh sang petahana, rasa _kepo_ itu pun terjawab sudah.

Tapi mengapa harus Erick Thohir yang terpilih?
Ah saya menjadi skeptis.

Erick Thohir merupakan pengusaha muda, sukses, karir cemerlang, terkenal.
_*ah itu sih biasa, udah banyak figur muda sukses seperti beliau di Indonesia*_

Terus kelebihannya dimana?

Masyarakat Indonesia bahkan saya awalnya hanya mengetahui nama *Erick Thohir* setelah beliau mampu mengakusisi klub raksasa Italia yaitu Inter Milan. Publik Internasional dibuat kaget bahwa pengusaha muda dari *INDONESIA*.

Beliau sekaligus menjadi orang Indonesia pertama yang menguasai tim olahraga besar Eropa. Tak heran kepercayaan publik dunia meningkat dalam setiap perhelatan akbar olahraga di Indonesia!

Terus apalagi kelebihannya?

Erick Thohir merupakan idola baru di kalangan milenial, beliau merupakan Ketua Umum Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PERBASI) periode 2006–2010 dan sempat menjadi Presiden Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara (SEABA), kemudian menjadi Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI), sebelum akhirnya ditunjuk menjadi Ketua Panitia Inasgoc sebagai pelaksana Asian Games 2018 yang sukses menyelenggarakan Asian Games 2018.

Padahal waktu persiapannya sangat mepet yaitu 2 tahun 3 bulan, bahkan Vietnam pun mengundurkan diri sebagai tuan rumah!! Dalam waktu yang teramat singkat tersebut, Ia harus berpikir keras bagaimana agar atlet-atlet Indonesia meraih medali, pembangunan fasilitas, hingga memikirkan bagaimana tidak macet sehingga acara ini bisa sukses!

*WOW!!!*
Ternyata beliau memiliki antusiasme yang tinggi terhadap dunia olahraga dan tak hanya memikirkan tentang bisnis!

Dari passion dan kepeduliannya ini membuktikan beliau ternyata sangat dekat dengan Milenial, memiliki kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang baik, bertanggung Jawab. Dari mulai masyarakat, pengusaha, politisi hingga jaringan Internasional yang nantinya akan berguna untuk mengepakan sayap garuda Indonesia lebih tinggi lagi.

Beliau juga bukan anak manja walaupun terlahir kaya. Beliau memilih mendirikan usahanya sendiri di bidang sport dan industri kreatif dibanding bekerja di kantor ayahnya sendiri. Dengan mendirikan Mahaka Group, Radio, periklanan, menjadi President Klub Basket Satria Muda, dan Wakil Komisaris Klub Sepak Bola Persib

Selain memiliki bisnis di berbagai bidang, beliau juga pendiri dari organisasi amal *”Darma Bakti Mahaka Foundation” * dan *”Dompet Dhuafa Republika”*

Oalah, tidak heran mengapa Pak Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin memilih Erick Thohir, saya pun terkesima dengan track record beliau selama ini di kancah Nasional maupun Internasional.
Beliau bisa menjadi pelengkap Pak Jokowi dan Pak Maruf Amin.

Erick Thohir membuat masyarakat kita sangat percaya bahwa kita *BANGSA BESAR* dan *PD* menunjukkan identitas kita untuk dunia.

Beliau menjadi inspirasi bagi kita semua.

Kalau saya menjadi pak Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin pun akan memilih Erick Thohir

ORANG SUKSES PIMPIN TIM SUKSES

#SalamRevolusiMental

Farah Abimanyu (Postgraduate York University)_

Sumber: FB Alfan Arsyad

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Donald Trump, Jangan Pecat Para Staf Anda Dari Nut House!

Fear: Trump in the White House

Tapi NYT, punya maruah dan tak bergeming dengan berpegang teguh dengan prinsip jurnalistik, mencibir ancaman dan menyembuyikan nama penulis misterius.

Dalam sebuah opini di New York Times (NYT) yang diterbitkan pada tanggal 5 September 2018 berjudul "I Am Part of the Resistance Inside the Trump Administration", para pakar politik di Washington DC yang duduk manis dengan pasta legit, tiba-tiba mencabik-cabik rambut dan mencakar-cakar muka mereka sendiri untuk mencari tahu "siapa" dibalik cerita misterius yang menulis opini tersebut.

I Am Part of the Resistance Inside the Trump Administration

The Times is taking the rare step of publishing an anonymous Op-Ed essay. We have done so at the request of the author, a senior official in the Trump administration whose identity is known to us and whose job would be jeopardized by its disclosure. We believe publishing this essay anonymously is the only way to deliver an important perspective to our readers. We invite you to submit a question about the essay or our vetting process here.

President Trump is facing a test to his presidency unlike any faced by a modern American leader.

It’s not just that the special counsel looms large. Or that the country is bitterly divided over Mr. Trump’s leadership. Or even that his party might well lose the House to an opposition hellbent on his downfall.

The dilemma — which he does not fully grasp — is that many of the senior officials in his own administration are working diligently from within to frustrate parts of his agenda and his worst inclinations.


I would know. I am one of them.

To be clear, ours is not the popular “resistance” of the left. We want the administration to succeed and think that many of its policies have already made America safer and more prosperous.

But we believe our first duty is to this country, and the president continues to act in a manner that is detrimental to the health of our republic.

That is why many Trump appointees have vowed to do what we can to preserve our democratic institutions while thwarting Mr. Trump’s more misguided impulses until he is out of office.

The root of the problem is the president’s amorality. Anyone who works with him knows he is not moored to any discernible first principles that guide his decision making.

Although he was elected as a Republican, the president shows little affinity for ideals long espoused by conservatives: free minds, free markets and free people. At best, he has invoked these ideals in scripted settings. At worst, he has attacked them outright.

In addition to his mass-marketing of the notion that the press is the “enemy of the people,” President Trump’s impulses are generally anti-trade and anti-democratic.

Don’t get me wrong. There are bright spots that the near-ceaseless negative coverage of the administration fails to capture: effective deregulation, historic tax reform, a more robust military and more.

But these successes have come despite — not because of — the president’s leadership style, which is impetuous, adversarial, petty and ineffective.

From the White House to executive branch departments and agencies, senior officials will privately admit their daily disbelief at the commander in chief’s comments and actions. Most are working to insulate their operations from his whims.

Meetings with him veer off topic and off the rails, he engages in repetitive rants, and his impulsiveness results in half-baked, ill-informed and occasionally reckless decisions that have to be walked back.

“There is literally no telling whether he might change his mind from one minute to the next,” a top official complained to me recently, exasperated by an Oval Office meeting at which the president flip-flopped on a major policy decision he’d made only a week earlier.

The erratic behavior would be more concerning if it weren’t for unsung heroes in and around the White House. Some of his aides have been cast as villains by the media. But in private, they have gone to great lengths to keep bad decisions contained to the West Wing, though they are clearly not always successful.

It may be cold comfort in this chaotic era, but Americans should know that there are adults in the room. We fully recognize what is happening. And we are trying to do what’s right even when Donald Trump won’t.

The result is a two-track presidency.

Take foreign policy: In public and in private, President Trump shows a preference for autocrats and dictators, such as President Vladimir Putin of Russia and North Korea’s leader, Kim Jong-un, and displays little genuine appreciation for the ties that bind us to allied, like-minded nations.

Astute observers have noted, though, that the rest of the administration is operating on another track, one where countries like Russia are called out for meddling and punished accordingly, and where allies around the world are engaged as peers rather than ridiculed as rivals.

On Russia, for instance, the president was reluctant to expel so many of Mr. Putin’s spies as punishment for the poisoning of a former Russian spy in Britain. He complained for weeks about senior staff members letting him get boxed into further confrontation with Russia, and he expressed frustration that the United States continued to impose sanctions on the country for its malign behavior. But his national security team knew better — such actions had to be taken, to hold Moscow accountable.

This isn’t the work of the so-called deep state. It’s the work of the steady state.

Given the instability many witnessed, there were early whispers within the cabinet of invoking the 25th Amendment, which would start a complex process for removing the president. But no one wanted to precipitate a constitutional crisis. So we will do what we can to steer the administration in the right direction until — one way or another — it’s over.

The bigger concern is not what Mr. Trump has done to the presidency but rather what we as a nation have allowed him to do to us. We have sunk low with him and allowed our discourse to be stripped of civility.

Senator John McCain put it best in his farewell letter. All Americans should heed his words and break free of the tribalism trap, with the high aim of uniting through our shared values and love of this great nation.

https://www.nytimes.com/2018/09/05/opinion/trump-white-house-anonymous-resistance.html

Donald Trump yang biasa tiap hari berbuih mulutnya seperti banteng ketaton, menggelepar dan terhuyung-huyung membentur-benturkan kepala kosongnya ke lantai, ruang tempat biasa dia berdansa dan menari. Tanpa pikir panjang, Trump membuka tablet, mengancam dan menuliskan deretan tweet ke NYT menuntut untuk mengungkap nama penulis misterius yang menurutnya adalah ancaman terhadap keamanan nasional AS.

Tapi NYT, punya maruah dan tak bergeming dengan berpegang teguh dengan prinsip jurnalistik, mencibir ancaman dan menyembuyikan nama penulis misterius.

Opini berjudul "I Am Part of the Resistance Inside the Trump Administration",- (Terjemahan bebas bahasa Indonesia,- "Saya Adalah Bagian dari Perlawanan di Dalam Administrasi Trump,")- mengungkap bagaimana penulis misterius dan pejabat senior lain di Trump Nuthouse sibuk menjaga "kejeniusan stabil" dan menyatakan sudah melakukan terlalu banyak kerusakan pada negara. . Donald Trump!

"Banyak pejabat senior di pemerintahannya sendiri yang bekerja tekun dari dalam untuk menggagalkan bagian-bagian agenda dan kecenderungan terburuknya," tulis salah satu penggalan opini dari sang penulis misterius.

Opini New York Times itu muncul setelah buku yang ditulis wartawan investigasi, Bob Woodward, berjudul Fear: Trump in the White House muncul dan akan dirilis pada Selasa 11 September mendatang.

Well..... Bersama dengan Carl Bernstein, reputasi menterang Bob Woodward di dunia jurnalistik tak diragukan dan tak ada orang yang meragukannya. Dia pernah mengekspos Watergate scandal pada tahun 1972-74 yang meruntuhkan reputasi presiden Nixon. Serangkaian skandal politik di Amerika Serikat yang mengakibatkan pengunduran diri Presiden Richard Nixon dan mengakibatkan krisis konstitusi yang menghebohkan pada tahun 1970-an. Peristiwa itu kemudian dinamakan sesuai dengan nama sebuah hotel di Washington, D.C. tempat di mana skandal tersebut terjadi, hotel Watergate. Hotel ini merupakan bagian dari kesatuan properti yang terdiri dari berbagai kantor, hotel, dan apartemen.

Buku terbaru Bob Woodward sangat menarik dan eksplosif, sehingga membuat Donald Trump tiba-tiba panik dan mual-mual ketika mendengar ulasan buku tersebut. Trump yang biasa mendapat banyak pujian dan acungan jempol, mencabut pistol tablet, dan menuliskan kata-kata nista terhadap buku Woodward yang dia sebut sebagai berita palsu dan berdasarkan kebohongan.

Bob Woodward’s new book reveals a ‘nervous breakdown’ of Trump’s presidency

John Dowd was convinced that President Trump would commit perjury if he talked to special counsel Robert S. Mueller III. So, on Jan. 27, the president’s then-personal attorney staged a practice session to try to make his point.

In the White House residence, Dowd peppered Trump with questions about the Russia investigation, provoking stumbles, contradictions and lies until the president eventually lost his cool.

“This thing’s a goddamn hoax,” Trump erupted at the start of a 30-minute rant that finished with him saying, “I don’t really want to testify.”

The dramatic and previously untold scene is recounted in “Fear,” a forthcoming book by Bob Woodward that paints a harrowing portrait of the Trump presidency, based on in-depth interviews with administration officials and other principals.

Woodward writes that his book is drawn from hundreds of hours of interviews with firsthand participants and witnesses that were conducted on “deep background,” meaning the information could be used but he would not reveal who provided it. His account is also drawn from meeting notes, personal diaries and government documents.

Woodward depicts Trump’s anger and paranoia about the Russia inquiry as unrelenting, at times paralyzing the West Wing for entire days. Learning of the appointment of Mueller in May 2017, Trump groused, “Everybody’s trying to get me”— part of a venting period that shellshocked aides compared to Richard Nixon’s final days as president.

The 448-page book was obtained by The Washington Post. Woodward, an associate editor at The Post, sought an interview with Trump through several intermediaries to no avail. The president called Woodward in early August, after the manuscript had been completed, to say he wanted to participate. The president complained that it would be a “bad book,” according to an audio recording of the conversation. Woodward replied that his work would be “tough” but factual and based on his reporting.

The book’s title is derived from a remark that then-candidate Trump made in an interview with Woodward and Post political reporter Robert Costa in 2016. Trump said, “Real power is, I don’t even want to use the word, ‘Fear.’ ”

A central theme of the book is the stealthy machinations used by those in Trump’s inner sanctum to try to control his impulses and prevent disasters, both for the president personally and for the nation he was elected to lead.

Woodward describes “an administrative coup d’etat” and a “nervous breakdown” of the executive branch, with senior aides conspiring to pluck official papers from the president’s desk so he couldn’t see or sign them.

Again and again, Woodward recounts at length how Trump’s national security team was shaken by his lack of curiosity and knowledge about world affairs and his contempt for the mainstream perspectives of military and intelligence leaders.

At a National Security Council meeting on Jan. 19, Trump disregarded the significance of the massive U.S. military presence on the Korean Peninsula, including a special intelligence operation that allows the United States to detect a North Korean missile launch in seven seconds vs. 15 minutes from Alaska, according to Woodward. Trump questioned why the government was spending resources in the region at all.

“We’re doing this in order to prevent World War III,” Defense Secretary Jim Mattis told him.

After Trump left the meeting, Woodward recounts, “Mattis was particularly exasperated and alarmed, telling close associates that the president acted like — and had the understanding of — ‘a fifth- or sixth-grader.’ ”

In Woodward’s telling, many top advisers were repeatedly unnerved by Trump’s actions and expressed dim views of him. “Secretaries of defense don’t always get to choose the president they work for,” Mattis told friends at one point, prompting laughter as he explained Trump’s tendency to go off on tangents about subjects such as immigration and the news media.

Inside the White House, Woodward portrays an unsteady executive detached from the conventions of governing and prone to snapping at high-ranking staff members, whom he unsettled and belittled on a daily basis.

Chief of Staff John F. Kelly in the Oval Office in February. (Jabin Botsford/The Washington Post)

White House Chief of Staff John F. Kelly frequently lost his temper and told colleagues that he thought the president was “unhinged,” Woodward writes. In one small group meeting, Kelly said of Trump: “He’s an idiot. It’s pointless to try to convince him of anything. He’s gone off the rails. We’re in Crazytown. I don’t even know why any of us are here. This is the worst job I’ve ever had.”

Reince Priebus, Kelly’s predecessor, fretted that he could do little to constrain Trump from sparking chaos. Woodward writes that Priebus dubbed the presidential bedroom, where Trump obsessively watched cable news and tweeted, “the devil’s workshop” and said early mornings and Sunday evenings, when the president often set off tweetstorms, were “the witching hour.”

Trump apparently had little regard for Priebus. He once instructed then-staff secretary Rob Porter to ignore Priebus, even though Porter reported to the chief of staff, saying that Priebus was “‘like a little rat. He just scurries around.’ ”

Few in Trump’s orbit were protected from the president’s insults. He often mocked then-national security adviser H.R. McMaster behind his back, puffing up his chest and exaggerating his breathing as he impersonated the retired Army general, and once said McMaster dresses in cheap suits, “like a beer salesman.”

Trump told Commerce Secretary Wilbur Ross, a wealthy investor eight years his senior: “I don’t trust you. I don’t want you doing any more negotiations. . . . You’re past your prime.”

Attorney General Jeff Sessions at the White House in March. (Jabin Botsford/The Washington Post)

A near-constant subject of withering presidential attacks was Attorney General Jeff Sessions. Trump told Porter that Sessions was a “traitor” for recusing himself from overseeing the Russia investigation, Woodward writes. Mocking Sessions’s accent, Trump added: “This guy is mentally retarded. He’s this dumb Southerner. . . . He couldn’t even be a one-person country lawyer down in Alabama.”

At a dinner with Mattis and Gen. Joseph F. Dunford Jr., the chairman of the Joint Chiefs of Staff, among others, Trump lashed out at a vocal critic, Sen. John McCain (R-Ariz.). He painted the former Navy pilot as cowardly, falsely suggesting he took an early release from a prisoner-of-war camp in Vietnam because of his father’s military rank and left others behind.

Mattis swiftly corrected his boss: “No, Mr. President, I think you’ve got it reversed.” The defense secretary explained that McCain, who died Aug. 25, had in fact turned down early release and was brutally tortured during his five years at the “Hanoi Hilton.”

“Oh, okay,” Trump replied, according to Woodward’s account.

With Trump’s rage and defiance impossible to contain, Cabinet members and other senior officials learned to act discreetly. Woodward describes an alliance among Trump’s traditionalists — including Mattis and Gary Cohn, the president’s former top economic adviser — to stymie what they considered dangerous acts.

“It felt like we were walking along the edge of the cliff perpetually,” Porter is quoted as saying. “Other times, we would fall over the edge, and an action would be taken.”

After Syrian President Bashar al-Assad launched a chemical attack on civilians in April 2017, Trump called Mattis and said he wanted to assassinate the dictator. “Let’s fucking kill him! Let’s go in. Let’s kill the fucking lot of them,” Trump said, according to Woodward.

Mattis told the president that he would get right on it. But after hanging up the phone, he told a senior aide: “We’re not going to do any of that. We’re going to be much more measured.” The national security team developed options for the more conventional airstrike that Trump ultimately ordered.

Then-White House chief economic adviser Gary Cohn in September 2017. (Jabin Botsford/The Washington Post)

Cohn, a Wall Street veteran, tried to tamp down Trump’s strident nationalism regarding trade. According to Woodward, Cohn “stole a letter off Trump’s desk” that the president was intending to sign to formally withdraw the United States from a trade agreement with South Korea. Cohn later told an associate that he removed the letter to protect national security and that Trump did not notice that it was missing.

Cohn made a similar play to prevent Trump from pulling the United States out of the North American Free Trade Agreement, something the president has long threatened to do. In spring 2017, Trump was eager to withdraw from NAFTA and told Porter: “Why aren’t we getting this done? Do your job. It’s tap, tap, tap. You’re just tapping me along. I want to do this.”

Under orders from the president, Porter drafted a notification letter withdrawing from NAFTA. But he and other advisers worried that it could trigger an economic and foreign relations crisis. So Porter consulted Cohn, who told him, according to Woodward: “I can stop this. I’ll just take the paper off his desk.”

Despite repeated threats by Trump, the United States has remained in both pacts. The administration continues to negotiate new terms with South Korea as well as with its NAFTA partners, Canada and Mexico.

Cohn came to regard the president as “a professional liar” and threatened to resign in August 2017 over Trump’s handling of a deadly white-supremacist rally in Charlottesville. Cohn, who is Jewish, was especially shaken when one of his daughters found a swastika on her college dorm room.

Trump was sharply criticized for initially saying that “both sides” were to blame. At the urging of advisers, he then condemned white supremacists and neo-Nazis but almost immediately told aides, “That was the biggest fucking mistake I’ve made” and the “worst speech I’ve ever given,” according to Woodward’s account.

When Cohn met with Trump to deliver his resignation letter after Charlottesville, the president told him, “This is treason,” and persuaded his economic adviser to stay on. Kelly then confided to Cohn that he shared Cohn’s horror at Trump’s handling of the tragedy — and shared Cohn’s fury with Trump.

“I would have taken that resignation letter and shoved it up his ass six different times,” Kelly told Cohn, according to Woodward. Kelly himself has threatened to quit several times but has not done so.

Woodward illustrates how the dread in Trump’s orbit became all-encompassing over the course of Trump’s first year in office, leaving some staff members and Cabinet members confounded by the president’s lack of understanding about how government functions and his inability and unwillingness to learn.

At one point, Porter, who departed in February amid domestic abuse allegations, is quoted as saying, “This was no longer a presidency. This is no longer a White House. This is a man being who he is.”

Such moments of panic are a routine feature but not the thrust of Woodward’s book, which mostly focuses on substantive decisions and internal disagreements, including tensions with North Korea as well as the future of U.S. policy in Afghanistan.

Woodward recounts repeated episodes of anxiety inside the government over Trump’s handling of the North Korean nuclear threat. One month into his presidency, Trump asked Dunford for a plan for a preemptive military strike on North Korea, which rattled the combat veteran.

In the fall of 2017, as Trump intensified a war of words with Kim Jong Un, nicknaming North Korea’s dictator “Little Rocket Man” in a speech at the United Nations, aides worried the president might be provoking Kim. But, Woodward writes, Trump told Porter that he saw the situation as a contest of wills: “This is all about leader versus leader. Man versus man. Me versus Kim.”

The book also details Trump’s impatience with the war in Afghanistan, which had become the United States’ longest conflict. At a July 2017 National Security Council meeting, Trump dressed down his generals and other advisers for 25 minutes, complaining that the United States was losing, according to Woodward.

“The soldiers on the ground could run things much better than you,” Trump told them. “They could do a much better job. I don’t know what the hell we’re doing.” He went on to ask: “How many more deaths? How many more lost limbs? How much longer are we going to be there?”

The president’s family members, while sometimes touted as his key advisers by other Trump chroniclers, are minor players in Woodward’s account, popping up occasionally in the West Wing and vexing adversaries.

Woodward recounts an expletive-laden altercation between Ivanka Trump, the president’s eldest daughter and senior adviser, and Stephen K. Bannon, then the chief White House strategist.

“You’re a goddamn staffer!” Bannon screamed at her, telling her that she had to work through Priebus like other aides. “You walk around this place and act like you’re in charge, and you’re not. You’re on staff!”

Ivanka Trump, who had special access to the president and worked around Priebus, replied: “I’m not a staffer! I’ll never be a staffer. I’m the first daughter.”

Such tensions boiled among many of Trump’s core advisers. Priebus is quoted as describing Trump officials not as rivals but as “natural predators.”

“When you put a snake and a rat and a falcon and a rabbit and a shark and a seal in a zoo without walls, things start getting nasty and bloody,” Priebus says.

Hovering over the White House was Mueller’s inquiry, which deeply embarrassed the president. Woodward describes Trump calling his Egyptian counterpart to secure the release of an imprisoned charity worker and President Abdel Fatah al-Sissi saying: “Donald, I’m worried about this investigation. Are you going to be around?”

Trump relayed the conversation to Dowd and said it was “like a kick in the nuts,” according to Woodward.

The book vividly recounts the ongoing debate between Trump and his attorneys about whether the president would sit for an interview with Mueller. On March 5, Dowd and Trump attorney Jay Sekulow met in Mueller’s office with the special counsel and his deputy, James Quarles, where Dowd and Sekulow reenacted Trump’s January practice session.

Woodward’s book recounts the debate between Trump and his lawyers, including John Dowd, regarding whether the president will sit for an interview with special counsel Robert. S. Mueller III. (Richard Drew/AP)

Dowd then explained to Mueller and Quarles why he was trying to keep the president from testifying: “I’m not going to sit there and let him look like an idiot. And you publish that transcript, because everything leaks in Washington, and the guys overseas are going to say, ‘I told you he was an idiot. I told you he was a goddamn dumbbell. What are we dealing with this idiot for?’ ”

“John, I understand,” Mueller replied, according to Woodward.

Later that month, Dowd told Trump: “Don’t testify. It’s either that or an orange jumpsuit.”

But Trump, concerned about the optics of a president refusing to testify and convinced that he could handle Mueller’s questions, had by then decided otherwise.

“I’ll be a real good witness,” Trump told Dowd, according to Woodward.

“You are not a good witness,” Dowd replied. “Mr. President, I’m afraid I just can’t help you.”

The next morning, Dowd resigned.

https://www.washingtonpost.com/politics/bob-woodwards-new-book-reveals-a-nervous-breakdown-of-trumps-presidency/2018/09/04/b27a389e-ac60-11e8-a8d7-0f63ab8b1370_story.html?utm_term=.1cecb364b7a6

Tapi apakah ada cerita detektif Conan dibalik ini? Tentu, kita akan sampai disitu, dan bersabarlah untuk waktu yang tak lama. . . . .

Ini mungkin sebuah kondisi nyaman, dan tentram di era yang kacau ini, tetapi apakah orang-orang Amerika tahu bahwa ada seorang dewasa berambut pirang dengan mulut comberan ada di sebuah ruangan dalam kondisi kesakitan?

Frustrasi dan terkapar, mungkin itu ringkasan keadaan yang dialami Trump saat ini yang biasa memanggang para stafnya. Wakil Presiden Mike Pence, Menteri Pertahanan James Mattis, dan Kepala Staf John Kelly tak segan-segan menyebut Trump sebagai "idiot" dan bocah sekolah dasar, begitu bunyi tulisas dari penggalan buku Woodward. Tetapi, semua staf Trump, kini jantungnya berdebar-debar sedang menunggu api pembakaran.

Panulis opini di NYT masih misterius, bahkan jika penulisnya kelak diketahu adalah salah satu pejabat Trump, apakah dia akan mengaku kepada orang yang paling bodoh yang menempati Gedung Putih itu?

"Kami di Crazytown," kata John Kelly yang frustrasi, menurut NYT. "Saya bahkan tidak tahu mengapa ada di antara kita di sini. Ini adalah pekerjaan terburuk yang pernah saya alami," katanya.

Tidak sampai disitu, senator Elizabeth Warren bahkan mengusulkan untuk menggunakan amandemen Konstitusi untuk melengserkan comberan, Donald Trump. Warren mengusulkan itu setelah merasa tertusuk pinggangnya dengan tulisan opini di The New York Times yang mengungkapkan keprihatinan besar akan perilaku dan moral Trump.

Editorial: Elizabeth Warren’s op-ed rant far oversteps bounds

Credit: AP

Sen. Elizabeth Warren, D-Mass., gestures while speaking at the National Press Club in Washington, Tuesday, Aug. 21, 2018. AP photo


Elizabeth Warren continues to showcase her activist skill set, but she was elected to be a senator — not a protester.

Her latest ploy is to demand the ouster of President Trump in the wake of an op-ed published in The New York Times earlier this week purportedly from a high-level White House insider. The author suggested that there was a “resistance” in the administration working to prevent Trump from following through on dangerous decisions.

In an email blast, Warren wrote, “If senior officials believe the president is unfit, they should stop hiding behind anonymous op-eds and leaking information to Bob Woodward boasting that they’re trying to save our country, and instead do what the Constitution demands they do: invoke the 25th Amendment and remove this president from office.”

She doubled down during an appearance on CNN, asking, “What kind of a crisis do we have if senior officials believe that the president can’t do his job and then refuse to follow the rules that have been laid down in the Constitution?”

Warren continued, “They can’t have it both ways. Either they think that the president is not capable of doing his job, in which case they follow the rules in the Constitution, or they feel that the president is capable of doing his job, in which case they follow what the president tells them to do.”

The 25th Amendment facilitates the vice president to take over if the president is “unable to discharge the powers and duties of his office.”

This is an irresponsible and alarmist action on behalf of a sitting senator and shows little regard for the truth or accuracy — all in the name of politics.

The anonymous op-ed was supposedly written by a “senior administration official,” which, by the Times’ own standards, could include any of more than a thousand people.

Even loyal Democrat Jennifer Palmieri, who served in the White House, threw cold water on the op-ed, tweeting, “Fwiw, based on my experience with NYT sourcing rules for Administration officials, this person could easily be someone most of us have never heard of & more junior than you’d expect. Like a deputy at legislative affairs or NEC.”

David Nakamura, a reporter for the Washington Post (hardly a friend to Trump) added, “Most DC journalists, incl. me, have quoted a ‘senior administration official’” in stories. But I feel as though an op-ed like this should have an editor’s note explaining what an SAO is. There are 1,212 Senate-confirmed positions, incl. 640 ‘key’ jobs.”

But Warren ignored those facts and went right into political-activist mode because she is no longer pretending to represent everyday Americans. She is trying to appeal to the unhinged fringe — the people who let out a primal scream on election night in 2016.

Left unrepresented are her actual constituents, who depend on their elected officials in Washington, D.C., to look out for their best interests.

Sen. Warren may be the most prestigious protester/politician in Washington, but she is not the only one. Apart from all the gun protests, Democrats displayed their displeasure with Trump at the State of the Union speech. Last year, Warren led Democrats during the “Hold the Floor” protest of Betsy Devos, and there was even a challenge of the presidential election certification.

Democrats routinely use Capitol Hill for civil disobedience just as they use hearing rooms to launch presidential campaigns, as witnessed this week in the confirmation hearings of Brett Kavanaugh.

The voters of the commonwealth deserve a senator who is devoted to their collective plight rather than her own future fortunes. Outlandish protests on the taxpayers’ time are bad enough, but when her politically aimed activism involves entertaining the notion of unseating the commander in chief through a process other than an election, that is sheer recklessness.

http://www.bostonherald.com/opinion/editorials/2018/09/editorial_elizabeth_warren_s_op_ed_rant_far_oversteps_bounds

Jadi para pembaca yang budiman. Identitas penulis yang kata Trump "oplosan" dan tidak punya otak itu adalah "Bagian dari Perlawanan". Apakah masih belum dimengerti arti Perlawanan dan siapa yang selama ini mengunakan kalimat "Resistance"?

Oke, mari kita mencoba menjadi Conan, kita mampu mengungkap sumber dari dalam kita sendiri secara sempurna, bahwa gerakan Perlawanan Hizbullah yang selama ini menggunakan kata "Resistance" telah menembus Gedung Putih yang diduduki Trump, dan mencoba menjatuhkan pemerintah AS dari dalam.

Semuanya ada di depan mata kita! Trump tidak harus memecat Pence, atau Mattis atau Kelly atau salah satu dari jiwa panjang yang menderita di Trump Nut House itu. Trump bahkan tidak harus mengejar Melania untuk berdansa, meskipun Trump telah menempuh jalannya sendiri, karena sudah cukup banyak orang menjadi gila yang dia nikahi.

Jadi, Donald Trump, jangan pernah memecat para staf Nut House Anda. Mereka semua tidak melakukannya. Dalang sebenarnya ada di tempat lain, dan tidak ada hal yang bisa Anda lakukan saat ini. Jadi remas dan makan hatimu, wahai mulut comberan berambut pirang!

(Islam-Times/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jokowi dan Turbulensi Ekonomi Yang Brutal

Presiden Jokowi

“Tidak ada saran dan semua tak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi ke depan.” Itu jawaban Presiden Cina Xi Jinping ketika Presiden Joko Widodo menanyakan resep untuk menghadapi turbulensi ekonomi sekarang. Kisah itu disampaikan oleh Presiden sebagai pengantar diskusi dengan Ketua Kadin Rosan Roeslani dan 25 pengusaha generasi kedua dan ketiga dari para pengusaha besar nasional (27/8).

Pembuka dialog itu dipilih oleh Presiden untuk mendeskripsikan bahwa situasi ekonomi sekarang cukup terjal, bahkan negara semacam Cina yang amat tangguh juga kelimpungan dan belum punya resep mapan untuk menyikapi situasi yang terus bergerak. Segalanya belum pasti, kecuali ketidakpastian itu sendiri.

Setelah narasi pembuka itu, Presiden menguraikan ragam kebijakan ekonomi pemerintah yang telah dibuat agar kondisinya makin bugar dan kuat. Kebijakan fiskal didesain sangat hati-hati, tidak ambisius mengejar pertumbuhan ekonomi apabila risiko di baliknya dirasa besar. Defisit fiskal terus diturunkan dari semula 2,6% pada 2015 menjadi 1,8% pada 2019 mendatang. Defisit keseimbangan primer terus turun dari Rp 142 triliun pada 2015 menjadi tinggal Rp 21 triliun pada 2019, bahkan dimungkinkan akan seimbang atau surplus tahun depan. Seluruhnya itu dilakukan untuk membangun kepercayaan publik dan pasar, yang hasilnya sebagian besar telah dirasakan saat ini.

Di luar itu, Presiden juga menceritakan upayanya untuk memperkuat basis produksi agar Indonesia menjadi negara produsen yang tangguh. Sejak lama Indonesia dijerat oleh defisit neraca perdagangan (dan transaksi berjalan), yang sebagian bersumber dari keringkihan produksi. Komoditas yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri mesti diimpor. Banyak bahan baku atau produk penolong yang potensial diproduksi di pasar domestik, tetapi sampai sekarang sebagian belum dieksekusi. Beberapa produk memang sudah dibikin, namun Presiden belum merasa puas. Ia menginginkan persoalan defisit neraca transaksi berjalan ini dapat diselesaikan secepatnya. Tak boleh lagi ditunda-tunda.

Setelah pengantar singkat tersebut, kurang dari 10 menit, pembicaraan setelahnya menjadi panggung para tamu. Sekurangnya tiga hal besar yang disampaikan. Pertama, Ketum Kadin menyampaikan apresiasi kepada pemerintah atas pembangunan infrastruktur yang dilakukan. Manfaat itu langsung dirasakan oleh pengusaha. Logistik menjadi lebih mudah dan murah, daya dukung investasi menjadi lebih lengkap, dan kemudahan usaha mengalami peningkatan. Bahkan, John Riady –yang juga hadir dalam pertemuan– menyatakan para pengusaha sekarang memiliki optimisme yang tinggi untuk menapaki hari-hari mendatang. Tentu saja tantangan selalu akan muncul, namun dengan perbaikan yang dilakukan perkara itu bakal bisa ditangani.

Kedua, mereka mengharapkan pemerintah bisa memapankan regulasi terkait perizinan, kesempatan yang lebih besar kepada pelaku ekonomi swasta, stabilitas nilai tukar, dan hilirisasi yang lebih intensif. Perizinan sudah ada kemajuan, namun belum merata ke semua daerah, sehingga diharapkan terdapat standar pelayanan dan kecepatan yang seragam. Anindya Bakrie dalam kesempatan itu menyampaikan, para pengusaha ini tidak cengeng karena sudah pernah melalui ragam persoalan dalam 20 tahun terakhir, yang paling penting pemerintah membangun lingkungan ekonomi yang bagus dan mendesain kebijakan secara konsisten. Bila ini dikerjakan dengan sistematis, maka pembangunan ekonomi akan kian gesit.

Ketiga, kebutuhan menyelenggarakan kepastian hukum dan menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas. Di lapangan masih dijumpai praktik perlakuan hukum yang berlainan, sehingga membingungkan pelaku bisnis. Regulasi yang ada tidak selamanya ditegakkan dengan standar yang seragam. Demikian pula cukup kerap terjadi aturan berubah sehingga menyulitkan dunia usaha melakukan perencanaan bisnis. Sementara itu, di tengah kenaikan prospek ekonomi yang makin bagus, pengusaha mengeluhkan terbatasnya tenaga kerja terampil. Diperlukan kerja sama antara dunia usaha, kampus, dan pemerintah (pusat dan daerah) untuk membangun peta kebutuhan tenaga kerja yang utuh demi kepentingan di masa depan.

Menanggapi persoalan, pernyataan, dan masukan dari para pengusaha tersebut, Presiden secara runtut menyampaikan ide dasar perubahan ekonomi yang telah dan akan terus dijalankan. Sumber daya fiskal akan senantiasa disusun dengan penajaman dan kredibilitas yang makin tinggi. Infrastruktur selama 4 tahun terakhir dialokasikan dengan sangat besar untuk mendorong pertumbuhan dalam jangka panjang. Di luar itu, mulai 2019 pembangunan manusia ditambah alokasinya agar kualitas tenaga kerja makin meningkat. Kompleksitas ekonomi yang kian tinggi mesti diimbangi dengan mutu manusia yang makin baik pula. Politik anggaran harus menuju ke arah sana.

Regulasi mesti disederhanakan, tak boleh lagi melampaui kebutuhan sehingga disinsentif bagi pembangunan ekonomi/investasi. Pemerintah terus menyisir aneka regulasi yang berpotensi menghambat pembangunan. Birokrasi bekerja berdasarkan target dan capaian yang terukur, bukan berbasis kegiatan dan prosedur yang telah ditunaikan. Kecepatan menjadi ideologi kerja. Tiap persoalan yang muncul ditangani dengan sigap, tidak boleh dibiarkan dan menjadi beban pembangunan. Banyak program yang sebelumnya tidak berjalan karena adanya pengabaian persoalan tersebut, seperti yang kerap terjadi pada pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur.

Satu lagi topik favorit yang selalu disampaikan Presiden adalah isu keadilan ekonomi. Indonesia adalah negara yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Tidak mungkin yang dibangun hanya Jawa dan Sumatera. Seluruh wilayah mesti disantuni dengan pembangunan, dari mulai pelayanan sosial dasar, aktivitas ekonomi sampai kebutuhan hidup tersier lainnya. Presiden amat senang dengan data yang menunjukkan indeks ketimpangan yang makin turun. Pencapaian ini mesti terus berlanjut karena merupakan mandat konstitusi. Para pengusaha diharapkan turut terlibat dalam usaha membangun keadilan ekonomi ini, khususnya membangun wilayah Indonesia Bagian Timur, memajukan desa-desa, dan mendongkrak pendapatan golongan ekonomi lemah.

Dialog tersebut begitu produktif dan rileks karena dibangun dengan pondasi kepercayaan. Seluruh persoalan diungkap secara terbuka dan ditanggapi dengan kesungguhan hati, sesekali dengan ekspresi jenaka. Para pengusaha menceritakan apresiasi dan tantangan yang dihadapi, sedangkan Presiden memberikan komitmen untuk terus melakukan perbaikan demi mengawal kemajuan negeri.

Ahmad Erani Yustika Staf Khusus Presiden; Guru Besar FEB Universitas Brawijaya

(Fokus-Today/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Para Muallaf Yang Merusak Islam. Simak Videonya!


Oleh: Kajitow Elkayeni

Saya setuju dengan Eko-PemujaPohonJengkol-Kuntadhi, proses menjadi muallaf harus diperketat. Jangan sampai agama Islam ini makin buruk namanya, gara-gara para muallaf yang sok tahu agama dan gemar menyebar permusuhan, macam Felix Siaw dan Irene Handono.

Mereka enak dapat gelar ustad-ustadzah, ke mana-mana diundang ceramah, dianggap pejuang Islam. Lha kita yang memeluk Islam dari lahir ini yang harus menanggung malu…

Kadang saya berpikir, apa mungkin mereka itu salah memeluk agama ya? Bungkusnya mungkin Islam, eh ternyata dalemannya Islam palsu. Nah ini bahaya, islam palsu yang dianut orang macam Felix ini mirip sekali dengan Islam yang saya yakini. Dari luar persis, seolah baca syahadat, salat, puasa, zakat, haji, tapi ujarannya penuh kebencian.

Pondasi Islam sebenarnya tidak begitu. Kalaupun ada ayat dan hadist yang kelihatannya keras, itu situasional sifatnya. Kondisinya sedang gawat. Dalam keadaan perang. Itu sebagai komando. Orang sedang perang lemah lembut, ya habis. Tapi tetap saja pakai etika perang.

Teroris dan kelompok takfiri itu menyalahi etika perang ini. Ajaran itu diselewengkan.

Di luar situasi gawat itu, ayat dan hadits tadi tak boleh dipraktikkan. Itu tidak tepat kondisi, menyalahi aturan. Nah, orang seperti Felix ini pengetahuan agamanya kurang. Jadi ayat perang ini digunakan saat damai. Saat Islam tidak terancam. Apalagi posisinya mayoritas.

Pondasi Islam itu *”rahmatan lil’alamin,”* menjadi rahmat bagi seru sekalian alam. Jadi ajaran apapun yang mengatasnamakan Islam, tapi tidak sesuai dengan asas ini, bisa dipastikan palsu. Itu Islam KW seperti yang dianut Felix dan kawan-kawannya.

Ada kejadian, dalam sebuah video, seorang muallaf diberi mikropon dan disuruh ceramah. Isi ceramahnya potong, bunuh, habisi. Kelihatan sekali dia salah memeluk agama.

Dia bahkan tidak tahu, Islam itu terbagi beberapa mazhab. Syiah itu banyak sekali pecahannya. Yang dicap sesat oleh kelompok Sunni (ahlu sunah waljamaah) itu Syiah Rafidhah, selain itu ya tidak. Syiah salah satu mazhab yang diterima dalam Islam. Usianya setua islam Suni. Karena berdirinya Syiah itu awalnya adalah peristiwa politik.

Selain Syiah Rafidah, yang dianggap sesat oleh Sunni (NU) itu Wahabi. Dan ternyata Wahabi ini juga banyak pecahannya. Kalau Wahabinya hanya sekadar menganut semangat pemurnian agama, tak begitu masalah. Yang berbahaya itu kalau Wahabi Takfiri. Jenis ini tak mengenal toleransi. Apapun di luar mazhab dia haram.

Penceramah dalam video yang bernama Hanny Kristianto itu kemungkinan terjerat ajaran takfiri ini. Kalau disebut Wahabi dia bakal ngelak. Kelihatannya Islam, sok mau memurnikan tauhid. Isinya kebencian dan permusuhan. Dan biasanya oknum semacam ini salah informasi. Korban hoax agama. Orang ini dicekoki info palsu oleh gurunya.

Maka lahirlah monster yang ngaku-ngaku Islam. Tapi tidak mengamalkan cinta kasih. Padahal dari bahasa saja *aslama-yuslimu-islaman,* menjamin keselamatan. Baik dirinya maupun orang di sekitarnya. Belum islam seseorang jika orang di sekitarnya merasa terancam karena ulahnya.

Agaknya kelompok takfiri ini sengaja merusak Islam dari dalam. Agendanya tentu pesanan bos luar negeri, yang punya kepentingan di negara ini. Proxy mereka bisa macam-macam, mirip ulama Wahabi dari Saudi yang sudah jadi WNI, yang mengomandoi hafidz Indonesia. Periksa rekening banknya, terlihat jelas dari mana sumber uangnya berasal.

Itulah yang menjawab pertanyaan, kenapa jaringan mereka kuat? Petrodolar mengalir deras. Mau membuat roadshow ke seluruh Indonesia bisa. Mau kawin empat, punya simpanan banyak di Puncak, masuk. Mau bangun seribu masjid, ratusan sekolah, mampu. Dananya tak terbatas.

Untuk itu mestinya ormas keagamaan semacam NU, Muhamadiyah, MUI dan Pemerintah mewaspadai gerakan mereka ini. Pada akhirnya yang dirusak itu Negara. Orang-orang ini tak peduli jika negara kacau. Mungkin mereka bahagia bisa perang-perangan. Namanya juga sakit.

Para muallaf ini harus dipantau dan dipastikan mendapat pengajaran yang benar. Mereka jangan diberi akses berceramah sebelum matang. Orang sejak lahir Islam, mengenyam sekolah islam, belum tentu lolos kriteria muballigh, pendakwah, tukang ceramah.

Ini orang yang baru saja murtad dari agama lamanya, lalu diberi akses mencermahi orang lain. Kan gendeng. Kencing saja belum lurus, mau banyak gaya.

Jika tidak segera diatasi, orang-orang macam Hanny Kristianto ini makin banyak dan meresahkan. Yang rusak nama Islam. Yang hancur negara ini. Mereka mungkin bahagia kalau negara ini kacau.

“Lumayan bisa panah-panahan dan kuda-kudaan.”

Namanya juga sakit!


Simak Video Ini:


(Seword/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Prediksi Tentang UAS (Ujan Awal September)


Rabu malam (29/08/2018) habis Maghrib saya ditelepon oleh seorang habib dari jauh. Ia mengabarkan banyak hal atas apa yang akan terjadi jelang UAS hadir maupun setelahnya.

Dalam perbincangan telepon tidak lebih dari 10 menit tersebut, beliau mengingatkan saya bahwa tanggal 1 September 2018 nanti bukan tidak mungkin akan terjadi hal-hal mengagetkan di seluruh wilayah Kabupaten Jepara.

Beliau menyebutkan, kalau pas tidak sedang di Jepara (ada keperluan lain ke luar kota), kadang di Jepara ada kobongan, orang tenggelam atau orang tukaran. Padahal, pas hari H kedatangan UAS itu adalah ketika beliau sedang tinda’an ke luar kota, hingga 2 September 2018 lalu.

Terang saja, gerimis tiba-tiba turun jelang Apel 5000 Banser. Baru pertama kali sejak beberapa bulan terakhir, hujan turun di Jepara. Saya kira apel akan gagal karena diguyur hujan. Ternyata hujan hanya turun untuk “membendungi” hawa panas Hari Sabtu siang itu.

Hujan baru turun “ma’ byuk” sekitar jam 8 malam ketika pengajian di sebelah, yang dibatalkan oleh tim UAS sendiri. Listrik padam se-Jepara dan sekitarnya hingga pagi. Banyak anak rebana laporan ke saya tidak jadi hadir karena derasnya hujan.

Gara-gara listrik mati, angin mosak-masik dan hujan deras, tim pengaman dari PP juga banyak yang berhalangan hadir. Banyak petugas keamanan memilih di rumah. Saya sendiri buat mie bersama bolokurowo Ansor Ranting, di rumah, ngopi, ngobrol sampai larut.

Meski hujan mengguyur, listrik mati total, acara berlangsung lancar. Alhamdulillah. Imamah Habib Bidin dilepas. Sementara imamah tuan rumah saat pengajian tidak bisa membendung keramat UAS: Ujan Awal September. Banjir memenuhi sedikit ruang di lapangan dengan panggung seluas 30 meter itu. Hingga sekitar pukul 21.30-an.

Cuaca Jepara hujan pada malam Ahad itu, berlanjut ke gangguan jaringan internet pada 2 September 2018 (malam Senin). Jaringan wifi saya terganggu. Laporan yang saya terima, seluruh Jepara terganggu jaringan internet wifi nya. Ada apa? Saya makin ndredeg mengingat kabar di telepon oleh habib, pada Rabu malam itu. Ya Allah.

Makin ndredeg ketika saya mendengar dari seorang habib pula pasca apel Banser, Sabtu malam habis Maghrib (01/09/2018). Ia mendapat keterangan dari tokoh nasional yang juga dzurriyah Alawiyyin.

“Wong iki bahaya. Dia eks HTI. Jangan kasi celah apapun untuknya,” ujarnya, menirukan dawuh sesepuh Alawiyyin, yang juga sangat saya nderekke dawuhnya.

Seketika saya langsung taslim atas dawuh beliau. Selama ini saya menyatakan kalau ia hanya diboncengi oleh kelompok eks HTI dan golongan alkacong (aliran kathok congklang) lainnya. Ansor pun menyebut demikian. Ternyata lebih dari itu, meskipun akan terus dianggap sebagai informasi yang emboh oleh Somader.

Dalil saya kalau ia eks HTI hanya edaran daftar pengurus HTI seluruh Indonesia yang pernah saya terima. Beredar sekitar tahun 2016-2017.

Dan, saya sudah diingatkan oleh Mbah Sarkub setahun lalu untuk mempersiapkan diri bahwa tulisan saya suatu saat nanti akan mengguncang tokoh nasional. Ia prediksi momen bahwa tulisan saya booming tahun 2017, ternyata meleset hingga pertengahan 2018.

Akhir tahun 2017 produksi saya pernah viral. Kena bulliying Somader juga. Tapi Somader tidak merujuk ke akun pribadi saya mengingat tujuan saya sengaja menulis dengan nada kritik-analitis di akun pribadi untuk melokalisir potensi pro-kontra hanya di Jepara saja.

Ternyata salah. Somader punya cara sendiri untuk datang ke rumah medsos saya. Yakni dengan komando United Muslim Cyber, yang saya duga jelmaan baru dari MCA yang sudah “dilarang” Polri. Itu terjadi sejak ada yang main di medsosnya kalau dia kena intimidasi, ancaman dll, yang oleh Mojok dot co dipertanyakan, bentuknya gimana sih? Begitu.

Saya jadi ingat isyaroh “closed jendela” ketika sedang menangis mendoakan Jepara aman di Makam Syeikh Abu Bakar Pulau Panjang. Pro kontranya “closed” di Jepara. Tapi jika ada yang membuka kotak Pandora nya, “opened” lagi akhirnya. Begitulah karakter asli followers nya. Setidaknya menurut saya.

Nanti malam katanya ada Somader dari berbagai kota akan geruduk silaturrahim ke rumah saya. Saya siapkan kopi dan mie. Kalau mau rokok, beli sendiri loh yaw. Ahlan wa sahlan.

Sumber: FB Abdalla Badri

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Jokowi di Mata Kyai


Berawal dari seringnya mendapat pertanyaan dari teman-teman alumni Pondok Langitan, perihal sosok JOKOWI, bagaimana keislamannya dan kiprah dia sewaktu menjadi Wali Kota Solo.

Pertanyaan tersebut ada mungkin karena seringnya kampanye hitam yang mereka terima, baik melalui SMS, transkip pembicaraan, media cetak maupun di sosial media.

Awalnya saya jawab, “menurutku, sepengetahuanku….”

Tapi jawaban seperti itu, bagiku sendiri juga tidak afdhol, kurang begitu shohih, tsiqoh, aku iki lho sopo?.

Kemudian saya berinisiatif untuk mendapatkan info tentang JOKOWI dari sumber yang tsiqoh, yang tahu dan kenal dekat dengan JOKOWI, dan yang aku tahu adalah KH. Abdul Kareem, seorang hafidzul Qur’an dan juga Pengasuh Pondok Pesantren Az-Zayyady, Laweyan, Solo.

Untuk masyarakat Solo dan sekitarnya pasti tahu siapa beliau. Beliau juga sahabat sekaligus mentor JOKOWI.

“Pak, keislaman Jokowi niku pripun?” tanyaku langsung ke masalah. Siang itu, Ahad 22 Juni di ndalem beliau, Tegal Ayu, Laweyan, Solo.

“Islam-imanipun Jokowi miturut kulo sae, saestu sae. Saya kenal Jokowi jauh sebelum dia menjadi walikota, ketika dia menjadi ketua ASMINDO, Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia, dia punya perusahaan mebel namanya ‘Rakabu’. Dia aktif mengikuti pengajian-pengajian saya. Dan dikemudian hari membentuk majlis pengajian Pengusaha Islam Muda yang namanya Bening Ati, pengasuhnya kulo kiyambak, Pak Yai Nahar, Pengasuh PP Ta’mirul Islam dan juga PakYai Rozaq, (Pengasuh PP Al Muayyad).

Tapi beberapa tahun majelis pengajian berlangsung, kemudian goyah, karena beberapa anggotanya sama mencalonkan diri menjadi Wali Kota, Pak Jokowi sendiri, Pak Purnomo, (sekarang menjadi Wakil WaliKota Solo) dan Pak Hardono.

Lah kulo ‘kebagian’ mendukung Pak Jokowi, dan pada saat itulah saya tahu betul bagaimana Pak Jokowi, sebab renteng-renteng bareng kemana-mana, puasa senin kemisnya tidak pernah ketinggalan, tahajudnya juga luar biasa, sama sekali tidak pernah tinggal Jum’atan, apalagi cuma sholat lima waktu yang memang dah kewajiban.

Keluarga Jokowi juga Islamnya taat, adik-adiknya putri semua berjilbab itu juga sejak dulu, dan juga diambil mantu oleh orang-orang yang Islamnya baik semua, Jenengan ngertos kiyambak tho Gus?” jawab beliau lugas.

“Tapi kulo gih mboten habis pikir, kenapa orang yang jelas-jelas keislamannya kok diisukan kafir, keturunan nasrani, cina dan lain-lain, hanya karena perbedaan politik, tur itu yang mengisukan yo wong islam dewe…

Kulo ape meneng wae opo yo trimo, opo yo pantes, dulur Islam dikafir-kafirke kok meneng ora mbelani, opo yo pantes…” ucap beliau dengan berusaha keras menahan air mata sehingga mata beliau memerah. Suara beliau sengau menahan isak.

Melihat pemandangan seperti itu, hatiku rasanya ngilu, seperti diremas-remas oleh kekuatan dunia lain, betapa ringannya orang mempolitisasi agama untuk kekuasaan,

Aku terdiam lama, untuk meneruskan pertanyaan rasanya tidak mampu.Terbawa suasana yang tiba-tiba mengiris-ngiris kalbu.

“Ya memang Pak Jokowi bukanlah santri ndeles kados Jenengan Gus, bacaannya tidak sebagus santri-santri Muayyad, tapi opo terus kekurangan seperti itu menjadikan dia pantas dicap abangan, gak ngerti agomo…apalagi kafir?” Dengan menahan isak pertanyaan tersebut terucap.

Memang isu JOKOWI sebagai orang abangan atau kejawen itu dimunculkan sejak JOKOWI mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta dua tahun lalu, dan setahuku JOKOWI waktu itu sama sekali tidak menggubris isu-isu tersebut.

Dan rupanya isu-isu tersebut dimunculkan lagi saat pilpres ini dan lebih masih dan dasyhat, sehingga pada waktu JOKOWI showan ke Pak Dul Kareem (begitu aku biasa menyebut KH Abdul Kareem Ahmad), 6 Juni lalu

JOKOWI madul, “Kulo kiyambak Gus Kareem, bisa menahan diri difitnah-fitnah seperti itu, tetapi menawi kalo itu ibu saya, ibu saya difitnah kafir, nasrani,… kulo sing mboten saget nrimo,” cerita Pak Dul Kareem. Lah dalah, aku merinding mendengar cerita tersebut.

Mungkin juga, JOKOWI dianggap orang abangan karena dia diusung oleh PDIP yang identik dengan abang-abang, padahal PDIP Solo, sangat agamis, punya masjid sendiri di depan Kantor PDIP di Brengosan, dan masjidnya makmur, setiap minggu ada kegiatan semaan Al Qur’an bil ghoib dan pengajian rutin.

Tur juga, partai yang terkuat di Solo adalah PDIP, partai-partai lain yang berbasis Islam seperti PPP, dan PKB sama sekali gak ada baunya, kecuali PAN dan PKS.

Sedangkan pada PILKADA 2005 Jokowi diusung oleh PDIP dan PKB dan pada PILKADA Solo 2010 yang lalu, ada tambahan selain PDIP yang mengusung Jokowi adalah PAN juga PKS.

Sebetulnya obrolan tersebut sangat panjang dan beragam masalah yang didawuhkan oleh Pak Dul Kareem, tapi karena terbatasnya halaman, aku singkat semua obrolan tersebut dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana kepemimpinan JOKOWI selama menjadi wali kota Solo, ketegasannya dan juga kebijakannya, terutamapada umat Islam?”

“Kebijakkan Pak Jokowi selama di Solo, sama sekali tidak ada yang merugikan umat Islam, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah agama selalu dikonsultasikan dulu pada ulama Solo, terutamanya pada Kyai Durrohim, Mustasyar NU waktu itu.

Dan kebijakan Pak Jokowi itu bersifat Islam subtantif Gus, tur yo merakyat tenan, umat Islam di Solo itu kan mayoritas dan juga kalangan bawah, jadi Pak Jokowi untuk mengangkat ekonomi rakyat kecil dengan menbangun banyak pasar-pasar tradisional, minimarket tidak boleh buka 24 jam, tidak mengizinkan mall-mall ada lagi..

Jarene Pak Jokowi, kalo umat Islam sejahtera maka masjid dengan sendirinya akan dipenuhi jama’ah, gitu Gus.” jelas Pak Dul Kareem padaku.

Memang yang kudengar selama ini ya begitu itu, bahkan JOKOWI berani menentang kebijakan Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah yang mengizinkan dibangunnya mall di Sari Petojo, sebab memang tanah Sari Petojo adalah milik propinsi, dan berhubung itu berada di daerah Solo, pembangunan tersebut tidak diizinkan oleh JOKOWI, karena tidak berpihak pada ekonomi rakyat kecil di sekitarnya.

“Contoh lain, lokalisasi Shilir yang ada di Semanggi setahun menjadi Wali Kota, ditutup oleh Pak Jokowi, dan kemudian dibangun sebuah pasar untuk menghidupkan perekonomian warga sekitar.

Dan yang mengisi pasar tersebut adalah para pedagang loak yang di Banjarsari, di sana itu ada sebuah monument yang menjadi cagar budaya, kumuh dan kotor karena di tempati oleh PKL-PKL yang tidak teratur.

Dan cara memindahkannya pun, Masya Alloh, sangat manusiawi, nguwongke uwong tenan, perwakilan PKL di undang makan di Lodji Gandrung sampai puluhan kali kalau tidak salah untuk berdiplomasi dengan para pedagang, dan ketika para pedagang menerima dipindah, mindahnya pun tidak dengan kekerasan, dipawaikan… dikirab dengan marak… podo ditumpakke jaran, seneng tenan… podo diuwongke mbek Wali Kotane…” cerita PakDul Kareem panjang lebar.

Aku membayangkan kemeriahan tersebut dan kegembiraan warganya yang merasa dimanusiakan oleh pemimpinnya. Selama sebelum JOKOWI, Solo kumuh dan semrawut, dan sekarang terlihat lebih hijau dan rapi, meskipun tidak semuanya, tapi itu jauh lebih baik dari pada masa-masa sebelum Wali Kota JOKOWI.

Dan ketika Shilir di tutup, Habib Syekh yang memang tinggal di Semanggi mendirikan majelis “Shilir Berdzikir” yangmenjadi cikal bakal Ahbabul Musthofa saat ini.

Solo saat ini jadi lebih hijau dhohiron wa bathinan, peringatan hari besar Islam juga lebih semarak, ada Parade Hadrah setiap Rajab, Festival Sholawat, kegiatan dzikir tahlil dan barzanji semakin marak, ada setiap saat, tidak hanya di masjid-masjid tapi juga di hotel-hotel mewah. Itu semua sebab kebijakan-kebijakan JOKOWI dalam membangun Solo sebagai Kota Sholawat dan juga Spirit of Java.

Sholawat Barzanji yang awalnya sesuatu yang jarang, karena NU di Solo adalah minoritas, sekarang menjadi hal yang seakan harus hadir dalam setiap moment, iya, sejak Jokowi menjadikan Majelis Dzikir dan Sholawatan sebagai tamu rutin di Balai Kota setiap Rabiul Awwal.

Tidak hanya itu, di Rumah Dinas beliau, Lodji Gandrung dijadikan tempat rutin taraweh ala Masjidil Haram, 23 rakaat beserta witir dan mengkhatamkan Al Qur’an.

“Ketika JAMURO pertama kali diundang di Balai Kota, Pak Jokowi memberi kenang-kenangan, dalam bungkusan yang sangat tebal, kulo ngiro niku isinya arto Gus, tapi jebule stiker bertuliskan,“JAMURO, DENGAN BERSHALAWAT KITA SELAMAT DUNIA AKHERAT.”

Aku tertawa mendengar cerita tersebut, sebab kenang-kenangan tumpukan 5000 stiker sebesar uang kertas, dibungkus dengan rapi kertas coklat, yang dibuka di depan umum, bisa menjadikan orang menyangka itu adalah uang puluhan juta. Jebule cuma stiker.
JAMURO, singkatan dari Jam’ah Muji Rosul, awalnya hanya majlis dzikir tahlil dan pembacaan Barjanji yang menjadi rutinan segelintir jamaah, tapi sekarang jama’ahnya puluhan ribu dari Solo dan sekitarnya. Pak Jokowi adalah salah satu pembinanya.

“Lah ndilalah, Pak Jokowi satu tahun jadi wali kota, kulo kebetulan dados ketua PCNU Solo, jadi gih saget bersinergi dengan Pak Wali, dan Pak Jokowilah yang mengusulkan dan yang ngobrak-ngobrakki agar di bentuk Ranting NU di seluruh Solo, ada 51 Ranting, dan ini baru pertama kalinya PCNU Solo punya ranting, itu berkat Pak Jokowi dan Pak Jokowi juga yang membuatkan 51 papan nama untuk ranting NU tersebut.” cerita Pak Dul Kareem dengan antusias.

“Di antaranya juga, sholat Idul Fitri bisa terlaksana di Balai Kota, itu juga kebijakan Pak Jokowi dan Pak Jokowi sendiri yang menutupi dua arca yang di depan balai kota itu, pakai kain mori, ditutup sendiri, padahal untuk hal seperti itu, nyuruh ajudan kan bisa.”

Saya jadi teringat ketika JOKOWI ngangkati gong yang mau ditabuh oleh SBY, entah dalam pembukaan apa itu, aku lupa.
Hal-hal seperti itu tentu tidak pernah kita dengar dari mulut JOKOWI sendiri, yang kita dengar hanyalah pembelaan, “Saya Islam, dan saya meyakini kebenaran Islam saya.”

Dan pembelaan diri JOKOWI bahwa dirinya dari keluarga muslim yang baik, yang juga telah melakukan rukun Islam ke lima, itu juga baru kita dengar setelah begitu gencarnya fitnah yang meragukan keislaman dia selama PILPRES 2014 ini.

Selama Pilkada Jakarta, dua tahun lalu, JOKOWI membiarkan fitnah-fitnah itu bagai angin lalu, Islamku yo Islamku, lapo dipamer-pamerke… mungkin seperti itu pikirnya.

Padahal sekarang yang lagi naik daun adalah “Akulah yang paling Islam, Akulah yang paling benar” yang lain KW.

Pak Kyai Dul Kareem, memang tidak semasyhur poro masyayih maupun poro mursyid, tapi beliau adalah orang yang ikhlas, dan juga salah satu tokoh yang nasehatnya di dengar JOKOWI dan JOKOWI pun tidak pernah menarik Pak Dul Kareem dalam ranah politik dia.

“Gus Kareem, saya minta dikawal sampai saya selesai, tapi Panjenengan hanya bisa menasehati kulo atau memberi usul, tidak bisa merubah kebijakan saya dalam hal pemerintahan. Kalo dalam hal wudhu, atau sholat, atau ibadah kulo yang salah, kulo menawi mboten nurut Jenengan, kulo monggo Jenengan sampluk,itu perkataan Jokowi sendiri ketika dia menjadi Wali Kota Solo.

Ya begitu itu sosok Pak Jokowi Gus, tegas, semua bawahannya pasti tahu itu.” Akhir cerita PakDul Kareem, allohu yarham.

Terlepas dari penuturan di atas, JOKOWI juga mempunyai banyak kekurangan, dalam pemerintahannya maupun perilaku.

Dan itu kalau ditulis bisa jauh berlampir-lampir, beredisi-edisi, sebab mengurai kekurangan orang lain tidak akan habisnya.

JOKOWI hanyalah manusia biasa. Tapi aku hanya mengfokuskan diri menjawab pertanyaan teman-temanku selama ini.

Wallohu a’lam bisshowab.

Kulo, Irfan Nuruddin IX, santri Pondok Pesantren Langitan
Khodimun fil ma’had Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo.

Sumber: FB Rishma Sakhi

(Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

ABNS Video You Tube

Terkait Berita: