Orang Indonesia meyakini Cheng Ho seorang muslim. Namun, sebuah naskah yang ditulis oleh Cheng Ho dan belum lama dilelang membuktikan bahwa agamanya bukan Islam.
Secara simbolis Indonesia sudah memastikan Cheng Ho adalah pemeluk Islam melalui pembangunan Masjid Cheng Ho yang tersebar di pelbagai daerah. Namun, di Cina yang merupakan negeri asalnya, apa sebenarnya agama yang dianut laksamana Dinasti Ming itu, masih terus dipertanyakan oleh para sejarawan sampai sekarang.
Pada 19 Maret 2015, teks Buddhis yang diyakini ditulis oleh Cheng Ho, berhasil dibeli seorang kolektor barang antik bernama Liu Yiqian dengan harga USD 14,026 juta dalam acara lelang yang berlangsung di balai Sutheby’s, New York. Bagi yang meyakini Cheng Ho beragama Buddha, otomatis bertambah satu lagi literatur yang dapat digunakan untuk mendukung tesisnya.
Betapa tidak, di bagian akhir naskah yang kini disimpan di Museum Long, Shanghai, tersebut, Cheng Ho pada 1414 membuat ikrar akan menulis Vajracchedika Prajnaparamita Sutra (Jin Gang Jing), Guanyin Sutra (Guanyin Jing), Amitabha Sutra (Mituo Jing), Marici Bodhisattva Sutra (Molizhitian Jing), Prajnaparamitahrdaya (Xin Jing), Surangama Sutra (Leng Yan Jing), Nilaka??ha Dhara?i (Da Bei Zhou), Sarvadurgatiparisodhana Tantra (Zun Sheng Zhou), dan Mantra Sataksara (Bai Zi Shen Zhou).
Penulisan itu dilakukan Cheng Ho sebagai bentuk syukur karena, sebagaimana diakuinya di sana, “setiap mendapatkan perintah untuk melanglang buana, senantiasa memperoleh karunia dari San Bao.” “San Bao” atau kita lebih mengenalnya sebagai “Sam Poo” –sebagaimana Klenteng Sam Poo Kong di Semarang yang konon merupakan peninggalan Cheng Ho– adalah bahasa Mandarin yang artinya Tiga Mustika. Merujuk kepada Tri Ratna: Buddha, Dharma, dan Sangha.
Menariknya, Cheng Ho mengawali pernyataannya dengan memperkenalkan diri sebagai “da Ming Guo taijian Zheng He, faming Fu Jixiang”: kasim Negara Ming agung yang mempunyai nama dharma Fu Jixiang. Dengan begitu, meski tidak menyebut apa agamanya, Cheng Ho telah secara implisit mengamini kesaksian Yao Guangxiao pada 1403 dalam catatan penutup untuk Marici Bodhisattva Sutra (Fo Shuo Molizhi Tianzhi Jing).
Patut diketahui, Yao adalah biksu ternama yang dihormati bahkan oleh penguasa kekaisaran kala itu. Dalam struktur pemerintahan, dia menjabat sebagai kepala Kantor Administrasi Biksu (Senglu Si) Dinasti Ming. Cheng Ho, sebagaimana diakui Yao di sana, adalah “Pusa jie dizi”: siswa yang tengah menjalani disiplin moral (sila) Bodhisattva. Cheng Ho menghibahkan hartanya untuk mencetak dan menyebarluaskan Sutra dimaksud.
Berbeda dengan keterangan di Sutra dari Amerika itu, pada bagian akhir Sramanerikasila Sutra (Shamini Lijie Wen) yang dibuat pada 1420, Cheng Ho secara blak-blakan menyebut dirinya “da Ming Guo feng Fo xin guan taijian Zheng He, faming Fu Jixiang”: kasim Negara Ming agung yang menganut Buddha. Sutra ini bisa ditengok di Perpustakaan Provinsi Yunnan.
Pernyataan yang sama tentang agama yang dianutnya diulangi kembali oleh Cheng Ho dalam catatan di Upasakasila Sutra (Youposai Jie Jing) yang ditemukan sejarawan Deng Zhicheng pada 1947. Dalam Saddharma Pundarika Sutra (Miaofa Lianhua Jing) yang ditemukan di Vihara Baoben, Pinghu, Zhejiang, saat pemugaran pada 11 September 2002, Cheng Ho lagi-lagi menyatakan dirinya “kasim negara Ming agung yang menganut Buddha.”
Lalu, apakah klaim yang menyebut Cheng Ho adalah seorang muslim akan runtuh karenanya? Jawabannya bergantung pada seberapa meyakinkan literatur yang menjadi rujukan mereka. Sebab, harus diakui, selama ini belum ditemukan catatan klasik yang secara benderang menyebut Cheng Ho adalah penganut Islam laiknya beragam Sutra kuno yang menyebut Cheng Ho adalah penganut Buddha seperti disebut di atas.
Hingga kini, sandaran utama sejarawan yang menyimpulkan Cheng Ho muslim adalah Epitaf Almarhum Ma Gong (Gu Ma Gong Muzhiming) yang ditulis oleh Li Zhigang pada 1405. Ringkasnya, di batu nisan itu tertulis Ma adalah seorang haji dari Yunnan yang mempunyai dua anak laki-laki dan empat anak perempuan. Kasim Cheng Ho adalah putranya yang nomor dua. Sama sekali tak ada keterangan mengenai apa agama Cheng Ho. Dari epitaf itu lantas ditarik kesimpulan bahwa Cheng Ho juga seorang muslim karena leluhurnya adalah penganut Islam yang bahkan sudah melaksanakan ibadah haji ke tanah suci.
Padahal, kita tidak bisa serta-merta memastikan anak penganut Islam akan turut menganut Islam pula. Apalagi, Cheng Ho mulai menjadi “abdi dalem” Dinasti Ming sejak umurnya masih sekitar sepuluh tahun. Dan, sejak awal berdiri, Dinasti Ming sudah tidak begitu ramah terhadap Islam. Pada 1368, Hongwu, kaisar pertama Dinasti Ming mengeluarkan titah yang melarang kaum muslim untuk memakai nama, bahasa, dan mengenakan pakaian atau atribut lain yang berkorelasi dengan Islam. Jenggot pun wajib dipotong.
Kendati Cheng Ho lahir sebagai muslim, di usianya yang belum akil balig itu, situasi dan kondisi yang sedemikian runyam di negerinya tak bisa dikesampingkan sebagai premis yang bisa saja menggoyahkan keimanan Cheng Ho selama berada di istana.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Lukisan Cheng Ho karya Hong Nian Zhang. (Foto: pocketmags.com).
Secara simbolis Indonesia sudah memastikan Cheng Ho adalah pemeluk Islam melalui pembangunan Masjid Cheng Ho yang tersebar di pelbagai daerah. Namun, di Cina yang merupakan negeri asalnya, apa sebenarnya agama yang dianut laksamana Dinasti Ming itu, masih terus dipertanyakan oleh para sejarawan sampai sekarang.
Pada 19 Maret 2015, teks Buddhis yang diyakini ditulis oleh Cheng Ho, berhasil dibeli seorang kolektor barang antik bernama Liu Yiqian dengan harga USD 14,026 juta dalam acara lelang yang berlangsung di balai Sutheby’s, New York. Bagi yang meyakini Cheng Ho beragama Buddha, otomatis bertambah satu lagi literatur yang dapat digunakan untuk mendukung tesisnya.
Betapa tidak, di bagian akhir naskah yang kini disimpan di Museum Long, Shanghai, tersebut, Cheng Ho pada 1414 membuat ikrar akan menulis Vajracchedika Prajnaparamita Sutra (Jin Gang Jing), Guanyin Sutra (Guanyin Jing), Amitabha Sutra (Mituo Jing), Marici Bodhisattva Sutra (Molizhitian Jing), Prajnaparamitahrdaya (Xin Jing), Surangama Sutra (Leng Yan Jing), Nilaka??ha Dhara?i (Da Bei Zhou), Sarvadurgatiparisodhana Tantra (Zun Sheng Zhou), dan Mantra Sataksara (Bai Zi Shen Zhou).
Penulisan itu dilakukan Cheng Ho sebagai bentuk syukur karena, sebagaimana diakuinya di sana, “setiap mendapatkan perintah untuk melanglang buana, senantiasa memperoleh karunia dari San Bao.” “San Bao” atau kita lebih mengenalnya sebagai “Sam Poo” –sebagaimana Klenteng Sam Poo Kong di Semarang yang konon merupakan peninggalan Cheng Ho– adalah bahasa Mandarin yang artinya Tiga Mustika. Merujuk kepada Tri Ratna: Buddha, Dharma, dan Sangha.
Menariknya, Cheng Ho mengawali pernyataannya dengan memperkenalkan diri sebagai “da Ming Guo taijian Zheng He, faming Fu Jixiang”: kasim Negara Ming agung yang mempunyai nama dharma Fu Jixiang. Dengan begitu, meski tidak menyebut apa agamanya, Cheng Ho telah secara implisit mengamini kesaksian Yao Guangxiao pada 1403 dalam catatan penutup untuk Marici Bodhisattva Sutra (Fo Shuo Molizhi Tianzhi Jing).
Patut diketahui, Yao adalah biksu ternama yang dihormati bahkan oleh penguasa kekaisaran kala itu. Dalam struktur pemerintahan, dia menjabat sebagai kepala Kantor Administrasi Biksu (Senglu Si) Dinasti Ming. Cheng Ho, sebagaimana diakui Yao di sana, adalah “Pusa jie dizi”: siswa yang tengah menjalani disiplin moral (sila) Bodhisattva. Cheng Ho menghibahkan hartanya untuk mencetak dan menyebarluaskan Sutra dimaksud.
Berbeda dengan keterangan di Sutra dari Amerika itu, pada bagian akhir Sramanerikasila Sutra (Shamini Lijie Wen) yang dibuat pada 1420, Cheng Ho secara blak-blakan menyebut dirinya “da Ming Guo feng Fo xin guan taijian Zheng He, faming Fu Jixiang”: kasim Negara Ming agung yang menganut Buddha. Sutra ini bisa ditengok di Perpustakaan Provinsi Yunnan.
Pernyataan yang sama tentang agama yang dianutnya diulangi kembali oleh Cheng Ho dalam catatan di Upasakasila Sutra (Youposai Jie Jing) yang ditemukan sejarawan Deng Zhicheng pada 1947. Dalam Saddharma Pundarika Sutra (Miaofa Lianhua Jing) yang ditemukan di Vihara Baoben, Pinghu, Zhejiang, saat pemugaran pada 11 September 2002, Cheng Ho lagi-lagi menyatakan dirinya “kasim negara Ming agung yang menganut Buddha.”
Lalu, apakah klaim yang menyebut Cheng Ho adalah seorang muslim akan runtuh karenanya? Jawabannya bergantung pada seberapa meyakinkan literatur yang menjadi rujukan mereka. Sebab, harus diakui, selama ini belum ditemukan catatan klasik yang secara benderang menyebut Cheng Ho adalah penganut Islam laiknya beragam Sutra kuno yang menyebut Cheng Ho adalah penganut Buddha seperti disebut di atas.
Hingga kini, sandaran utama sejarawan yang menyimpulkan Cheng Ho muslim adalah Epitaf Almarhum Ma Gong (Gu Ma Gong Muzhiming) yang ditulis oleh Li Zhigang pada 1405. Ringkasnya, di batu nisan itu tertulis Ma adalah seorang haji dari Yunnan yang mempunyai dua anak laki-laki dan empat anak perempuan. Kasim Cheng Ho adalah putranya yang nomor dua. Sama sekali tak ada keterangan mengenai apa agama Cheng Ho. Dari epitaf itu lantas ditarik kesimpulan bahwa Cheng Ho juga seorang muslim karena leluhurnya adalah penganut Islam yang bahkan sudah melaksanakan ibadah haji ke tanah suci.
Padahal, kita tidak bisa serta-merta memastikan anak penganut Islam akan turut menganut Islam pula. Apalagi, Cheng Ho mulai menjadi “abdi dalem” Dinasti Ming sejak umurnya masih sekitar sepuluh tahun. Dan, sejak awal berdiri, Dinasti Ming sudah tidak begitu ramah terhadap Islam. Pada 1368, Hongwu, kaisar pertama Dinasti Ming mengeluarkan titah yang melarang kaum muslim untuk memakai nama, bahasa, dan mengenakan pakaian atau atribut lain yang berkorelasi dengan Islam. Jenggot pun wajib dipotong.
Kendati Cheng Ho lahir sebagai muslim, di usianya yang belum akil balig itu, situasi dan kondisi yang sedemikian runyam di negerinya tak bisa dikesampingkan sebagai premis yang bisa saja menggoyahkan keimanan Cheng Ho selama berada di istana.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Posting Komentar